Kitab Bughyah Al-Mustarsyidin

  

Bughyah al-Mustarsyidin
 
Kitab “ Bughyah al-Mustarsyidin fi Talkhish Fatawa Ba’dh al-Aimmah al-Muta-akhkhirin”

(بغية المسترشدين في تلخيص فتاوى بعض الأئمة
المتأخرين

merupakan sebuah kitab fiqh yang menghimpunkan ringkas dari berbagai fatwa para ulama mazhab Syafi’i yang muta-akhirin (kebelakangan). Usaha penyusunan kitab ini dilakukan oleh al-‘Allamah Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba ‘Alawi al-Hadhrami (1250-1320), seorang tokoh ulama mazhab Syafi’i yang terkenal dan mufti bagi negeri
Hadhramaut, Yaman pada zamannya.

Berikut adalah nama-nama ulama yang dikumpulkan fatwa-fatwa mereka dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin;

a)     Imam al-‘Allamah Abdullah bin al-Husain bin Abdullah Bafaqih,
b)     al-Sayyid al-‘Allamah Abdullah bin ‘Umar bin Abu Bakr bin Yahya,
c)      Imam al-‘Allamah Alawy bin Saqaf bin Muhammad al-Jafri,
d)     Imam al-‘Allamah Muhammad bin Abi Bakar al-Asykhari al-Yamani
e)  Imam al-Syaikh al-‘Allamah al-Muhaqqiq Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al- Madany.

Menurut al-‘Allamah Sayyid ‘Abdur Rahman Ba’alawi, beliau menyusun kitab Bughyah al-Mustarsyidin ini adalah untuk menampilkan karya yang mudah dibaca dan difahami tanpa perlu berlakunya pengulangan dalam berbagai perbahasan yang ada dari berbagai pendapat tersebut. Sayyid Abdurrahman Ba’lawi menyusun kitab ini secara sistematik sehingga beberapa persoalan yang ada dengan mudah dapat difahami dengan disertai jawapannya
sekaligus. Dikatakan sistematik, kerana dalam kitab ini berbagai permasalahan diletakkan  secara teratur dan sesuai dengan bab-bab fiqh sebagaimana susunan kitab-kitab fiqh yang lain. Hal ini kerana sebelumnya, berbagai fatwa ini berserakan dan tidak teratur secara
sistematik sehingga mendorong Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba ‘Alawi menyusun kitab ini bagi memudahkan rujukan dan pembacaan oleh para siswa atau murid-murid yang tertarik mengkaji berbagai fatwa tersebut.

Oleh kerana kitab ini merupakan ringkasan dari kumpulan fatwa para ulama’, maka untuk memudahkan identifikasi fatwa masing-masing imam yang ditulis dalam kitab ini, Sayyid Abdurrahman Ba’lawi membuat tanda atau rumuz yang mewakili  para ulama tersebut. Berikut adalah rumuz tersebut;

a)     Imam Abdullah Bafaqih, ditulis   ب,
b)     Imam Abdullah bin Yahya, ditulis ي,
c)      Imam Alawy bin Tsaqaf bin Muhammad al-Jafri, ditulis ج,
d)      Imam Muhammad bin Abi Bakar al-Asykhari al- Yamani, ditulis ش,
e)     Imam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madany, ditulis ك.

Disamping itu, Sayyid Abdurrahman Ba’lawi juga menuliskanفائدة(faidah) untuk menunjukkan bahawa fatwa yang dikeluarkan mempunyai beberapa faidah yang sangat baik nuntuk diketahui khalayak. Ia mengatakan bahawadalam menulis berbagai fatwa ini, ia juga menambah atau mengurangibeberapa kata dari fatwa asal agar sesuai dan relevan. Sebagaimana layaknya seorang editor, Abdurrahman Ba’lawi mensinkronkan antara fatwa dengan berbagai improvisasi yang ia lakukan agar karya ini mudah difahami dan sistematis. Bahkan dalam beberapa hal, penambahan tersebut merupakan pendapat pribadinya.

Namun demikian, sebagaimana dinyatakan Azyumardi Azra, bahawa dalam penulisan kitab kuning, tidak disertakan rujukan (referensi) dan footnote disebabkan tradisi akademik yang berlaku waktu itu belum terkondisikan seperti sekarang. Dengan demikian sulit untuk menentukan secara pasti apakah yang ditulis di dalam kitab kuning merupakan pendapat peribadi atau pendapat orang lain.                           
                                                                      
                     
Sayyid Abdur Rahman Ba’alawi juga menambahkan catatan-catatan lain dalam sistematika penulisan kitabnya sebagai berikut:

a)     Jika dalam suatu masalah terdapat dua ulama atau lebih yang menyepakatinya maka ia tuliskan satu persatu siapa saja ulama’ yang
menyepakati sesuai dengan simbolnya masing-masing. Sedangkan jika ada salah satu ulama yang menambahkan pemahaman lain atau sedikit berbeda maka ia menuliskannya dengan kata:  كذا فلان زادatau  كذلك خالف..

b)     Jika dalam suatu masalah terdapat qayyid atau khilaf sedangkan imam yang memberi fatwa belum menyebutkannya, maka ia menambahkan simbol
اھـdi akhir kalimat, lalu ia tambahkan keterangan qayyid atau khilaf dari tersebut dengan sebelumnya menyebut kata قلتagar pembaca mengetahui dari mana keterangan tambahan tersebut bermula.

Sebagaimana kitab-kitab fiqh lainnya, kitab Bughyah al-Murtasyidin, secara umum, ditulis dengan sistematika pembahasan sebagaimana berikut:

a)  Khutbah al-Kitab (muqaddimah). Dalam bahagaian ini Sayyid Abdurrahman Ba’alwi menghuraikan tentang bagaimana penulisan kitab ini, isi tulisan dan menukil beberapa pendapat ulama tentang mencari ilmu dan faidah-faidahnya.

b)    Kitab al-Thaharah. Dalam bahagian ini diulas mengenai air, najis, wudlu, cara buang air kecil dan besar, mandi, tayamum dan diakhiri dengan pembahasan haid.

c)    Kitab al-Shalat. Dalam bahagian ini dihuraikan mengenai adzan, kiblat, rukun shalat, sunnah-sunnah shalat, dzikir dan do’a, syarat-syarat shalat, hal-hal yang membatalkan shalat, hal-hal yang makruh dalam shalat, aurat shalat, sujud sahwi, tilawah dan syukur, shalat-shalat sunnah, shalat jama’ah, shalat musafir, shalat orang yang sakit, shalat juma’at, shalat dalam peperangan, shalat ied, shalat gerhana, shalat isitisqa’, hukum bagi orang yang meninggalkan shalat, shalat janazah, ta’ziyah dan ziarah kubur.

d) Kitab al-Zakat. Dalam bahagian ini dihuraikan mengenai syarat harta yang wajib dizakati, harta-harta yang wajib dizakati, zakat fitrah, dan macam -macam shadaqah.

e)  Kitab al-Shaum. Dalam bahagian ini dihuraikan tentang syarat-syarat puasa, puasa-puasa sunnah dan iktikaf.

f)     Kitab al-Hajj. Pada bahagian ini dikaji seputar haji yakni syarat rukun haji, hal- hal yang diharamkan bagi orang yang ihram, hukum memberikan upah di dalam ibaah haji dan wasiyat untuk beribadah haji.

g)     Kitab al-Bai’. Dalam bahagian ini dibahas mengenai riba, salam, rahn, sulh, orang yang muflis dalam usaha, syirkah, wakalah, iqrar,
ariyah, ghasab, syuf’ah, qiradl, masaqah dan mugharasah, ihya al-amwat, ji’alah, wakaf, hibah, luqathah, dan wadi’ah.

h)  Kitab al-Fara’idh. Dalam bahagian ini dikaji tentang sebab-sebab warisan dan bahagian-bahagiannya, dan wasiyat.

i)   Kitab al-Nikah. Pada bahagian ini syarat rukun nikah, kafa’ah, mahar, walimah, nusuz, thalak, ruju’, nafaqah, dan hadhanah

j)       Kitab al-Jinayah. Pada bahagian ini diulas mengenai diyat, had, jihad, janji dan nadzar, persaksian, dan sumpah.

k)  Bagian penutup, yakni ulasan Sayyid Abdurrahman Ba’lawi tentang beberapa faidah yang ada di dalam al-Qur’an, keutamaan sejarah Nabi dan sahabat, keutamaan ahlul bait dan wasilah.

Kitab Bughyah al-Mustarsyidinini telah diterbitkan oleh beberapa syarikat penerbitan dalam satu jilid. Semoga bermanfaat.

****************************

  kitab Bughyatul Mustarsyidin
 

Di sebutkan dlm kitab Bughyatul Mustarsyidin bahwasanya jika melakukan perkara2 dibawah ini ketika buat hajat akan menyebabkan sesuatu yg tdk kita inginkan terhadap diri kita, yaitu sbb ;

1. Meludah keatas kotoran yg dikeluarkan akan menyebabkan org itu suka was-was dan menyebabkan giginya kuning serta akan terkena penyakit yg berhubungan dg darah

2. Bersiwak / sikat gigi sambil buang hajat akan menyebabkan penyakit lupa dan kebutaan

3. Lama duduk ketika buang hajat akan menyebabkan penyakit hati dan wasir

4. Mengeluarkan ingus ketika buang hajat akan menyebabkan ketulian

5. Menggerakkan cincin ketika buang hajat akan menyebabkan syaithon tinggal di dalamnya

6. Berbicara dg pembicaraan yg tdk di perlukan ketika buang hajat akan menyebabkan kemurkaan dari Allah SWT

7. Mematikan kutu rambut saat buang hajat akan menyebabkan syaithon akan tinggal bersamanya selama 40hari melalaikan dari Allah

8. Memejamkan mata saat buang hajat akan menyebabkan kemunafikan

9. Mengeluarkan gigi palsu dan meletakkan kedua tangan di atas kepala ketika itu akan menyebabkan keras hati dan hilangnya rasa malu serta penyakit lepra

10. Bersandar ketika buang hajat akan menyebabkan hilangnya air muka dan dapat membesarkan perut

11. Membuang batu istinja / sejenisnya ke arah kotoran yg di keluarkan, akan menyebabkan org tsb terkena penyakit angin

Semoga bermanfaat !!!

************************
 
  Hukum Merokok ketika Sedang Berpuasa
 
Puasa adalah menahan makan dan minum yang dimulai sejak fajar sampai masuknya waktu adzan maghrib, akan tetapi di kalangan masyarakat kita terdapat beberapa persoalan tentang bagaimana hukumnya orang yang sedang berpuasa tetapi dia menghisap rokok?
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa salah satunya adalah masuknya sesuatu/’ain (seperti air, minuman atau makanan) melalui beberapa lubang yang terdapat di dalam anggota tubuh yang bisa sampai ke lambung. Begitu juga dengan asap dari hisapan rokok, apabila seseorang sedang berpuasa dan dia menghisap rokok, maka hukumnya adalah: Membatalkan puasa, karena asap rokok itu mengandung nikotin dan nikotin tersebut adalah termasuk
kategori ‘ain. Diterangkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin;

(فَائِدَةٌ) لاَ يَضُرُّ وُصُوْلُ الرِّيْحِ بِالشَّمِّ وَكَذَا مِنَ الْفَمِّ كَرَاءِحَةِ الْبُخُوْرِ أَوْ غَيْرِهِ اِلَى
الْجَوْفِ وَاِنْ تَعَمَّدَهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْناً وَخَرَجَ بِهِ ماَ فِيْهِ عَيْنٌ كَرَاءِحَةِ النُتْنِ يَعْنِى
اَلتَّنْباَكُ لَعَنَ اللهُ مِنْ أَحَدِثِهِ لِأَنَّهُ مِنَ اْلبِدْعِ اْلقَبِيْحَةِ فَيَفْطُرُ بِهِ. (بغية المستر
شدين باب شروط الصوم، ص 111)


Tidak membatalkan puasa sampainya angin dengan indra pencium, begitu juga menghirup angin atau asap melalui mulut (tidak membatalkan puasa)  walaupun disengaja, karena bukan merupakan ‘ain (benda), dikecualikan hal yang ada ‘ainnya seperti asap rokok (tembakau) yang dapat  membatalkan puasa karena termasuk katagori memasukkan ‘ain (nekotin) dan juga termasuk bid’ah yang jelek. (Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut as-Shaum, hal. 111) Memang sebelumnya Imam Zayyadi pernah berpendapat bahwa merokok tidaklah membatalkan puasa, karena beliau mengira asap yang dihasilkan dari rokok itu sama saja dengan asap pada umumnya dan tidak termasuk kategori ‘ain, tetapi setelah beliau mengetahui kenyataannya secara pasti bahwa asap yang dihasilkan dari rokok tersebut ada kandungan nikotinnya, maka Imam Zayyadi merevisi pendapatnya yang pertama yaitu: Merokok tidak membatalkan puasa direvisi dengan pendapatnya yang kedua yaitu: Merokok dapat membatalkan puasa. Hal ini diterangkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut al-Shaum. hal.111-112.

(فَائِدَةٌ) لاَ يَضُرُّ وُصُوْلُ الرِّيْحِ بِالشَّمِّ وَكَذَا مِنَ الْفَمِّ كَرَاءِحَةِ الْبُخُوْرِ أَوْ غَيْرِهِ اِلَى
الْجَوْفِ وَاِنْ تَعَمَّدَهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْناً وَخَرَجَ بِهِ ماَ فِيْهِ عَيْنٌ كَرَاءِحَةِ النُتْنِ يَعْنِى
اَلتَّنْباَكُ لَعَنَ اللهُ مِنْ أَحَدِثِهِ لِأَنَّهُ مِنَ اْلبِدْعِ اْلقَبِيْحَةِ فَيَفْطُرُ بِهِ , وَقَدْ أَفْتىَ ز.ي.
بَعْدَ أَنْ أَفْتَى اَوَّلاً بِعَدَمِ اْلفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَرَاهُ اهـ ش.ق. (بغية المستر شدين باب
شروط الصوم  ص 111-112)

Tidak membatalkan puasa sampainya angin dengan indra pencium, begitu juga menghirup angin atau asap melalui mulut (tidak membatalkan puasa)
walaupun disengaja, karena bukan merupakan ‘ain (benda), dikecualikan hal yang ada ‘ainnya seperti asap rokok (tembakau) yang dapat
 membatalkan puasa karena termasuk katagori memasukkan ‘ain (nekotin) dan juga termasuk bid’ah yang jelek. Dan sesungguhnya Imam zayyadi telah memberikan fatwa seperti ini (merokok ternyata membatalkan puasa)
sesudah beliau memberikan fatwa pertama yaitu tidak batalnya pusa karena merokok, sebelum beliau mengetahui kenyataannya secara pasti. (Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut al-Shaum, hal. 111-112)

*******************************
 
Penjelasan Hukum Tembakau dalam Kitab: BUGHYATUL MUSTARSYIDIN


Kitab Bughyah

Sebuah kitab yang merupakan ringkasan Fatwa-fatwa beberapa Imam, Ulama Muta-akhirin serta faidah-faidah penting dari kitab-kitab 6 Ulama Mujtahid. Karangan Sayid Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba ’Alawi (Mufti Hadhramaut)


(Pemasalahan): Tembakau yang dikenal sebagai perbuatan yang keji karena dapat menghilangkan keadaan (kesehatan atau kesadaran) dan harta. Orang yang memakan, menghirup atau mengisapnya bukanlah termasuk orang yang memiliki rasa malu (muru’ah).

Sesungguhnya telah berfatwa para Imam Ahli Shufi seperti Al-Quthub Tuan Abdullah bin Alwi al-Haddad dan al-’Allamah Ahmad al-Hadwan, sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Quthub Ahmad bin Umar bin Sumaith dari kedua Imam tersebut atau selainnya yang serupa pendapatnya. Bahkan tercelanya
diungkapkan lagi oleh al-Habib al-Imam Husain bin Syekh bin Abu Bakar bin Salim yang berkata: ’dikhawatirkan orang yang tidak bertaubat dari menghisap tembakau sebelum matinya akan mati dalam keadaan Su-ul Khatimah, wal ’Iyaadzu billaahi ta’aala’.

Dan telah melengkapi uraian di dalamnya, nukilan al-’Allamah Abdullah Baswedan dalam kitab Faidhul Asraar dan Syarh Khutbah. Dan menyebutkan pula beberapa pengarang kitab mengenai keharamannya, seperti al-Qolyubi dan Ibnu ’Allan, yang meriwayatkan hadits di dalamnya.

Dan berkata al-Hasawi dalam Tatsbitul Fu-ad min Kalaami al-Haddad:
‘Saya berkata: Saya melihat dalam kitab Tafsir al-Muqni’ul Kabiir, bersabda Nabi Saw: “Wahai Abu Hurairah akan datang beberapa kaum di akhir zaman yang mengekalkan menghisap rokok (pohon tembakau ini) dan mereka berkata: kami sekalian termasuk sebagian umat Muhammad SAW, dan  padahal mereka bukanlah termasuk daripada umatku dan aku tidak mengakui mereka sebagai umat, tetapi mereka itu merupakan sebagian umat yang liar. Berkata Abu Hurairah: “Aku bertanya kepada Nabi SAW dari apakah tumbuhnya?”. Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya tembakau itu tumbuh dari kencing iblis*. *Apakah tetap iman di hati seseorang yang menghisap kencing setan? maka di laknat orang yang menanamnya, yang memindahkannya, dan yang menjual belikannya. Telah bersabda nabi SAW Allah akan memasukan mereka kedalam api neraka  Bahwasanya pohon tembakau itu pohon yang keji.”

Dan saya melihat tulisan al-’Allamah Ahmad bin Hasan al-Haddad dalam Tatsbitul Fu-ad, ‘Saya mendengar sebagian Muhibbin (para Awliya Pencinta Allah) berkata: “Dahulu ada orang yang mengisap Tutun  (tembakau) secara sembunyi dan ia termasuk orang yang mengasihi para Ulama keluarga al-Haddad, ketika ia mati aku melihatnya dan aku bertanya: ‘Apa yang Allah perbuat denganmu?’ Mereka berkata: ‘Telah memberikan syafa’at kepadaku seorang Ulama yang terdahulu kecuali masalah tembakau, sesungguhnya tembakau itu menyakitiku’. Dan aku melihat di dalam kuburnya terdapat lubang dan mengeluarkan asap yang menyakitinya’. Dan Muhibbin itu berkata: ‘Sesungguhnya syafa’at Awliya itu terhalang oleh perbuatan mengisap tembakau (merokok). Saya melihat orang-orang yang (dikenal) shalih tetapi ia mengisap tembakau, maka aku melihat sesudah matinya berkata: ‘Sesungguhnya orang yang menghirup tembakau itu mendapatkan separuh dosa peminum (arak), maka hindarilah dari orang yang mengisap tembakau itu’. Dan berkata seorang Wali yang Mukasyafah Asy-Syarif Abdul Aziz ad-Dabbagh:
‘Telah sepakat orang-orang Ahli Dewan para Wali atas keharaman Tutun ini, dst.’

*************************
 
      Habib `Abdur Rahman al-Masyhur, pengarang kitab Bughyatul Mustarsyidin

Seorang penuntut ilmu, istimewa yang mengaji fiqh mazhab Syafi`i, pasti kenal dengan sebuah kitab himpunan fatwa yang dinamakan" *Bughyatul Mustarsyidin*". Kitab ini adalah antara karya al-Habib `Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin `Umar al-Masyhur rahimahumullah ulama yang diberi jolokan sebagai `Allaamah Hadhramaut, Faqih Hadhramaut, Rais Hadhramaut, Abu Tarim dan beragam lain laqab kemuliaan dan penghormatan.Beliau dilahirkan di Kota Tarim pada 29 Sya'ban 1250H.
Ayahanda beliau, Habib Muhammad al-Masyhur adalah seorang `alim yang khumul, manakala bonda beliau adalah Syarifah Syaikhah binti `Abdur Rahman bin `Ali al-Haddad, seorang wanita yang sholehah lagi berilmu tinggi. Dalam keluarga yang penuh keshalihan dan ilmu inilah al-Habib `Abdur Rahman dibesarkan. Selain kepada kedua orang tuanya, beliau menuntut ilmu dengan para ulama lain di Tarim, antaranya dengan al-Habib `Umar bin Hasan al-Haddad, Habib Muhammad bin Ibrahim BilFaqih, Habib Muhsin bin `Alwi as-Saqqaf, Syaikh Muhammad bin `Abdullah BaSaudan dan
Habib `Abdullah bin Husain bin Thahirrahimahumullah. Di tangan Habib`Umar bin Hasan al-Haddad, sempat beliau mengaji kitab-kitab sebesar _Minhaj Imam an-Nawawi, Tuhfah Imam Ibnu Hajar dan _Shahih Imam al-Bukhari.  Beliau turut mendalami pengajian tasawwufnya dengan Habib Hasan bin Shaleh al-Bahr, Habib Abu Bakar bin `Abdullah al-Aththas dan Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdhar rahimahumullah.

Habib `Abdur Rahman termasuk penuntut yang tinggi kesungguhan dalam mencari pengetahuan. Selama di Tarim, beliau mengikuti 12 mata pelajaran daripada guru-gurunya dengan berpandukan 12 syarah kitab dan 7 hasyiahnya. Sering juga beliau berulang alik ke Seiwun dengan berjalan kaki semata-mata untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru-gurunya di sana. Tidak hanya Tarim dan Seiwun, Habib `Abdur Rahman telah menjelajah berbagai pelosok Hadhramaut dan al-Haramain demi mencari ilmu sehingga beliau menjadi seorang yang benar-benar alim dalam berbagai cabang ilmu seperti tawhid, fiqh, tasawwuf, hadits, tafsir, falak dan ilmu-ilmu alat, sekalipun usia beliau masih tergolong muda belia.

Ketika guru beliau, Habib Ahmad bin `Ali al-Junaid, wafat, beliau dilantik untuk menggantikan posisi gurunya. Pengajian-pengajiannya dilaksanakan di berbagai tempat di Tarim. Di kediamannya sendiri turut diadakan majlis-majlis taklim umum dan khusus. Juga beliau diamanahkan untuk menjadi mudir pertama bagi Rubath Tarim yang masyhur itu. Beliau menghabiskan sebahagian besar waktunya untuk berkhidmat kepada umat.
Kalau tidak berdakwah dan mengajar, beliau sentiasa menyibukkan dirinya dengan menulis, merumuskan fatwa atau mentelaah segala kitab. Beliau juga menulis jadwal shalat untuk kegunaan masyarakat.

Ibadah beliau juga luar biasa. Sejak kecil lagi beliau sudah bangun malam untuk beribadah kepada Yang Maha Esa. Amalan -amalan sunnat, baik berupa shalat maupun puasa, sentiasa menjadi wiridnya selain bacaan al-Quran, zikir dan shalawat. Shalat fardhunya sentiasa berjemaah, bahkan beliau telah menjalankan tugas menjadi imam di Masjid Syaikh `Ali bin Abu Bakar as-Sakran selama 40 tahun. Di masjid tersebut jualah tempat beliau sering beruzlah dan berkhalwat untuk beberapa waktu. Kitab *Bughyatul Mustarsyidin* itu ditulisnya ketika sedang menjalani khalwat di masjid tersebut. Selain Bughyah, beliau mempunyai beberapa karya lain, antaranya, Ikhtisar Fatawi Ibnu Ziyad dan  Syamsudz Dzahirah*.

Habib `Abdur Rahman al-Masyhur juga berjaya mencetak murid-murid yang menjadi ulama besar seperti Habib Muhammad bin Hadi as-Saqqaf, Habib Muhammad bin Hasan `Aidid, Habib `Abdullah bin `Alwi al-Habsyi, Habib `Abdullah bin `Umar asy-Syathiri, Habib `Abdul Bari bin Syaikh al-`Adyrus, Habib Ahmad bin `Abdur Rahman as-Saqqaf, Habib `Alwi bin `Abdullah bin Syihab, Habib `Ali bin `Abdur Rahman al-Masyhur dan Habib `Alwi bin Abdur Rahman al-Masyhur.

Habib `Abdur Rahman al-Masyhur tutup usia pada hari Jumaat, 15 Shafar 1320H dan dimakamkan pada kesokan harinya. Beliau dimakamkan di permakaman Zanbal setelah shalat jenazahnya diimamkan oleh anakanda beliau, Habib `Ali bin `Abdur Rahman al-Masyhur. Semoga beliau dirahmati sentiasa oleh Yang Maha Esa dan diberi sebaik-baik balasan di sana
....aaamiiin....al-Fatihah.
***********************************
 
Aspek Sosial, (03) Menikahi Wanita Hamil Akibat Perzinaan
 
Deskripsi Masalah :

Seorang laki-laki (A) sebelum menikah dengan seorang perempuan (B) sudah mengadakan hubungan seks lebih dahulu, setelah (B) hamil, baru dilaksanakan pernikahan. Kemudian (B) melahirkan seorang anak perempuan (C), setelah dewasa (C) dikawinkan dengan seorang pemuda (D) sedangkan yang menjadi walinya adalah (A) dan dari perkawinan (C) + (D) itu lahir seorang anak (E).

Pertanyaan :

a)   Apakah perkawinan (C) + (D) sah?

b)   Apakah (E) menjadi anak yang sah bagi (D)?

c)   Apakah (C) menjadi anak yang sah bagi (A)?

Jawaban :

Dalam masalah ini, yang harus dilihat adalah kondisi sebagai berikut:

a).Jika jelas (C) itu berasal dari sperma perzinaan (A) + (B), maka perkawinan (C) dan (D) tidak sah dengan wali (A)

b).Akan tetapi jika tidak berasal dari perzinaan mereka maka yang harus dilihat lagi adalah hal-hal sbb:

i).jika (C) lahir sesudah enam bulan lebih dihitung sejak akad nikah, dengan kemungkinan adanya persetubuhan antara (A) + (B), maka pernikahan (C) + (D), hukumnya sah,

ii).atau tidak diketahui kapan (C) lahir,

iii).atau tidak diketahui adanya kemungkinan persetubuhan antara (A) + (B),

maka menurut qoul yang rajih (pendapat yang kuat) pernikahan (C) + (D) juga sah, sepanjang (C) tidak dinafikan oleh (A) lewat li’an (artinya (C) tetap diakui oleh (A) sebagai anaknya.

Keterangan dari kitab:

a).Kifayatul Akhyar:

*َوْنَكَحَ شَخْصٌ اِمْرَأَةً حَامِلاً مِنَ الزِّنَا صَحَّ نِكَاحُهُ بِلاَخِلاَفٍ

Artinya: Jika seorang laki-laki menikah dengan wanita hamil hasil perzinaan, maka status pernikahannya sah tanpa diperselisihkan

b).Bughyah al-Mustarsyidin:

(مسئلة ي ش) يَجُوْزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءٌ الزَّنِي وَغَيْرُهُ وَوَطْئُهَا حِيْنَئِذٍ مَعَ
الْكَرَهَةِ

Artinya: Hukum pernikahan wanita hamil hasil perzinaan itu adalah boleh, baik dengan laki-laki yang menzinainya maupun tidak, dan pada masa hamil ini, hukum melakukan hubungan seksual adalah makruh

c).Bujairomi Iqna’:

تَنْبِيْهٌ : عُلِمَ مِنْ كَلاَمِ اْلمُصَنِّفِ أنَّ اْلبِنْتَ اْلمَخْلُوْقَةَ مِنْ مَاءِ زِنَاهُ سَوَاءٌ تَحَقَّقَ انَّهَا
مِنْ مَائِهِ اَمْ لاَ تَحِلُّ لَهُ لأَنَّهَا أَجْنَبِيَةً اِذْ لاَ حُرُمَةَ لِمَاءِ الزِّنَا كَمَا قَالَ اْلمُخَالِفُ
وَهُوَ اَبُوْ حَنِيْفَةَ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ إِنَّ اْلبِنْتَ اْلمَخْلُوْقَة مِنْ مَاءِ زِنَاهُ لاَ تَحِلّ لَهُ وَمَعَ ذَلِكَ
قَالَ لاَ تَرِثُهُ فَقَوْلُهَا لاَ تَحِلُّ لَهُ فِيْهِ اِثْبَاتُ اْلمَحْرَمِيَةِ لَهَا.

Artinya: Tanbih: dari pembicaraan mushanif diketahui bahwa status kenasaban wanita yang dilahirkan dari hasih hubungan perzinaan dengan laki-laki yang menikahi ibunya itu adalah ajnabiyyah, baik spermanya benar-benar berasal dari laki-laki yang menghamili ibunya maupun tidak, sebab hinanya sperma perzinaan, sebagaimana pandangan imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa anak wanita yang dihasilkan dari hubungan seks bebas itu tidak layak untuk diintisabkan nasabnya kepadanya, begitu juga masalah waris-mewaris. Karenanyalah tidak layak baginya penetapan status kemahraman padanya.

d).Ghoyatu Talkhishil Murad:

مَسْأَلَةٌ : نَكَحَ حَامِلاً مِنَ الزِّنَا فَاتَتْ بِوَلَدٍ لِزَمَنِ اِمْكَانِهِ مِنْهُ فَإِنْ وَلَدَتْ لِشِتَّةِ اَشْهُرٍ
وَلَحْظَتَيْنِ مِنْ عَقْدِهِ وَاِمْكَانِهِ وَطْئِهِ مِنْهُ لحِقة وَكَذَا إِنْ جَهِلَتْ المُدَّةُ وَلَمْ يُدْرِ هَلْ
وَلَدَتْهُ لِمُدَّةٍ الاِمْكَانِ اَوْ لِدُوْنِهَا

Artinya: Seorang laki-laki yang menikah dengan wanita hamil hasil hubungan seks bebas itu, status anak yang dilahirkannya harus menunggu masa yang memungkinkannya wanita tersebut hamil, yaitu: masa 6 bulan dan masa minimal nifas terhitung dari pasca terjadinya proses akad pernikahan, dan kemungkinan dilakukannya hubungan seksual pasca akand pernikahan. Begitu juga kasus tidak diketahuinya secara jelas tentang masa kehamilannya dalam hal apakah memenuhi masa 6 bulan pasca akad nikah ataupun kurang dari 6 bulan.
************************
بغية المسترشدين

في

تلخيص فتاوى بعض الأئمة من العلماء المتأخرين

مع ضم فوائد جمة من كتب شتى

للعلماء المجتهدين

جمع

السيد عبد الرحمن بن محمد بن حسين بن عمر

المشهور با علوي مفتى الديار

الحضرمية رحمه الله

ونفع بعلومه

آمين

{من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين}

[حديث شريف]

بسم الله الرحمن الرحيم

     الحمد لله رب العالمين، نحمده بجميع المحامد كلها عدّ الكلم، على جميع نعمه كلها ما علم منها وما لم يعلم، ونشكره سبحانه وتعالى على أياديه وإحسانه ما خص منهما وعم، والصلاة والسلام على سيدنا وحبيبنا وشفيعنا محمد المخصوص بأكمل الكمالات والشفاعة العظمى من الإله الأكرم، وعلى آله وأصحابه وحملة شريعته وتابعيهم على المنهج الأقوم، عدد أنفاس وخطرات الموجودات ما جرى قلم.

     أما بعد: فقد منَّ الله وله الفضل دائماً على عبده الفقير "الشريف الحضرمي" باختصار فتاوى سادتي العلماء الأجلاء الفحول، المعوّل على كلامهم والمرجوع لقولهم في المعقول والمنقول، وهم: الإمام العلامة النحرير عديم المشاكل والنظير: عبد الله بن الحسين بن عبد الله بافقيه، والسيد العلامة ذو اليقين والعزم وكثرة الاطلاع وجودة الفهم: عبد الله بن عمر بن أبي بكر بن يحيى، والشريف العلامة ذو الفهم الثاقب والرأي الصائب: علوي بن سقاف بن محمد الجعفري العلويون الحضرميون، والشيخ العلامة البحر الخضمّ: محمد بن أبي بكر الأشخر اليمني، والشيخ العلامة المحقق: محمد بن سليمان الكردي المدني.

     فلخصت حاصل كل سؤال وجواب بأوجز عبارة، على حسب علمي وركة فهمي، مع حذف التكرير، ورددت كل مسألة في غير محلها إلى مظنتها من تقديم أو تأخير، وأردت الآن جمع الكل في هذا السفر، إغناء للطالب عن كثرة المراجعة والفكر، وجعلت لكل واحد من الخمسة المذكورين علامة صدّرت بها السؤال، فخذها مرتبة كترتيبهم في المقال: فللأوّل ب، والثاني ي، والثالث ج، والرابع ش، والخامس ك. وإذا اتفق في المسألة إثنان فأكثر رمزت للكل، فإن زاد واحد أو خالف ذكرت ذلك فقلت: زاد فلان كذا، أو خالف كذلك، وحيث كان في المسألة قيد أو خلاف ونحوه ولم ينبه عليه صاحب الفتاوى كتبت آخرها، اهـ، ثم ذكرت الزيادة المذكورة قائلاً في أوّلها: قلت: ليعلم الأصل من المزيد. وزدت على هؤلاء الفتاويات فوائد معزوّة لقائليها ملخصة عزيزة الوجود مهمة، استفدتها قبل من أفواه المشايخ وكتب الأئمة، وميزتها عن تلك الفتاوى بتصديرها "بفائدة" وسنح في خاطري أيضاً أن ألخص بعض المسائل التي سئلت عنها ولم تكن في تلك الفتاويات، وأضيفها إليها مهملة عن الرمز، ليعرف الغثّ من السمين، ويردها إلى الصواب من رأى بها نقصاً من تحريف أو مين، وجعلت جميع ذلك بعبارات قريبة ظاهرة خوف التطويل المملّ والتعقيد المخلّ، حسبما يلقيه العليم الحكيم بجناني، ويجريه على لساني وبناني.

     واعلم أني بعد أن منّ الله تعالى عليّ بإكمال هذا المجموع وانتشاره في البلاد، حصلت لي سؤالات وفوائد أخر علقتها في الهامش ثم خفت ضياعها، فعزمت مستعيناً بمولاي على أن أضعها في مظانها خلال هذا التأليف فأثبتها كذلك، وتصرفت في بعض عبارات الأصل بزيادة وحذف وتقديم وتأخير إتماماً للفائدة، فزاد بما ذكر نحو الربع فكان من حقه أن يسمى: (تكملة بغية المسترشدين) ومن الله الكريم أسأل المعونة والتسديد، وصلاح النية والهداية لأرشد الطريق السديد.

     ومن وقف عليه وتحقق فيه زلة أو مخالفة لكلام من نقلت عنه أن يصلحه حالاً من غير توان، وله الأجر من الكريم المنان. اللهم وفقنا لإصابة الصواب، وجنبنا الزيغ والارتياب، وانفعنا والمسلمين بما حواه هذا الكتاب آمين.

مقدمة في فوائد تتعلق بخطب الكتب، وفي فضيلة العلم،

وفي الاجتهاد والإفتاء والتقليد

     [فائدة]: أتى لفظ الرب لمعان نظمها بعضهم فقال:

قريب محيط مالك ومدبر >< مرب كثير الخير والمول للنعم

وخالقنا المعبود جابر كسرنا >< ومصلحنا والصاحب الثابت القدم

وجامعنا والسيد احفظ فهذه >< معان أتت للرب فادع لمن نظم

اهـ من حاشية الشيخ إبراهيم الباجوري على شرح ابن قاسم. فائدة]: قال سم: إذا صرف العبد جميع ما أنعم الله به عليه في آن واحد لما خلق به سمي شكوراً وإن صرفها في أوقات مختلفة يسمى شاكراً. قال ع ش: ويمكن صرفها في آن واحد بحمله جنازة متفكراً في مصنوعاته سبحانه وتعالى اهـ.

     [فائدة]: قال بعضهم الفضائل سبع: الصدق، والحياء، والتواضع، والسخاء، والوفاء، والعلم، وأداء الأمانة اهـ حاشية الشيخ سليمان الجمل على شرح المنهج. واعلم أن لهم شريعة وهي: أن تعبده تعالى، فعبادة الله تعالى شريعة عندهم؛ لأنها المقصودة منها، وإن كانت الشريعة عند الفقهاء ما شرعه الله تعالى من الأحكام، وطريقة وهي: أن تقصدهم بالعلم والعمل، وحقيقة وهي نتيجتهما، وهي أن تشهد بنور أودعه الله في سويداء القلب أي وسطه، أن كل باطن له ظاهر وعكسه كخرق الخضر للسفينة، وإن كان منكراً ظاهراً فهو جائز في الباطن؛ لأنه سبب لنجاة السفينة من الملك، والأولى أن تعرف الحقيقة بعلم بواطن الأمور، كعلم الخضر بأن ما فعله مع موسى عليهما السلام من خرق السفينة وغيرها فيه مصلحة، وإن كان ظاهره مفسدة في البعض، والشريعة ظاهر الحقيقة، والحقيقة باطنها، وهما متلازمان معنىً كما سبق. ومثلت الثلاثة بالجوزة، فالشريعة كالقشر الظاهر، والطريقة كاللب الخفي، والحقيقة كالدهن الذي في باطن اللب، ولا يتوصل إلى اللب إلا بخرق القشر، ولا إلى الدهن إلا بدق اللب اهـ من حاشية البجيرمي على الإقناع.

     [فائدة]: قال بعض الفضلاء: صلاة الآدميين عليه صلوات الله وسلامه عليه أفضل من صلاة الملائكة، إذ طاعة البشر أفضل من طاعة الملائكة، لأن الله كلفهم مع وجود صوارف، ومحل كراهة إفراد الصلاة عن السلام، وعكسه في غير ما ورد في الإفراد وفي حقنا ولغير داخل الحجرة الشريفة، قال ابن حجر: ولفظاً لا خطاً فلا يكره الإفراد فيه اهـ حاشية المدابغي. وقوله : "من صلّى عليّ في كتاب الخ" أي: كتب الصلاة وإن لم يتلفظ بذلك، لأنه تسبب في صلاة كل من قرأ ذلك المكتوب، نعم التلفظ بها أكمل، ولم يرسل إلى الجنّ غير نبينا عليه الصلاة والسلام، وأما سليمان عليه السلام فكان حكماً فيهم اهـ تكملة فتح المعين للشيخ عبد الله باسودان.

     [فائدة]: قال بعض الشيوخ: وقد منّ الله عليّ باستخراج عدد الأنبياء من اسم محمد وهم مائة ألف وأربعة وعشرون ألفاً كعدة أصحابه الذين توفى عنهم، ولم يكن فيهم أصم في حياة النبي كرامة له، وطريق الاستخراج أن تضرب عدد حروفه بالجمل الصغير، وهو جعل جميع الحروف آحاداً فهي حينئذ عشرون: الميمات بثمانية، والحاء كذلك، والدال بأربعة في مثلها تبلغ أربعمائة، ثم تضربها في كل عقود الرسل وهي ثلاثمائة وعشرة وتحذف الآحاد تخرج مائة ألف وأربعة وعشرون ألفاً، اهـ حاشية البجيرمي على الإقناع، ثم قال:

     واعلم: أنه يجب الإيمان بالأنبياء إجمالاً فيما لم يرد فيه التفصيل، وتفصيلاً فيما ورد فيه ذلك، كالذين ورد ذكرهم في القرآن وهم خمسة وعشرون مجموعون في قول القائل:

ختم على كل ذي التكليف معرفة  >< بأنبياء على التفصيل قد علموا

في تلك حجتنا منهم ثمانية >< من بعد عشر ويبقى سبعة وهم

إدريس هود شعيب صالح وكذا >< ذو الكفل آدم بالمختار قد ختموا  اهـ.

     [فائدة]: هذه الأبيات في نسب المصطفى عليه أكمل الصلاة والسلام، من حملها أو قالها أو كانت عنده أمن من كل مكروه، وحفظ في نفسه وماله وأهله وذريته، كما قاله ابن الجوزي وهي:

محمد عبد الله شيبة هاشم >< مناف قصيّ مع كلاب ومرة

وكعب لؤي غالب فهر مالك >< ونضر كنانة وهو ابن خزيمة

ومدركة وإلياس مع مضر تلا >< نزار معدّ ثم عدنان صحة  اهـ.

     [فائدة]: قال ابن حجر في الإيعاب: وهو أي الصحابي على الأصح من اجتمع بالنبي مؤمناً ومات كذلك ولو لحظة، فدخل الأعمى وغير المميز، ومن اجتمع به وآمن من الجنّ لأنه بعث إليهم، وخرج الملائكة ومن رآه بعد موته أو قبل البعثة أو في السماء إلا عيسى عليه السلام اهـ.

فضيلة العلم تعلماً وتعليما

     قال بعضهم: إذا جمع المتعلم العقل والأدب وحسن الفهم، والمعلم الصبر والتواضع وحسن الخلق، فقد تمت النعم عليهما، وأنشد آخر فقال:

أخي لن تنال العلم إلا بستة >< سأنبيك عن تفصيلها ببيان

ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة >< وإرشاد أستاذ وطول زمان. اهـ باجوري.

     [فائدة]: قال الحسن البصري رحمه الله: صرير قلم العالم تسبيح، وكتابه العلم، والنظر فيه عبادة، ومداده كدم الشهيد، وإذا قام من قبره نظر إليه أهل الجمع، ويحشر مع الأنبياء، وقال عليه الصلاة والسلام: "من اتكأ على يده عالم كتب الله له بكل خطوة عتق رقبة، ومن قبَّل رأس عالم كتب الله له بكل شعرة حسنة"، وتدارس العلم ساعة من الليل أفضل من إحيائه بغيره، ومدارسته أفضل من الذكر وقوله : " حتى الحيتان في الماء" إنما خصها بالذكر لكونها لا لسان لها. اهـ بجيرمي. وقال أبو الليث: من جلس عند عالم ولم يقدر على حفظ شيء من العلم نال سبع كرامات: فضل المتعلمين، وحبسه عن الذنوب، ونزول الرحمة عليه حال خروجه من بيته، وإذا نزلت الرحمة على أهل الحلقة حصل له نصيبه، ويكتب له طاعة ما دام مستمعاً، وإذا ضاق قلبه لعدم الفهم صار غمه وسيلة إلى حضرة الله تعالى لقوله: "أنا عند المنكسرة قلوبهم من أجلي" أي جابرهم وناصرهم، ويروى: عز العالم وذل الفاسق، فيرد قلبه عن الفسق ويميل طبعه إلى العلم. وقال أيضاً: من جلس مع ثمانية أصناف زاده الله ثمانية أشياء: من جلس مع الأغنياء زاده الله حب الدنيا والرغبة فيها، ومن جلس مع الفقراء حصل له الشكر والرضا بقسمة الله تعالى، ومن جلس مع السلطان زاده الله القسوة والكبر، ومن جلس مع النساء زاده الله الجهل والشهوة، ومن جلس مع الصبيان ازداد من اللهو، ومن جلس مع الفساق ازداد من الجراءة على الذنوب وتسويف التوبة أي تأخيرها، ومن جلس مع الصالحين ازداد رغبة في الطاعات، ومن جلس مع العلماء ازداد من العلم والعمل، اهـ بجيرمي على الإقناع. وقال الإمام الشافعي رضي الله عنه: من تعلم القرآن عظمت قيمته، ومن تعلم الفقه نبل قدره، ومن كتب الحديث قويت حجته، ومن تعلم الحساب جزل رأيه، ومن تعلم العربية رق طبعه، ومن لم يصن نفسه لم ينفعه علمه، اهـ من النجم الوهاج. قال الإمام الغزالي: أربع لا يعرف قدرها إلا أربعة: لا يعرف قدر الحياة إلا الموتى، ولا قدر الصحة إلا أهل السقم، ولا قدر الشباب إلا أهل الهرم، ولا قدر الغنى إلا أهل الفقر اهـ

     [فائدة]: حقيقة الفقه ما وقع في القلب وظهر على اللسان، فأفاد العلم وأورث الخشية، ولهذا قال النووي: إنما لم يظهر على العلماء كرامات كالعباد مع أنهم أفضل منهم لما يدخل عليهم من الرياء.

     (مسألة: ك): قال رجل لأبي هريرة رضي الله عنه: إني أريد أن أتعلم العلم وأخاف أن أضيعه، فقال: كفى بتركك للعلم إضاعة. وقال الإمام: من مكايد الشيطان ترك العمل خوفاً من أن يقول الناس إنه مراء، لأن تطهير العمل من نزغات الشيطان بالكلية متعذر، فلو وقفنا العبادة على الكمال لتعذر الاشتغال بشيء من العبادات، وذلك يوجب البطالة التي هي أقصى غرض الشيطان.

     (مسألة: ش): من آداب حامل القرآن فضلاً عن العالم أن يكون شريف النفس، مرتفعاً عن الجبابرة والجفاة من أبناء الدنيا، وقال الفقيه الجرجاني:

ولم أبتذل في خدمة العلم مهجتي >< لأخدم من لاقيت لكن لأخدما

أأشقى به غرساً وأجنيه ذلة >< إذاً فاتباع الجهل قد كان أحزما

ولو أن أهل العلم صانوه صانهم >< ولو عظموه في الصدور لعظما

ولكن أهانوه فهانوا ودنسوا >< محياه بالأطماع حتى تجهما

     وفي البخاري: لا ينبغي لأحد عنده شيء من العلم أن يضع نفسه. وورد: "من أكرم عالماً فقد أكرم الله ورسوله". فخدمة أهل الفضل من أعظم القرب، ومن تعظيم شعائر الله تعالى وحرماته إجماعاً.

      (مسألة: ي): لا يحل لعالم أن يذكر مسألة لمن يعلم أنه يقع بمعرفتها في تساهل في الدين ووقوع في مفسدة، إذ العلم إما نافع: كالواجبات العينية يجب ذكره لكل أحد، أو ضار: كالحيل المسقطة للزكاة، وكل ما يوافق الهوى ويجلب حطام الدنيا، لا يجوز ذكره لمن يعلم أنه يعمل به، أو يعلمه من يعمل به، أو فيه ضرر ونفع، فإن ترجحت منافعه ذكره وإلا فلا، ويجب على العلماء والحكام تعليم الجهال ما لا بد منه مما يصح به الإسلام من العقائد، وتصح به الصلاة والصوم من الأحكام الظاهرة، وكذا الزكاة والحج حيث وجب.

     (مسألة: ب): الفرق بين الشك والوسوسة أن الشك هو التردد في الوقوع وعدمه، وهو اعتقاد أن يتقاوم تساويهما، لا مزية لأحدهما على الآخر، فإن جح أحدهما لرجحان المحكوم به على نقيضه فهو الظن وضده الوهم. أما الوسوسة فهي: حديث النفس والشيطان لا تنبني على أصل، بخلاف الشك فينبني عليه، كأخبار من لا يقبل، وتأخير الصلاة تأخيراً مفرطاً، وكثياب من عادته مباشرة النجاسة، وكالصلاة خلف من عادته التساهل، فالاحتياط مطلوب، فإن لم يكن شيء من ذلك فهي الوسوسة التي هي من البدع كأن يتوهم النجاسة، فالاحتياط حينئذ ترك الاحتياط.

     [فائدة]: المشابهة: اتفاق الشيئين في الكيفية. المساواة: اتفاقهما كمية. المشاكلة: اتفاقهما نوعية. المماثلة: اتفاقهما خاصية. الموازنة: اجتماع الأربعة. الحفظ: حصول الصورة في العقل واستحكامها بحيث لو زالت لتمكنت القوة من استرجاعها. التذكر: محاولة استرجاع تلك الصورة إذا زالت. الذكر: رجوعها بعد المحاولة. المعرفة: إدراك الجزئيات كالعلم: إدراك الكليات. الفهم: تصوّر الشيء من لفظ المخاطب. الإفهام: إيصال معنى اللفظ إلى فهم السامع. الفقه: العلم بغرض المخاطب في خطابه. العقل: العلم بصفات الأشياء حسنها وقبيحها وكمالها ونقصانها. الدراية: المعرفة الحاصلة بطرف من التخيل. الجهل: معرفة الأشياء لا بحقائقها. اليقين: اعتقاد أن الأمر كذا وامتناع خلافه. الذهن: قوّة النفس عى اكتساب العلوم الغير الحاصلة. الفكر: انتقال الروح من التصديقات الحاضرة إلى المحضرة. الحدس: وجدان شيء متوسط بين طرفي المجهول لتصير النسبة بالمجهول معلومة. لذكاء: شدة هذا الحدس وكماله. الخاطر: حركة النفس نحو تحصيل الدليل. الوهم: اعتقاد المرجوح. الظن: اعتقاد الراجح. البديهة: المعرفة الحاصلة ابتداء في النفس بسبب الفكر، اهـ من خط الشيخ محمد باسودان

     [فائدة]: ذكر الإمام الشعراني في الطبقات عن أبي المواهب الشاذلي قال: إثبات المسألة بدليلها تحقيق، وإثباتها بدليل آخر تدقيق، والتعبير عنها بفائق العبارة ترقيق، ومراعاة علم المعاني والبيان في تركيبها تنميق، والسلامة من اعتراض الشارع فيها توفيق، اللهم ارزقنا التوفيق، اهـ من خط بعضهم.

 

الاجتهاد والإفتاء والتقليد

     [فائدة]: قال الإمام الشعراني في زبد العلوم والميزان: وأما أصول الفقه فترجع إلى مراتب الأوامر والنواهي التي جاءت في الكتاب والسنة، وإلى معرفة ما أجمع عليه الأئمة، وما قاسوه، وما ولدوه بالاجتهاد من طريق الاستنباط، ويجمع كل من الأوامر والنواهي مرتبتين تخفيفاً وتشديداً، فمن وجد في نفسه ضعفاً أخذ بالتخفيف، أو قوة فبالأشد. وجميع أحاديث الشريعة وما بني عليها من أقوال المجتهدين إلى يوم الدين لا يخرج عن هذا، فما ثم حكم يناقض حكماً أبداً ولا يصادمه، وهذا أطلعني الله تعالى عليه، لم يظفر به أحد من المجتهدين، فمن تحقق به لم ير في الشريعة وفي أقوال العلماء خلافاً قط، ومن تحقق بما تحقق به أهل الله تعالى من الكشف والتحقيق شهد جميع ما ولده المجتهدون، مأخوذاً من شعاع الشريعة ولم يخطىء أحداً منهم اهـ.

     [فائدة]: إذا أطلق الاجتهاد فالمراد به المطلق، وهو في الأصل بذل المجهود في طلب المقصود، ويرادفه التحري والتوخي، ثم استعمل استنباط الأحكام من الكتاب والسنة، وقد انقطع من نحو الثلاثمائة، وادّعى السيوطي بقاءه إلى آخر الزمان مستدلاً بحديث: "يبعث الله على رأس كل مائة من يجدد" الخ، وردّ بأن المراد بمن يجدد أمر الدين: من يقرر الشرائع والأحكام لا المجتهد المطلق، وخرج به مجتهد المذهب وهو: من يستنبط الأحكام من قواعد إمامه كالمزني، ومجتهد الفتوى وهو: من يقدر على الترجيح في الأقوال كالشيخين لا كابن حجر و (م ر)، فلم يبلغا رتبة الترجيح بل مقلدان فقط، وقال بعضهم: بل لهما الترجيح في بعض المسائل، بل وللشبراملسي أيضاً، اهـ باجوري.

     [فائدة]: قال في فتاوى ابن حجر: ليس لمن قرأ كتاباً أو كتباً ولم يتأهل للافتاء أن يفتي إلا فيما علم من مذهبه علماً جازماً، كوجوب النية في الوضوء ونقضه بمس الذكر، نعم إن نقل له الحكم عن مفت أخر أو عن كتاب موثوق به جاز، وهو ناقل لا مفت، وليس له الإفتاء فيما لم يجده مسطوراً، وإن وجد له نظيراً، وحينئذ المتبحر في الفقه هو من أحاط بأصول إمامه في كل باب، وهي مرتبة أصحاب الوجوه، وقد انقطعت من نحو أربعمائة سنة اهـ.

     (مسألة: ك): شخص طلب العلم، وأكثر من مطالعة الكتب المؤلفة من التفسير والحديث والفقه، وكان ذا فهم وذكاء، فتحكم في رأيه أن جملة هذه الأمة ضلوا وأضلوا عن أصل الدين وطريق سيد المرسلين ، فرفض جميع مؤلفات أهل العلم، ولم يلتزم مذهباً، بل عدل إلى الاجتهاد، وادّعى الاستنباط من الكتاب والسنة بزعمه، وليس فيه شروط الاجتهاد المعتبرة عند أهل العلم، ومع ذلك يلزم الأمة الأخذ بقوله ويوجب متابعته، فهذا الشخص المذكور المدَّعي الاجتهاد يجب عليه الرجوع إلى الحق ورفض الدعاوى الباطلة، وإذ طرح مؤلفات أهل الشرع فليت شعري بماذا يتمسك؟ فإنه لم يدرك النبي عليه الصلاة والسلام، ولا أحداً من أصحابه رضوان الله عليهم، فإن كان عنده شيء من العلم فهو من مؤلفات أهل الشرع، وحيث كانت على ضلالة فمن أين وقع على الهدى؟ فليبينه لنا فإن كتب الأئمة الأربعة رضوان الله عليهم ومقلديهم جلّ مأخذها من الكتاب والسنة، وكيف أخذ هو ما يخالفها؟ ودعواه الاجتهاد اليوم في غاية البعد كيف؟ وقد قال الشيخان وسبقهما الفخر الرازي: الناس اليوم كالمجمعين على أنه لا مجتهد، ونقل ابن حجر عن بعض الأصوليين: أنه لم يوجد بعد عصر الشافعي مجتهد أي: مستقل، وهذا الإمام السيوطي مع سعة اطلاعه وباعه في العلوم وتفننه بما لم يسبق إليه ادعى الاجتهاد النسبي لا الاستقلالي، فلم يسلم له وقد نافت مؤلفاته على الخمسمائة، وأما حمل الناس على مذهبه فغير جائز، وإن فرض أنه مجتهد مستقل ككل مجتهد.

     (مسألة: ي ش): يحرم على المفتي التساهل في الفتيا وسؤال من عرف بذلك، إما لعدم التثبت والمسارعة في الجواب، أو لغرض فاسد كتتبع الحيل ولو مكروهة، والتمسك بالشبه للترخيص على من يرجو نفعه والتعسير على ضده، نعم إن طلب حيلة لا شبهة فيها ولا تجرّ إلى مفسدة، بل ليتخلص بها السائل عن نحو اليمين في نحو الطلاق فلا بأس بل ربما تندب.

     (مسألة ش): تجب، على مفت، إجابة مستفت في واقعة يترتب عليها الإثم بسبب الترك أو الفعل، وذلك في الواجب أو المحرم على التراخي إن لم يأت وقت الحاجة وإلا فعلى الفور، فإن لم يترتب عليها ذلك فسنة مؤكدة، بل إن كان على سبيل مذاكرة العلم التي هي من أسباب إحيائه ففرض كفاية، ولا ينبغي الجواب بلا أدري إلا إن كان صادقاً، أو ترتب على الجواب محذور كإثارة فتنة، وأما الحديث الوارد في كتم العلم فمحمول على علم واجب تعليمه ولم يمنع منه عذر كخوف على معصوم، وذلك كمن يسأل عن الإسلام والصلاة والحلال والحرام، ولو كان العالم بالغاً درجة الفتوى في مذهبه وعلم أمراً فأفتى به بحكم ولم يمتثل أمره، فله الحمل عليه قهراً بنفسه أو بغيره، إذ تجب طاعة المفتي فيما أفتى به.ونقل السمهودي عن الشافعي ومالك أن للعالم وإن لم يكن قاضياً أن يعزر بالضرب والحبس وغيرهما من رأى استحقاقه إذ يجب امتثال أمره.

     (مسألة: ي): اعلم أن العبارات الواردة في مسألة واحدة التي ظاهرها التنافي والتخالف إذا أمكن الجمع بينها من غير تعسف وجب المصير إليه ويكون الأمر من المتفق عليه، وأن إطلاقات الأئمة إذا تناولت شيئاً وصرح بعضهم بخلافه فالمعتمد الأخذ بإطلاقهم، كما نص عليه في التحفة والنهاية.

     (مسألة: ش): المذهب القديم ليس مذهباً للشافعي، لأن المقلد مع المجتهد كالمجتهد مع الرسول عليه السلام، فكما أن الحادث من أدلة الشرع ناسخ للمتقدم منها إجماعاً حتى يجب على المجتهد الأخذ به، كذلك المقلد مع المجتهد، وأما المسائل التي عدوها وجعلوها مما يفتى به على القديم، فسببها أن جماعة من المجتهدين في مذهبه لاح لهم في بعض المسائل أن القديم أظهر دليلاً فأفتوا به، غير ناسبي ذلك إلى الشافعي كالقول المخرَّج، فمن بلغ رتبة الترجيح ولاح له الدليل أفتى بها، وإلا فلا وجه لعلمه، وفتواه على أن المسائل التي عدُّوها أكثرها فيه قول جديد، فتكون الفتوى به وهي ثمانية عشر مسألة: عدم وجوب التباعد عن النجاسة في الماء الكثير بقدر قلتين، وعدم تنجس الماء الجاري إلا بالتغير، وعدم النقض بلمس المحرم، وتحريم أكل الجلد المدبوغ، والتثويب في أذان الصبح، وامتداد وقت المغرب إلى مغيب الشفق، واستحباب تعجيل العشاء، وعدم ندب قراءة السورة في الأخيرتين، والجهر بالتأمين للمأموم في الجهرية، وندب الخط عند عدم الشاخص، وجواز اقتداء المنفرد في أثناء صلاته، وكراهة تقليم أظافر الميت، وعدم اعتبار الحول في الركاز، وصيام الولي عن الميت الذي عليه صوم، وجواز اشتراط التحلل بالمرض، وإجبار الشريك على العمارة، وجعل الصداق في يد الزوج مضموناً، ووجوب الحد بوطء المملوكة المحرم، ذكره المجموع. ويجب اتفاقاً نقض قضاء القاضي وإفتاء المفتي بغير الراجح من مذهبه، إذ من يعمل في فتواه أو عمله بكل قول أو وجه في المسألة، ويعمل بما شاء من غير نظر إلى ترجيح، ولا يتقيد به، جاهل خارق للإجماع، ولا يجوز للمفتي أن يفتي الجاهل المتمسك بمذهب الشافعي صورة بغير الراجح منه.

     (مسألة: ش): نقل ابن الصلاح الإجماع على أنه لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربعة، أي حتى العمل لنفسه فضلاً عن القضاء والفتوى، لعدم الثقة بنسبتها لأربابها بأسانيد تمنع التحريف والتبديل، كمذهب الزيدية المنسوبين إلى الإمام زيد بن عليّ بن الحسين السبط رضوان الله عليهم، وإن كان هو إماماً من أئمة الدين، وعلماً صالحاً للمسترشدين، غير أن أصحابه نسبوه إلى التساهل في كثير لعدم اعتنائهم بتحرير مذهبه، بخلاف المذاهب الأربعة فإن أئمتها جزاهم الله خيراً بذلوا نفوسهم في تحرير أقوالها، وبيان ما ثبت عن قائلها وما لم يثبت، فأمن أهلها التحريف، وعلموا الصحيح من الضعيف، ولا يجوز للمقلد لأحد من الأئمة الأربعة أن يعمل أو يفتي في المسألة ذات القولين أو الوجهين بما شاء منهما، بل بالمتأخر من القولين إن علم، لأنه في حكم الناسخ منهما، فإن لم يعلم فبما رجحه إمامه، فإن لم يعلمه بحث عن أصوله إن كان ذا اجتهاد، وإلا عمل بما نقله بعض أئمة الترجيح إن وجد وإلا توقف، ولا نظر في الأوجه إلى تقدم أو تأخر، بل يجب البحث عن الراجح، والمنصوص عليه مقدم على المخرج ما لم يخرج عن نص آخر، كما يقدم ما عليه الأكثر ثم الأعلم ثم الأورع، فإن لم يجد اعتبر أوصاف ناقلي القولين، ومن أفتى بكل قول أو وجه من غير نظر إلى ترجيح فهو جاهل خارق للإجماع، والمعتمد جواز العمل بذلك للمتبحر المتأهل للمشقة التي لا تحتمل عادة، بشرط أن لا يتتبع الرخص في المذاهب بأن يأخذ منها بالأهون بل يفسق بذلك، وأن لا يجتمع على بطلانه إماماه الأوَّل والثاني اهـ. وعبارة ب تقليد مذهب الغير يصعب على علماء الوقت فضلاً عن عوامهم خصوصاً ما لم يخالط علماء ذلك المذهب، إذ لا بد من استيفاء شروطه، وهي كما في التحفة وغيرها خمسة: علمه بالمسألة على مذهب من يقلده بسائر شروطها ومعتبراتها. وأن لا يكون المقلد فيه مما ينقض قضاء القاضي به، وهو ما خالف النص أو الإجماع أو القواعد أو القياس الجلي. وأن لا يتتبع الرخص بأن يأخذ من كل مذهب ما هو الأهون عليه. وأن لا يلفق بين قولين تتولد منهما حقيقة لا يقول بها كل من القائلين كأن توضأ ولم يدلك تقليداً للشافعي، ومس بلا شهوة تقليداً لمالك ثم صلى فصلاته حينئذ باطلة باتفاقهما. وأن لا يعمل بقول إمام في المسألة ثم يعمل بضده، وهذا مختلف فيه عندنا، والمشهور جواز تقليد المفضول مع وجود الفاضل، وفي قول يشترط اعتقاد الأرجحية أو المساواة اهـ. وفي ك: من شروط التقليد عدم التلفيق بحيث تتولد من تلفيقه حقيقة لا يقول بها كل من الإمامين، قاله ابن حجر، إذ لا فرق عنده بين أن يكون التلفيق في قضية أو قضيتين، فلو تزوّج امرأة بولي وشاهدين فاسقين على مذهب أبي حنيفة، أو بلا ولي مع حضوره وعدم عضله، ثم علق طلاقها بإبرائها من نفقة عدَّتها مثلاً فأبرأته، ثم أراد تقليد الشافعي في عدم وقوع الطلاق لعدم صحة الإبراء عنده من نفقة العدَّة لم يصح، بل يحرم وطؤها حينئذ على كلا المذهبين، أما الشافعي فلأنها ليست بزوجة عنده أصلاً لعدم صحة النكاح، ولولا الشبهة لكان زناً محضاً، وأما أبو حنيفة الذي يرى تزويجها فلكونها بانت منه بالبراءة المذكورة، وقال ابن زياد: القادح في التلفيق إنما يتأتى إذا كان في قضية واحدة، بخلافه في قضيتين فليس بقادح، وكلام ابن حجر أحوط، وابن زياد أوفق بالعوام، فعليه يصح التقليد في مثل هذه الصورة.

     (مسألة: ش): يجوز تقليد ملتزم مذهب الشافعي غير مذهبه أو المرجوح فيه للضرورة، أي المشقة التي لا تحتمل عادة، إما عند عدمها فيحرم، إلا إن كان المقلد بالفتح أهلاً للترجيح ورأى المقلد رجحان دليله على دليل إمامه. اهـ، وعبارة ي يجوز العمل في حق الشخص بالضعيف الذي رجحه بعض أهل الترجيح من المسألة ذات القولين أو الوجهين، فيجوز تقليده للعامل المتأهل وغيره، أما الضعيف غير المرجح من بعض أهل الترجيح فيمتنع تقليده على العارف بالنظر، والبحث عن الأرجح كغير عارف وجد من يخبره بالراجح وأراد العمل به، وإلا جاز له العمل بالمرجوح مطلقاً اهـ.

     (مسألة: ك): صرح الأئمة بأنه لا يجوز تعاطي ما اختلف فيه ما لم يقلد القائل بحله، بل نقل ابن حجر وغيره الاتفاق عليه، سواء كان الخلاف في المذهب أو غيره، عبادة أو غيرها، ولو مع من يرى حل ذلك، نعم إنما يأثم من قصر بترك تعلم ما لزمه مع الإمكان، أو كان مما لا يعذر أحد بجهله لشهرته، أما من عجز عنه ولو لنقلة أو اضطرار إلى تحصيل ما يسدّ رمقه وممونه فيرتفع تكليفه كما قبل ورود الشرع، قاله في التحفة اهـ. وعبارة ب: ومعنى التقليد اعتقاد قول الغير من غير معرفة دليله التفصيلي، فيجوز تقليد القول الضعيف لعمل نفسه كمقابل الأصح والمعتمد والأوجه والمتجه، لا مقابل الصحيح لفساده غالباً، ويأثم غير المجتهد بترك التقليد، نعم إن وافق مذهباً معتبراً، قال جمع: تصح عبادته ومعاملته مطلقاً، وقال آخرون: لا مطلقاً، وفصل بعضهم فقال: تصح المعاملة دون العبادة لعدم الجزم بالنية فيها، وقال الشريف العلامة عبد الرحمن بن عبد الله بافقيه: ويظهر من عمل وكلام الأئمة أن العامي حيث عمل معتقداً أنه حكم شرعي ووافق مذهباً معتبراً، وإن لم يعرف عين قائله صح ما لم يكن حال عمله مقلداً لغيره تقليداً صحيحاً اهـ. قلت: ونقل الجلال السيوطي عن جماعة كثيرة من العلماء أنهم كانوا يفتون الناس بالمذاهب الأربعة، لا سيما العوامّ الذين لا يتقيدون بمذهب، ولا يعرفون قواعده ولا نصوصه، ويقولون حيث وافق فعل هؤلاء قول عالم فلا بأس به، اهـ من الميزان. نعم في الفوائد المدنية للكردي أن تقليد القول أو الوجه الضعيف في المذهب بشرطه أولى من تقليد مذهب الغير لعسر اجتماع شروطه اهـ.

     (مسألة: ك): يجوز التقليد بعد العمل بشرطين: أن لا يكون حال العمل عالماً بفساد ما عنّ له بعد العمل تقليده، بل عمل نسيان للمفسد أو جهل بفساده وعذر به، وأن يرى الإمام الذي يريد تقليده جواز التقليد بعد العمل، فمن أراد تقليد أبي حنيفة بعد العمل سأل الحنفية عن جواز ذلك، ولا يفيده سؤال الشافعية حينئذ، إذ هو يريد الدخول في مذهب الحنفي، ومعلوم أنه لا بد من شروط التقليد المعلومة زيادة على هذين اهـ. وفي ي نحوه، وزاد: ومن قلد من يصح تقليده في مسألة صحت صلاته في اعتقاده بل وفي اعتقادنا، لأنا لا نفسقه ولا نعدّه من تاركي الصلاة، فإن لم يقلده وعلمنا أن عمله وافق مذهباً معتبراً، فكذلك على القول بأن العامي لا مذهب له، وإن جهلنا هل وافقه أم لا لم يجز الإنكار عليه.

 

كتاب الطهارة

     [فائدة]: الكتاب لغة الضم والجمع، واصطلاحاً اسم لجنس من الأحكام. والباب لغة فرجة في ساتر يتوصل منها من داخل إلى خارج، وعكسه حقيقة في الأشخاص مجازاً في المعاني، واصطلاحاً اسم لجملة من الألفاظ مما دخل تحت الكتاب. والفصل لغة الحاجز بين الشيئين، واصطلاحاً اسم لألفاظ مخصوصة دالة على معان مخصوصة مشتمل على فروع الخ. والفرع لغة ما انبنى على غيره ويقابله الأصل، واصطلاحاً اسم لألفاظ مخصوصة مشتملة على مسائل غالباً. والمسألة لغة السؤال، واصطلاحاً مطلوب خبري يبرهن عليه في العلم، والتنبيه لغة الإيقاظ، واصطلاحاً عنوان البحث اللاحق الذي سبقت إليه إشارة بحيث يفهم من الكلام السابق إجمالاً. والخاتمة لغة آخر الشيء، واصطلاحاً اسم لألفاظ مخصوصة دالة على معان مخصوصة جعلت آخر كتاب أو باب. والتتمة ما تم به ذلك وهي قريب من معنى الخاتمة، اهـ باجوري. والقيد اصطلاحاً ما جيء به لجمع أو منع أو بيان واقع، وبتأمل تعريفه هذا مع تعريف الشرط يعلم أن القيد أعم مطلقاً. اهـ إيعاب.

     [فائدة]: الطهارة لها وسائل أربع: الماء والتراب والدابغ وحجر الاستنجاء، ومقاصد كذلك الوضوء والغسل والتيمم وإزالة النجاسة، ووسائل الوسائل الاجتهاد والأواني، اهـ باجوري.

     (مسألة): جزم القاضي والمزجد واختاره الإمام أن اختصاص الطهورية بالماء تعبد لا يعقل، ورجح في الإيعاب تبعاً للغزالي  وابن الصلاح أنه معقول المعنى، قال: وسبب الاختصاص به جمعه للطاقة وعدم التركيب اللذين لا يوجدان في غيره، وفقده للون، وإنما يتلون بلون ظرفه أو ما يقابله، ولا يحدث فيما يلاقيه كيفية ضارة، ولا يغير طبيعة، ولا يحدث من استعماله خيلاء ولا كسر قلوب الفقراء، بخلاف نحو ماء الورد، ولا يلزم من استعماله إضاعة مال غالباً اهـ.

     [فائدة]: الفرق بين مطلق الماء والماء المطلق، أن الحكم المترتب على الأول يترتب على حصول الحقيقة من غير قيد فيشمل سائر أنواع الماء، وعلى الثاني يترتب عليها بقيد الإطلاق فيختص ببعض أنواعها وهو الطهور، اهـ إيعاب.

     [فائدة]: اسم الأعرابي الذي بال في مسجده عليه الصلاة والسلام ذو الخويصرة حرقوص بن زهير اليمامي لا التميمي وهو أصل الخوارج، ووقع له أيضاً أنه سها في صلاته وقال: لئن مات محمد لأتزوّجن عائشة، وقال: اللهم اغفر لي ومحمد ولا تشرك معنا أحداً، فقال له النبي : لقد حجرت واسعاً، كذا بهامش شرح المنهج.

     (مسألة: ب): لا يضر تغير رائحة الماء كثيراً بالقرظ أو القطران، وإن لم تغسل القربة بعد الدبغ، كما أطلقه في الخادم قال بخلاف تغيره كثيراً بالطعم أو اللون، وأفتى البكري بالعفو مطلقاً أي في جميع الصفات.

     [فائدة]: قال البجيرمي: (قوله: فمتغير بمخالط طاهر غير الطهر) أي لغير ذلك المخالط، أما بالنسبة له فمطهر، كما لو أريد تطهير سدر أو عجين أو طين فصب عليه ماء فتغير به تغيراً كثيراً قبل وصوله للجميع فإنه يطهر جميع أجزائه بوصوله لها، إذ لا يصل إلى جميع أجزائه إلا بعد تغيره كذلك فاحفظه، اهـ رشيدي خلافاً للونائي، ونقل أبو مخرمة عن السمهودي أنه لا يضر تغير الماء بأوساخ المتطهرين أي وإن طال مكثه.

     [فائدة]: يشترط لضرر تغير الماء بالطاهر ستة شروط: أن لا يكون بنفسه، وأن يكون بمخالط، وأن يستغني عنه الماء، وأن لا يشق الاحتراز عنه، وأن يكون بحيث يمنع إطلاق اسم الماء، وأن لا يكن ملحاً مائياً ولا تراباً، اهـ كردي.

     (مسألة): ظاهر عبارة التحفة ومال إليه في الإيعاب أنه لو وقع في الماء ما يوافقه في الصفات كلها أو في صفة واحدة أنها تقدر كل الصفات، واعتمده في المغني، واعتمد في حاشية الحلبي أن الموجودة لا تقدر، وعبارة الباجوري إذا وقع في الماء ما يوافقه في كل الصفات قدرت كلها، كطعم الرمان ولون العصير وريح اللاذن بفتح الذال أي اللبان الذكر، وقيل: رطوبة تعلو شعر المعز ولحاها، فإن فقد بعض الصفات قدر المفقود فقط،إذ الموجود إذا لم يغير فلا معنى لفرضه، واعتبر الروياني الأشبه بالخليط، فإذا وقع فيه ماء ورد منقطع الرائحة قدر ماء ورد له رائحة، وهذا التقدير مندوب كما نقل عن سم والبجيرمي، فلو هجم واستعمله جاز، إذ غايته أنه شاكّ في التغير والأصل عدمه.

     (مسألة): قال في الإسعاد شرح الإرشاد في مبحث القلتين: والجرية ما في المجموع الدفعة بين حافتي النهر، والمراد بها ما يرتفع وينخفض بين حافتيه تحقيقاً أو تقديراً، وقول صاحب البحر الجرية ما وقع تحت أدق خيط من إحدى حافتي النهر إلى الأخرى فيه نظر، إذ قضيته أن لا توجد جرية هي قلتان إلا في نحو النيل، فما في المجموع أولى بالاعتماد لأنها من قبيل الأجسام المحسوسة، وحينئذ فإذا كان طول الجرية وهو عرض النهر ثلاثة أذرع، وعرضها وهو عمق النهر ذراع ونصف، وعمقها في طول النهر نصف ذراع، كان الحاصل مائة وأربعة وأربعين فهي فوق القلتين، ولو كان طولها ذراعين والعمق والعرض كما مرّ، كان الحاصل ستة وتسعين فهي دون القلتين، اهـ ملخصاً.

     [فائدة]: أفتى العلامة داود حجر الزبيدي بأنه لو اختلف القلتان وزناً ومساحة كان الاعتبار بالمساحة، إذ هي قضية التقدير في الحديث بقلال هجر، ويؤيده ذكرهم التقريب في الوزن دونها، فدل على أن تقديرهم بالوزن للاحتياط كصاع الفطرة وغيره اهـ.

     [فائدة]: وقع في ماء كثير عينان طاهرة ونجسة فتغير ولم يدر أبهما أم بإحداهما؟ فالذي يظهر مراجعة أهل الخبرة، فإن عرفوا شيئاً وإلا فالظاهر الطهارة عملاً بأصل بقائها حتى يعلم ضده، كما لو شك هل التغير بمجاور أو مخالط أو بطول مكث أو بأوساخ المغترفين؟ فلا يضر أيضاً، اهـ إيعاب.

     (مسألة: ب): توضأ جماعة من ماء قليل ثم رأوا بعد الصلاة بعرات غنم، جاز لهم تقليد القائلين بعدم تنجس الماء مطلقاً إلا بالتغير بشروطه أي التقليد المار، وهم كثير من الصحابة والتابعين والفقهاء، كعلي وابن عباس وأبي هريرة والحسن والنخعي وابن المسيب وعكرمة وابن أبي ليلى ومالك والأوزاعي والثوري، لقوله عليه الصلاة والسلام: "خلق الماء طهوراً لا ينجسه إلا ما غلب على طعمه أو لونه وريحه " وعليه العمل في الحرمين والغرب وغيرها، وكفى بهؤلاء قدوة، على أن جماعة من الشافعية ذهبوا إلى طهارة روث المأكول كما يأتي.

     (مسألة): توضأ حنفي من ماء قليل بنية التجديد من غير نية اغتراف لم يستعمل الماء، وإن فرض أنه مس فرجه لأن قصده التجديد صارف للاستعمال، ولم يرتفع حدثه عندنا للصارف كما لو توضأ شافعي مجدداً ناسياً للحدث ثم تبين حدثه، وكذا لو غسل وجهه بنية رفع الحدث ثم علم في ظنه أنه متطهر فكمله بنية التجديد ولا يكفيه، فيما لو نسي لمعة أو ترك شرطاً من وضوئه الأوّل من غير الوجه للعلة المذكورة.

     (مسألة): لا يحكم باستعمال الماء إلا بعد فصله عن العضو، فحينئذ لو أدخل متوضىء يده بعد غسل وجهه بلا نية اغتراف ثم أحدث ولو حدثاً أكبر فله أن يغسلها، بل وباقي البدن في الجنابة بالانغماس قبل فصلها خلافاً للإرشاد، لكن إن كان الحدث الثاني أصغر فلا بد من غسل الوجه بماء آخر مع بقائها في الماء.

     (مسألة: ش): لم يرد في نية الاغتراف خبر ولا أثر، ولا نص عليها الشافعي ولا أصحابه، وإنما استنبطها المتأخرون وتبعهم الأصحاب، ووجه وجوبها ظاهر، فعليه متى أدخل المحدث يده بعد تثليث الوجه ما لم يقصد الاقتصار على واحدة، أو الجنب بعد النية، صار الماء مستعملاً بالنسبة لغير ما فيها، وطريق من لم يرد نية الاغتراف أن يغرف الماء قبل النية أو يفرغ على كفه، ولا تكون نية الاغتراف صارفة لنية الوضوء بخلاف نية التبرد.

     [فائدة]: اختلف العلماء في نية الاغتراف، ونظم ابن المقري القائلين بعدم وجوبها فقال:

أوجب جمهور الثقات الظراف   عند التوضي نية الاغتراف

من بعد غسل الوجه من يلغها    فماؤه مستعمل بالخلاف

ووافق الشاشي ابن عبد السلام    في تركها والبغوي ذو العفاف

وابن العجيل الحبر أفتى على    إهمالها والحبر فتواه كاف

     واختاره الغزالي والمزجد. قال أبو مخرمة: فلا يشدد العالم على العامي بل يفتيه بعدم وجوبها.

 

المعفوَّات في نحو الماء

     [فائدة]: يعفى عما لا يسيل دمه بوقوعه ميتاً، في نحو المائع بنفسه أو بنحو ريح، وكذا بطرح بهيمة أو مميز، وكان مما نشؤه من الماء خلافاً لـ (مر) فيهما، بل أومن غير مميز مطلقاً، أو مميز بلا قصد، كأن قصد طرحه على غيره فوقع فيه، قاله الخطيب، بل رجح في الإيعاب و ق ل عدم الضرر مطلقاً، وهو ظاهر عبارة الإرشاد وغيره، كما لا أثر لطرح الحي مطلقاً، قال ابن حجر في حاشية تحفته: وإذا تأملت جميع ما تقرر، ظهر لك أن ما من صورة من صور ما لا دم له سائل طرح أم لا، منشؤه من الماء أم لا، إلا وفيه خلاف في التنجيس وعدمه، إما قوي أو ضعيف، وفيه رخصة عظيمة في العفو عن سائر هذه الصور، إما على المعتمد أو مقابله، فمن وقع له شيء جاز تقليده بشرطه، وهذا بناء على نجاسة ميتته، أما على رأي من يقول إنها طاهرة فلا إشكال في جواز تقليد ذلك، اهـ كردي. وأفتى أبو مخرمة بأنه لا يضر نقل ما فيه الميتة المعفوّ عنها من إناء لآخر، كما لا يضر إدارته في جوانب الإناء ومسها لجوانبه.

     (مسألة: ك): قرص قملة بين أصبعيه وتلطختا بالدم ثم غمسهما في نحو مائع، فالأحوط عدم العفو والأسهل الذي أميل إليه، وأفتى به م ر العفو حيث لم يتعمد الغمس، مع ملاحظة تنجسهما لقلته وللحاجة إليه.

     [فائدة]: قال في القلائد: يعفى عن بعر الفأر في المائع إذا عم الابتلاء به، وعن جرة البعير، وفم ما يجترّ إذا التقم أخلاف أمه، ولا ينجس ما شرب منه، ونقل عن ابن الصباغ أن الشاة إذا بعرت في لبنها حال الحلب عفي عنه، فلا ينجس ولا يغسل منه إناء ولا فم، فإن وقع فيه بعرة من غيرها عفي عنه للطعم فقط، وأفتى المزجد بالعفو عما يلصق ببدنها ويتساقط حال الحلب وما صدمته بذنبها اهـ. وأفتى السمهودي بالعفو عن بول الإبل والبقر في ضرعيهما المتأخرين، وعما اتصل بهما حين تريض، وأفتى به أيضاً الفقيه محمد صاحب عيديد علوي، ومن خط السيد أبي بكر بافقيه، قال: يعفى عن ذرق الطيور في المياه كالسقايات والحياض لمشقة الاحتراز كما قاله البلقيني اهـ. وقال ع ش: ومما يشقُّ الاحتراز عنه نجاسة نحو الفيران في الأواني المعدّة للاستعمال كالجرار، والأباريق كحياض الأخلية، وإن أمكن الفرق بسهولة تغطيتها على الأقرب.

     (مسألة: ش): المذهب عدم طهارة الآجرّ المعمول بالنجس بالإحراق وإن غسل بعد، واختار ابن الصباغ طهارة ظاهره حينئذ، وأفتى به القفال، ويجوز الوضوء من الأواني المذكورة، ويعفى عن فم كل مجترّ وصبي، وعما تلقيه الفيران في بيوت الأخلية إذا عمّ الابتلاء به.

     (مسألة: ب): الفرق بين دخان النجاسة وبخارها، أن الأول انفصل بواسطة نار، والثاني لا بواسطتها، قاله الشيخ زكريا. وقال أبو مخرمة: هما مترادفان، فما انفصل بواسطة نار فنجس وما لا فلا، أما نفس الشعلة أي لسان النار فطاهرة قطعاً، حتى لو اقتبس منها في شمعة لم يحكم بنجاستها.

     [فائدة]: خلط زباد فيه شعرتان أو ثلاث بزباد كذلك أوصاف عنه، بحث بعض المتأخرين أن محل العفو عن قليل شعر غير المأكول ما لم يكن بفعله فعليه ينجس الزبادان، اهـ فتاوى ابن حجر.

 

الماء المكروه

     (مسألة: ش): يكره الطهر بماء البحر للبري إن خشي منه ضرراً على نحو عينيه ولو بقول ثقة لمنعه الإسباغ كشديد البرودة، بل إن تحققه حرم.

     [فائدة]: المياه المكروهة ثمانية: المشمس، وشديد البرودة أو الحرارة، وماء ديار ثمود إلا بئر الناقة وقوم لوط، وبئر برهوت، وبئر بابل، وبئر ذروان، وألحق بذلك ماء محسر، والطهر بفضل المرأة، ومن الإناء النحاس، وماء وتراب كل أرض غضب عليها كعاد، اهـ كردي. وعبارة التحفة. ويكره الطهر بفضل المرأة للخلاف فيه، قيل: بل ورد النهي عنه وعن الطهر من إناء النحاس اهـ.

 

النجاسات

     [فائدة]: يتبع الفرع أخس أبويه في سبعة أشياء: النجاسة، وتحريم الذبيحة، والمناكحة، وتحريم الأكل، وامتناع التضحية في متولد بين نعم وغيرها، وعدم استحقاق سهم الغنيمة لمتولد بين فرس وحمار، وعدم وجوب الزكاة المتولد بين نحو بعير وفرس، وأشرفهما في الدين، وإيجاب البدل، وعقد الجزية، وأخفهما في الزكاة والأضحية، وأغلظهما في جزاء الصيد، ويتبع الأب في النسب وتوابعه كاستحقاق سهم ذوي القربى، وفي الجرية إن كان من أمته أو أمة فرعه، وفي الولاء ومهر المثل ويتبع الأم في الرق والحرية، فالولد بين مملوكين لمالك الأم كولد البهيمة، اهـ كردي.

     [مسألة): المني طاهر من الآدمي اتفاقاً، وكذا غيره من بقية الحيوانات غير الكلب والخنزير على المعتمد، لكن إن لم يكن صاحبه مستنجياً بماء فهو متنجس، ومن ثم حرم الجماع على مستجمر بالحجر منهما، وإن فقد الماء واحتاج إلى الوقاع كما في النهاية والمغني، وقيده في التحفة بوجود الماء، وهذا كما لو تنجس ذكره بمذي ما لم يعلم أن الماء يفتر شهوته فيجوز حينئذ، واغتفر في القلائد المذي مطلقاً للضرورة، وحيث حكمنا بطهارة المني جازت الصلاة في الثوب الذي وقع فيه ولو من جماع، نعم يسنّ غسله رطباً وفركه يابساً.

     (مسألة: ب): ذهب بعضهم إلى طهارة روث المأكول، بل ذهب آخرون إلى طهارة جميع الأرواث حتى من الكلب إلا الآدمي، وجمعهم الشيخ عبد الله بن أبي بكر باشعيب فقال:

روث لمأكول لدى زهريهم     وعطاء والثوري والروياني

وإمام نخع وابن سيرين والأصـ    ـطخرّي والشعبيّ والشيباني

وابن خزيمة منذر حبانهم     ثم ابن حنبل مالك الرياني

طهر وزاد الظاهرية والبخا    ري لغير فضلة الإنسان

     [فائدة]: قال في الخادم للزركشي: الدم كله نجس إلا عشرة: الكبد، والطحال، والمسك، والدم المحبوس في ميتة السمك، والجراد، والميت بالضغطة، والسهم، والجنين، وكذا مني ولبن خرجا على لون الدم اهـ. وفي حكمه بطهارة الدم المحبوس إن أراد ما دام كامناً فلا يستثنى، إذ هو حينئذ ليس دماً، أو إذا تحلب وتلوث به غيره فممنوع لأنه نجس، اهـ إيعاب.

     [فائدة]: قال (بج): ومن القيء ما عاد حالاً لو من مغلظ، فلا يجب تسبيع الفم منه كالدبر، نعم اعتمد (ع ش) عدم وجوب التسبيع من خروج ما من شأنه الاستحالة، وإن لم يستحل كاللحم إلا إن خرج من الفم كذلك، ووجوبه مما شأنه عدمها وإن استحال اهـ. ولا يجب غسل البيضة والولد إذا خرجا من الفرج، إن لم يكن معهما رطوبة نجسة، اهـ شرح روض.

     (مسألة: ب): الحياض التي تجتمع فيها المياه ويلغ الكلاب فيها نجسة إن تغيرت، فلا يعفى عما لا تعم البلوى به منها، فمن أصابه شيء من ذلك لزمه تسبيعه، كما لو قصدها الخراز فوضع فيها الجلود فيلزمه تسبيعها وتسبيع ما تحقق ملاقاته نحو بدنه، ويحرم عليه تلويث المسجد به، إذ لا ضرورة إلى ذلك، ومثل ذلك ما لو ضرب الكلب بنحو سكين مع الرطوبة في أحد الجانبين، إذ لا مجال للعفو حينئذ، ويجوز استعمال أواني العوام المذكورين ومؤاكلتهم حيث لم يتحقق ملاقاة نجاسة لها.

     (مسألة: ي): خذ قاعدة ينبغي الاعتناء بها لكثرة فروعها ونفعها، وهي كل عين لم تتيقن نجاستها لكن غلبت النجاسة في جنسها، كثياب الصبيان، وجهلة الجزارين، والمتدينين من الكفار بالنجاسة كأكلة الخنازير أرجح القولين فيها العمل بالأصل وهو الطهارة، نعم يكره استعمال كل ما احتمل النجاسة على قرب، وكل عين تيقناً نجاستها ولو بمغلظ ثم احتمل طهارتها ولو على بعد لا تنجس ملاقاته، فحينئذ لا يحكم بنجاسة دكاكين الجزارين والحواتين وزوارقهم التي شوهدت الكلاب تلحسها، أو لا يحكم بنجاسة اللحم أو الحوت الموضوع عليها، وما لاقاه من أبدان الناس إلا إن شوهد ملاقاتها للنجاسة، فتكون البقعة التي لحسها الكلب نجسة، وكذا ما لاقاها يقيناً بمشاهدة أو إخبار عدل مع الرطوبة قبل احتمال طهرها بمرور سبع جريات بماء بتراب طهور، ولا يتعدى حكمها لباقي الدكان فضلاً عن غيره، وكل لحم وحوت وغيرهما خرج من تلك الأماكن محكوم بطهارته، إلا ما تيقن ملاقاته لنفس المحل المتنجس ولم يشق ويعم الابتلاء به وإلا عفي عنه أيضاً، قاله أبو قضام وخالفه ابن حجر، وفي النهاية: والضابط أن كل ما يشق الاحتراز عنه غالباً يعفى عنه.

     (مسألة: ب): رجح أبو قضام طهارة صيفة اللحم التي يقال لها العلق، ونجاسة صيفة العيد لاختلاطها بما في جوفه، والذي نعتمده أن الصيفة مطلقاً إما طاهرة أو متنجسة معفوّ عنها، فلا ينجس ما دهن بها أو مسته، لكن لا ينبغي التسريح بها في المسجد مطلقاً للخلاف في طهارتها مع التأذي بكراهة الأنفس لها اهـ. قلت: وأفتى بالطهارة الناشري وأبو مخرمة وأبو صهي اهـ. وعبارة ك الصل يعني الصيفة كما في نسخة الذي يجتمع مع الدم في حوض ثم يعلو الصلّ فيؤخذ لا يضر اختلاطه، إذ الظاهر أن الصل المذكور إما طاهر أو نجس، معفوّ عنه للعفو عن الدم المتحلب من الكبد، ولقول عائشة رضي الله عنها: "كنا نطبخ البرمة على عهد رسول الله فتعلوها الصفرة من الدم فيأكل ولا ينكره" وقد اتفق ابنا حجر وزياد و م ر وغيرهم على طهارة ما في جوف السمك الصغير من الدم والروث، وجواز أكله معه، وأنه لا ينجس به الدهن، بل جرى عليه م ر الكبير أيضاً، ولأن لنا قولاً قوياً أن السمك لا دم له لأنه يبيضّ إذا وضع في الشمس.

     (مسألة: ي): الذي يظهر أن الشيء الأسود الذي يوجد في بعض الحيتان وليس بدم ولا لحم نجس، إذ صريح عبارة التحفة أن كل شيء في الباطن خارج عن أجزاء الحيوان نجس، ومنه هذا الأسود للعلة المذكورة إذ هو دم أو شبهة، وقد صرحوا بنجاسة الخرزة التي في الكرش كحصى الكلي والمثانة، لخروجها من معدن النجاسة مع شبهها بالطاهر فأولى هذا الأسود، ولأنه فضلة مستحيلة وهي نجسة إلا ما استثني، ومن قال بطهارته فقد أخطأ.

     [فائدة]: نقل عن البريهمي أنه قال: في الأصح أن ذرق السمك والجراد وما يخرج من فيها نجس، وفي الإبانة أنه طاهر، ومع الحكم بالنجاسة يعفى عنه إذا عمت به البلوى كدم البراغيث، وأفتى ابن كبن بأن بصاق الجراد وهو بلاقها طاهر، وما في باطن ذنبها نجس على الصحيح، وأفتى عبد الله باسودان بأن الخارج مما لا نفس له سائلة عند قتله إن خرج حال حياته وليس به تغير فطاهر كريق الآدمي، أو بعد موته فنجس مطلقاً، إذ الميتة وجميع أجزائها نجسة، وإنما لم تنجس المائع للنص، ولو شك في شعر أطاهر أم نجس فطاهر، وألحق به في الجواهر العظم بخلاف اللحم.

     (مسألة: ك): يصير العصير خلاً من غير تخمر فيكون طاهراً في ثلاث صور وهي: فيما إذا صب العصير في الدن العتيق بالخل، وفيما إذا جردت حبات العنب من عناقيده وملىء منها الدنّ وطين رأسه، ومثله الرطب إن أخبر عدل بتخلله حينئذ من غير تخمر، وإلا فيتبع الغالب من التخمر وعدمه، وفيما إذا صبّ خلّ على عصير دونه بل أو مساويه كما قاله ابن حجر والخطيب، وقال م ر : إن أخبر عدل يعرف ما يمنع التخمر وما لا اتبع، وإلا حكم بالغالب من التخمر وعدمه، بل لنا وجه مرجوح يجوز تقليده بشرطه أنه يتخلل العصير حينئذ، وإن كان أكثر من الخل، ولو وضع التمر بنواه في الماء حتى تخلل كعادة أهل البصرة، فقياس ما ذكره ابن حجر في الإيعاب من العفو عن حبات العناقيد ونوى التمر أنه يطهر وجرى غيره على عدم العفو عن ذلك، وفي النهاية: ولا فرق في العصير بين المتخذ من نوع واحد أو أنواع، فلو جعل فيه عسلاً أو سكراً، أو اتخذه من نحو عنب ورمان أو برّ وزبيب طهر بانقلابه خلاً، وليس ذلك تخللاً بمصاحبة عين، لأن نفس ذلك كله يتخمر، ولا يضر وضع النبيذ أو العصير على الخمر، وعكسه كما لو أريقت خمر فصب في إنائها خمر أخرى.

     [فائدة]: لا يطهر ظاهر الدن المترشح إليه الخمر قبل تخللها إذ لا ضرورة إليه بخلاف الباطن، نعم ما ارتفع أو انخفض إليه من الدنّ بغير الغليان، بل بوضع شيء أو أخذه لم يطهر هو أيضاً لعدم الضرورة ولا هي لاتصالها بنجس اهـ إيعاب. ومنه للخل خمس صور طاهرة قطعاً إذا تخللت من غير عين ولا إمساك بل اتفاقاً، أو على الأصح إذا تخللت بعد إمساك، وقال العراقيون: لا تطهر غير المحترمة، أو لا تطهر قطعاً إذا طرحت العين قصداً، أو على الأصح إن كانت بغير قصد، أو تطهر على الأصح أيضاً إذا نقلت من نحو شمس، ولا يحرم التخلل به لأنه سبب لإصلاحها من غير محذور اهـ.

     [فائدة]: أصاب جلد الميتة نجاسة مغلظة، لم يكف غسله قبل الدبغ، بل لا بد من تسبيعه بعده، لأنه قبله لم يكن قابلاً للتطهير، وأخذ منه سم أن نحو عظم الميتة إذا أصابه مغلظ لا يطهر بغسله أبداً، فينجس مماسه رطباً نجاسة مغلظة اهـ مدابغي وفي ي نحوه وزاد: ونقل الشوبري عن الشيخ زكريا أنه يطهر من المغلظة بتسبيعه.

 

إزالة النجاسة

     (مسألة: ي): تحرم مباشرة النجاسة مع الرطوبة لغير حاجة فيجب غسلها فوراً، بخلافه لحاجة كالاستنجاء، وغسلها من نحو بدن، ووضعها في نحو زرع أو بنحو قصد، وكذا التداوي بشرط فقد طاهر صالح.

     (مسألة: ج): قطرات بول متفرقات وقعت بمسجد، ومر الناس في المحل مع ترطب أرجلهم، لم يجب إلا غسل محل البول فقط، لا كل المحل للشك في تنجسه، إذ يحتمل مرور المتوضئين على النجاسة وعلى الموضع الطاهر، والقاعدة أننا لا ننجس بالشك.

     [فائدة]: أفتى ابن حجر بأن الكفين كعضو واحد حكماً، فإذا غسلهما معاً من نجاسة بهما أو بأحدهما كفى، وأفتى أيضاً بجواز غسل النجاسة بمطعوم عند الحاجة، كغسل لثوب إبريسم يفسده الصابون، ونخالة لغسل يد، وملح لدم كما في المجموع اهـ.

     (مسألة: ك): وقعت في الصبغ أجزاء نجسة، فإن كانت مما تنعقد فيه ولا يزيلها الماء كزبل لم يكف غمر المصبوغ بالماء، بل لا بد من إزالة تلك الأجزاء، فإن تعذر فحكمها حكم نجس العين الذي تعذر تطهيره، وإن لم تكن كذلك طهر بغمره في ماء كثير أو ورود قليل عليه، وإن بقي اللون في المحل أو الغسالة، كما يطهر الصبغ المنفرد أو المخضوب بمتنجس أو نجس بذلك اهـ. وفي ب نحوه زاد: وقال القاضي يطهر المصبوغ بالنجس أي مطلقاً بما ذكر وإن بقي اللون، ومال إليه في القلائد ومحمد بن أحمد فضل وبلحاج والريمي.

     [فائدة] قال بج: والحاصل أن المصبوغ بعين النجاسة كالدم، أو بالمتنجس الذي تفتتت فيه النجاسة أو لم تتفتت كان المصبوغ رطباً يطهر إذا صفت الغسالة من الصبغ، أما المصبوغ بمتنجس لم تتفتت فيه النجاسة والمصبوغ جافّ فيطهر بغمسه في قلتين أو صب ماء يغمره وإن لم تصف الغسالة، فقولهم: لا بد في طهر المصبوغ من أن تصفو الغسالة محمول على ما صبغ بنجس أو مخلوط بنجس العين، اهـ سم وطب.

     (مسألة: ش): أفتى ابن مطير في نيل وقعت فيه نجاسة فترك حتى جمد ولم يتصاب فصب عليه ماء يغلبه وهو في حوضه فشربه ثم شربته الأرض بأنه يطهر كالآجرّ المعجون بالنجس، والظاهر عدم طهره والفرق واضح.

     (مسألة: ي): تنجس مائع كدهن وغسل بنجاسة غير متفتتة ثم لاقى جامداً كدقيق اشترط في طهارته زوال أوصاف المائع إلا ما عسر، هذا إن كان له أي المائع وصف، وإلا كفى جري الماء عليه بحيث يظن وصوله إلى جميع أجزائه، كما لو عجن لبن ببول فيطهر باطنه بنقعه في الماء ولو مطبوخاً رخواً يصله الماء.

     (مسألة: ي): لحم عليه دم غير معفوّ عنه ذر عليه ملح فتشربها طهر بإزالة الدم، وإن بقي طعم الملح كحب أو لحم طبخ ببول فيكفي غسل ظاهره، وإن بقي طعم البول بباطنه إذ تشرب ما ذكر كتشرب المسام، كما في التحفة.

     (مسألة: ب ك): تنجس عضو شخص كيد جزار أو شفرته وبه دهن أو نحو حلتيت، فلا بد من إزالة أثر نحو الدهن مع النجاسة لأنه صار متنجساً، كما لو تنجس الدهن ثم دهن به نحو جرب أو تنجس به العضو، فلا بد من إزالته ولو بنحو صابون على المعتمد إلا ما عسر زواله، زاد ب: وقد يفرق بأن المشقة في مسألة الجزار، بل الضرورة أظهر بكثرة تكراره وفي تكليفه نحو السدر كل مرة مشقة، فينبغي الاكتفاء بمجرد إزالة أوصاف النجاسة لا الدسم، لأن المشقة تجلب التيسير، ولأنه يعفى عن كل ما يشق الاحتراز عنه كما في النهاية، لا سيما وقد قال بطهارة روث المأكول مالك وأحمد وغيرهما كما مر اهـ. قلت: وقال السيد علي الونائي في كشف النقاب: لو دهن عضوه بدهن متنجس كفاه جري الماء عليه وإن لم يزل أثر الدسومة، لأنه بانبساطه على العضو يصل الماء إلى جميع أجزائه اهـ.

     [فائدة]: المذهب وجوب غسل ما أصابه الكلب مع الرطوبة ولو معضاً من صيد على المعتمد، وقيل: يجب تقويره، وقيل: يعفى عن محل نابه وظفره، وقيل: طاهر، قال في الإمداد ونقله البجيرمي عن (م ر): ما عدا الأخيرة وزاد، وقيل: تكفي السبع من غير تتريب، وقيل: يجب مرة فقط اهـ، ولو لم تزل العين إلا بست غسلات مثلاً حسبت مرة على المعتمد، لكن يكفي التتريب في إحداها قبل إزالة العين، اهـ حاشية الشرقاوي. ولو جمع غسلات الكلب في إناء وقد ترب في إحداها فلا بد من غسله سبعاً مع التتريب، لأنها صارت نجاسة مستقلة، قاله ابن أبي شريف وتبعه ع ش وحف، وقال سم: إن ترب الأولى كفى وإلا أعاد التراب اهـ جمل.

     [فائدة]: أصابه شيء من الأرض الترابية قبل تمام غسلها لم يجب تتريبه قياساً على ما أصابه من غير الأرض بعد تتريبه قاله الخطيب، وقال (م ر): يجب، وحمل ابن حجر عدم الوجوب على ذات التراب المتطاير، أما ما لاقاه من نحو الثوب فيجب تتريبه، اهـ كردي.

     (مسألة): الغسالة طاهرة إذا لم تتغير وقد طهر المحل، وإلا فهي نجسة مع المحل، لأن البلل المنفصل بعض ما بقي بالمحل، ولا يتبعض الماء القليل طهارة ونجاسة كذا قالوه، لكن قال البجيرمي على الإقناع قوله لأن المنفصل الخ، هذا التعليل يعطي أنه يلزم من طهارة أحدهما طهارة الآخر، ومن نجاسة أحدهما نجاسة الآخر، وهو ظاهر شرح الروض، وذكر ق ل ما حاصله: أنه لا يلزم من نجاسة الغسالة نجاسة المحل، ولعل الأوّل مفروض فيما إذا كان الغسل في نحو إجانة. والثاني فيما إذا كان بالصب والمغسول بين يديه اهـ شيخنا.

 

الاجتهاد

     [فائدة]: شروط جواز الاجتهاد أحد عشر: كون كل من المشتبهين له أصل في التطهير أو الحل، وللعلامة فيه مجال، وظهورها وبقاء المشتبهين وتعدد المشتبه، والعلم بتنجس أحدهما أو ظنه بخبر عدل رواية، والحصر في المشتبه، واتساع الوقت للاجتهاد والطهارة والصلاة، وإلا صلى وأعاد، وكون الإنائين لواحد على ما قيل، اعتمد ابن حجر و (م ر)، خلافه، وأن لا يخشى منه ضرراً كالشمس، وأن يسلم من التعارض، كخبر عدلين تعذر الجمع بينهما فيتساقطان، إلا إن كان أحدهما أوثق أو أكثر فيؤخذ به، ويزيد وجوب الاجتهاد بدخول الوقت، وعدم تيقن الطهارة، وعدم بلوغهما بالخلط قلتين اهـ كردي.

     (مسألة: ش): اشتبه تراب طهور بغيره وتحير، فلا بد لصحة الصلاة من خلطهما كالمائين، ويظهر أنه لا يتيمم بكل في اشتباه الطهور بالمستعمل، والفرق بينه وبين الماء عسر إزالة التراب الأول عن العضو، إذ يضر الخليط فيه وإن قل بخلاف الماء، فلو فرض تنقية العضو منه صح، لكن لا بد من الجزم بالنية بأن يأخذ كفاً من هذا وكفاً من هذا ويمسح بهما الوجه ناوياً ثم يعكس.

     (مسألة): اجتهد في ماءين فظن طهارة أحدهما فتوضأ به وصلى، وأراق الآخر كما هو السنة ثم أحدث لم يتوضأ ثانياً ببقية الأول، لوجوب الاجتهاد لكل وضوء، ولا يجتهد حينئذ لفقد شرطه وهو التعدد، بل يتيمم ويصلي ولا إعادة عليه، قاله في الإمداد، وهي مسألة نفيسة غامضة معلومة من كلامهم، فإن لم يرق الآخر وبقي من الأول بقية أعاد الاجتهاد، ثم أن ظهر له طهارة الأول أيضاً استعمله أو الثاني أراقهما ثم تيمم، واعلم أن لزوم الاجتهاد مقيد بما إذا لم يكن ذاكراً للدليل الأول كما في النهاية وسم ، وإلا فلا يجب ويتوضأ ثانياً وثالثاً، وهل ذلك عام سواء بقي الآخر أو تلف ظاهر إطلاقهم، نعم ثم رأيت سم استقربه.

     [فائدة]: لا يقبل خبر الفاسق إلا فيما يرجع لجواب نحو دعوى عليه، أو فيما ائتمنه الشرع عليه، كإخبار الفاسقة بانقضاء عدتها، أو إخباره بأن هذه الشاة مذكاة فيحكم بجواز أكلها، وكذا بطهارة لحمها تبعاً، وإن كان لا يقبل خبره في تطهير الثوب وتنجيسه وإن أخبر عن فعل نفسه، اهـ بامخرمة. لكن اعتمد ابن حجر والشيخ زكريا، قبول قوله طهرت الثوب لا طهر.

     (مسألة: ي): الخبر الواقع في القلب صدقه بأن غلب على القلب صدقه، وهو المراد بقولهم: الاعتقاد الجازم يجب العمل به على من صدقه كذلك، وإن لم يثبت عند الحاكم، ولم يكن المخبر مكلفاً عدلاً، فإن ظن صدقه من غير غلبة جاز وذلك في خمس عشرة مسألة تنجس نحو المياه، ونقض الوضوء من نحو مس وريح، وتوقف إزالة النجاسة على نحو صابون أو عدمه، ودخول الوقت والقبلة، وكشف العورة، ووقوع النجاسة، ودخول رمضان وشوَّال وذي الحجة، أو شهر معين منذور صومه، وشعبان بالنسبة لرمضان فيجب الصوم عليه، وعلى من صدقه بتمامه، وطلوع الفجر، وغروب الشمس، وتعليق الطلاق بأي شهر كان، بل وفي أكثر أبواب الفقه، كما نقله ابن زياد عن الشيخ زكريا، ويجوز العمل بقوله: ولا يجب، وإن غلب على قلبه صدقه في سبع مسائل: عدم الماء، ومبيح التيمم، وفوات الجمعة، والإخبار بولاء زوج لمريدة التزويج، وكذا للمعتدة التي جهلت أشهرها أو كانت عمياء أو محبوسة.

 

خصال الفطرة

     [فائدة]: هذان البيتان في خصال الفطرة التي ابتلي بها إبراهيم الخليل عليه السلام:

تمضمض واستنشق وقصّ لشارب >< دوام سواك واحفظ الفرق للشعر

ختان ونتف الإبط حلق لعانة >< ولا تنس الاستنجاء والقلم للظفر

     [فائدة]: قال ع ش: لو نذر السواك حمل على المتعارف من ذلك الأسنان وما حولها اهـ، وأفتى الزمزمي بأنه لا بد لأصل السنة من استيعاب الأسنان وما حولها أي ظاهراً وباطناً، وقال أبو مخرمة: لا شك أن سقف الحلق من أكمله.

     [فائدة]: قال البجيرمي على الإقناع: والحاصل أن أحكامه أي السواك أربعة: واجب كأن توقف عليه إزالة نجاسة أو ريح كريه في جمعة، وحرام كسواك الغير بغير إذنه وعلم رضاه، ومكروه من حيث الكيفية كاستعماله طولاً، وسنة على الأصل، ولا تعتريه الإباحة لأن ما أصله الندب لا تعتريه الإباحة، ولا يكره الاشتراك في السواك والمشط والمرود خلاف ما تظنه العوام فإن ذلك لنفرة نفوسهم، ولم يرد نص بالكراهة، قال: والخلوف بالضم تغير الفم، وبالفتح كثير الخلف بالوعد، والخلف بفتحتين الذرية الصالحة، وبإسكان اللام الذرية السوء اهـ.

     [فائدة]: تردد في التحفة في كراهة إزالة الخلوف بغير السواك، وصرح زي بأنه لا يكره بنحو أصبعه وكالصائم الممسك، نعم إن تغير فمه بنحو نوم لم يكره، قاله م ر والخطيب خلافاً لابن حجر، ولو مات الصائم بعد الزوال حرم إزالة خلوفه بالسواك قياساً على دم الشهيد، قاله (م ر) والخطيب خلافاً لابن حجر، ولو مات الصائم بعد الزوال حرم إزالة خلوفه بالسواك قياساً على دم الشهيد، قاله (م ر) اهـ بج.

     [فائدة]: نقل الكردي عن البكري والإيعاب وغيرهما أن أغصان الأراك أولى من عروقه، وكلام الرافعي وابن الرفعة والإمام يقتضي التسوية بينهما، وقال ق ل: وينبغي أن ينوي بالسواك السنة ويقول: اللهم بيض به أسناني، وشدّ به لثاتي، وثبت به لهاتي، وبارك لي فيه، وأثبتني عليه يا أرحم الراحمين. وقال في التحفة: ويسنّ أن يكون السواك باليمنى، وأن يجعل خنصره وإبهامه تحته، والثلاثة الباقية فوقه، وأن يبلع ريقه أول استياكه إلا لعذر ولا يمصه، وأن يضعه فوق أذنه اليسرى أو ينصبه بالأرض ولا يعرضه، وأن يغسله قبل وضعه، كما إذا أراد الاستياك به ثانياً وقد حصل به تغير، ولا يزيد في طوله على شبر، ولا يستاك بطرفيه اهـ.

     [فائدة]: من فوائد السواك أنه يطهر الفم، ويرضي الرب، ويبيض الأسنان، ويطيب رائحة الفم، ويشد اللثة ويصفي الخلقة عن نحو البلغم، ويذكي الفطنة، ويقطع الرطوبة، ويجلو البصر، ويبطىء الشيب ويسوّي الظهر، ويضاعف الأجر، ويسهل النزع، ويذكر الشهادة عند الموت، ويورث السعة والغنى واليسر، ويسكن الصداع وعروق الرأس، ويذهب وجع الضرس والحفر، ويصحح المعدة ويقوِّيها، ويزيد في الفصاحة والعقل، ويطهر القلب، ويقوي البدن، وينمي الولد والمال. وذكر بعضهم فوائد أخر تحتاج إلى توقيف اهـ. إيعاب.

     [فائدة]: يسنّ حلق الرأس للرجل في النسك وسابع الولادة وكافر أسلم، ويكره للمضحي في عشرذي الحجة، ويباح فيما عدا ذلك، إلا إن تأذى ببقاء شعره أو شق عليه تعهده فيندب، اهـ إقناع وبج. وعن أنس رضي الله عنه قال: "كان رسول الله يكثر دهن رأسه وتسريح لحيته". وعن شيخنا ابن علان المكي: من قال إن النبي كان يدهن جسده الشريف فقد استنقص به عليه السلام ويخشى عليه الكفر، اهـ من زاد العجلان شرح الزبد.

     (مسألة: ش): لا يكره حلق ما تحت الحلقوم على المعتمد، إذ لم يرد فيه نهي وليس هو من اللحية، على أنه لا يكره الأخذ من طول اللحية وعرضها كما ورد في الحديث، وإن نص الأصحاب على كراهته، نعم نص الشافعي رضي الله عنه على تحريم حلق اللحية ونتفها، ولو قيل بتحريم نتف الشيب لم يبعد.

     [فائدة]: يكره الأخذ من طول الحاجبين لأنه تغيير لخلق الله تعالى، وعن الحسن وغيره أنه لا بأس به، وأن النبي فعله، اهـ تجريد المزجد. والمعتمد في تقليم أظفار اليدين أن يبدأ بسبابة يمناه إلى خنصرها ثم إبهامها، ثم خنصر يسراه إلى إبهامها. وفي تقليم الرجلين من خنصر يمناه إلى يسراه على التوالي، قاله في التحفة والباجوري تبعاً للإحياء، إلا أنه فيه أخر إبهام اليد اليمنى إلى الفراغ وأبدى في ذلك نكتة.

     [فائدة]: قال النووي: يحرم خضب يدي ورجلي رجل بحناء، وكلام صاحب البيان والماوردي والرافعي وغيرهم يقتضي الحلّ وهو المختار اهـ عباب. وفي القلائد: خص بعض أصحابنا كراهة القزع بترك مواضع متفرقة أو بجانب، أما القصة والقفا فلا بأس بهما للغلام، وجزم به الفقيه عبد الله بن أبي عبيد التريمي.

     (مسألة: ش): لو ختن المولود الجن بأن أزيل ما يغطي الحشفة كفى، إذ القصد إزالته كما لو ولد مختوناً، ولا يسنّ حينئذ إمرار الموسى بخلاف الرأس في المحرم.

     [فائدة]: نقل عن الشيخ عبد الله بلحاج بافضل عن شيخه الشيخ عبد الرحمن بن الشيخ علي علوي أنه قال: رأيت في بعض شروح المنهاج أنه ينبغي للشخص وضع النعل عرضاً لا طولاً، ورأى بلحاج المذكور يوماً نعله موضوعة طولاً وقد أراد أن يحرم فانحرف ووضعها عرضاً.

 

الحجامة

     [فائدة]: في الحجامة على الريق بركة وزيادة في العقل والحفظ، وخير أيامها الأحد والاثنين، وفي التلوّث خلاف، وتكره يوم السبت والربوع، وخير أوقاتها من الشهر بعد النصف وقبل آخره، وينبغي أن لا يقرب النساء قبلها بيوم وليلة وبعدها كذلك، وإذا أراد الحجامة في الغد فليتعشّ عند العصر، ولا يأكل أثرها مالحاً، وليشرب على أثرها خلاًّ، ثم يحسو شيئاً من المرقة والحلو لا رائباً ولبناً، ويقلّ شرب الماء، والفصد مثلها، اهـ من البستان للسمرقندي.

 

فروض الوضوء

    [فائدة]: حكمة اختصاص الوضوء بهذه الأعضاء كما قيل: إن آدم عليه السلام توجه إلى الشجرة بوجهه وتناولها بيده، وكان قد وضع يده على رأسه ومشى إليها برجله، فأمر بتطهير هذه الأعضاء، اهـ باجوري.

     [فائدة]: تتعلق بالنية سبعة أحكام نظمها بعضهم فقال:

حقيقة حكم محل وزمن >< كيفية شرط ومقصود حسن

     فحقيقتها قصد الشيء مقترناً بفعله، ومحلها القلب، وحكمها الوجوب، ومقصودها تمييز العبادة عن العادة، كالجلوس للاعتكاف تارة وللاستراحة أخرى، أو تمييز رتبها كالفرض عن النفل، وشرطها إسلام الناوي وتمييزه وعلمه بالمنويّ، وعدم الإتيان بمنافيها، وعدم تعليقها كإن شاء الله إلا إن قصد التبرك، وزمنها أي وقتها أول العبادات إلا الصوم، وكيفيتها تختلف بحسب الأبواب اهـ ش ق.

     (مسألة: ي): تطلق النية على معنيين: أحدهما قصد العمل وإرادته وانبعاث النفس إليه لتحصيل ما هو محبوب لها في الحال أو المآل، وهو طلب رضا الله تعالى والخوف من عقابه، وهذه هي التي بحث على تصحيحها جميع العلماء والصالحين، وهي خارجة عن اختيار العبد، إذ ما تميل إليه النفس خارج عن الاختيار، بل من قوي إيمانه، وكثر خوفه، وعظمت رغبته فيما أعد الله لأوليائه، وقل التفاته إلى ما سواه، صارت قصوده وإراداته في أغلب حركاته تحصيل رضا من آمن به، وما يبعد من عقابه، ومن ضعف إيمانه، وغلبت عليه الشهوات، وكثرت رغبته في زهرة الدنيا، صارت قصوده مقصورة عن ذلك، وإن أتى بأعمال ظاهرها طاعة، نعم للعبد اختيار في هذه النية، وتصحيحها بتقوية أسبابها من الإيمان بمولاه، والرغبة والرهبة فيما أعد من الثواب والعقاب، لتنبعث الإرادة الصالحة المثمرة للتجارة الرابحة، وحكم هذه الوجوب في جميع أنواع الطاعات، والندب في جميع المباحات وفي ترك المعاصي والمكروهات. والثاني على قصد الشيء مقترناً بفعله، وهذه هي التي يبحث عنها الفقهاء، وهي في الحقيقة عين الأولى، وإنما امتازت عنها باستحضار ذلك عند ابتداء الفعل، ووجوب ذلك الاستحضار مبني على أن وجوبه لازم، إما لتميير العبادة عن العادة كالغسل الواجب، أو المسنون من غسل التبرد، وإما لتمييز راتب العبادة بعضها عن بعض، كالصلاة تكون فرضاً أو نفلاً، فكل ما كان من العبادات مشتبهاً بالعادة أو على مراتب مختلفة لزم استحضار قصده عند ابتدائه، إلا نحو الصوم والزكاة مما جوّز الشرع فيه تقديم الاستحضار، وما لم يكن كذلك فلا، بل اللازم فيه النية بالمعنى الأول وهو إرادة وجه الله تعالى، فعلم أنه إما أن تجب النيتان معاً كما مر أو الأولى فقط، فيما سلم من الاشتباه والاختلاف، وذلك كالإسلام والأذان ومطلق الأذكار والقراءة، أما العادات وترك المعاصي والمكروهات فلا تجب لها نية، بل تندب الأولى ليثاب عليها، ولو أشرك في النية ما لا تطلب له نية فاته الكل عند ابن عبد السلام، واعتبر الباعث عند الغزالي اهـ. قلت: رجع ابن حجر في حاشية الإيضاح وأحال عليه في غيرها أن له ثواباً بقدر قصده الأخروي وإن قل. واعتمد (م ر) كلام الغزالي، وهذا في غير قصد نحو الرياء، أما هو فمسقط للثواب مطلقاً اتفاقاً، قاله الكردي:

     (مسألة: ب): اللحية إما خفيفة بأن ترى البشرة من خلالها في مجلس التخاطب، أو كثيفة بأن لا ترى، أو بعضها كذا وبعضها كذا، فلكل حكمه إن تميز، وإلا وجب غسل الجميع، وليس بينهما درجة متوسطة، وتحصل سنة التخليل بغسل الكثيفة بلا كراهة كالرأس، وورد أن من السنة أخذ غرفة بعد تثليث الوجه يغسل بها لحيته، ونص عليه العامري في البهجة لكنه لم يشتهر في كتب المذهب، وكأنهم لم يروه لقوادح خفيت عن المقلدين، فلم يسع لمثلنا إلا الإفتاء بما عليه أئمة المذهب، وقد ذكروا أنه تكره الزيادة على الثلاث، وللعامل سبيل غير الفتوى.

     (مسألة: ك): اعتمد الشيخ زكريا وابن حجر أن ما خرج عن حد الوجه بحيث لو مد خرج بالمد عن جهة نزوله من شعور وجه المرأة، والخنثى حكمه حكم الداخل في حده، أي فيجب غسل ظاهره وباطنه، والبشرة تحته مطلقاً، واعتمد (م ر): أن الخارج من شعورهما كالخارج من شعور الرجل إن خف وجب غسل ظاهره وباطنه، وإن كثف وجب غسل ظاهره فقط.

     (مسألة: ك): الوسخ الذي على ظاهر البدن والظفر والسرة إن نشأ من البدن كالعرق المتجمد فله حكم البدن فينقض لمسه، ويكفي إجراء الماء عليه في الطهارة، وإن نشأ من غير البدن كالغبار وجبت إزالته، أما الوسخ الذي يجتمع تحت الأظفار، فإن لم يمنع وصول الماء صح معه الوضوء، وإن منع فلا في الأصح، ولنا وجه وجيه بالعفو اختاره الغزالي والجويني والقفال، بل هو أظهر من حيث القواعد من القول بعدمه عندي، إذ المشقة تجلب التيسير، فيجوز تقليده بشرطه ولو بعد الصلاة اهـ. وفي ب نحوه في وسخ الأظفار وزاد: وفصل بعضهم بين أن يكون من وسخ البدن الذي لا يخلو عنه غالب الناس فيصح معه الوضوء للمشقة، وأن يطرأ من نحو عجين فلا، وهذا الذي أميل إليه.

     (مسألة: ب): يجب في نحو الشقوق إيصال الماء إلى جميع ما في محل الفرض من الغور الذي لم يستتر، وإزالة ما أذيب فيها من نحو شمع وسمن مانع من إيصال الماء إلى البشرة ما لم يصل اللحم، ويجب أيضاً إزالة ما خيط به الشق مما يمنع وصول الماء إلى محل الفرض ما لم يستتر، نعم إن خاف من إزالته محذور تيمم تيمماً عنه.

     [فائدة]: الذي يظهر من كلامهم أن الشق والثقب حيث كانا في الجلد ولم يصلا إلى اللحم الذي وراء الجلد وجب غسلهما إن لم يخش ضرراً وإلا تيمم، وحيث وصلا اللحم لم يجب، وإن لم يستتر، إلا إن ظهر الضوء من الجهة الأخرى فيجب غسل جميعه حينئذ، اهـ كردي.

     (مسألة): محدث حدثاً أصغر غمس أعضاءه الأربعة فقط في الماء ونوى ارتفع حدثه وإن لم يمكث، كما لو غطس بعد أن طلى ما عداها بشمع، نقله الكردي عن فتاوى ابن حجر، وأفتى به عبد الله بن سراج، وخالفهما أبو حويرث فقال: لا يرتفع بغمس الأعضاء المذكورة بل لا بد من الغطس، وفرق بين المسألتين.

 

سنن الوضوء

     [فائدة]: يسن للمتوضىء أن يتعوذ قبل التسمية ثم بعدهما: الحمد لله الذي جعل الماء طهوراً والإسلام نوراً، الحمد لله على الإسلام ونعمته، رب أعوذ بك من همزات الشياطين، وأعوذ بك رب أن يحضرون، ثم يتشهد، ومما ينفع للوسوسة في أي أمر كان أن يضع يمناه على صدره ويقول: سبحان الملك الخلاق الفعال سبعاً {إن يشأ يذهبكم ويأت بخلق ـ إلى ـ عزيز} اهـ (ش ق). ولا ينبغي أن يأتي بالأذكار الواردة في الوضوء وبعده في نحو الجوابي المعهودة، لأنها صارت محلاً للبول والقذر فيكره فيها الذكر، كما قاله الحبيب القطب عبد الله الحداد، وشد النكير على من نقل عنه خلافه.

     (مسألة: ش): المعتمد أن أول سنن الوضوء التسمية، وقيل السواك، ولو ترك بعض السنن ولو من أوله أثيب على ما أتى به منها بشرط أن توجد النية فيما قبل غسل الوجه، نعم الترتيب بين المضمضة وغسل الكفين مستحق، فلو قدمها لم تحسب على المعتمد، وكذا بين مسح الرأس والأذنين لا غير. وهنا دقيقة وهي ندب السواك لكل ذكر فيشمل التسمية، وندبها لكل أمر ذي بال، فيحصل حينئذ دور كما هو معلوم، ولا يتخلص منه إلا بأن يقال: تسمية السواك لا يندب قبلها سواك، وهو أولى من عكسه لاعتناء الشارع بالتسمية أكثر.

     [فائدة]: قال سم: يحرم وضع اليد المتنجسة بعينية في البركة الموقوفة أو المسبلة إن تقذر منها الماء لإمكان طهرها خارجها، ومثله البصاق والمخاط، اهـ كردي.

     (مسألة): يتخير نحو المتوضىء في تخليل اللحية والأصابع كالدلك، بين أن يفعله مع كل غسلة أو يؤخره بعد الثالثة، ويخلل ثلاثاً وهو الأولى، ويسنّ تخليل اللحية بغرفة مستقلة، قاله في التحفة، نعم في الإيعاب ندب تخليل أصابع الرجلين مع غسلهما.

     (مسألة: ب): يحصل سنّ تخليل أصابع اليدين والرجلين بأي كيفية كانت، وكمالها بالكيفية المشهورة ومستقلاً بماء جديد.

     (مسألة): لا يحصل تطويل الغرة إلا بعد نية معتبرة ولو عند غسل حمرة الشفة، وظاهر قوله : "أنتم الغر المحجلون يوم القيامة من إسباغ الوضوء" أن هذه السيما إنما تكون لمن توضأ بالفعل في حياته لا بوضوء الغاسل للميت، وينبغي أن مثل الوضوء التيمم لإقامته مقامه، اهـ ع ش.

     (مسألة): لا تحصل سنة تثليث الرأس بمسح ثلاثة جوانب منه ولو مرتباً إذ لا يسمى تثليثاً، إلا إن كان بموضع واحد كما نص عليه، نعم يحصل بذلك تكميل الرأس إن عمه، وشرط المسح على العمامة أن لا يعصي بلبسها لذاته كمحرم، وأن لا يكون عليها نجاسة ولو معفوّاً عنها، وأن يمسح جزءاً من الرأس أولاً، وأن يتصل مسح الجزء بمسح العمامة وإلا صار مستعملاً. قاله في حاشية الجمل، وفي ش ق: لا يشترط الاتصال على المعتمد.

     [فائدة]: يندب غسل الأذنين مع الوجه ثلاثاً كمسحهما مع الرأس ومنفردتين ووضع كفيه عليهما، فالجملة اثنا عشر اهـ أجهوري. وقوله: ووضع كفيه إلخ قال ش ق: أي ثلاث مرات على التوالي بعد تثليث مسح الأذنين على الأظهر، لا بعد المرة الأولى ولا بعد كل مرة اهـ.

     (فرع): لو كان معه ماء لا يكفي كل السنن قدم ما قيل بوجوبه، ثم ما أجمع على طلبه، ثم ما قوي دليله على الأوجه، ولو كفى تثليث بعض الأعضاء كالوجه فالظاهر أن تفريقه على الكل مرتين أولى، اهـ بجيرمي على الإقناع.

     (مسألة: ب): تردد سم في ندب الشرب عقب الوضوء من الماء الموقوف، ولم أر من صرح بندبه، لكن إطلاقهم يقتضي أنه لا فرق كسائر السنن، وكأن ترك الشرب من الجوابي المعروفة لاستقذارها غالباً، ومعلوم أن تناول المستقذر حرام، فلو فرض عدم الاستقذار سنّ الشرب حينئذ اهـ، وخالفه ج فقال: الظاهر حرمة الشرب أخذاً من إطلاقهم حرمة الشرب من الماء الموقوف للطهارة، سواء قبل الوضوء وبعده، إذ هو مناف لشرط الواقف، وقاعدة إذا اجتمع المقتضي والمانع تقديم المانع تؤيد ذلك.

     [فائدة]: يندب للمشتغل بالوضوء إجابة المؤذن ولو فرغ من الوضوء مع فراغ المؤذن أتى بالذكر المشروع عقب الوضوء، ثم ذكر الأذان، ثم دعاء الوضوء، ولا يفوت الأذكار عقبه بطول الفصل كركعتي الطواف والتكبير المقيد، اهـ فتاوى بامخرمة.

     [فائدة]: ينبغي أن لا يتكلم بين الوضوء والذكر لخبر: "من توضأ ثم قال قبل أن يتكلم أشهد الخ غفر له ما بين الوضوء من قبل". وورد: "من قرأ {إنا أنزلناه} في أثر وضوئه مرة كان من الصدِّيقين، ومن قرأها مرتين كتب في ديوان الشهداء، ومن قرأها ثلاثاً حشره الله مع الأنبياء" اهـ إيعاب. وفي نزهة المجالس حديث: "من قرأها مرة كتب له عبادة خمسين سنة، أو مرتين أعطاه الله ما يعطي الخليل والكليم والحبيب، أو ثلاثاً فتحت له أبواب الجنة يدخل من أيها شاء بلا عتاب ولا عذاب" ويسنّ قراءة الإخلاص لأنه عليه الصلاة والسلام أمر علياً بذلك، ويسنّ عقب الوضوء: اللهم اغفر لي ذنبي، ووسع لي في داري. وبارك لي في رزقي اهـ. زاد في الترحيمية للشيخ حسن بن خليل المقدسي: وقنعني بما رزقتني، ولا تفتني بما زويت عني، اهـ من تكملة فتح المعين للشيخ عبد الله باسودان.

     (مسألة: ك): تفوت سنة الوضوء بطول الفصل عرفاً كما في التحفة والنهاية، وضابطه بأن يزيد على الذكر المأثور وإنا أنزلناه ثلاثاً بقدر ركعتين خفيفتين، ونقل عن إفتاء السمهودي أن فواتها بالحدث، ويسنّ أن يقرأ في الأولى: {ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم ـ إلى ـ رحيماً} وفي الثانية: {ومن يعمل سوءاً ـ إلى ـ رحيماً} اهـ. قلت: ورجح في فتاوى بامخرمة كلام السمهودي، وينبغي أن يستغفر الله ثلاثاً كل ركعة بعد قراءة الآية المذكورة، كما نص عليه في المسالك وغيره.

     [فائدة]: في استحباب تجديد الوضوء خمسة أوجه: أصحها بعد أن يصلي بالأول ولو نفلاً، والثاني بعد فرض، والثالث بعدما يطلب له الوضوء، والرابع بعد صلاة أو سجدة أو قراءة في مصحف، والخامس مطلقاً اهـ شرح المهذب، قال ابن حجر: يحرم التجديد قبل أن يصلي صلاة ما إن قصد عبادة مستقلة، وقال (م ر): يكره.

     [فائدة]: لا بد للوضوء المسنون من نية معتبرة ولو نية الفرضية إذا لم يرد الحقيقة، ولا تكفي نية الأسباب، لأن القصد هنا رفع الحدث الأصغر، إما لنحو حدثه الأكبر في صورة الجنب، أو لتحصيل حقيقة الطهارة، فيكفر إثمه في نحو التكلم بكلام فيه إثم، أو لرفع حدثه فيما فيه خلاف بنقض الوضوء، أو ليزداد تعظيمه وتأمله في نحو قراءة القرآن والعلم، وبه علم الفرق بينه وبين الغسل المسنون حيث نوي سببه اهـ ش ق.

 

مسح الخف

     [فائدة]: شرع مسح الخف في السنة التاسعة، وثبت عنه قولاً وفعلاً، وعن الحسن: حدثني سبعون صحابياً أنه مسح على الخفين اهـ باجوري.

     (مسألة: ك): المعتمد الذي دل عليه كلام ابن حجر و (م ر) وغيرهما اشتراط الطهارة وغيرها من شروط المسح عند اللبس فقط، فلو طرأت نجاسة وزالت قبل المسح ولو بعد الحدث، أو لم تزل ومسح على غير موضعها أو موضعها وهي معفوّ عنها لم يضر، وما أوهمته عبارة التحفة من الضرر فمؤوّل، إذ يغتفر في الدوام ما لا يغتفر في الابتداء.

     [فائدة] : ابتداء المدة في الخف من انتهاء الحدث مطلقاً عند ابن حجر والخطيب تبعاً لشيخهما زكريا، وفرق (م ر) بين ما كان بغير اختياره كالخارج فمن انتهائه، أو باختياره كاللمس والنوم فمن ابتدائه كما لو اجتمعا اهـ باسودان.

 

نواقض الوضوء

     (مسألة: ج): ابتلي ببلل يخرج من ذكره، فإن تحقق خروجه من داخله فنجس ينتقض به الوضوء، وإلا فلا نقض ولا تنجس للشك، وأما الدم الخارج من الدبر من علة البواسير أو غيرها، فإن كان من داخل الدبر نقض قطعاً أو من خارجه فلا.

     (مسألة): خرجت مقعدة المبسور انتقض وضوؤه، وتصح إمامة المبسور إذ لا تلزمه الإعادة.

     [فائدة]: الحاصل في النقض بالخارج من الثقبة أنه إن كان المخرج منفتحاً فلا نقض بالخارج من غيره مطلقاً اتفاقاً، أو منسدّاً نظر، فإن كان خلقياً نقض الخارج مطلقاً حتى من المنافذ كالفم عند ابن حجر، خلافاً لـ(مر) والخطيب فيها أو عارضاً فلا نقض به، إلا إن خرج من تحت السرة اتفاقاً، وتثبت للمنسدّ جميع الأحكام، سواء كان خلقياً أو عارضاً، ولا يثبت للمنفتح إلا النقض بالخارج منه فقط، قاله الشيخ زكريا وابن حجر، ووافقهما (م ر): في العارض، قال: أما في الخلقي فتنقل جميع الأحكام للمنفتح وتسلب عن الأصلي اهـ كردي.

     [فائدة]: خروج المني يوجب الغسل ولا ينقض الوضوء، ونظم بعضهم صور خروجه من غير نقض فقال:

نظر وفكر ثم نوم ممكن >< إيلاجه في خرقة هي تقبض

وكذاك في ذكر وفرج بهيمة >< ست أتت في روضة لا تنقض

وكذاك وطء صغيرة أو محرم >< هذي ثمان نقضها لا يعرض

وزيد عليها إخراج المني بنحو فخذه اهـ باجوري.

     [فائدة]: العقل الغريزي صفة غريزية يتبعها العلم بالضروريات عند سلامة الحواس، وهو إما وهبي وهو ما عليه مناط التكليف، أو كسبي وهو ما يكسب من تجارب الزمان، وسمي عقلاً لأنه يعقل صاحبه عن ارتكاب الفواحش، ولذا يقال: لا عقل لمرتكب الفواحش، والأصح أن مقره القلب، وله شعاع متصل بالدماغ، وهو أفضل من العلم لأنه منبعه وأسه، قاله ابن حجر. وقال (م ر) عكسه لاستلزامه له، ولأن الله تعالى يوصف بالعلم لا بالعقل اهـ باجوري.

     [فائدة]: الجنون مرض يزيل الشعور من القلب مع بقاء القوة والحركة في الأعضاء، والإغماء يزيلها مع فتور الأعضاء، والسكر خبل في العقل مع طرب واختلاط نطق، والنوم ريح لطيفة تأتي من الدماغ إلى القلب فتغطي العين، فإن لم تصل إلى القلب فنعاس لا نقض به اهـ جمل.

فائدة أخبر معصوم نائماً غير ممكن بعدم خروج شيء لم ينتقض كما في الإمداد، ولو أخبر من نام ممكناً عدل بخروج ريح أو بلمسها له وجب الأخذ بقوله، كما اعتمده في التحفة والإيعاب، خلافاً لما نقله زي عن (م ر) من النقض في الأولى وعدمه في الثانية، واعتمد بج وجوب الأخذ في الثانية إن كان المخبر معصوماً.

     [فائدة]: المس يخالف اللمس في هذا الباب من ثمانية

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manaqib jawahirul ma’ani atau MANAQIB ASY-SYEICH ABDUL QADIR AL-JILANI

Kitab Lubabul Hadist dan Terjemahan

Fiqih Puasa Mazhab Syafi’i