Al-Muatha Imam Malik

 


Terjemahan Kitab Al-Muwatha'
 

Kitab Al Muwatta adalah sebuah kitab yang lengkap penyusunannya selain dari kitab “Al-Majmu” karangan Zaid. Perkataan Al Muwatta (Dinamakan Al Muwatta, karena Al-Mansur ingin jadikan kitab itu sebuah kitab yang sederhana ) ialah jalan yang mudah yang disediakan untuk ibadat, ia adalah sebuah kitab yang paling besarsekali yang ditulis oleh Imam Malik. Sebab yang mendorong kepada penyusunannya ialah disebabkan timbulnya pendapat-pendapat penduduk Irak dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dan disebabkan kelemahan ingatan dan riwayat, oleh karena itu lebih nyatalah tuntutan kepada penyimpanan dan menyalinnya supaya ilmu-ilmu tidak hilang atau dilupakan : Kitab Al-Muwatta berisikan hadits-hadits dan pendapat para sahabat Rasulullah dan juga
pendapat-pendapat tabi’in.


Sebagaimana telah disebutkan, Abu Ja;far Al-Mansur adalah orang yang mendorong kepada penyusunan kitab Al-Muwatta karena beliau pernah berkata : Susunkan sebuah kitab untuk manusia, aku akan mengajarkan kepada mereka. Abu Al-Mansur telah mengulangi permintaannya. Beliau berkata : Susunkan kitab, tidak ada pada hari ini orang yang lebih alim dari engkau. Imam Malik pun menyusun kitab “Al-Muwatta”.

Menurut riwayat yang lain pula bahwa Al-Mansur berkata kepada Imam Malik : Hai Abu Abdullah jadikan semua ilmu itu satu ilmu saja. Malik berkata kepada Al-Khalifah : Sesungguhnya  sahabat-sahabat Rasulullah memberi fatwa mengikuti pendapatnya. Dan bahwa bagi penduduk negeri ini ‘Mekah’ satu pendapat, penduduk ‘Madinah’ pula ada satu pendapat dan bagi penduduk Irak juga ada pendapat.
Tiap-tiap golongan itu telah menemui kewajiban mereka masing-masing.

Abu Ja’far berkata : Ada pun orang-orang Irak aku tidak menerima taubat atau tebusan. Tetapi ilmu yang benar ialah ilmu penduduk Madinah maka oleh karena itu susunlah ilmu untuk manusia.

Malik berkata : Sebenarnya orang-orang Irak tidak menerima pendapat kita.
Abu Ja’far menjawab : Mereka boleh diperangi dan boleh dipukul.

Tujuan khalifah berkata demikian ialah untuk menyatukan masalah-masalah dan hukum-hukum di seluruhnegara-negara Islam pada masa itu, yaitu pada tahun 148 Hijriah.

Imam Malik menulis kitabnya dengan bermacam-macam bidang ilmu agama seperti ilmu hadits dan pendapat-pendapat penduduk Madinah. Beliau berusaha dengan tabah untuk mengarang kitab Al-Muwatta sehingga tahun 159 Hijriah. Diceritakan bahwa Imam malik berusaha dan memperbaharui serta mendalami untuk menyiapkan kitab Al-Muwatta selama 40 tahun.
khalifah Al-Mansur meninggal dunia sebelum kitab Muwatta selesai dikarang.

Imam malik mengambil pendapat-pendapat yang disepakati, dan beliau mengkritik rawi-rawi dengan halus dan mendalam, beliau pernah berkata :
Ilmu tidak harus diambil atau dipelajari dari empat orang dan harus dipelajari dari mereka yang lain dari itu. Orang bodoh, orang yang budi pekertinya tidak baik dan suka mengada-ada, suka membohongi atau mendustai, sekali pun ia tidak membuat fitnah terhadap hadits-hadits Rasulullah dan seorang guru yang baik dan mulia perangai dan beribadat tetapi ia tidak mengetahui kebenaran apa yang dipercayai kemudian ia mengajar kepada orang lain.

Imam Malik berkata lagi : Aku mengetahui bahwa di negeri ini terdapat beberapa kaum, juga meminta hujan mereka akan diberi minum, mereka telah mendengar dan mempelajari hadits-hadits dengan banyak, tetapi aku tidak mengambil satu hadits pun dari merka itu, karena mereka menetapkan diri mereka dengan takut kepada Allah sedangkan perkara ini “riwayat hadits” dan fatwa berkehendak kepada seorang lelaki yang bersifat takwa, alim pemeliharaan, tekun, ilmu dan pahaman. Justru itu ia dapat mengetahui apa yang keluar dari kepalanya dan apa yang sampai ke dalam kepalanya, orang yang tidak ada ketekunan dan tidak ada makrifat maka orang itu tidak boleh diambil faedah dan ia tidak boleh menjadi hujjah dan tidak boleh dipelajari daripadanya.

Harun Ar-Rasyid menganjurkan supaya Malik menggantungkan kitab Al-Muwatta di Ka’bah karena memuliakan dan menyatukan manusia, tetapi Imam Malik tidak setuju dan berkata : Wahai Amirul-mukminin, menggantung kitab Al-Muwatta di Ka’bah itu sahabat-sahabat Rasulullah berselisih tentang masalah fura’ dan mereka telah berpindah ke negeri-negeri yang jauh dan tiap-tiap seorang itu ada masalah tersendiri.

Malik menguatkan pendapatnya dengan katanya bahwa perselisihan di antara fuqaha adalah rahmat, beliau berkata kepada Ar-Rasyid : Wahai Amirul-mukminin sesungguhnya perselisihan antara ulama itu adalah rahmat dari Allah swt. kepada umat ini. Tiap-tiap seorang hendaklah menuruti apa yang benar di sisi mereka dan semua mereka dapat petunjuk dan semuanya adalah atas kehendak Allah.

Patut diingatkan bahwa kitab Al-Muwatta bukanlah sebuah kitab hadits sebagaimana yang diketahui, tetapi ia adalah sebuah kitab fiqih.
Cita-cita Imam Malik ialah untuk menerangkan kata sepakat orang Madinah atau dengan kata lain ilmu fiqih madinah. Banyak disebutkan fatwa imam-imam dalam hukum yang ada, atau hukum-hukum tanggapan. Dihimpunkan di dalamnya dalil Sunnah dari Madinah dan juga disinggung masalah hukum fiqih berasaskan padanya karena perbuatan atau muamalat orang-orang Madinah adalahmendapat penilaian yang baik di sisi Imam Malik sebagaimana yang telah kita ketahui.

Imam malik menjadikan kitab Al-Muwatta sebagai penjelasan terhadap hadits dari segi ilmiah dan Malik menggunakan pendapatnya jika ia tidak menemui hadits-hadits.

Untuk lebih jelasnya marilah kita melihat bagiaman cara Imam Malik dalam memberikan penjelasan yang berhubungan dengan kitab Al-Muwatta :

Kebanyakan kandungan kitab adalah pendapat, demi umurku ia bukanlah pendapat, tetapi ia adalah pungutan dari beberapa orang ahli ilmu, orang-orang yang mulia, dan imam yang diikuti orang banyak yang aku ambil dari mereka. Mereka itu sangat takut kepada Allah, oleh karena terlalu banyak aku katakan pendapat ku karena pendapat mereka adalah pendapat sahabat-sahabat yang mereka berkesempatan menemuinya dan aku sempat menemui mereka. Dalam hal itu maka ini adalah pusaka yang dipusakai mereka dari abad ke abad sehinggalah sampai sekarang ini. Dan tiap-tiap pendapat itu merupakan satu pendapat segolongan dari imam-imam.

Dan tiap-tiap perkara yang disepakati merupakan perkara-perkara yang disetujui oleh ahli fiqih dan ilmu. Dan tiap-tiap perkataan yang aku katakan : Hukum ini mengikuti pendapat kami, maka ia adalah perkara yang dibuat oleh orang bersama-sama kami dan telah dijalankan mengikuti hukum ‘am dan khas, dan begitu juga apa yang ku katakan di negeri kami. Dan apa yang kukatakan : setengah dari penduduknya maka ia adalah satu perkara yang kuperbaikinya dari pendapat para ulama.

Pendapat yang tidak kudapati dari mereka maka aku berijtihad dan aku selidiki pendapat mazhab yang aku temui sehingga semuanya menjadi benar atau hampir dengan hak. Sehingga tidak keluar dari mazhab ahli Madinah dan pendapat-pendapat mereka.

Dan jika aku tidak pernah mendengar pendapat itu, aku kembalikan pendapat itu kepada jauhnya ijtihad dari As-Sunnah. Dan perkara-perkara yang telah diamalkan oleh ahli ilmu yang diikuti dan perkara-perkara yang dibuat di sisi kami sejak dari zaman hidup Rasulullah dan Imam-imam Ar-Rasyidin serta orang-orang yang aku temui mereka. Itulah pendapat mereka, aku tidak sekali-kali keluar kepada yang lain.

Imam Syafii menyifatkan kitab Al-Muwatta : Tidak ada satu kitab pun di atas muka bumi ini yang lebih banyak kebenarannya dari kitab Al-Muwatta Imam Malik.

Imam Nawawi menceritakan pendapat yang tersebut di atas kemudian ia menambahkan kata-katanya : Ulama berkata, Imam Syafi’i berkata demikian sebelum ada kitab Sahih Bukhari dan Muslim dan kedua kitab ini lebih benar dari kitab Al-Muwatta menurut kesepakatan seluruh para ulama.

Kitab Al-Muwatta mendapat perhatian serius dari segi hadits-hadits dan rawi-rawi maupun penyusunnya sehingga bilangan mereka itu meningkat 90 orang.

Beberapa banyak syair telah disusun untuk memuji kitab Al-Muwatta di antaranya ialah :
Seandainya engkau ingin disebut seorang alim  Maka janganlah engkau jauhkan dari ilmu-ilmu ‘Yathrib’ apakah engkau ingin meninggalkan sebuah negeri, di mana rumahnya.
Diulang-alik oleh Malaikat Jibril?
Di sana Rasulullah meninggal dunia
Dengan ajaran-ajarannya sahabat-sahabat ikut berbicara tentang ilmu, pengetahuan telah pecah dikalangan pengikut-pengikutnya.
Tiap orang ada mazhab ikutannya.
Imam Malik menyusunnya dengan baik untuk manusia.
Dari keterangan dan kajian yang benar dan baik.
Bacalah kitab Al-Muwatta Imam Malik sebelum terlewat.
Maka tidak ada selepasnya untuk kebenaran yang dicari, dan carilah dari Muwatta tiap-tiap ilmu yang engkau sukai.
Karena Al-Muwatta adalah matahari dan yang lain bulan siapa yang tidak menyimpan kitab Al-Muwatta di rumahnya.
Maka rumah itu akan jauh dari petunjuk, semoga Allah memberi ganjaran kepada Malik dengan keberkatan Al-Muwatta.
Dengan sebaik-baik ganjaran yang diberikan kepada seorang yang sangat mulia.
Ahli ilmu menjadi mulia di masa hidup dan mati.
Mereka dijadikan perumpamaan untuk manusia.
**********************
Al Muwatha Imam Malik
 
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Hadits dalam perkembangannya tidaklah seperti Al-Qur’an yang terus terjaga dalam hafalam umat muslim. Hadits yang semula tidak terbukukan terus disampaikan dari mulut ke mulut hingga mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa kodifikasi. Perkembangan tersebut bisa dilihat dari banyaknya kitab hadits yang menghimpun seluruh gerak gerik Nabi Muhammad SAW hingga kitab tersebut sampai saat ini masih memiliki otoritas yang sangat urgen dan penting dalam kehidupan umat Islam.
Hadits yang dihimpun oleh para Imam tersebut, jika dilihat satu persatu dalam satu tema tertentu banyak yang berbeda secara redaksi. Hal tersebut terjadi dengan beberapa sebab, baik iu dikarenakan hadits tersebut disampaikan Rasulullah dengan variasi keadaan, ataupun karena jalur yang berbeda hingga terkadang mengalami tambahan dan pengurangan.
Hal tersebut terjadi dengan banyak factor pendukung pula, baik intelektual para rawi ataupun bisa jadi karena adanya kepentingan politik.
Salah satu kitab hadits tertua yang pernah disusun adalah kitab Al-Muwatha karya Imam Malik. Kitab ini memiliki posisi yang sangat penting terutama bagi penganut madzhab Maliki. Selain itu kitab ini juga dikaji oleh banyak pihak terlebih oleh para Orientalis yang mencoba mengkritisi redaksi dan isi kitab hingga menimbulkan banyak perdebatan.
Kitab Al-Muwatha selain kitab hadits , juga dijuluki sebagai kitab fiqih atau kitab sumber hokum. Hal tersebut dipandang dengan alas an bahwa dalam penyususnannya kitab ini menggunakan metode fiqih sehingga terkesan sebagai kitab fiqih semata. Hal ini menjadi menarik tentuny karena fiqih merupakan suatu prodak manusia sehingga dari hal ini bias dilihat bagaimana kajian atau kodifikasi penulisan hadits yang dilakukan oleh imam malik sehingga melahirkan suatu madzhab yang terus berkembang sampai sekarang. Oaleh karena itu maka dirasakan sangat perlu untuk mengkaji kitab Muwatha tersebut dengan berbadai aspeknya.
 
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang penyusunan Kitab Al-Muwatha?
2. Bagaimana metode dan kualitas Hadits dalam kitab Al-Muwatha?
C.    Tujuan
1. Mengetahui deskripsi dan biografi terkait Imam Malik
2. Mengetahui deskripsi kitab Al-Muwatha
D.    Kegunaan
1. Sebagai sumbangan keilmuan
2. Sebagai syarat memenuhi tugas mata Kuliah Studi Kitab Hadits
 
 
BAB II
BIOGRAFI IMAM MALIK

A.    Nama Lengkap dan Nasab
Imam Malik mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani. Nama kunyah beliau adalah Abu Abdullah, sedang nama laqab beliau adalah al-Asbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam Dar al-Hijrah dan al-Humiri.
Imam Malik lahir di madinah dari pasangan Anas bin Malik dan Aliyah binti Suraik, bangsa Arab Yaman.  Tanah asal leluhur beliau adalah Yaman, akan tetapi setelah nenek moyangya menganut agama Islam, mereka pindah ke madinah. Ayah imam Malik bukanlah Anas bin Malik yang merupakan sahabat nabi, akan tetapi beliau adalah seorang tabi’in yang minim sekali pengetahuannya. Ayah beliau tinggal di suatu tempat yang bernama Zulmawah, nama suatu tempat di padang pasir sebalah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat tanah. Sedangkan kakek beliau yang bernama kunyah Abu Anas merupakan salah seorang tabi’in besar yang banyak meriwayatkan hadis dari Umar, Talhah, Aisyah, Abu Hurairah dan Hasan bin Abi Sabit. Kakek Imam Malik juga termasuk penulis Mushaf Usmani serta termasuk orang yang mengikuti penaklukan Afrika pada masa khalifah Usman.
Mengenai tahun kelahiran Malik ibn Anas, para ahli tarikh berbeda pendapat. Al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat Fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata :”aku dilahirkan pada 93 H”.  selain itu, ada pula yang menyebut bahwa beliau lahir pada tahun  97 H. Akan tetapi dari beberapa pendapat di atas, mayoritas ahli tarikh tersebut menyatakan 93 H yakni pada masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ibn Marwan.
Imam Malik mempunyai tiga orang putera dan seorang puteri dari istrinya yang merupakan hamba sahaya. Nama-nama anaknya adalah Yahya, Muhammad, Hammad serta Fatimah.  Menurut Abu Umar, Fatimah termasuk di antara anak-anaknya dengan tekun mempelajari dan hafal dengan baik kitab Al-Muwatta’.
Adapun mengenai waktu wafatnya Imam Malik, terdapat beberapa pendapat sebagaimana berbedanya mengenai tahun kelahiran beliau. Ada yang menyatakan bahwa beliau wafat tanggal 11, 12, 13, 14 bulan Rajab 179 H dan adapula yang berpendapat 12 Rabiul Awwal 179 H. di antara pandangan yang paling banyak diikuti adalah pendapat Qadi abu Fadl Iyad yang menyatakan bahwa Imam Malik meninggal pada hari Ahad 12 Rabiul Awwal 179
H dalam usia 87 tahun, setelah satu bulan menderita sakit. Beliau berwasiat bahwa supaya dikafani dengan sebagian kain putih yang biasa dipakainya dan disembahyangkan di tempat meninggalnya. Kemudian beliau dimakamkan di Baqi’ di luar kota Madinah.
 
B.Kepribadian
Imam Malik mempunyai budi pekerti yang luhur, sopan, lemah lembut, suka menolong orang kesusahan, dan suka berderma kepada fakir miskin. Beliau juga termasuk orang yang pendiam, tidak suka membual dan berbicara seperlunya, sehingga dihormati oleh banyk orang. Imam Malik juga terkenal oleh ketulusan dan kesalehannya. Ia selalu bertindak sesuai dengan keyakinannya. Ancaman atau kemurahan hati tidak akan dapat membelokkan dia dari jalan yang lurus. Sebagai anggota kelompok yang gemilang pada masa awal Islam, ia tak dapat dibeli dan semangat keberaniannya selalu membuktikan bahwa ia adalah bintang pembimbing bagi para pejuang kemerdekaan.
Malik ibn Anas memiliki kepribadian yang sangat kuat dan kokoh dalam pendirian, dengan bukti bahwa beliau menolak Imam Malik untuk datang ke tempat penguasa, Harun al-Rasyid dan menjadi guru bagi keluarga mereka.
Menurut beliau, semua orang yang membutuhkan ilmu harus datang kepada guru dan ilmu tidak mendatangi murid serta tidak perlu secara eksklusif disendirikan meski mereka adalah penguasa. Pada 174 H, khalifah Harun ar-Rasyid tiba di Madinah dengan kedua putranya, Amin dan Ma’mun. ia
memangil imam Malik menghadap ke balairung untuk menceramahkan Muwatta’. Imam Malik dating ke balirung tetapi menolak memberikan ceramah. Ia berkata: “Rasyid, hadis ialah pelajaran yang dihomati dan dijunjung tinggi leluhur anda. Bila anda tidak menghormatinya, orang lain pun demukian juga”. Alasan penolakan itu diterima khalifah, dan baginda bersama kedua putranya bersedia datang ke tempat Imam Malik untuk mengikuti kulyah imam tersebut.
Selain itu juga, bukti yang menunjukan bahwa imam Malik merupakan seorang yang kuat dan kokoh dalam pendirian adalah bahwa imam Malik pernah dicambuk 70 kali oleh gubernur Madinah Ja’far ibn Sulaiman ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas, paman dari khalifah Ja’far ibn al-Mansur, karena menolak mengikuti pandangan ja’far ibn Sulaiman. Bahkan dalam sebuah riwayat diceritakan Imam Malik didera dengan cemeti sehingga tulang pungungnya hampir putus dan keluar dari lengannya dan tulang belakangnya hampir remuk. Setelah itu beliau diikat di atas punggung unta dan di arak keliling Madinah, supaya beliau malu dan mau mencabut fatwa-fatwanya yang berbeda dengan penguasa, tetapi Imam Malik tetap menolaknya. Kemudian bukti lainnya adalah bahwa meski tiga khalifah
(Ja’far al-Mansur [131-163 H], al-Mahdi [163-173 H] dan Harun al-Rasyid [173-197 H]) telah meminta Imam Malik menjadikan al-Muwatta’ sebagai kitab resmi Negara namun tiga kali pula Imam Malik menolak permintaan mereka.
Pengendalian diri dan kesabaran imam Malik membuat ia ternama diseantero dunia Islam. Berbeda dengan pada umumnya, Imam Malik merupakan sosok yang sangat menghargai ilmu pengetahuan tanpa pandang bulu. Pernah semua orang panik lari lintang-pukang ketika segerombolan kharijis bersenjatakan pedang memasuki Masjid Kufa. Tetapi Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas dan beranjak dari tempatnya. Mencium khalifah apabila
menghadap di balairung sudah menjadi adat kebiasaan, namun imam Malik tak pernah tunduk adat seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam abu Hanifa yang mengunjunginya.
 
C.    Riwayat Pendidikan
Sejak kecil atas dukungan orang tunya, khususnya ibunya, beliau berguru kepada para ulama di Madinah. Beliau tidak pernah berkelana keluar dari Madinah. Hal ini dikarenkan kota Madiah pada saat itu merupakan kota pusat ilmu pengetahuan agama Islam, dank arena di tempat inilah banyak tabiin yang bergurau dari sahabatt-sahabat nabi dan banyak ulama dari berbagai penjuru dunia berdatangan untuk bertukar pikiran. Imam Malik pernah beajar kepada 900 guru, 300 di antaranya dari golongan tabiin dan
600 orang dari kalangan tabiit tabiin. Menurut Amin a-Khulli, di antara guru-gurunya yang terkemuka adalah:
1. Rabi’ah al-Ra’yi bin Abi Abdurrahman Furuh al-Madani (w. 136 H).
Rabi’ah adalah guru Imam Malik pada waktu kecl, yang mengajari Imam Malik tentang Ilmu Akhlak, Ilmu Fiqh dan Ilmu Hadis. Ada 12 riwayat hais yang diriwayatkan, dengan perincian lima musnad dan satu mursal.
2. Ibnu Hurmuz abu Bakar bin yazid (w. 147 H). imam Malik berguru kepada Hurmuz selama kurang lebih 8 tahun dalam Ilmu Kalam, Ilmu I’tiqad
dan IlmuFiqh dan mendapatkan 54-57 hadis darinya.
3. Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H), Imam Malik meriwayatkan 132 hadis darinya, dengan rincian 92 hadis musnad dan yang lainnya mursal.
4. Nafi’ ibn Surajis Abdullah al-Jaelani  (w. 120 H). dia adalah pembantu keluarga Abdullah ibn Umar dan hidup pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Riwayat Imam Malik darinya adalah riwayat yang paling shahih sanadnya. Imam Malik mendapat 80 hadis lebih dari Nafi’
5. Ja’far Sadiq ibn Muhammad ibnAli al-Husain ibn Abu Talib al-Madani (w. 148 H). beliau adalah salah seorang imam isna asy’ariyah, ahlul bait dan ulama besar. Imam Malik berguru fiqh dan hadis kepadanya dan mengambil Sembilan hadis darinya dalam bab manasik
6. Muhammad ibn al-Mundakir ibn al-Hadiri al-Taimy al-Qurasyi (w. 131 H). beliau adalah saudara dari Rabi’ah al-Ra’yi, ahli fiqh Hijaz dan Madinah, ahli hadis dan seorang qari’ yang tergolong sayyidat al-qura’.
Adapun mengenai murid-murid Imam Malik dapat diklasifikan dalam tiga kelompok:
1. Dari kalangan tabiin di antaranya Sufyan al-Sauri, al-Lais bin Said, Hammad ibn Zaid, Sufyan ibn Uyainah, Abu Hanifah, Abu usuf, Syarik ibn Lahi’ah dan Ismail ibn Khatir
2. Dari kalangan Tabiit-tabiin adalah al-Zuhri, Ayub
al-Syakhtiyani, Abul Aswad, Rabiah ibn Abd al-Rahman, Yahya ibn Sa’id al-Ansari, Musa ibn Uqbah dan HIsyam ibn ‘Urwah Bukan Tabi’in: Nafi’ ibn Abi Nu’aim, Muhammad ibn Aljan, Salim ibn Abi ‘Umaiyah, Abu al-Nadri, Maula Umar ibn Abdullah, al-Syafi’I dan Ibn Mubarak.
D.    Karya-Karya Imam Malik
Beberapa karya Imam Malik selain al-Muwatta` yaitu  : 1) Risalah fi al-Qadr, 2) Risalah fi Nujum wa Manazil al-Qamar, 3) Risalah fi al-Aqdhiyah, 4) Risalah ila Abi Ghassan Muhammad, 5) Risalah ila Lais bin Sa’ad fi Ijma’ Ahl Madinah, 7) Kitab masa` Islam, 8) Ahkam al-Qur`an
9) Risalah ila ibn Wahb, 10) Al-Mudawwanatul Kubra, 11) Tafsir Al-Qur`an, 12) Kitab Tafsir li gharib al-Qur`an.
Dari sekian kitab yang ditulis oleh Imam Malik, hanya kitab Al-Muwatta’ dan Al-Mudawwanah al-Kubra yang sampai ke tangan kita.
 
 
BAB III
KITAB AL-MUWATHA
A.    Latar Belakang Penyusunan
Menurut Noel J. Coulson, problem sosial politik menjadi hal yang paling berpengaruh yang melatarbelakangi penyusunan kitab Al-Muwatta’. Konflik politik negara yang terjadi pada masa transisi Daulah Umayyah-Abasyiah sehingga melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij-Syi’ah, dan keluarga istana). Selain daripada itu, kondisi sosial masyarakat yang tidak stabil tersebut mengakibatkan terjadinya perbedaan pemikiran khususnya dalam bidang hokum, perbedaan metode nash dan juga rasio di antara mereka.
Namun, menurut riwayat yang lain, penyusunan kitab ini dilatarbelakangi karena adanya permintaan dari Ja’far al-Manshur atas usulan Muhammad ibn al-Muqaffa’ agar Imam Malik menyusun undang-undang yang menjadi jalan tengah atas perbedaan yang terjadi antar berbagai pihak. Imam Malik menerima usulan tersebut namun beliau menolak undang-undang yang beliau susun dijadikan sebagai kitab standar negara. Menurut pendapat yang lain, bahwa selain adanya dukungan dari khalifah Ja’far bin Manshur agar beliau menyusun sebuah undang-undang, Imam Malik sendiri juga telah mempunyai kenginan untuk menyusun sebuah kitab agar memudahkan umat Islam untuk memahami agama.
Juga dijelaskan menurut satu riwayat lagi, bahwa Abdul Aziz ibn Al-Majisyun, seorang fuqaha Madinah paling terkemuka abad 2 H menyusun suatu kitab yang di dalamnya tidak ada disebutkan hadis-hadis nabi. Ketika Imam Malik melihat kitab tersebut, ia berkata “Alangkah bagus tulisan ini apalagi kalau diikuti dengan hadis-hadis nabi SAW.
Dari sinilah kemudian Imam Malik berniat menulis suatu kitab (fiqh) yang memuat banyak hadis nabi karena kecintaannya kepada hadis nabi.

B.Penamaan Kitab
Penamaan al-Muwatta’ merupakan penamaan yang diberikan oleh Imam Malik sendiri, namun ada beberapa perbedaan pendapat mengenai mengapa kitab yang ditulis oleh Imam Malik dinamakan al-Muwatta’.
Pertama, sebelum kitab ini disebarluaskan Imam Malik menyodorkan karyanya pada 70 orang ulama fiqh Madinah, dan mereka semua menyepakati kitab tersebut, maka di namailah dengan kitab al-Muwatta’. Kedua, kata muwatta’ yang berarti “(jalan) yang dibuat lancar”  yang diharapkan
dapat memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memahaminya. Ketiga, penamaan al-Muwatta’ karena kitab ini merupakan perbaikan dari kitab-kitab fiqh yang sebelumnya.

C.    Sistematika Kitab
Kitab Al-Muwatha disusun dengan sistematika yang biasa digunakan oleh para ahli fiqih pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan kitab ini merupakan kitab fiqih yang pertama kalinya disusun oleh imam madzhab.
Berdasarkan tahqiq oleh muhammad fu’ad, kitab ini terdiri atas 2 juz, 61 kitab, dan 1824 hadits. Adapun perinciannya sebagai berikut:
Juz  1: (1) waktu-waktu shalat, 80 tema, 30 hadits, (2) Bersuci, 32 tema, 115 hadits, (3) Shalat, 8 tema, 70 hadits, (4)lupa dalam shalat, satu tema, tiga hadits, (5) Shalat Jum’at, 9 tema , 21 hadits, (6) Shalat pada bulan Ramadhan, dua tema tujuh hadits, (7) Shalat Malam,
lima tema, 33 hadits, (8) Shalat Jama’ah, 10 tema, 38 Hadits, (9) Mengqashar Shalat dalam perjalanan, 25 tema, 95 hadits, (10) Dua hari raya, tujuh tema, 13 hadits, (11) Shalat dalam keadaan takut, satu tema , empat hadits, (12) Shalat Gerhana matahari dan bulan, dua tema, empat hadits, (`13) Shalat minta hujan, tiga tema, enam hadits, (14) menghadap qiblat, enam tema, 15 hadits, (15) Al-Qur’an, sepuluh tema, 49 hadits, (16) Shalat Mayat, 16 tema, 59 hadits, (17) Zakat, 30 tema, 55 hadits,
(18) Puasa, 22 tema, 60 hadits, (19) I’tikaf, 8 tema, 16 hadits, (20 Haji, 83 tema, 255 hadits.
Juz II: (21) Jihad, 21 tema, 50 hadits, (22) Nadhar dan sumpah9 tema, 17 hadits, (23) Qurban, enam tema, 13 hadits, (24) Sembelihan, empat tema, 19 hadits, (25) Binatang Buruan, tujuh tema, 19 hadits, (26) aqiqah, dua tema, tujuh hadits, (27) Faraid, 15 tema, 16 hadits, (28) Nikah, 22 tema, 58 hadits, (29) Talaq, 35 tema, 109 hadits, (30) Persusuan, tiga tema, 17 hadits, (31) Jual beli, 49 tema, 101 hadits, (32) Pinjam meminjam, 15 tema 16 hadits, (33) Penyiraman, dua tema, tiga hadits,
(34) Menyewa tanah, satu tema, lima hadits, (35) Syufa’ah, dua tema, empat hadits, (36) Hukum, 41 tema, 54 hadits, (37) Wasiat, 10 tema, sembilan hadits, (38) kemerdekaan dan persaudaraan, 13 tema, 15 hadits, (40) Budak Mudharabah, tujuh tema, delapan hadits, (41) Hudud, 11 tema, 35 Hadits, (42) Minuman, 5 tema, 15 hadits, (43)Orang yang berakal, 24 tema, 16 hadits, (44) sumpah, lima tema, dua hadits, (45) Al-Jami’, tujuh tema, 26 hadits, (46) Qadar, dua tema, 10 hadits, (47) Ahlak yang
baik, empat tema, 18 hadits, (48) Memakai pakaian, delapan tema, 19 hadits, (49) Sifat nabi SAW,  13 tema , 39 hadits (50) mata, 7 tema, 18 hadits, (51) Rambut, lima tema, 17 hadits (52) Pengelihatan, dua tema, tujuh hadits, (53) Salam, tiga tema, delapan hadits, (54) Minta izin, 17 tema, 44 hadits, (55)  Bai’ah, satu tema, tiga hadits, (56) Kalam, 12 tema , 27 hadits, (57) Jahannam, satu tema, dua hadits, (58) Sadaqah, tiga tema, 15 hadits, (59) Ilmu, satu tema, satu hadits, (60) Dakwah orang yang teraniyaya, satu tema, satu hadits, (61) Nama-nama Nabi SAW, satu tema, satu hadits.

D.    Metode dan Kualitas Hadits
Secara tersuratnya, tidak ada penjelasan Imam malik akan penyusunan hadits dalam kitabnya, namun secara tersiratnya kitab tersebut disusun dengan strategi fiqih atau yang biasa disusun oleh para imam fiqih pada umumnya, dengan mengedepankan bagian thaharah. Dalam kitabnya Imam Malik mencantumkan hadits marfu, maqtu dan mauquf. Selain itu Imam Malik melakukan penyeleksian terhadap hadits-haditsnya, baik yang marfu, asar sahabat atau tabiin, ijma ahli madinah, dan pendapat imam malik sendiri.
Meskipun penyeleksian tersebut tidak selalu muncul bersamaan dalam setiap pembahasan, namun sebagai acuan pertamanya ia tetap menelusuri hadits yang disandarkan kepada nabi. Adapun yang selanjutnya dilakukan apabila diperlukan.
Dalam hal ini, empat kriteria yang dikemukakannya untuk mengkritisi periwayatan hadits adalah sebagai berikut:
a.  Periwayatan bukan orang yang berprilaku jelek,
b. Bukan ahli bid’ah,
c.  Bukan pendusta,
d. Bukan orang yang tahu ilmu, tapi tidak mengamalkan.
Dalam memandang kualitas hadits yang diriwayatkan oleh Imam malik, para ulama berbeda pendapat akan hal ini,
1. Sufyan Ibn Uyainah dan Al-Suyuti mengatakan bahwa seluruh hadits dalam kitab tersebut shahih karena diambil dari orang yang terpercaya,
2. Abu Bakar al-Abhari berpandangan tidak semua hadits dalam kitab tersebut termuat 222 hadits mursal, 623 hadits mauquf, 285 hadits maqtu.
3. Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadits-hadits dalam kitab muwatha sahih menurut pengikutnya.
4. Ibnu Hazm dalam penilaiannya yang termaktub dalam Muratib al-Diyanah, bahwa hadits dalam kitab muwatha terdiri dari 500 hadits musnad, 300 mursal, dan 70 hadits dhaif, yang ditinggalkan imam Malik, sedang menurut Ibnu hajar di dalamnya terdapat hadits mursal dan munqathi.
5. Al-Ghafiqi berpendapat dalam kitab Muwatha ada 27 hadits mursal dan 15 hadits mauquf.
6. Hasbi Ash-Shiddiqi menyatakan dalam Muwatha ada hadits yang sahih, hasan dhoif, Secara garis besar pendapat ulama-ulama di atas pada dasarnya menyatakan bahwa dalam kitab tersebut tidak semua memilki kategori sebagai hadits yang shahih, melainkan banyak yang hasan bahkan dhaif. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya hadits mursal, asar sahabat dan tabi’in , mauquf
bahkan sampai kepada derajat munqathi.

E.Kitab-kitab syarahnya :
Kitab Al-muwatta disyarahi oleh bebrapa ulama diantaranya:
1. Tahmid lima fi al-Muwatta’ min al-ma’ani wa al asanid karya Abu Umar ibn Abdil Bar al-Namri al-Qurtubi (w. 463 H)
2. Al-Istizkar fi Syarah Mazahib Ulama al-Amsar karya Ibnu Abdil bar(w.463 H)
3. Kasyf al-Mugti fi Syarah Muwatta karya Jalaludin al-Suyuti (w. 911 H)
4. Tanwirul Hawalik, karya Jalaludin al-Suyuti (w. 911 H)
5. Syarah al-Ta’liq al-Murnajjad ala muwatta Imam Muhammad karya al-Haki ibn Muhamad al-Laknawi al-Hindi.
6.  Al-Muntaqa karya Abu Walid al-Bajdi (w. 474 H)
7.  Al-Maswa karya al-Dahlawi al-Hanafi (w.1176 H)
8. Syarah al-Zarqani karya al-Zarqani al-Maliki (w. 1014 H)
Teks dasar kitab muwwata ditulis pada 150 H,tetapi teks yang ada sampai saat ini adalah teks yang telah mengalami beragam  perubahan editorial pada 30 tahun berikutnya yang terefleksikan dalam riwayat-riwayat yang berbeda-beda. Meskipun sekitar 90 orang talahbmeriwayatkan kitab muwatta, tetapi sejumlah riwayat yang sampai pada kita, baik melalui teks yang ada atau kutipan-kutipan dari para penulis ,lainnya sangat sedikit. al-Ghifari menyebutkan 12 versi yang kemudian ditambahkan oleh as-Suyuti dengan versi lainnya, sedangkan para editor modern kitab muwatta menyebutkan antara 14 dan 16 riwayat. Pada saat ini meurut Yasin Dutton dalam karyanya yang berjudul Asal mula hukum islam Al-quran, Muwatta dan praktik Madinah hanya 9 versi saja  dari sekian versi yang masih ada, baik dalam bentuk komplitnya atau dalam bentuk penggalan-penggalan,. Ke 9 versi ini diantaranya :
1. Yahya Ibn Malik (wafat 234 M). Yahya mempelajari kitab Muwatta dari malik selama masa tahun terakhir dari kehidupan Malik yaitu (179 H). dan karenanya riwayat darinya menyajikan teks kitab muwatta .sebagaimana yang telah dianjurkan Malik pada masa akhir kehidupannya. Riwayat ini secara pasti adalah riwayat yang terkenal dan merupakan satu-satunya riwayat yang dituju ketika kitab Muwatta dijadikan rujukan. Versi ini sering diterbitkan ulang.
2. Asy-Syaybani (wafat 189 M) riwayat ini memliki perbedaan yang mencolok dengan riwayat-riwayat yang lainnya.
3. Ibnu Bukayr (wafat 231) riwayat ini telah diterbitkan dibawah judul Muwatta’ Al-imam Al-Mahdi oleh government general de L’ Algerie (Aljazair, 13231905).
4. Ali Ibn Ziyad (w 183). Riwayat ini adalah slah satu riwayat yang diketahui paling awal yang telah diriwayatkan Malik sebelum 150 H.
bebrapa bentuk penggalan berbentuk tulisan diatas kertas kulit dari riwayat awalnya (ditulis pada 288 H) yang berisi tentang bab-bab perburuan dan binatang sembelihan (as-sayd wa z-zabaih) baru-baru ini telah disdit dan dipublikasikan.
5. Al-Qa’nabi (w 221). Riwayat ini dikatakan sebagai riwayat yang paling panjang (akbar). sejumlah bab dari riwayat ini, yang dapat disamakan dengan bagian awal dari riwayat yahya Ibn Yahya hingga dan termasuk bagian tentang I’tikaf serta bebrapa bab dari bagian yang menjelaskan tentang jual beli (buyu’),
6. Abu Mus’ab Az-Zuhri (w242). Abu Mus’ab dikatakan sebagai orang terakhir yang meriwayatkan kitab muwatta dari malik dan pada kenyataannya riwayatnya sangat mirip dengan riwayat dari Yahya Ibn Yahya. Sebuah manuskrip dari riwayat ini di Hyederabad, India.
7. Suwayad al-hadasani (w 240). Penggalan yang tidak lengkap namun subtansial dari riwayat ini yang terdapat diperpustakaan Zahiriyah di Damaskus.
8. Ibn al-Qasim (w 191). Penggalan-penggalan dari riwayat ini, termsuk sebagian besar dari bagian yang menrangkan tentang jual-beli (yang karena pengguasaanya terhadap pengetahuan ini, Ibn al-Qasim menjadi terkenal) ada dalam bentuk manuskrip diTunisia dan Qayrawan.
Mulakhas (atau mulakhis) al-Qabisi, yang memuat seluruh musnad hadis dari riwayat ini, baru-baru ini telah dipublikasi dengan judul muwatta al-Imam Ibn Anas Riwayah Ibn al-Qasim wa Tkhlis al-Qabisi.
9. Ibn Wahb (w.197) menurut Schacht, pengalan-pengalan yang telah dipublikasi dari kitab Ikhtilaf al-Fuqaha karya at-Thabari memuat kutipan-kutipan yang hampir komprehensif dari riwayat Ibn Wahb tentang persoalan-persoalan jihad dan jizyah dri riwayat ini mengikuti kemiripan dari Ibn Yahya.
 
 
F.Kritikan Orientalis terhadap al-Muwatta
Di antara orientalis yang memberikan kritikan terhadap karya Imam Malik adalah Joseph Schacht. Schacht meragukan keaslian hadis dalam Al-Muwatta’, di antara hadis yang dikritiknya adalah tentang bacaan ayat sajdah dalam khutbah Jum’ah oleh Khatib:
 
عن هشام ين عروة عن أبيه أن عمر بن الخطاب قرأ سجدة وهو على المنبر يوم
الجمعة فنزل فسجد الناس معه ثم قرأها يوم الجمعة الأخرى. فتهيأ الناس
السجود فقال على رسلكم  إن الله ثم يكتبها علينا إلا أن نشأ فلم يسجد ومنهم
أن يسجد.
 
Dalam pandangan Schacht, hadis tersebut putus sanadnya, padahal dalam riwayat Bukhari sanadnya bersambung. Menurutnya, dalam naskah lama kitab Al-Muwatta’ terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar”.
Kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh Urwah, hanya dianggap ucapannya. Oleh kerananya, dari pendekatan sejarah bererti naskah teks hadis lebih dahulu ada, baru kemudian dibuatkan sanadnya. Sanad tersebut untuk kemudian dikembangkan dan diselidiki sedemikian rupa dan disebut berasal dari masa silam.
Tuduhan Schacht tersebut dibantah oleh Muhammad Mustafa A’zami, teks tersebut adalah sesuai dengan naskah aslinya, karena naskah asli tulisan Malik tidak diketemukan. Para pensyarah Al-Muwatta’ seperti Ibnu ‘Abdil Barr dan az-Zarqani sama sekali tidak pernah menyinggung tentang adanya naskah lama seperti yang disebut Schacht. Secara umum Azami menyatakan apa yang dilakukan Schacht dalam penelitian keaslian sanad dengan mengambil contoh hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Fiqh seperti Al-Muwatta’ Imam Malik, Al-Muwatta’ al-Syaibani dan al-Umm al-Syafi’i adalah tidak tepat, kerana pada umumnya ciri ciri yang dipakai dalam
kitab-kitab fiqh ataupun sejarah tidak memberi data secara  lengkap turutan sanadnya, tetapi mencukupi menyebutkan sumbernya atau sebahagian sanadnya.
Hal lain yang dikritik Schacht adalah tentang 80 hadis dalam Al-Muwatta’ yang disebut “Untaian Sanad Emas”, Iaitu Malik-Nafi’-Ibnu Umar. Schact meragukan untaian sanad tersebut, alasannya usia Imam Malik terlalu muda (15 tahun). Apa mungkin riwayat dari anak usia 15 tahun diikuti banyak orang, sementara masih banyak ulama besar lain di Madinah. Alasan lainnya, Nafi’ pernah menjadi hamba sahaya dalam keluarga Ibnu Umar, sehingga kredibilitinya perlu dipertanyakan.
Hal tersebut disanggah Azami, Schacht dianggap keliru dalam menghitung usia Malik, seharusnya Schacht menghitung umur Malik saat Nafi’ wafat bukan dari tahun wafatnya Malik. Sehingga usia Malik saat itu adalah 20-24 tahun. Pada usia-usia tersebut bukan terlalu muda untuk dianggap sebagai seorang ulama. Adapun tentang  Nafi’ yang bekas hamba Ibnu Umar, sebenarnya itu tidak menjadi masalah kerana penerimaan seorang rawi yang
paling penting adalah “dapat dipercaya”, dan Nafi dianggap orang yang paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Ibn Umar. Di samping dalam hal ini Nafi’ bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis Ibn Umar, sehingga bisa dijadikan pembanding dan mungkinkah ribuan rawi di perbagai tempat bersepakat berbohong untuk menyusun sanad tersebut?
 
BAB IV
PENUTUP
 
Secara umum, penyusunan kitab al-Muwataha di dasari atas keinginan Imam Malik untuk menyusun kitab agar menjadi petunjuk bagi umat muslim. Pada penyususnannya, selain dipengaruhi motiv tersebut juga didasari atas politik yang membelenggu saat itu. Dalam sistematikanya, kitab ini disusun dengan model corak fiqih, karenanya kitab tersebut dianggap sebagai kitab dasar hukum islam tertua disisi dipakai sebagai kitab hadits.
Di dalam kitabnya, Imam Malik memasukan pendapatnya beserta sahabat jika hal itu penting. Selain itu ia juga menjelaskan kategori haditsnya baik yang marfu, maqtu ataupun mauquf.
Kontrofersi yang terjadi antara tuduhan orientalis terhadap otentifikasi kitab ini ditolak oleh A’zami dengan model komparasi sanad terhadap kitab lain. sehingga tuduhan Orientalis tersebut tidak bisa dianggap sebagai suatu kebenaran yang bisa dipegang.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Abdul Gafur Sulaiman al-Bandari. 2003. al-Mausu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah. Juz III oleh Dosen Tafsir Hadis Fakutas Ushuluddin IAIN Suan Kalijaga Yogyakarta. Studi Kitab Hadis .Yogyakarta: Teras Dosen Tafsir Hadis UIN Yogyakarta. 2009. “Studi Kitab Hadis”. Yogyakarta: Teras
Yasin Duton. 2003. “Asal Mula Hukum Islam: Al-Qur`an , Muwatta, dan praktik Madinah”. Yogyakarta: Islamika.
**************************
Muwatha’ Imam Malik Studi analisis kitab al-Muwatha’

A.  Pendahuluan

   Mempelajari pemikiran orang lain merupaka suatu hal yanga sangat membantu bagi pengembangan dinamika khazanah intlektual pemikiran, karena olah pikir kita tidak dapat berangkat dari kekosongan, melainkan harus melihat dan menelaah pemikiran-pemikiran yang dihasilkan orang lain dengan harapan dapat memperoleh keluasan dalam wawasan ilmu, baik dari sudut materi maupun metodologi khususnya dalam bidang syariah dan ilmu-ilmu hadits.
Hadits atau sunah yang secara struktur maupun fungsional disepakati oleh mayoritas kaum muslim dari berbagai madzhab, sebagai sumber ajaran Islam, karena dengan adanya hadits itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci, dan spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai kitab telah melalui proses penelitian. Oleh karenanya, kemudian banyak Ulama’ yang menyusun kitab-kitab hadits, baik kalangan Ulama’ terdahulu maupun Ulama’ sekarang. Salah satu buah hasil karya Ulama’ terdahulu yang sampai saat ini sangat terkenal dikalangan umat Islam adalah al-Muwatha’ yang dikarang oleh Imam Malik dan merupakan kitab tertua di bidang hadits.
Namun kemudian apakah kitab al-Muwatha’ merupakan kitab hadits atau kitab Fiqih? Dan mungkin juga kita akan bertanya-tanya tentang bagaimana sistematika penulisan al-Muwatha’ itu sendiri dan bagaimana Imam Malik menyaring hadits-hadits yang sampai kepadanya, atau bagaimana kualitas hadits yang terdapat dalam al-Muwatha’? sehingga muncul berbagai macam pendapat tentang bagaimana keoutentikan hadits yang terdapat di dalamnya. Oleh karenanya, perlu kiranya kami bahas dalam makalah yang sangat sederhana ini bagaimana sesungguhnya Imam Malik menyusun kitab al-Muwatha’ ini.


B.  Sekilas Riwayat Hidup Imam Malik.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin al-Harits bin Gaiman bin Husail bin Amr bin al-Harits al-Ashbahial-Madani. Di Madinah Ia dikenal sebagai seorang faqih dan Imam madzhab Maliki. Sehingga Ia mempunyai beberapa nama laqab, yang di antaranya adalah al-Ashbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam, Dar al-Hijrah dan al-Humairi. Kunyah-nya adalah Abu Abdullah, Ia juga memilki silsilah yang samapi pada salah seorang sahabat, Abu Amir, yang
mengikuti seluruh peperangan yang terjadi pada zaman Nabi kecuali perang Badar. Sedang kakeknya, Malik, adalah seorang tabi’in yang dikenal sebagai salah satu kibaru al-tabi’in dan fuqoha kenamaan dan salah satu dari 4 tabi’in yang jenazahnya diusung sendiri oleh khalifah Usman.
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah al-Munawwarah, dari sepasang suami-istri, Anas bin Malik dan Aliyah binti Syarik bin Abdurrahman, sumber lain lain menyebutkan Suraik. Ayah Imam Malik bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi Ia adalah seorang tabi’in yang informasinya
dalam buku-buku sejarah sangat minim, hanya saja tercatat bahwa, ayah Imam Malik tinggal di Zulmarwah, suatu tempat yang terletak di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah.
Mengenai kelahiran Imam Malik, menurut Nurun Najwah dalam karyamya yang terdapat dalam buku studi kitab hadits, terdapat beberapa pendapat di alangan para sejarawan. Ada yang mengatakan 90 H, 93 H, 94 H dan ada juga yang menyatakan 97 H. tetapi mayoritas mereka lebih cenderung pada 93 H,  yaitu bertepatan pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan. Imam Malik menikah dengan seorang hamba­­ (nama istri Imam Malik
tidak disebutkan dalam buku sejarah) yang kemudian di karuniai 4 keturunan, Mohammad, Hammad, Yahya, dan Fatimah.

2
Imam Malik berguru pada 900 orang, 300 di antaranya adalah dari tabi’in, 600 dari kalangan tabi’it tabi’in. beliau masuk dalam kategori tani’it tabi’in.  Tentang kewafatan Imam Malik, juga terdapat beberapa pendapat.
Ada yang berpendapat tanggal 11, 12, 13, 14 bulan Rajab 179 H dan ada yang berpendapat tanggal 12 Rabiul Awal 179 H. tetapi pendapat yang banyak di ikuti oleh para sejarawan adalah pendapat yang di kemukakan oleh Qadi Abu Fadl Iyad yang menyatakan bahwa Imam Malik meninggal pada hari ahad tanggal 12 Rabiul Awal 179 Hdalam usia 87 tahun, setelah satu bulan menderita sakit dan dikebumikan di kuburan Baqi’. Sebelum Ia meninggal, Ia sempat berwasiat untuk di kafani dengan kain kafan berwarna putih dan di shalatkan di tempat dimana Ia meninggal.

C.  Latar Belakang Penyusunan dan Penamaan Kitab al-Muwatha’.
Ada beberapa factor yang melatarbelakangi penyusunan kitab al-Muwatha’ yang kemudian oleh Ulama’ di kemukakan dalam beberapa versi. Seperti yang terdapat dalam muqaddimah al-Muwatha’, disebutkan bahwa ketika Imam Malik melihat buah hasil karya Abdul Aziz bin al-Majisyun yang tidak menyebutkan hadits Nabi saw. maka muncullah keinginan untuk mengarang subuah kitab.
Menurut Noel J. Coulson, latar belakang penyusunan al-Muwatha’ adalah adanya problem politik dan keagamaan. Kondisi politik yang penuh konflik pada masa pemerintahan Daulah Umayyah dan Abbasiyah yang melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij. Syi’ah dan keluarga istana) yang mengancam integritas kaum muslim dan berkembangnya nuansa perbedaan kondisi social keagamaan—khususnya di bidang hukum-- yang berangkat dari perbedaan
metode nash di satu sisi dan rasio di sisi yang lain, telah melahirkan pluralitas yang penuh konflik.

3
Selain pernyataan yang di kemukakan oleh Noel J.. Coulson di atas, ada versi lain yang mengatakan bahwa latar belakang penyusunan al- Muwatha’ adalah adanya usulan Muhammad bin Muqaffa’ kepada Khalifah Ja’far al-Mansur untuk membuat semacam peraturan atau undang-undang yang menjadi penengah dan dapat di terima oleh semua kalangan karena Muhammad bin Muqaffa’ sangat prihatiur terhadap adanya perbedaan fatwa dan
pertentangan yang berkembang pada saat itu. Khalifah Ja’far al-Mansur kemudian meminta Imam Malik untuk menyusun Kitab hukum sebagai Kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik menerima permintaan tersebut, namun ia keberatan menjadikan kitabnya sebagai kitab standar atau kitab resmi Negara.
Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa, di samping terinisiatif oleh usulan Khalifah Ja’jafar al-Mansur, sebenarnya Imam Malik mempunyai keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam dalam memahami agama.
Mengenai penamaan kitab al-Muwatha’ adalah berasal dari Imam Malik sendiri, hanya saja ulama’ berbeda pendapat tentang mengapa kitab tersebut dinamakan al-Muwatha’. Kemudian munculah beberapa pendapat yang di antaranya adalah; pertama, sebelum kitab tersebut di sebarluaskan, Imam Malik telah melakukan sosialisasi dengan menyodorkan karyanya tersebut di hadapan 70 ulama’ Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Hal ini seperti yang terdapat dalam sebuah riwayat al-Suyuti bahwa, Imam Malik berkata “Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua setuju dengan kitabku tersebut, maka Aku namai dengan al-Muwatha’.
Kedua,penamaan kitab al-Muwatha’ tersebut adalah karena kitab tersebut memudahkan khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam beraktivitas dan beragama. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa penamaan al-Muwatha’, karena kitab al-Muwatha’ merupakan perbaikan terhadap kitab-kitab Fiqh sebelumnya.

D. Isi Kitab al-Muwatha’

    Kitab al-Muwatha’ menghimpun hadits-hadts Nabi, baik yang bersambung sanadnya maupun yang tidak bersambuang sanadnya, Qaul sahabat, qaul tabi’in, ijma’ ahlul-Madinah dan pendapat Imam Malik sendiri. Salah satu contoh hadits yang tidak bersambung sanadnya adalah hadits yang berbunyi;

عن عطاء بن يسار أنه قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فسأله
عن وقت صلاة الصبح. قال : فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى إذا كان
من الغد صلى الصبح حين طلع الفجر ثم صلى الصبح من الغد حين أسفر ثم قال
"أين السائل عن وقت الصلاة؟" ها أناذا يارسول الله, فقال "ما بين هذين


 
 
Sedangkan contoh hadits yang termasuk Qaul sahabat adalah;

و حدثني عن مالك عن زيد بن اسلم أن عمر بن الخطاب قال : إذا نام أحدكم
مضطجعا فليتوضأ.


Sementara contoh hadits yang termasuk Qaul tabi’in adalah;

وحدثني عن مالك أنه بلغه أن عاملا لعمر بن عبد العزيز كتب إليه يذكر أن
رجلا منع زكاة ماله, فكتب إليه أن دعه ولا تأخذ منه زكاة مع المسلمين, قال
فبلغ ذلك الرجل فاشتد عليه وأدى بعد ذالك زكاة ماله, فكتب عامل عمر إليه
يذكر له ذلك فكتب إليه عمر أن خذها منه.



Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah hadits yang terdapat dalam Al-Muwattha’:
a) Ibnu Habbab yang dikutip Abu bakar Al-A’rabi dalam syarah Al-Tirmidzi menyatakan ada 500 hadits yang disaring dari 100.000 hadits.
b) Abu Bakar Al-Abhari berpendapat ada 1726 hadits dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf dan 285 qaul tabi’in.
c)  

5 Al-Harasi dalam “ Ta’liqah fi Al-Ushul” mengatakan kitab Malik memuat 700 hadits dari 9000 hadits yang telah disaring.
d)Abu Al-Hasan Bin Fahr dalam “fada’il” mengatakan ada 10.000 hadits dalam kitab Al-Muwatta’
e) Arnold John Wensinck menyatakan dalam Al-Muwatta’ ada 1612 hadits.
f)  Muhammad Fuad Abdul Al-baqi mengatakan Al-Muwatta’ berisi 1824
hadits.
g) Ibnu Hazm berpendapat dengan tanpa menyebutkan jumlah persisnya.
500 lebih hadits musnad, 300 lebih hadits mursal,70 hadits lebih yang tidak diamalkan Imam Malik dan beberapa hadits dhaif.
h) Muhmmad Syuhudi Ismail menyatakan kitab Al-Muwatta’ 1804 hadits.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan sumber periwayatan di satu sisi dan perbedaan cara penghitungan. Ada Ulama’ hadits yang menghitung hadits hanya berdasar jumlah hadits yang disandarkan kepada nabi saja, namun ada pula yang menghitung dengan mengabungkan fatwa
sahabat, fatwa tabi’in yang termaktub dalam Al-muwatta’.
Ada perbedaan pendapat yang berkembang ketika dihadapkan pada pertanyaan, apakah kitab Al-muwatta’ adalah Kitab fiqih, Kitab hadits atau kitab fiqih sekaligus hadits?. Menurut Abu Zahra, Al-Muwatta’ adalah kitab fiqih, alasannya adalah bahwa, tujuan Imam Malik mengumpulkan hadits adalah untuk melihat fiqih dan undang-undangnya bukan keshahihannya dan Imam Malik menyusun kitabnya dalam bab bersistematika fiqih.
Seperti halnya Abu Zahra, Ali Hasan Abdul Qadir  juga melihat Al-Muwatta’ sebagai kitab fiqih dengan dalil hadits. Tradisi yang dipakai  adalah tradisi kitab fiqih yang sering kali hanya menyebut sebagian sanad atau bahkan tidak menyebut sanadnya sama sekali karena untuk memudahkan dan demi kepraktisannya. Sedangkan menurut Abu Zahwu kitab ini bukan semata-mata kitab fiqih, tetapi hadits, karena sistematika fiqih juga dipakai dalam kitab-kitab hadits yang lain.


E. Metode Penyusunan dan Klasifikasi Kitab Al-Muwatha’
 Secara khusus, tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode yang di pakai Imam Malik dalam menghimpun kitab al-Muwatha’. Namun sacara umum dengan melihat penjelasan dan cara pembukuan yang di lakukan oleh Imam Malik dalam kitabnya, metode yang di pakai adalah metode pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam (fiqih) dengan mencantumkan hadis-hads yang bersumber langsung dari Nabi saw, yang disebut dengan Marfu’ dan yang besumber dari sahabat Nabi saw, yang di sebut dengan Mauquf ataupun yang berasal dari tabi’in, yang disebut Maqthu’. Imam Malik juga menggunakan tahapan-tahapan, yang berupa; a) penyeleksian terhadap hadis-hadis yang di sandarkan kepada Nabi.saw. b) atsar atau fatwa sahabat. c) fatwa tabi’in. d) ijma’ ahli Madinah dan e) pendapat Imam Malik sendiri.
  Meskipun sebenarnya kelima tahapan tersebut tidak selalu muncul besamaan dan digunakan dalam setiap pembahasan dan urutan pembahasannya, Ia  mendahulukan penulusuran dari hadits Nabi saw. yang telah diseleksi sebagai acuan pertama yang dipakai Imam Malik, sedangkan tahapan kedua dan seterusnya dijelaskan Imam Malik tatkala Ia merasa perlu untuk dijelaskan.
Dalam penyeleksian suatu hadis, ada empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi periwayatan hadits, keempat kriteria tersebut adalah; a) periwayat bukan orang yang berperilaku jelek. b) periwayat bukan ahli bid’ah c) periwayat bukan orang yang suka berdusta dalam hadits d) periwayat bukan orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.


Imam Malik dalam mengklasifiksi hadist-hadits yang terdapat dalam al-Muwatha’ berdasarkan pada sistematika yang dipakai dalam kitab Fiqih, yaitu dengan klasifikasi hadits sesuai dengan hukum Fiqih. Menurut Fuad al-Baqi, kitab ini, terdiri dari dua juz, 61 bab, dan 1824 hadits. Kitab al-Muwatha’, mayoritas berisi tentang fiqih, ada pula tentang tauhid, akhlaq, dan al-Quran dengan perincian sebagai berikut;
1.    Fiqih, di bagi lagi kedalam beberapa bagian; yaitu fiqih iabadah, muamalah, munakahat, mawarits dan fiqih perbudakan
a.    Fiqih ibadah, yang termasuk fiqih ibadah adalah sebagai berikut;
 No. Fiqih Ibadah    Jumlah bab    Jumah hadits

01   Kitabu Auqati al-shala 80 bab   30 hadits
02  Kitabu al-Thaharah32 bab  115 hadits
03  Kitabu al-Shalat 8 bab    70 hadits
04  Kitabu al-Sahw fi al-Shalah 1 bab    3 hadits
05  Kitabu Shalat al-Jum’at 9 bab   21 hadits
06  Kitabu al-Shalati fi Ramadlan   2 bab   7 hadits
07  Kitabu Shalat al-Lail  5 bab33 hadits
08  Kitabu Shalat al-Jama’ah   10 bab38 hadits
09 Kitabu Qashri al-Shalati fi al-safar 25 bab 95 hadits
10 Kitabu Shalat al-‘idain   7 bab  13 hadits
11  Kitabu Shalati al-khauf 1 bab4 hadits
12 Kitabu shalati khusufi al-syamsi wa kusufi al-qamar 2 bab 4 hadits
13 Kitabu Shalat al-istisqa’3 bab 6 hadits
14 Kitabu istibali al-qiblah 6 bab 15 hadits
15 Kitabu Shalat al-Jana’iz  16 bab59 hadits
16 Kitabu al-Zakat 30 bab    55 hadits
17 Kitabu al-shiam 22 bab 60 hadits
18 Kitabu al-I’tikaf8 bab 16 hadits
19 Kitabu al-Haj   83 bab 255 hadits
20 Kitabu al-Sadaqah 3 bab    15 hadits
21 Kitabu al-Jihad   21 bab  50 hadits
22 Kitabu al-Dlahaya6 bab    13 hadits
23 Kitabu al-Zaba’ih  4 bab   19 hadits
24 Kitabu al-Shaid7 bab 9 hadits
25
 
Kitabu al-Aqiqah
 
2 bab
 
7 hadits
26
 
Kiabu Al-Jami’
 
7 bab
 
26 hadits
27
 
Kitabu al-Ilmu
 
1 bab
 
1 hadits
28
 
Kitabu al-Aqdliah
 
41 bab
 
54 hadits
29
 
Kitabu al-Hudud
 
11 bab
 
35 hadits
30
 
Kitabu al-Bai’ah
 
1 bab
 
3 hadits


b.    Fiqih muamalah, yang termasuk fiqih muamalah adalah sebagai berikut;
No.
 
Fiqih Muamalah
 
Jumlah bab
 
Jumah hadits
01
 
Kitabu al-Buyu’
 
49 bab
 
101 hadits
02
 
Kitabu al-Qiradh
 
15 bab
 
16 hadits
03
 
Kitabu al-Musaqat
 
2 bab
 
3 hadits
04
 
Kitabu kira’I al-ardl
 
1 bab
 
5 hadits
05
 
Kitabu al-Syuf’ah
 
2 bab
 
4 hadits


c.    Fiqih munakahat, yang termasuk bagian ini adalah sebagai berikut;
No.
 
Fiqih Munakahat
 
Jumlah bab
 
Jumah hadits
01
 
Kitabu al-Nikah
 
22 bab
 
58 hadits
02
 
Kitabu al-Thalaq
 
35 bab
 
109 hadits
03
 
Kitabu al-Radha’
 
3 bab
 
17 hadits

d.   Fiqih mawarits, yang termasuk dalan bagian ini adalah;
No.
 
Fiqih Mawarits
 
Jumlah bab
 
Jumah hadits
01
 
Kitabu al-Wasiat
 
10  bab
 
9 hadits
02
 
Kitabu al-Faraid
 
15 bab
 
16 hadits
03
 
Kitabu al-Qasamah
 
5 bab
 
2 hadits




 
9

 



e.    Fiqih perbudakan, yang termasuk bagian ini adalah;
No.
 
Fiqih perbudakan
 
Jumlah bab
 
Jumah hadits
01
 
Kitabu al-Itqi wa al-Wala’
 
13 bab
 
25 hadits
02
 
Kitabu al-Mukatab
 
13 bab
 
15 hadits
03
 
Kitabu al-Mudabbar
 
7 bab
 
8 hadits


2.    Tauhid, yang termauk kedalam bagian tauhid adalah;
No.
 
Tauhid
 
Jumlah bab
 
Jumah hadits
01
 
Kitabu al-Qadar
 
2 bab
 
10 hadits
02
 
Kitabu Jahannam
 
1 bab
 
2 hadits
03
 
Kitabu da’wati al-madhlum
 
1 bab
 
1 hadits
04
 
Kitabu al-Nuzur wa al-Aiman
 
9 bab
 
17 hadits


3.    Akhlaq, yang termasuk bagian akhlaq adalah;
No.
 
Akhlaq
 
Jumlah bab
 
Jumah hadits
01
 
Kitabu husnu al-khuluq
 
4 bab
 
18 hadits
O2
 
Kitabu al-Libas
 
8 bab
 
19 hadits
03
 
Kitabu al-Ain
 
7 bab
 
18 hadits
04
 
Kitabu al-sya’ri
 
5 bab
 
17 hadits
05
 
Kitabu al-Ru’ya
 
2 bab
 
7 hadits
06
 
Kitabu al-salam
 
3 bab
 
8 hadits
07
 
Kitabu al-Isti’zan
 
17 bab
 
44 hadits
08
 
Kitabu al-Kalam
 
12 bab
 
27 hadits




4.    Al-Qur’an, yang termasuk dalam bagian ini adalah;
No.
 
Al-Qur’an
 
Jumlah bab
 
Jumah hadits
01
 
Kitabu Al-Qur’an
 
10 bab
 

10

 

49 hadits


5.    Sirah dan sifat-sifat Nabi saw. yang termasuk bagian ini adalah;
No.
 
Sirah dan sifat-sifat Nabi saw.
 
Jumlah bab
 
Jumah hadits
01
 
Kitabu Sifat al-Nabi saw
 
13 bab
 
39 hadits
02
 
Kitabu asma’i al-Nabi saw.
 
1 bab
 
1 hadits



F. Komentar Ulama’ dan kritik terhadap kitab al-Muwatha’ dan kualitas haditsnya.
Meskipun Imam Malik telah berupaya seselektif mungkin dalam menyaring hadits-hadits yang diterima untuk dihimpun, tetapi para Muhadditsin (Ulama’ hadits) berbeda pendapat dalam memberikan komentar dan penilaian terhadap al-Muwatha’ dan kualiatas hadits-haditsnya:
a) Sufyan bin Uyainah dan Al-Suyuti menyatakan, seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Malik adalah shahih, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya.
b) Abu Bakar al-Abhari berpendapat, bahwa tidak semua hadits dalam al-Muwatta’ shahih, terdapat 222 hadits Mursal, 623 hadits Mauquf dan 285 hadits Maqtu’.
c) Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa hadits-hadits yang termuat dalam Al-Muwatta’ adalah shahih menurur Imam Malik dan pengikutnya.
d)Ibnu Hazm dalam penilaiannya yang termaktub dalam maratib al-diniyah, ada 500 hadits Musnad, 300 hadits Mursal dan 70 hadits dhaif yang ditinggalkan Imam Malik. Sedangkan menurut Ibnu Hajar didalamnya ada hadits yang Mursal dan Munqati’.
e) Al-Ghafiqi berpendapat dalam Al-Muwatta’ ada 27 hadits Mursal dan 15 hadits Mauquf.
f)   

11

 

Hasbi As-shiddiqi menyatakan dalam Al- Muwatta’ ada hadits yang shahih, hasan dan dhaif.
Selain penilaian Ulama’ tentang kualitas hadits al-Muwatha’, ada pula ulama’ yang memberikan komentar terhadap kitab al-Muwatha’, yang di antaranya adalah;  a) Al-Syafi’i berkata bahwa di dunia ini tidak ada kitab setelah al-Quran yang lebih shahih dari pada kitab al-Muwatha’ Imam Malik. Sedangkan orang-orang Hijaz membernya gelar “ Sayyidi Fuqahal Hijz”. b) Al-Hafidz  al-Muglatayi al-Hanafi berkata, buah karya Imam Malik adalah kitab shahih yang pertama kali. c) Waliyullah al-Dahlawi berkata al-Muwatha’ aladah kitab yang paling shahih, masyhur dan paling terdahulu pengumpulannya. d) Abdurrahman bin Waqid berkata, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang seperti Imam Malik. e) Imam Yahya bin Sa’id al Qahthan dan Yahya bin Ma’in memberi beliau gelar “Amirul Mu’minin Fil Hadits.” Sementara Ibnu Wahb berkata, Kalau bukan karena (perantara) Imam Malik dan al-Laih niscaya kita akan sesat. Sehingga kitab ini tetap di jadikan sebagai pegangan umat Islam dalam menjadikannya sebagai rujukan suatu permaslahan.
Namun kendati demikian, hadits-hadits yang terdapat di dalamnya banyak yang tidak bersambung sanadnya bahkan ada yang terputus, sehingga hal ini menimbulkan kritikan dan keraguan dalam kepastian suatu hukum, dan di ragukan ke shahihannya, sebab untuk mencapai tingkatan hadits shahih di butuhkan kejelasan dalam periwayatan hadits dan kebersambungan sanadnya.

Dan juga tidak kalah pentingnya dalam al-Muwatha’ ini untuk di perhatikan adalah Matan hadits, sebab ada kalanya Matan hadits di tambah dan di kurangi, jika suatu hadits di tambah atau di kurangi, maka akan mengurangi terhadap keoutentikan haditsnya bahkan oleh sebagian Ulama’ di anggap hadits dlaif, yang kedudukannya sangat lemah dalam kehujjahan hukum. Sanad dan matan merupakan hal utama yang harus di perhatikan dalam penelitian suatu hadits dan dalam menjadikannya sebagai smbuer hukum.
Posisi kitab al-Muwatha’ dalam sumber-sumber ilmu hadits juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hadits, ada yang mengatakan bahwa, al-Muwatha’ merupakan salah satu kutubu al-tis’ah (kitan yang sembilan), ada pula yang mengatakan bahwa, al-Muwatha’, bukanlah semata-mata kitab hadits, tetapi merupakan kumpulan kitab hadits yang
pengumpulannya berdasarkan hukum Fiqih. dan sebagai pengganti adalah Sunan al-Darimi.

G. Syarah Kitab al-Muwatha’.
Kitab al-Muwatha’ di ysarahi oleh beberapa ulama’ yang di antaranya adalah;

 1. al-Tamhid lima fi al-muwatha’ min al-Ma’ani wa al-Asanid  yang di karang oleh Abu Umar bin Abdil Bar al-Namri al-Qurthubi (w. 463 H.)
 2. al-Istizkar fi Syarh Mazahib Ulama’ al-Amsar karya Ibn Abdil Bar  (w. 463 H)
 3. Kasyf al-Mugti fi Syarh al-Muwatha’ karya Jalaluddin al-Suyuti (w.911 H)
 4. Tanwirul Hawalik, karya Jalaluddin al-Suyuti (w.911 H)
 5. Syarh al-Ta’liq al-Mumajjad ala Muwatha’ Imam Muhamad yang disusun oleh al-Haki Ibn Muhamad al-Laknawi al-Hindi.
 6. al-Muntaqa, karya Abu Walid al-Bajdi (w. 474 H)
 7. al-Maswa, karya al-Dahlawi al-Hanafi (w. 1176 H)
 8. Syarh al-Zarqani,karya al-Zarqani al-Misri al-Maliki (w. 1014 H)

 
KESIMPULAN
  Dari pejelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa;

 1. Kitab al-Muwatha’  disusun atas usulan Khalifah Ja’far al-Mansur dan keinginan kuat dari dirinya yang berniat untuk menyusun sebuah kitab yang dapat memudahkan umat Isalm dalam memahami agamanya.
 2. Kitab al-Muwatha’ tidak hanya terdiri dari hadits Nabi saw. tetapi juga terdiri dari pendapat sahabat, Qaul tabi’in, Ijma’ Ahlul Madainah dan pendapat Imam Malik sendiri deangan metode penyusunan hadist berdasarkan klasifikasi hukum Fiqih.
 3. Dalam penyeleksian hadits, Imam Malik selalu memperhatikan empat kriteria, yaitu, a) periwayat bukan orang yang berperilaku jelek. b)  periwayat bukan ahli bid’ah c) periwayat bukan orang yang suka berdusta dalam hadits d) periwayat bukan orang yang tahu ilmu,  tetapi tidak mengamalkannya.
 4. Dan kitab ini, merupakan kitab tertua di bidang hadits yang disusun    berdasakan klasifikasi hukum Fiqih, dan Ulama’ berbeda pendapat    mengenai jumlah hadits yang terdapat di dalamnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Puasa Mazhab Syafi’i

Manaqib jawahirul ma’ani atau MANAQIB ASY-SYEICH ABDUL QADIR AL-JILANI

Kitab Sahih Ibnu Khuzaimah