1001 Hadist Kitab Nikah
1001 Hadits Kitab Nikah
1. Anjuran menikah dan larangan membujang
Firman Allah SWT :
ياَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ منْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّ خَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَّ نِسَاءً، وَ اتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِه وَ اْلاَرْحَامَ، اِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. النساء:1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
[QS. An-Nisaa’ : 1]
وَ مِنْ ايتِهِ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لّتَسْكُنُوْا اِلَيْهَا وَ جَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةً، اِنَّ فِيْ ذلِكَ لايتٍ لّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ. الروم:21
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
[QS. Ar-Ruum : 21]
وَ لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلاً مّنْ قَبْلِكَ وَ جَعَلْنَا لَهُمْ اَزْوَاجًا وَّ ذُرّيَّةً. الرعد:38
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. [QS. Ar-Ra’d : 38]
وَ اَنْكِحُوا اْلاَيَامى مِنْكُمْ وَ الصّلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَ اِمَائِكُمْ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِه، وَ اللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ. النور:32
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. [QS. An-Nuur : 32]
وَ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَ ذُرّيَاتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّ اجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا. الفرقان:74
Dan orang-orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. [QS. Al-Furqaan : 74]
Hadits Rasulullah SAW :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. الجماعة
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat”. [HR. Jamaah]
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِى وَقَّاصٍ قَالَ: رَدَّ رَسُوْلُ اللهِ ص عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ التَّبَتُّلَ وَ لَوْ اَذِنَ لَهُ َلاخْتَصَيْنَا. احمد و البخارى و مسلم
Dan Sa’ad bin Abu Waqqash ia berkata, “Rasulullah SAW pernah melarang ‘Utsman bin Madh’un membujang dan kalau sekiranya Rasulullah mengijinkannya tentu kami berkebiri”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رض قَالَ: جَاءَ رَهْطٌ اِلَى بُيُوْتِ اَزْوَاجِ النَّبِيِّ ص يَسْاَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ ص. فَلَمَّا اُخْبِرُوْا كَاَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا فَقَالُوْا: وَ اَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ ص؟ قَدْ غَفَرَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ اَحَدُهُمْ: اَمَّا اَنَا فَاِنِّى اُصَلِّى اللَّيْلَ اَبَدًا. وَ قَالَ آخَرُ اَنَا اَصُوْمُ الدَّهْرَ وَ لاَ اُفْطِرُ اَبَدًا. وَ قَالَ آخَرُ: وَ اَنَا اَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ اَتَزَوَّجُ اَبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِلَيْهِمْ. فَقَالَ اَنْتُمُ اْلقَوُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَ كَذَا؟ اَمَا وَ اللهِ اِنِّى َلاَخْشَاكُمْ ِللهِ وَ اَتْقَاكُمْ لَهُ. لكِنِّى اَصُوْمُ وَ اُفْطِرُ وَ اُصَلِّى وَ اَرْقُدُ وَ اَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى. البخارى و اللفظ له و مسلم و غيرهما
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata : Ada sekelompok orang datang ke rumah istri-istri Nabi SAW, mereka menanyakan tentang ibadah Nabi SAW. Setelah mereka diberitahu, lalu mereka merasa bahwa amal mereka masih sedikit. Lalu mereka berkata, “Dimana kedudukan kita dari Nabi SAW, sedangkan Allah telah mengampuni beliau dari dosa-dosa beliau yang terdahulu dan yang kemudian”. Seseorang diantara mereka berkata, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan shalat malam terus”. Yang lain berkata, “Saya akan puasa terus-menerus”. Yang lain lagi berkata, “Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya”. Kemudian Rasulullah SAW datang kepada mereka dan bersabda, “Apakah kalian yang tadi mengatakan demikian dan demikian ?. Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan orang yang paling bertaqwa kepada Allah diantara kalian. Sedangkan aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan aku mengawini wanita. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku, bukanlah dari golonganku”. [HR. Bukhari, dan lafadh ini baginya, Muslim dan lainnya]
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ نَفَرًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ ص قَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ اَتَزَوَّجُ. وَ قَالَ بَعْضُهُمْ: اُصَلِّى وَ لاَ اَنَامُ. وَ قَالَ بَعْضُهُمْ: اَصُوْمُ وَ لاَ اُفْطِرُ، فَبَلَغَ ذلِكَ النَّبِيَّ ص فَقَالَ: مَا بَالُ اَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَ كَذَا. لكِنّى اَصُوْمُ وَ اُفْطِرُ وَ اُصَلِّى وَ اَنَامُ وَ اَتَزَوَّجُ النّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنّى. احمد و البخارى و مسلم
Dan dari Anas, bahwasanya ada sebagian shahabat Nabi SAW yang berkata, “Aku tidak akan kawin”. Sebagian lagi berkata, “Aku akan shalat terus-menerus dan tidak akan tidur”. Dan sebagian lagi berkata, “Aku akan berpuasa terus-menerus”. Kemudian hal itu sampai kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, “Bagaimanakah keadaan kaum itu, mereka mengatakan demikian dan demikian ?. Padahal aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan akupun mengawini wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, bukanlah dari golonganku”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ قَتَادَةَ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص نَهَى عَنِ التَّبَتُّلِ، وَ قَرَأَ قَتَادَةُ { وَ لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلاً مّنْ قَبْلِكَ وَ جَعَلْنَا لَهُمْ اَزْوَاجًا وَّ ذُرّيَّةً. الرعد:38} الترمذى و ابن ماجه
Dari Qatadah dari Hasan dari Samurah, bahwa sesungguhnya Nabi SAW melarang membujang, dan Qatadah membaca ayat, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan”. (Ar-Ra’d : 38). [HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah]
عَنْ اَنَسٍ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ اَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى الشَّطْرِ اْلبَاقِى. الطبرانى فى الاوسط و الحاكم. و قال الحاكم صحيح الاسناد
Dari Anas RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang Allah telah memberi rezqi kepadanya berupa istri yang shalihah, berarti Allah telah menolongnya pada separo agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah untuk separo sisanya”. [HR. Thabrani di dalam Al-Ausath, dan Hakim. Hakim berkata, “Shahih sanadnya]
و فى رواية البيهقى، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا تَزَوَّجَ اْلعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى النِّصْفِ اْلبَاقِى.
Dan dalam riwayat Baihaqi disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang hamba telah menikah, berarti dia telah menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separo sisanya”.
2. Sifat wanita yang dianjurkan untuk dipinang
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: تُنْكَحُ اْلمَرْأَةُ ِلاَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَ لِحَسَبِهَا وَ لِجَمَالِهَا وَ لِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ لِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. الجماعة الا الترمذى
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama, (jika tidak) maka celakalah kamu”. [HR. Jamaah kecuali Tirmidzi]
عَنْ جَابِرٍ رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: اِنَّ اْلمَرْاَةَ تُنْكَحُ عَلَى دِيْنِهَا وَ مَالِهَا وَ جَمَالِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنَ تَرِبَتْ يَداَكَ. مسلم و الترمذى و صححه
Dan dari Jabir RA, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya wanita itu dinikahi karena agamanya, hartanya dan kecantikannya. Maka hendaklah engkau (memilih) wanita yang beragama, (jika tidak) celakalah kamu”. [HR. Muslim dan Tirmidzi. Tirmidzi mengesahkannya]
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ يَأْمُرُ بِاْلبَاءَةِ وَ يَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَ يَقُوْلُ: تَزَوَّجُوا اْلوَدُوْدَ اْلوَلُوْدَ فَاِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلاَنْبِيَاءَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. احمد
Dari Anas, bahwa sesungguhnya Nabi SAW memerintahkan menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras, dan beliau pun bersabda, “Nikahilah wanita yang penyayang lagi yang bisa memberi keturunan yang banyak, karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian di hadapan Nabi-nabi pada hari qiyamat”. [HR. Ahmad]
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ ص فَقَالَ: اِنِّى اَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَ جَمَالٍ وَ اِنَّهَا لاَ تَلِدُ، فَاَتَزَوَّجُهَا؟ قَالَ: لاَ. ثُمَّ اَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمَّ اَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ: تَزَوَّجُوا اْلوَدُوْدَ اْلوَلُوْدَ، فَاِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمْ اْلاُمَمَ. ابو داود و النسائى
Dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata : Seorang laki-laki menghadap Nabi SAW lalu ia bertanya, “Sesungguhnya aku telah jatuh cinta kepada seorang perempuan bangsawan lagipula cantik, tetapi ia mandul, apakah aku boleh mengawininya ?”. Beliau bersabda, “Jangan”. Kemudian laki-laki itu datang lagi kedua kalinya, tetapi Nabi SAW tetap melarangnya. Kemudian ia datang lagi ketiga kalinya, lalu beliau bersabda, “Kawinilah wanita yang penyayang dan bisa memberi keturunan yang banyak, karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian dari ummat-ummat lain”. [HR. Abu Dawud dan Nasai]
عَنْ جَابِرٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ لَهُ: يَا جَابِرُ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا اَمْ ثَيِّبًا؟ قَالَ: ثَيِّبًا. فَقَالَ: هَلاً تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَ تُلاَعِبُكَ؟ الجماعة
Dari Jabir, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda kepadanya, “Hai Jabir, kamu mengawini seorang gadis atau janda ?”. Jabir menjawab, “Janda”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Mengapa kamu tidak mengawini gadis saja, sehingga kamu dapat bercanda dengannya dan diapun dapat bercanda denganmu ?”. [HR. Jamaah]
3. Larangan meminang pinangan orang lain
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اَلْمُؤْمِنُ اَخُو اْلمُؤْمِنِ فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ اَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ اَخِيْهِ وَ لاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ. احمد و مسلم
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin itu saudara orang mukmin yang lain, maka tidak halal bagi seorang mukmin menawar atas tawaran saudaranya, dan tidak boleh ia meminang atas pinangan saudaranya sehingga saudaranya itu meninggalkannya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ اَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ اْلخَاطِبُ قَبْلَهُ اَوْ يَأْذَنَ لَهُ اْلَخَاطِبُ. احمد و البخارى و النسائى
Dan dari Ibnu Umar RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh seseorang meminang atas pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya itu meninggalkan atau memberi ijin kepadanya”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Nasai]
4. Kebolehan melihat pinangan
عَنِ اْلمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ اَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَاِنَّهُ اَحْرَى اَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا. الخمسة الا ابا داود
Dari Mughirah bin Syu’bah, sesungguhnya ia pernah meminang seorang wanita, lalu Nabi SAW bersabda, “Lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu lebih menjamin untuk melangsungkan hubungan kamu berdua”. [HR. Khamsah kecuali Abu Dawud]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص يَقُوْلُ: اِذَا خَطَبَ اَحَدُكُمُ اْلمَرْأَةَ فَقَدَرَ اَنْ يَرَى مِنْهَا بَعْضَ مَا يَدْعُوْهُ اِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ. احمد و ابو داود
Dari Jabir, ia berkata : Aku pernah mendengar Nabi SAW bersabda, “Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang wanita kemudian ia dapat melihat sebagian apa yang (bisa) mendorongnya untuk menikahinya, maka kerjakanlah”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud]
عَنْ مُوْسَى بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِى حُمَيْدٍ اَوْ حُمَيْدَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا خَطَبَ اَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا، اِذَا كَانَ اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَ اِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ. احمد
Dari Musa bin ‘Abdillah dari Abi Humaid atau Humaidah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang wanita, maka tidaklah berdosa melihatnya, apabila melihatnya itu semata-mata untuk meminangnya meskipun wanita itu sendiri tidak mengerti”. [HR. Ahmad]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: خَطَبَ رَجُلٌ امْرَأَةً، فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَاِنَّ فِى اَعْيُنِ اْلاَنْصَارِ شَيْئًا. احمد و النسائى
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Ada seorang laki-laki yang meminang seorang wanita lalu Nabi SAW bersabda, “Lihatlah dia, karena sesungguhnya pada mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu (sipit)”. [HR. Ahmad dan Nasai]
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اِذَا اَلْقَى اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ فِى قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ فَلاَ بَأْسَ اَنْ يَنْظُرَ اِلَيْهَا. احمد و ابن ماجه
Dari Muhammad bin Maslamah, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah ‘Azza wa Jalla telah memantapkan di hati seseorang (keinginan) meminang seorang wanita, maka ia tidak berdosa untuk melihatnya”. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
5. Wali meminta persetujuan pada wanita yang akan dinikahkan
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَلثَّيِّبُ اَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَ اْلبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِى نَفْسِهَا، وَ اِذْنُهَا صُمَاتُهَا. الجماعة الا البخارى
Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, sedang gadis diminta idzinnya dan idzinnya adalah diamnya”. [HR. Jamaah kecuali Bukhari]
و فى رواية لاحمد و مسلم و ابى داود و النسائى : اْلبِكْرُ يَسْتَأْمِرُهَا اَبُوْهَا.
Dan dalam riwayat lain oleh Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Nasai (dikatakan), “Dan gadis dimintai idzinnya oleh ayahnya”.
وَ عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِدَامٍ اْلاَنْصَارِيَّةِ اَنَّ اَبَاهَا زَوَّجَهَا وَ هِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذلِكَ. فَاَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص، فَرَدَّ نِكَاحَهَا. الجماعة الا مسلما
Dari Khansa’ binti Khidam Al-Anshariyah, bahwa ayahnya telah mengawinkannya, sedang ia seorang janda, tetapi ia tidak menyukai perkawinan itu, lalu ia datang kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW membatalkan pernikahannya itu”. [HR. Jamaah kecuali Muslim]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ تُنْكَحُ اْلاَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَ لاَ اْلبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ كَيْفَ اِذْنُهَا؟ قَالَ: اَنْ تَسْكُتَ. الجماعة
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Seorang janda tidak (boleh) dinikahkan sehingga ia diajak musyawarah, dan seorang gadis tidak (boleh dinikahkan) sehingga dimintai idzinnya”. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, lalu bagaimana idzinnya ?”. Rasulullah SAW menjawab, “Ia diam”. [HR. Jamaah]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، تُسْتَأْمَرُ النِّسَاءُ فِى اَبْضَاعِهِنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: اِنَّ اْلبِكْرَ تُسْتَأْمَرُ فَتَسْتَحِى فَتَسْكُتُ. فَقَالَ: سُكَاتُهَا اِذْنُهَا. احمد و البخارى و مسلم
Dari ‘Aisyah RA ia berkata : Aku pernah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah wanita-wanita itu (harus) diminta idzinnya dalam urusan perkawinan mereka ?”. Beliau menjawab, “Ya”. Aku bertanya (lagi), “Sesungguhnya seorang gadis (apabila) diminta idzinnya ia malu dan diam”. Rasulullah SAW menjawab, “Diamnya itulah idzinnya”. [HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim]
و فى رواية قالت: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَلْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ. قُلْتُ: اِنَّ اْلبِكْرَ تُسْتَأْذَنُ وَ تَسْتَحِى. قَالَ: اِذْنُهَا صُمَاتُهَا. احمد و البخارى و مسلم
Dan dalam riwayat lain, Aisyah berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Gadis itu diminta idzinnya”. Aku bertanya, “Sesungguhnya gadis itu bila diminta idzinnya, ia malu”. Beliau bersabda, “Idzinnya adalah diamnya”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: تُسْتَأْمَرُ اْليَتِيْمَةُ فِى نَفْسِهَا، فَاِنْ سَكَتَتْ فَهُوَ اِذْنُهَا. وَ اِنْ اَبَتْ فَلاَ جَوَازَ عَلَيْهَا. الخمسة الا ابن ماجه
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Gadis yatim diajak musyawarah tentang urusan dirinya, kemudian jika ia diam maka itulah idzinnya, tetapi jika ia menolak maka tidak ada paksaan atasnya”. [HR. Khamsah kecuali Ibnu Majah]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا اَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص، فَذَكَرَتْ اَنَّ اَبَاهَا زَوَّجَهَا وَ هِيَ كَارِهَةٌ، فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ ص. احمد و ابو داود و ابن ماجه و الدارقطنى
Dari Ibnu ‘Abbas, sesungguhnya ada seorang gadis datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia menerangkan bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedang ia tidak suka. Lalu Nabi SAW menyuruhnya untuk memilih. [HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Daruquthni]
6. Tidak ada nikah tanpa wali
عَنْ اَبِى مُوْسَى رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ. الخمسة الا النسائى
Dari Abu Musa RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali”. [HR. Khamsah kecuali Nasai]
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى عَنِ الزُّهْرِيِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَاِنْ دَخَلَ بِهَا، فَلَهَا اْلمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَاِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ. الخمسة الا السائى
Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, maka bagi wanita itu berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah ia anggap halal dari mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya”. [HR. Khamsah kecuali Nasai].
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، بَاطِلٌ باَطِلٌ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلِيٌّ فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا. ابو داود الطيالسى
Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali, dan siapasaja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal, batal, batal. Jika dia tidak punya wali, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang tidak punya wali”. [HR. Abu Dawud Ath-Thayalisi]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ تُزَوِّجِ اْلمَرْأَةُ اْلمَرْأَةَ، وَ لاَ تُزَوِّجِ اْلمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَاِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِى تُزَوِّجُ نَفْسَهَا. ابن ماجه و الدارقطنى
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah wanita menikahkan wanita dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri, karena wanita pezina itu ialah yang menikahkan dirinya sendiri”. [HR. Ibnu Majah dan Daruquthni]
عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ قَالَ: جَمَعَتِ الطَّرِيْقُ رَكْبًا فَجَعَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ ثَيِّبٌ اَمْرَهَا بِيَدِ رَجُلٍ غَيْرَ وَلِيٍّ فَاَنْكَحَهَا فَبَلَغَ ذلِكَ عُمَرَ. فَجَلَدَ النَّاكِحَ وَ اْلمُنْكِحَ وَ رَدَّ نِكَاحَهَا. الشافعى و الدارقطنى
Dari Ikrimah bin Khalid, ia berkata, “Pernah terjadi di jalan penuh kendaraan. Ada seorang janda diantara mereka menyerahkan urusan dirinya kepada seorang laki-laki yang bukan walinya, lalu laki-laki itu menikahkannya. Kemudian sampailah hal itu kepada Umar, lalu Umar menjilid (mendera) orang yang menikah dan yang menikahkannya serta membatalkan pernikahannya”. [HR. Syafi’i dan Daruquthni]
عَنِ الشَّعْبِ قَالَ: مَا كَانَ اَحَدٌ مِنْ اَصْحَابِ النَّبِيِّ ص اَشَدُّ فِى النِّكَاحِ بِغَيْرِ وَلِيٍّ مِنْ عَلِيٍّ، كَانَ يَضْرِبُ فِيْهِ. الدارقطنى
Dari Asy-Sya’bi ia berkata, “Tidak ada seorang pun diantara shahabat Nabi SAW yang paling keras (tindakannya) terhadap pernikahan tanpa wali daripada Ali, ia memukul (pelakunya)”. [HR. Daruquthni]
Keterangan :
Dari hadits-hadits diatas menunjukkan harus adanya wali dalam pernikahan. Namun ada juga ulama yang berpendapat bahwa wali itu bukan merupakan suatu keharusan.
7. Saksi dalam pernikahan
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَ شَاهِدَى عَدْلٍ. احمد بن حنبل
Dari ‘Imran bin Hushain dari Nabi SAW beliau bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil”. [HR. Ahmad bin Hanbal]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَ شَاهِدَىْ عَدْلٍ، فَاِنْ تَشَاجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ. الدارقطنى
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil, kemudian jika mereka berselisih, maka penguasa (hakim)-lah yang menjadi wali bagi orang yang tidak punya wali”. [HR. Daruquthni]
و لمالك فى الموطأ عن ابى الزبير المكي اَنَّ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ اُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ اِلاَّ رَجُلٌ وَ امْرَأَةٌ فَقَالَ: هذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَ لاَ اُجِيْزُهُ وَ لَوْ كُنْتَ تَقَدَّمْتَ فِيْهِ لَرُجِمْتَ.
Dan bagi Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ dari Abu Zubair Al-Makki, bahwa sesungguhnya pernah diajukan kepada Umar bin Khaththab suatu pernikahan yang tidak disaksikan melainkan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Umar berkata, “Ini adalah nikah sirri, aku tidak memperkenankannya dan kalau engkau tetap melakukannya tentu aku rajam”.
8. Tentang wajibnya mahar (maskawin)
وَ اتُوا النّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً، فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَّرِيْئًا. النساء:4
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. [QS. An-Nisaa’ : 4]
... وَ اُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاءَ ذلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ، فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِه مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ، فَرِيْضَةً، وَ لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِه مِنْ بَعْدِ اْلفَرِيْضَةِ، اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا. النساء:24
.....
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS. An-Nisaa’ : 24]
.... وَاْلمُحْصَنَاتُ مِنَ اْلمُؤْمِنَاتِ وَ اْلمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا اْلكِتبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَا اتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَ لاَ مُتَّخِذِيْ اَخْدَانٍ... المائدة:5
......
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik....... [QS. Al-Maaidah : 5]
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً، وَ مَتّعُوْهُنَّ عَلَى اْلمُوْسِعِ قَدَرُه، وَ عَلَى اْلمُقْتِرِ قَدَرُه، مَتَاعًا بِاْلمَعْرُوْفِ، حَقًّا عَلَى اْلمُحْسِنِيْنَ. وَ اِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَ قَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلاَّ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَ الَّذِيْ بِيَدِه عُقْدَةُ النّكَاحِ، وَ اَنْ تَعْفُوْا اَقْرَبُ لِلتَّقْوى وَ لاَ تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ، اِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ. البقرة:236-237
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (236) Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (237) [QS. Al-Baqarah]
9. Tidak ada ketentuan besar kecilnya mahar
عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَةَ اَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِى فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَ رَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَ مَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَاَجَازَهُ. احمد و ابن ماجه و الترمذى و صححه
Dari ‘Amir bin Rabi’ah, bahwa sesungguhnya pernah ada seorang wanita dari Bani Fazarah yang dinikah dengan (mahar) sepasang sandal, lalu Rasulullah SAW bertanya, “Ridlakah kamu atas dirimu dan hartamu dengan (mahar) sepasang sandal ?”. Ia menjawab, “Ya”. Maka Rasulullah SAW memperkenankannya”. [HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya]
عَنْ جَابِرٍ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لَوْ اَنَّ رَجُلاً اَعْطَى امْرَأَةً صَدَقًا مِلْءَ يَدَيْهِ طَعَامًا كَانَتْ لَهُ حَلاَلاً. احمد و ابو داود بمعناه
Dari Jabir RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Kalau seorang laki-laki memberikan mahar berupa makanan sepenuh dua tapak tangannya, maka halallah wanita itu baginya”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan yang semakna dengan itu]
عَنْ اَنَسٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ اَثَرَ صُفْرَةٍ. فَقَالَ: مَا هذَا؟ قَالَ: تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ. قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ، اَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ. الجماعة الا ابا داود
Dari Anas RA, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah melihat bekas kuning-kuning pada Abdurrahman bin Auf, lalu beliau bertanya, “Apa ini ?”. Abdurrahman menjawab, “Aku baru saja menikahi seorang wanita dengan (mahar) emas seberat biji kurma”. Nabi SAW bersabda, “Semoga Allah memberkatimu, selenggarakanlah walimah walau hanya dengan (memotong) seekor kambing”. [HR. Jamaah kecuali Abu Dawud]
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اِنَّ اَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً اَيْسَرُهُ مَئُوْنَةً. احمد
Dari ‘Aisyah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Nikah yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya”. [HR. Ahmad]
عَنْ اَبِى سَلَمَةَ قَالَ: سَاَلْتُ عَائِشَةَ: كَمْ كَانَ صَدَاقُ رَسُوْلِ اللهِ ص؟ قَالَتْ: كَانَ صَدَاقُهُ ِلاَزْوَاجِهِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ اُوْقِيَّةً وَ نَشًّا. قَالَتْ: اَتَدْرِى مَا النَّشُّ؟ قُلْتُ: لاَ. قَالَتْ: نِصْفُ اُوْقِيَّةٍ.فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ. الجماعة الا البخارى و الترمذى
Dari Abu Salamah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Aisyah, “Berapakah mahar Rasulullah SAW”. Ia menjawab, “Mahar beliau kepada isteri-isterinya adalah dua belas uqiyah lebih satu nasy”. Aisyah bertanya, “Tahukah kamu apakah nasy itu ?”. Aku menjawab, “Tidak”. Aisyah berkata, “Setengah uqiyah, jadi seluruhnya sama dengan lima ratus dirham”. [HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Tirmidzi]
NB : 1 uqiyah sama dengan 40 dirham.
عَنْ اَبِى اْلعَجْفَاءِ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ يَقُوْلُ: لاَ تَغْلُوْا صُدُقَ النِّسَاءِ وَ اِنَّهَا لَوْ كَانَت مَكْرُوْمَةً فِى الدُّنْيَا اَوْ تَقْوَى فِى اْلآخِرَةِ، كَانَ اَوْلاَكُمْ بِهَا النَّبِيُّ ص. مَا اَصْدَقَ رَسُوْلُ اللهِ ص امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ وَ لاَ اُصْدِقَتِ امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ اَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ اُوْقِيَّةً. الخمسة و صححه الترمذى
Dari Abu ‘Ajfaa’, dia berkata : Aku pernah mendengar Umar berkata, “Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam memberi mahar kepada wanita, meskipun dia seorang yang dimuliakan di dunia atau seorang yang terpelihara di akhirat. Adapun yang paling utama (dalam menghormati wanita) diantara kamu adalah Nabi SAW. Padahal tidaklah Rasulullah SAW memberi mahar kepada seorang pun dari istri-istrinya dan tidak pula putri-putri beliau itu diberi mahar lebih dari dua belas uqiyah”. [HR. Khamsah dan disahkan oleh Tirmidzi]
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ اُمِّ حَبِيْبَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص تَزَوَّجَهَا وَ هِيَ بِاَرْضِ اْلحَبَشَةِ زَوَّجَهَا النَّجَاشِيُّ وَ اَمْهَرَهَا اَرْبَعَةَ آلاَفٍ وَ جَهَّزَهَا مِنْ عِنْدِهِ وَ بَعَثَ بِيْهَا مَعَ شُرَحْبِيْلَ بْنِ حَسْنَةَ وَ لَمْ يَبْعَثْ اِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ ص بِشَيْءٍ وَ كَانَ مَهْرُ نِسَائِهِ اَرْبَعَمِائَةِ دِرْهَمٍ. احمد و النسائى
Dari ‘Urwah dari Ummu Habibah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah menikahinya sedang ia berada di Habasyah yang dinikahkan oleh Najasyi (raja Habasyah) dan beliau memberi mahar empat ribu (dirham) yang beliau persiapkan sendiri. Beliau mengirimnya lewat Syurahbil bin Hasnah. Dan Rasulullah SAW tidak mengirim sesuatu kepadanya (selain mahar itu), sedang mahar untuk istri-istrinya (yang lain) adalah empat ratus dirham”. [HR. Ahmad dan Nasai]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض قَالَ: لَمَّا تَزَوَّجَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَعْطِهَا شَيْئًا. قَالَ: مَا عِنْدِى شَيْءٌ. قَالَ: اَيْنَ دِرْعُكَ اْلحُطَمِيَّةُ؟ ابو داود و النسائى
Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Tatkala Ali kawin dengan Fathimah, maka Rasulullah SAW bersabda kepada Ali, “Berilah ia sesuatu !”. Ali menjawab, “Saya tidak punya apa-apa”. Rasulullah SAW bertanya, “Mana baju besimu dari Huthamiyah itu ?”. [HR. Abu Dawud dan Nasai]
و فى رواية اَنَّ عَلِيًّا رض لَمَّا تَزَوَّجَ فَاطِمَةَ اَرَادَ اَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَمَنَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص حَتَّى يُعْطِيَهَا شَيْئًا. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَيْسَ لِيْ شَيْءٌ. فَقَالَ لَهُ: اَعْطِهَا دِرْعَكَ اْلحُطَمِيَّةَ، فَاَعْطَاهَا دِرْعَهُ، ثُمَّ دَخَلَ بِهَا. ابو داود
Dan dalam riwayat lain (dikatakan) : Bahwa sesungguhnya Ali RA setelah menikahi Fathimah, ketika ia ingin serumah dengannya lalu Rasulullah SAW mencegahnya sehingga ‘Ali memberinya sesuatu. Lalu Ali berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak mempunyai apa-apa”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Berikan baju besimu dari Huthamiyah itu kepadanya !”. Maka Ali memberikan baju besi itu kepada Fathimah, lalu ia serumah dengan Fathimah. [HR. Abu Dawud]
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص جَائَتْهُ امْرَأَةٌ وَ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِى لَكَ، فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَالَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، زَوِّجْنِيْهَا اِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ فِيْهَا حَاجَةٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ ص. اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَ سُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Sahl bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu”. Lalu wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengannya jika engkau sendiri tidak berminat kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar untuknya ?”. Ia menjawab, “Saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini”. Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaianmu itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al-Qur’an ?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu miliki dari Al-Qur’an itu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
و فى رواية لمسلم: قَالَ: اِنْطَلِقْ، لَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَعَلِّمْهَا مِنَ اْلقُرْآنِ.
Dan dalam riwyat lain oleh Muslim : Nabi SAW bersabda, “Pergilah, sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya, maka ajarilah dia dengan Al-Qur’an”.
Keterangan :
A. Dari ayat maupun hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa memberikan maskawin kepada wanita yang dinikahi itu merupakan kewajiban. Adapun besarnya maskawin tidak ada ketentuan yang pasti. Dan maskawin bisa diberikan secara tunai maupun dengan ditangguhkan.
B. Dan dari ayat maupun hadits yang telah lalu (brosur yang lalu), bisa diambil pengertian bahwa syarat pernikahan adalah sebagai berikut :
1. Ada calon pengantin laki-laki dan wanita.
2. Ada maskawin/mahar.
3. Harus ada wali (Bagi yang berpendapat wali itu wajib).
4. Ada saksi yang adil (dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua wanita).
5. Ada ijab qabul.
10. Wanita yang selamanya haram dinikah.
a. Haram dinikah karena hubungan nasab.
حُرّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ وَ بَنَاتُكُمْ وَ اَخَوَاتُكُمْ وَ عَمَّاتُكُمْ وَ خَالاَتُكُمْ وَ بَنَاتُ اْلاَخِ وَ بَنَاتُ اْلاُخْتِ. النساء:23
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, [QS. An-Nisaa’ : 23]
Berdasar ayat di atas, dapat dipahami bahwa wanita yang haram dinikahi karena hubungan nasab itu sebagai berikut :
1. Ibu. Yang dimaksud adalah wanita yang melahirkannya. Termasuk juga nenek, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.
2. Anak perempuan. Yang dimaksud adalah wanita yang lahir karenanya, termasuk cucu perempuan dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan, seayah seibu, seayah saja atau seibu saja.
4. ‘Ammah, yaitu saudara perempuan ayah, baik saudara kandung, saudara seayah saja atau saudara seibu saja.
5. Khaalah, yaitu saudara perempuan ibu, baik saudara kandung, saudara seayah saja atau saudara seibu saja.
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan), dan seterusnya ke bawah.
7. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), dan seterusnya ke bawah.
b. Haram dinikahi karena ada hubungan sepesusuan
Firman Allah :
وَ اُمَّهَاتُكُمُ الّتِيْ اَرْضَعْنَكُمْ وَ اَخَوَاتُكُمْ مّنَ الرَّضَاعَةِ. . النساء:23
Diharamkan atas kamu ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan sepesusuan. [QS. An-Nisa : 23]
Dan sabda Rasulullah SAW :
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ. البخارى و مسلم و ابو داود و احمد و النسائى و ابن ماجه
“Diharamkan karena hubungan susuan sebagaimana yang diharamkan karena hubungan nasab”. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اُرِيْدَ عَلَى اِبْنَةِ حَمْزَةَ فَقَالَ: اِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِى، اِنَّهَا اِبْنَةُ اَخِى مِنَ الرَّضَاعَةِ. وَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الرَّحِمِ. مسلم 2:1071
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya para shahabat menginginkan Nabi SAW menikahi anak perempuan Hamzah. Maka beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya dia tidak halal bagiku, karena dia adalah anak saudaraku sepesusuan. Sedangkan, haram sebab susuan itu sebagaimana haram sebab nasab (keluarga)”. [HR. Muslim II : 1071]
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ اَنَّهَا اَخْبَرَتْهُ اَنَّ عَمَّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ يُسَمَّى اَفْلَحَ اِسْتَأْذَنَ عَلَيْهَا فَحَجَبَتْهُ. فَاَخْبَرَتْ رَسُوْلَ اللهِ ص، فَقَالَ لَهَا: لاَ تَحْجِبِى مِنْهُ، فَاِنَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ. مسلم
Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwasanya ia mengkhabarkan kepada ‘Urwah, bahwa paman susunya yang bernama Aflah minta ijin pada ‘Aisyah untuk menemuinya. Lalu ‘Aisyah berhijab darinya. Kemudian ‘Aisyah memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda, “Kamu tidak perlu berhijab darinya, karena haram sebab susuan itu sebagaimana haram sebab nasab”. [HR. Muslim II : 1071]
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, dapat dipahami bahwa haramnya wanita untuk dinikahi karena hubungan pesusuan ini sabagai berikut :
1. Ibu susu, yakni ibu yang menyusuinya. Maksudnya ialah wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu, sehingga haram keduanya melakukan perkawinan.
2. Nenek susu, yakni ibu dari wanita yang pernah menyusui atau ibu dari suami wanita yang pernah menyusuinya.
3. Anak susu, yakni wanita yang pernah disusui istrinya. Termasuk juga cucu dari anak susu tersebut.
4. Bibi susu. Yakni saudara perempuan dari wanita yang menyusuinya atau saudara perempuan suaminya wanita yang menyusuinya.
5. Keponakan susu, yakni anak perempuan dari saudara sepesusuan.
6. Saudara sepesusuan.
c. Haram dinikahi karena hubungan mushaharah (perkawinan)
Firman Allah SWT :
وَ اُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَ رَبَائِبُكُمُ الّتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مّنْ نّسَائِكُمُ الّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَ حَلاَئِلُ اَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلاَبِكُمْ. النساء:23
ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu). [QS. An-Nisaa’ : 23]
وَ لاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ابَاؤُكُمْ مّنَ النّسَآءِ اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ، اِنَّه كَانَ فَاحِشَةً وَّ مَقْتًا وَّ سَآءَ سَبِيْلاً. النساء:22
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). [An-Nisaa’ : 22]
Dari dalil-dalil di atas dapat dipahami bahwa wanita yang haram dinikahi karena hubungan mushaharah adalah sebagai berikut :
1. Mertua perempuan dan seterusnya ke atas.
2. Anak tiri, dengan syarath kalau telah terjadi hubungan kelamin dengan ibu dari anak tiri tersebut.
3. Menantu, yakni istri anaknya, istri cucunya dan seterusnya ke bawah.
4. Ibu tiri, yakni bekas istri ayah (Untuk ini tidak disyarathkan harus telah ada hubungan kelamin antara ayah dan ibu tiri tersebut).
11. Wanita yang sementara haram dinikahi
Maksudnya ialah wanita yang ada sebab-sebab tertentu yang mana selama sebab-sebab itu masih ada, wanita tersebut tidak boleh dinikahi. Tetapi bilamana sebab-sebab itu telah hilang, maka boleh dinikahinya.
Mereka itu adalah sebagai berikut :
1. Memadukan seorang wanita dengan saudaranya atau dengan bibinya.
وَ اَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلاُخْتَيْنِ، اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ. اِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا. النساء:23
Dan (diharamkan) menghimpunkan dalam perkawinan dua wanita yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. An-Nisaa’ : 23]
عَنْ فَيْرُوْزَ الدَّيْلَمِيِّ اَنَّهُ اَدْرَكَهُ اْلاِسْلاَمَ وَ تَحْتَهُ اُخْتَانِ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص: طَلِّقْ اَيَّتَهُمَا شِئْتَ. احمد و ابو داود و ابن ماجه و الترمذى
Dari Fairuz Ad-Dailamiy, bahwa ia masuk Islam dengan kedua istrinya yang bersaudara. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Thalaqlah salah seorang dari keduanya yang kamu kehendaki”. [HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ اْلمَرْأَةِ وَ عَمَّتِهَا، وَ لاَ بَيْنَ اْلمَرْأَةِ وَ خَالَتِهَا. البخارى و مسلم و اللفظ له
Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh dimadu seorang wanita dengan saudara perempuan ayah wanita itu dan seorang wanita dengan saudara perempuan ibu wanita itu”. [HR. Bukhari dan Muslim, dan lafadh ini bagi Muslim]
2. Wanita yang bersuami.
Firman Allah SWT :
وَ اْلمُحْصَنَاتُ مِنَ النّسَآءِ اِلاَّ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ. النساء:24
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. [QS. An-Nisaa’ : 24]
3. Wanita yang masih di dalam iddah
Adapun tentang iddah wanita adalah sebagai berikut :
a. Wanita yang haidl, iddahnya 3 kali quru’ (tiga kali suci/tiga kali haidl).
وَ اْلمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ، وَ لاَ يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدّهِنَّ فِيْ ذلِكَ اِنْ اَرَادُوْا اِصْلاَحًا. البقرة:228
Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. [QS. Al-Baqarah : 228]
b. Wanita yang ditinggal mati suaminya, iddahnya 4 bulan 10 hari.
وَ الَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. البقرة:234
Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. [QS. Al-Baqarah : 234]
c. Wanita yang telah berhenti dari haidl atau tidak haidl, iddahnya 3 bulan.
وَ الّئِ يَئِسْنَ مِنَ اْلمَحِيْضِ مِنْ نّسَآئِكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ اَشْهُرٍ وَّ الّئِ لَمْ يَحِضْنَ. الطلاق:4
Dan perempuan-perempuan yang tidak haidl lagi (menopause) diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan. Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidl. [QS. Ath-Thalaaq : 4]
d. Wanita yang hamil, iddahnya hingga melahirkan kandungannya.
وَ اُولاَتُ اْلاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ، وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّه مِنْ اَمْرِه يُسْرًا. الطلاق:4
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. [QS. Ath-Thalaaq : 4]
4. Wanita yang sudah dithalaq tiga kali.
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَاِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌ بِاِحْسَانٍ. البقرة:229
Thalaq yang dapat (dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi secara ma’ruf atau menceraikan secara baik. [QS. Al-Baqarah : 229]
فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَه، فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا اَنْ يَّتَرَاجَعَا اِنْ ظَنَّا اَنْ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ وَ تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ يُبَيّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ. البقرة:230
Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. [QS. Al-Baqarah : 230]
5. Wanita musyrik sehingga beriman
وَ لاَ تَنْكِحُوا اْلمُشْرِكَاتِ حَتّى يُؤْمِنَّ وَ َلاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّ لَوْ اَعْجَبَتْكُمْ. البقرة:221
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. [QS. Al-Baqarah : 221]
Demikianlah tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Disamping itu perlu diingat bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan lelaki musyrik atau kafir. [Lihat QS. Al-Mumtahanah : 10 dan QS. Al-Baqarah : 221]
12. Nikah Mut’ah.
Nikah mut’ah, adalah nikah untuk sementara waktu, misalnya : tiga hari, seminggu, sebulan, dsb, dengan imbalan tertentu.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص لَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ، فَقُلْنَا: اَلاَ نَخْتَصِى؟ فَنَهَانَا عَنْ ذلِكَ، ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا بَعْدُ اَنْ نَنْكِحَ اْلمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ اِلَى اَجَلٍ. ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللهِ { ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تُحَرّمُوْا طَيّبَاتِ مَا اَحَلَّ اللهُ لَكُمْ. المائدة:87 }. احمد و البخارى و مسلم
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW dan tidak ada wanita yang berserta kami. Kemudian kami bertanya, “Tidakkah (sebaiknya) kami berkebiri saja ?”. Maka Rasulullah SAW melarang kami dari yang demikian itu, kemudian beliau memberi keringanan kepada kami sesudah itu, yaitu dengan cara mengawini wanita sampai batas waktu tertentu dengan (imbalan) pakaian, lalu Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang dihalalkan Allah atas kamu”. (QS. Al-Maidah : 87) [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اِنَّمَا كَانَتِ اْلمُتْعَةُ فِى اَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ. كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ اْلبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ. فَيَتَزَوَّجُ اْلمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى اَنَّهُ يُقِيْمُ فَتَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ، وَ تُصْلِحُ لَهُ شَأْنَهُ حَتَّى نَزَلَتْ هذِهِ اْلآيَةُ: اِلاَّ عَلى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ. فَكُلُّ فَرْجٍ سِوَى هُمَا حَرَامٌ. الترمذى
Dan dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Sebenarnya kawin mut’ah itu hanya terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri dimana ia tidak memiliki pengetahuan tentang negeri itu, lalu ia mengawini seorang wanita selama ia muqim (di tempat itu), lalu wanita itu memelihara barangnya dan melayani urusannya sehingga turunlah ayat ini (Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki). (QS Al-Mukminuun : 6). Ibnu Abbas berkata, “Maka setiap persetubuhan selain dengan dua cara itu (nikah dan pemilikan budak) adalah haram”. [HR. Tirmidzi]
عَنْ عَلِيٍّ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنْ نِكَاحِ اْلمُتْعَةِ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ. و فى رواية: نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاِنْسِيَّةِ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Ali RA, bahwasanya Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan daging himar jinak pada waktu perang Khaibar. Dan dalam satu riwayat (dikatakan), “Rasulullah SAW melarang kawin mut’ah pada masa perang Khaibar dan (melarang makan) daging himar piaraan”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلاَكْوَعِ قَالَ: رَخَّصَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ عَامَ اَوْطَاسٍ ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ. ثُمَّ نَهَى عَنْهَا. احمد و مسلم
Dari Salamah bin Akwa’, ia berkata, “Rasulullah SAW memberi keringanan (hukum) kepada kami untuk kawin mut’ah pada tahun perang Authas selama tiga hari, kemudian ia melarangnya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
عَنْ سَبُرَةَ اْلجُهَنِيِّ اَنَّهُ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ ص فَتْحَ مَكَّةَ، قَالَ: فَاَقَمْنَا بِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ، فَاَذِنَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ. وَ ذَكَرَ حَدِيْثَ اِلَى اَنْ قَالَ: فَلَمْ اَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص.احمد و مسلم
Dari Saburah Al-Juhaniy, bahwa sesungguhnya ia pernah berperang bersama Rasulullah SAW dalam menaklukkan Makkah. Saburah berkata, “Kemudian kami bermuqim di sana selama lima belas hari, lalu Rasulullah SAW mengizinkan kami kawin mut’ah”. Dan ia menyebutkan (kelanjutan) hadits itu. Selanjutnya Saburah berkata, "Maka tidaklah kami keluar hingga Rasulullah SAW mengharamkannya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
و فى رواية: اِنَّهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ ص فَقَالَ: ياَيُّهَا النَّاسُ، اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ اِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ، وَ لاَ تَأْخُذْوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا. احمد و مسلم
Dan dalam satu riwayat (dikatakan) : Bahwa sesungguhnya Saburah pernah bersama-sama Nabi SAW, lalu beliau bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah, dan bahwasanya Allah benar-benar telah mengharamkan hal itu sampai hari qiyamat, maka barangsiapa yang masih ada suatu ikatan dengan wanita-wanita itu hendaklah ia lepaskan dan janganlah kamu mengambil kembali apa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka itu sedikitpun”. [HR. Ahmad dan Muslim]
و فى رواية عنه: اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص فِى حَجَّةِ اْلوَدَاعِ نَهَى عَنْ نِكَاحِ اْلمُتْعَةِ. احمد و ابو داود
Dan dalam riwayat lain dari Saburah (dikatakan), “Bahwasanya Rasulullah SAW pada waktu haji Wada’ melarang kawin mut’ah”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud].
13. Nikah Tahlil
Nikah tahlil, ialah seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat akan menceraikannya setelah mencampurinya agar wanita itu bisa menikah kembali dengan bekas suaminya yang telah menthalaqnya tiga kali. Maka laki-laki tersebut disebut Muhallil, adapun bekas suami/istri yang menghendaki demikian disebut Muhallal lahu.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص اْلمُحَلِّلَ وَ اْلمُحَلَّلَ لَهُ. احمد و النسائى و الترمذى و صححه
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat muhallil (yang menghalalkan) dan orang yang dihalalkannya”. [HR. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi mengesahkannya].
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَلاَ اُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ اْلمُسْتَعَارِ؟ قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: هُوَ اْلمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ اْلمُحَلِّلَ وَ اْلمُحَلَّلَ لَهُ. ابن ماجه
Dari ‘Uqbah bin Amir, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kamu kuberi tahu tentang pejantan pinjaman ?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda, “Yaitu muhallil. Semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu”. [HR. Ibnu Majah]
14. Nikah Syighar
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الشِّغَارِ. وَ الشِّغَارُ اَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى اَنْ يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ وَ لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ. الخمسة، لكن الترمذى لم يذكر تفسير الشغار. و ابو داود جعله من كلام نافع. و هو كذلك فى رواية احمد و البخارى و مسلم
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Sedang nikah syighar itu ialah seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya kepada seseorang dengan syarat imbalan, ia harus dikawinkan dengan anak perempuan orang tersebut, dan keduanya tanpa mahar. [HR. Jama’ah, tetapi Tirmidzi tanpa menyebutkan penjelasan arti syighar dan Abu Dawud menjadikan penjelasan arti syighar itu sebagai perkataan Nafi’. Dan hadits seperti itu diriwayatkan juga oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ الشِّغَارِ. وَ الشِّغَارُ اَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ: زَوِّجْنِى ابْنَتَكَ وَ اُزَوِّجُكَ ابْنَتِى، اَوْ زَوِّجْنِى اُخْتَكَ وَ اُزَوِّجُكَ اُخْتِى. احمد و مسلم
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Sedang nikah syighar yaitu, seorang laki-laki berkata, “Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu, dan aku akan menikahkan kamu dengan anak perempuanku, atau nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu dan aku akan menikahkan kamu dengan saudara perempuanku”. [HR. Muslim]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ شِغَارَ فِى اْلاِسْلاَمِ. مسلم
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Tidak ada nikah syighar dalam Islam”. [HR. Muslim]
15. Pernikahan di masa jahiliyah.
عَنْ عُرْوَةَ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهُ: اَنَّ النِّكَاحَ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى اَرْبَعَةِ اَنْحَاءٍ. فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ اْليَوْمَ. يَخْطُبُ الرَّجُلُ اِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ اَوِ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا، ثُمَّ يَنْكِحُهَا.
Dari ‘Urwah : Sesungguhnya ‘Aisyah RA pernah memberitahukan kepadanya, bahwa pernikahan di jaman jahiliyah itu ada 4 macam. 1. Pernikahan seperti yang berlaku sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya.
وَ نِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُوْلُ ِلامْرَأَتِهِ: اِذَا ظَهَرَتْ مِنْ طَمْثِهَا اَرْسَلَ اِلىَ فُلاَنٍ فَاسْتَبْضِعِى مِنْهُ وَ يَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَ لاَ يَمَسُّهَا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذلِكَ الرَّجُلِ الَّذِى تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ، فَاِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا اَصَابَهَا زَوْجُهَا اِذَا اَحَبَّ. وَ اِنَّمَا يَفْعَلُ ذلِكَ رَغْبَةً فِى نَجَابَةِ اْلوَلَدِ. فَكَانَ هذَا النِّكَاحُ يُسَمَّى نِكَاحَ اْلاِسْتِبْضَاعِ.
Bentuk pernikahan yang lain yaitu, 2. seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika istrinya itu telah suci dari haidl, “Pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk dikumpulinya”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya sehingga jelas istrinya itu telah mengandung dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut nikah istibdla’.
وَ نِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ دُوْنَ اْلعَشْرَةِ فَيَدْخُلُوْنَ عَلَى اْلمَرْأَةِ كُلُّهُمْ. فَيُصِيْبُوْنَهَا. فَاِذَا حَمَلَتْ وَ وَضَعَتْ وَ مَرَّ لَيَالٍ بَعْدَ اَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا اَرْسَلَتْ اِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ اَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوْا عِنْدهَا، فَتَقُوْلُ لَهُمْ. قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِى كَانَ مِنْ اَمْرِكُمْ، وَ قَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ، فَتُسَمِّى مَنْ اَحَبَّتْ بِاسْمِهِ. فَيُلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لاَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَمْتَنِعَ مِنْهُ الرَّجُلُ.
Kemudian bentuk yang lain, 3. Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari 10 orang berkumpul, lalu mereka semua mencampuri seorang wanita. Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari maka perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Sungguh anda semua telah mengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak boleh menolaknya.
وَ نِكَاحٌ رَابِعٌ يَجْتَمِعُ النَّاسُ اْلكَثِيْرُ وَ يَدْخُلُوْنَ عَلَى اْلمَرْأَةِ لاَ تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَ هُنَّ اْلبَغَايَا. يَنْصُبْنَ عَلَى اَبْوَابِهِنَّ الرَّايَاتِ وَ تَكُوْنُ عَلَمًا. فَمَنْ اَرَادَهُنَّ دَخَل عَلَيْهِنَّ، فَاِذَا حَمَلَتْ اِحْدَاهُنَّ وَ وَضَعَتْ جَمَعُوْا لَهَا وَ دَعَوْ لَهَا اَلْقَافَةَ، ثُمَّ اْلحَقُوْا وَلَدَهَا بِالَّذِى يَرَوْنَ. فَالْتَاطَ بِهِ وَ دُعِيَ ابْنَهُ لاَ يَمْتَنِعُ مِنْ ذلِكَ. فَلَمَّا بَعَثَ اللهُ مُحَمَّدًا ص بِاْلحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ اْلجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ اِلاَّ نِكَاحَ النَّاسِ اْليَوْمَ. البخارى و ابو داود. فى نيل الاوطار 6:178-179
Bentuk ke-4 yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya, sebab mereka itu adalah pelacur-pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu mereka sebagai tanda, siapasaja yang menginginkannya boleh masuk. Kemudian jika salah seorang diantara wanita itu ada yang hamil dan melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi berkumpul di situ, dan mereka pun memanggil orang-orang ahli firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil sebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya. Kemudian setelah Allah mengutus nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dengan jalan haq, beliau menghapus pernikahan model jahiliyah tersebut keseluruhannya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini. [HR. Bukhari dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 178-179]
16. Tentang susuan yang menjadikan mahram
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ تُحَرِّمُ اْلمَصَّةُ وَ لاَ اْلمَصَّتَانِ. الجماعة الا البخارى
Dari ‘Aisyah RA, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Sekali hisapan dan dua kali hisapan itu tidak menjadikan mahram”. [HR. Jama’ah kecuali Bukhari]
عَنْ اُمِّ اْلفَضْلِ اَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ ص اَ تُحَرِّمُ اْلمَصَّةُ؟ فَقَالَ: لاَ تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ وَ الرَّضْعَتَانِ، وَ اْلمَصَّةُ وَ اْلمَصَّتَانِ. احمد و مسلم
Dari Ummu Fadlil, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah sekali hisapan itu dapat menjadikan mahram ?”. Nabi SAW menjawab, “Tidak dapat menjadikan mahram sekali susuan dan dua kali susuan, sekali hisapan dan dua kali hisapan”. [HR. Ahmad dan Muslim]
و فى رواية قالت: دَخَلَ اَعْرَابِيٌّ عَلَى النَّبِيِّ ص وَ هُوَ فِى بَيْتِى، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ، اِنِّى كَانَتْ لِى امْرَأَةٌ فَتَزَوَّجْتُ عَلَيْهَا اُخْرَى، فَزَعَمَتِ امْرَأَتِى اْلاُوْلَى اَنَّهَا اَرْضَعَتِ امْرَأَتِى اْلحُدْثَى رَضْعَةً اَوْ رَضْعَتَيْنِ. فَقَالَ النَّبِيُّ ص: لاَ تُحَرِّمُ اْلاِمْلاَجَةُ وَ لاَ اْلاِمْلاَجَتَانِ. احمد و مسلم
Dan dalam satu riwayat (dikatakan), ‘Aisyah berkata : Seorang ‘Arab gunung masuk ke tempat Nabi SAW, sedang Nabi SAW berada di rumahku. Lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai seorang istri, kemudian aku menikah lagi dengan seorang perempuan lain, tetapi istriku yang pertama itu merasa pernah menyusui istriku yang kedua ini sekali atau dua kali susuan”. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Tidak dapat menjadikan mahram, sekali hisapan dan tidak (pula) dua kali hisapan”. [HR. Ahmad dan Muslim].
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ رِسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَ امْرَأَةَ اَبِى حُذَيْفَةَ فَاَرْضَعَتْ سَالِمًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ. وَ كَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ. احمد
Dari ‘Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah SAW pernah menyuruh istri Abu Hudzaifah (supaya menyusui Salim) maka Salim ia susui sebanyak lima kali susuan. Dan Salim keluar-masuk rumahnya sebab penyusuan tersebut. [HR. Ahmad].
و فى رواية اَنَّ اَبَا حُذَيْفَةَ تَبَنَّى سَالِمًا وَ هُوَ مَوْلًى ِلامْرَأَةٍ مِنَ اْلاَنْصَارِ، كَمَا تَبَنَّى النَّبِيُّ ص زَيْدًا. وَ كَانَ مَنْ تَبَنَّى رَجُلاً فِى اْلجَاهِلِيَّةِ دَعَاهُ النَّاسُ ابْنَهُ وَ وَرِثَ مِيْرَاثَهُ حَتَّى اَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ اُدْعُوْهُمْ ِلآبَائِهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا آبَاءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدّيْنِ وَ مَوَالِيْكُمْ. فَرُدُّوْا اِلَى آبَائِهِمْ. فَمَنْ لَمْ يُعْلَمْ لَهُ اَبٌ. فَمَوْلىً وَ اَخٌ فِى الدِّيْنِ. فَجَاءَتْ سَهْلَةُ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا يَأْوِى مَعِى وَ مَعَ اَبِى حُذَيْفَةَ وَ يَرَانِى فُضْلَى وَ قَدْ اَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ فِيْهِمْ مَا قَدْ عَلِمْتَ، فَقَالَ: اَرْضِعِيْهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ. فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِهِ مِنَ الرَّضَاعَةِ. ملك فى الموطأ و احمد
Dan dalam satu riwayat lain (dikatakan) : Sesungguhnya Abu Hudzaifah mengangkat Salim (sebagai anak angkatnya), sedang Salim adalah bekas hamba seorang perempuan Anshar, sebagaimana Nabi SAW mengangkat Zaid. Di jaman jahiliyah orang laki-laki yang dijadikan anak angkat, maka orang-orang menganggap dan memanggilnya sebagai anaknya dan dia mewarisi hartanya, sehingga Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan (ayat) [Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (QS. Al-Ahzaab : 5)]. Kemudian mereka dikembalikan kepada ayah-ayah mereka, maka bagi yang tidak diketahui siapa ayahnya (dianggap sebagai) maula dan saudara seagama. Kemudian datanglah Sahlah, lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, kami memandang Salim sebagai anak yang ikut hidup bersamaku dan bersama Abu Hudzaifah, ia masuk (rumah kami) dan melihatku tidak berkudung (di rumah), padahal Allah telah menurunkan (ayat) kepada mereka sebagaimana telah engkau ketahui, yang demikian itu bagaimana ?”. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Susuilah ia lima kali susuan. Dengan begitu, maka (menjadilah Salim) berstatus sebagai anak susuan”. [HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ dan Ahmad].
Keterangan :
Dari hadits-hadits diatas bisa diambil kesimpulan bahwa menyusu yang bisa menjadikan sebagai anak susu itu paling sedikit adalah lima kali susuan.
17. Tentang menyusui orang dewasa
عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَتْ اُمُّ سَلَمَةَ لِعَائِشَةَ: اِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْكِ اْلغُلاَمُ اْلاَيْفَعُ الَّذِى مَا اُحِبُّ اَنْ يَدْخُلَ عَلَيَّ؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: اَمَا لَكِ فِى رَسُوْلِ اللهِ ص اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ؟ وَ قَالَتْ: اِنَّ امْرَأَةَ اَبِى حُذَيْفَةَ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّ سَالِمًا يَدْخُلُ عَلَيَّ وَ هُوَ رَجُلٌ وَ فِى نَفْسِ اَبِى حُذَيْفَةَ مِنْهُ شَيْءٌ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَرْضِعِيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْكِ. احمد و مسلم
Dari Zainab binti Ummu Salamah, ia berkata : Ummu Salamah berkata kepada A’isyah, “Sesungguhnya ada seorang yang sudah baligh keluar-masuk ke (rumah)mu yang aku sendiri tidak menyukai ia masuk (rumah)ku”. Lalu Aisyah menjawab, “Tidakkah pada diri Rasulullah SAW ada suri teladan yang baik bagimu ?”. Dan ‘Aisyah berkata (lagi) : Sesungguhnya istri Abu Hudzaifah pernah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Salim keluar masuk (rumah)-ku, sedang ia kini telah dewasa sedangkan pada diri Abu Hudzaifah ada sesuatu terhadapnya, yang demikian itu bagaimana ?”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Susuilah ia, sehingga ia (boleh) keluar masuk (rumah)mu”. [HR. Ahmad dan Muslim].
و فى رواية عَنْ زَيْنَبَ عَنْ اُمِّهَا اُمِّ سَلَمَةَ اَنَّهَا قَالَتْ: اَبَى سَائِرُ اَزْوَاجِ النَّبِيِّ ص اَنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ اَحَدًا بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ وَ قُلْنَ لِعَائِشَةَ: مَا نَرَى هذَا اِلاَّ رُخْصَةً اَرْخَصَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص لِسَالِمٍ خَاصَّةً، فَمَا هُوَ بِدَاخِلٍ عَلَيْنَا اَحَدٌ بِهذِهِ الرَّضَاعَةِ، وَ لاَ رَائِيْنًا. احمد و مسلم و النسائى و ابن ماجه
Dan dalam riwayat lain dari Zainab dari Ibunya (yaitu) Ummu Salamah, bahwa sesungguhnya Ummu Salamah berkata : Seluruh istri-istri Nabi SAW menolak keluar-masuk (rumah) mereka dengan (cara) susuan seperti itu, dan mereka (juga) pernah menyanggah ‘Aisyah, “Tidakkah engkau tahu, bahwa itu hanya suatu keringanan yang dikhususkan oleh Rasulullah SAW buat Salim saja ?. Maka tidaklah seseorang (boleh) masuk (rumah) kami dengan susuan seperti itu dan (juga) tidak (boleh) melihat kami”. [HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: جَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ اِلَى النَّبِيِّ ص فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى اَرَى فِى وَجْهِ اَبِى حُذَيْفَةَ مِنْ دُخُوْلِ سَالِمٍ (وَ هُوَ حَلِيْفُهُ). فَقَالَ النَّبيُّ ص: اَرْضِعِيْهِ. قَالَتْ: وَ كَيْفَ اُرْضِعُهُ وَ هُوَ رَجُلٌ كَبِيْرٌ؟ فَتَبَسَّمَ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ قَالَ: قَدْ عَلِمْتُ اَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيْرٌ. مسلم
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) datang kepada Nabi SAW lalu bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku melihat perubahan wajah Abu Hudzaifah berkenaan dengan keberadaan Salim di rumah kami, bagaimanakah yang demikian itu ?”. (Salim adalah anak angkatnya). Nabi SAW bersabda, “Susuilah dia !”. Sahlah berkata, “Bagaimana aku menyusuinya sedangkan dia adalah seorang laki-laki yang sudah besar ?”. Maka Rasulullah SAW tersenyum lalu bersabda, “Aku tahu dia itu seorang laki-laki yang sudah besar”. [HR. Muslim]
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ سَالِمًا مَوْلَى اَبِى حُذَيْفَةَ كَانَ مَعَ اَبِى حُذَيْفَةَ وَ اَهْلِهِ فِى بَيْتِهِمْ. فَاَتَتْ (تَعْنِى اِبْنَةَ سُهَيْلٍ) النَّبِيَّ ص، فَقَالَتْ: اِنَّ سَالِمًا قَدْ بَلَغَ مَا يَبْلُغُ الرِّجَالُ، وَ عَقَلَ مَا عَقَلُوْا، وَ اِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَ اِنِّى اَظُنُّ اَنَّ فِى نَفْسِ اَبِى حُذَيْفَةَ مِنْ ذلِكَ شَيْئًا. فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ص: اَرْضِعِيْهِ، تَحْرُمِى عَلَيْهِ وَ يَذْهَبِ الَّذِى فِى نَفْسِ اَبِى حُذَيْفَةَ. فَرَجَعَتْ، فَقَالَتْ: اِنِّى قَدْ اَرْضَعْتُهُ، فَذَهَبَ الَّذِى فِى نَفْسِ اَبِى حُذَيْفَةَ. مسلم
Dari ‘Aisyah RA, bahwasanya Salim bekas budaknya Abu Hudzaifah ikut bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka. Lalu istri Abu Hudzaifah (anak perempuan Suhail), datang kepad Nabi SAW, dan berkata, “Sesungguhnya Salim telah baligh, dan akalnya pun sebagaimana pada umumnya orang dewasa. Dan dia berada di rumah kami. Sedangkan aku menyangka bahwa pada diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (kecemburuan) berkenaan dengan hal itu, bagaimanakah yang demikian itu ?”. Nabi SAW bersabda kepadanya, “Susuilah dia, maka kamu menjadi haram kepadanya dan akan hilanglah sesuatu yang ada pada diri Abu Hudzaifah”. Lalu Sahlah pulang. Kemudian ia berkata, “Sungguh aku telah menyusuinya”. Maka hilanglah sesuatu yang ada pada diri Abu Hudzaifah. [HR. Muslim]
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ رض قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ اِلاَّ مَا فَتَقَ اْلاَمْعَاءَ فِى الثَّدْيِ، وَ كَانَ قَبْلَ اْلفِطَامِ. الترمذى و صححه
Dari Ummu Salamah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dapat menjadikan mahram melainkan susuan yang memberi bekas pada perut dengan susuan itu, dan hal itu terjadi pada waktu anak tersebut belum disapih”. [HR. Tirmidzi dan ia mengesahkannya].
عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِيْنَارٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ رَضَاعَ اِلاَّ مَا كَانَ فِى اْلحَوْلَيْنِ. الدارقطنى
Dari Ibnu ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Abbas, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Tidak ada susuan melainkan yang berlangsung dalam (usia) dua tahun”. [HR. Daruquthni].
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ رَضَاعَ اِلاَّ مَا اَنْشَزَ اْلعَظْمَ وَ اَنْبَتَ اللَّحْمَ. ابو دتود
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada penyusuan melainkan apa yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging”. [HR. Abu Dawud]
عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ رَضَاعَ بَعْدَ فِصَالٍ وَ لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ. ابو داود و الطياليسى فى مسنده
Dari Jabir dari Nabi SAW, ia berkata, “Tidak ada susuan sesudah disapih dan tidak ada yatim sesudah baligh”. [HR. Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam musnadnya].
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ عِنْدِى رَجُلٌ فَقَالَ: مَنْ هذَا؟ قُلْتُ: اَخِى مِنَ الرَّضَاعَةِ. قَالَ: يَا عَائِشَةُ اُنْظُرْنَ مِنْ اِخْوَانِكُنَّ، فَاِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ اْلمَجَاعَةِ. الجماعة الا الترمذى
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah masuk rumahku, sedang di sisiku ada seorang laki-laki, kemudian beliau bertanya, “Siapa dia ini ?”. Aku menjawab, “Saudaraku sepesusuan”. Beliau bersabda, “Hai ‘Aisyah, perhatikanlah saudara-saudaramu, karena sebenarnya radla’ah (susuan yang dianggap) itu ialah (susuan yang dapat menutup) rasa lapar”. [HR. Jamaah kecuali Tirmidzi]
Keterangan :
Tentang menyusui orang dewasa tersebut, para ulama terjadi perbedaan pendapat :
Pendapat pertama, mengemukakan bahwa menyusui orang dewasa itu boleh dan sah berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah tentang penyusuan Salim tersebut.
Pendapat kedua, mengemukakan bahwa menyusui orang dewasa itu tidak boleh dan tidak sah, berdasarkan :
a. Sabda Rasulullah SAW, “Tidak menjadikan haram suatu penyusuan, kecuali yang memberi bekas pada perut dan (adanya) pada waktu kecil dan sebelum disapih”. [HR. Tirmidzi]
b. Sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada penyusuan, kecuali yang terjadi dalam dua tahun”. [HR. Daruquthni]
c. Sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada penyusuan sesudah diputuskan (disapih)”. [HR. Abu Dawud Ath-Thayalisi]
d. Sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada penyusuan melainkan (yang bisa menutup) rasa lapar”. [HR. Jamaah kecuali Tirmidzi). Maksudnya, tidak dinamakan penyusuan melainkan apabila si anak itu lapar maka susu ibu itulah yang bisa mengenyangkannya.
e. Firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 233 yang menyebutkan bahwa masa penyusuan itu dua tahun.
Dengan alasan-alasan tersebut, maka ulama golongan ini berpendapat bahwa penyusuan yang dianggap (bisa menjadikan sebagai anak susu) tersebut hanya penyusuan yang terjadi pada waktu anak itu masih kecil yaitu masih dalam masa penyusuan. Maka penyusuan yang telah lewat dari masa penyusuan itu tidak sah. Apalagi penyusuan kepada orang yang sudah baligh, karena untuk menyusuinya itu sendiri perlu dilanggar satu larangan, yaitu membuka aurat perempuan kepada orang yang tidak halal dibukakan aurat kepadanya.
Adapun penyusuan kepada Salim tersebut adalah khususiyah untuk Salim saja tidak untuk yang lain.
Pendapat ketiga, mengemukanan bahwa menyusui orang dewasa itu pada dasarnya adalah tidak boleh dan tidak sah. Dalilnya sebagaimana yang dikemukakan oleh pendapat ke-II. Namun apabila memang keadaannya seperti kasusnya Salim tersebut, yaitu anak yang telah dipeliharanya sejak kecil dan berat untuk menyingkirkannya dari rumah itu, maka berdasarkan hadits tentang penyusuan Salim tersebut, hal ini dibolehkan dan sah menjadi anak susu.
Demikianlah pendapat para ulama tentang menyusui orang dewasa,
وَ اللهُ اَعْلُمُ
18. Anjuran mengadakan walimah
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ اَثَرَ صُفْرَةٍ فَقَالَ: مَا هذَا؟ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنّى تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ. قَالَ: فَبَارَكَ اللهُ لَكَ. اَوْلِمْ وَ لَوْ بِشَاةٍ. مسلم
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi SAW melihat ada bekas kuning-kuning pada 'Abdur Rahman bin 'Auf. Maka beliau bertanya, "Apa ini ?". Ia menjawab, "Ya Rasulullah, saya baru saja menikahi wanita dengan mahar seberat biji dari emas". Maka beliau bersabda, "Semoga Allah memberkahimu. Selenggarakan walimah meskipun (hanya) dengan (menyembelih) seekor kambing". [HR. Muslim]
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: مَا اَوْلَمَ النَّبِيُّ ص عَلَى شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا اَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ، اَوْلَمَ بِشَاةٍ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Anas, ia berkata, "Nabi SAW tidak pernah menyelenggarakan walimah atas (pernikahannya) dengan istri-istrinya sebagaimana walimah atas (pernikahannya) dengan Zainab, beliau menyelenggara-kan walimah dengan (menyembelih) seekor kambing". [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِتَمْرٍ وَ سَوِيْقٍ. الخمسة الا النسائى
Dari Anas, sesungguhnya Nabi SAW pernah mengadakan walimah atas (perkawinannya) dengan Shafiyah dengan hidangan kurma dan sawiq (bubur tepung). [HR. Khamsah kecuali Nasai].
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ اَنَّهَا قَالَتْ: اَوْلَمَ النَّبِيُّ ص عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيْرٍ. البخارى
Dari Shafiyah binti Syaibah, bahwa ia berkata, "Nabi SAW mengadakan walimah atas (pernikahannya) dengan sebagian istrinya dengan dua mud gandum". [HR. Bukhari].
عَنْ اَنَسٍ فِى قِصَّةِ صَفِيَّةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص جَعَلَ وَلِيْمَتَهَا التَّمْرَ وَ اْلاَقِطَ وَ السَّمْنَ. احمد و مسلم
Dari Anas tentang kisah Shafiyah bahwa sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah (pernikahannya) dengan kurma, keju dan samin. [HR. Ahmad dan Muslim].
و فى رواية اَنَّ النَّبِيَّ ص اَقَامَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَ اْلمَدِيْنَةَ ثَلاَثَ لَيَالٍ يَبْنِى بِصَفِيَّةَ فَدَعَوْتُ اْلمُسْلِمِيْنَ اِلَى وَلِيْمَتِهِ مَا كَانَ فِيْهَا مِنْ خُبْزٍ وَ لاَ لَحْمٍ وَ مَا كَانَ فِيْهَا اِلاَّ اَنْ اَمَرَ بِاْلاَنْطَاعِ فَبُسِطَتْ فَاَلْقَى عَلَيْهَا التَّمْرَ وَ اْلاَقِطَ وَ السَّمْنَ. فَقَالَ اْلمُسْلِمُوْنَ: اِحْدَى اُمَّهَاتِ اْلمُؤْمِنِيْنَ اَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُهُ؟ فَقَالُوْا: اِنْ حَجَبَهَا فَهِيَ اِحْدَى اُمَّهَاتِ اْلمُؤْمِنِيْنَ. وَ اِنْ لَمْ يَحْجُبْهَا فَهِيَ مِمَّا مَلَكَتْ يَمِيْنُهُ فَلَمَّا ارْتَحَلَ وَطَّأَ خَلْفَهُ وَ مَدَّ اْلحِجَابَ. احمد و البخارى و مسلم
Dan dalam riwayat lain (dikatakan) : Bahwasanya Nabi SAW pernah singgah diantara Khaibar dan Madinah selama tiga malam dimana beliau mengadakan pesta pernikahan dengan Shafiyah, kemudian aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, yang dalam walimah itu hanya ada roti tanpa daging dan di situ beliau hanya menyuruh dihamparkannya tikar-tikar, lalu diletakkan di atasnya kurma, keju dan samin. Lalu kaum muslimin pada bertanya, "(Ini upacaranya) salah seorang ummul mukminin ataukah hamba perempuan yang dimilikinya ?". Lalu mereka menjawab, "Jika Nabi SAW mentabirinya maka ia adalah seorang umul mukminin dan jika tidak mentabirinya maka ia adalah hamba yang beliau miliki". Kemudian tatkala Nabi SAW mendengar, beliau melangkah ke belakang dan menarik tabir. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: تَزَوَّجَ رَسُوْلُ اللهِ ص فَدَخَلَ بِاَهْلِهِ، قَالَ: فَصَنَعَتْ اُمّى اُمُّ سُلَيْمٍ حَيْسًا فَجَعَلَتْهُ فِى تَوْرٍ فَقَالَتْ: يَا اَنَسُ، اِذْهَبْ بِهذَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص. فقل: بَعَثَتْ بِهذَا اِلَيْكَ اُمّى وَ هِيَ تُقْرِئُكَ السَّلاَمَ. فَتَقُوْلُ اِنَّ هذَا لَكَ مِنَّا قَلِيْلٌ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَذَهَبْتُ بِهَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص فَقُلْتُ: اِنَّ اُمّى تُقْرِئُكَ السَّلاَمَ وَ تَقُوْلُ اِنَّ هذَا لَكَ مِنَّا قَلِيْلٌ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقَالَ: ضَعْهُ. ثُمَّ قَالَ: اِذْهَبْ فَادْعُ لِى فُلاَنًا وَ فُلاَنًا وَ فُلاَنًا وَ مَنْ لَقِيْتَ وَ سَمَّى رِجَالاً. قَالَ: فَدَعَوْتُ مَنْ سَمَّى وَ مَنْ لَقِيْتُ. قَالَ: قُلْتُ ِلاَنَسٍ: عَدَدَ كَمْ كَانُوْا؟ قَالَ: زُهَاءَ ثَلاَثِ مِائَةٍ. مسلم
Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Nabi SAW menikah, lalu beliau mengadakan walimah". Anas berkata, "Lalu ibuku Ummu Sulaim membuat makanan hais, lalu ia tuangkan dalam bejana", kemudian ia berkata, "Hai Anas, bawalah ini kepada Rasulullah SAW. Dan katakanlah, "Ibuku mengirimkan ini untuk engkau, dan dia berkirim salam kepada engkau". Dan katakanlah, "Ini sedikit dari kami untuk engkau ya Rasulullah". Anas berkata, "Lalu aku pergi kepada Rasulullah SAW dengan membawa makanan itu". Lalu aku berkata kepada Rasulullah, "Sesungguhnya ibuku berkirim salam untukmu dan dia mengatakan, "Sesungguhnya ini sedikit dari kami untukmu, ya Rasulullah". Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Letakkanlah makanan itu". Lalu ia bersabda (lagi), "Undanglah kemari, si Fulan, si Fulan, si Fulan dan siapasaja yang kau jumpai". Beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki. Anas berkata, "Kemudian aku mengundang orang-orang yang beliau sebut namanya dan orang-orang yang aku jumpai". Perawi bertanya kepada Anas, "Berapa jumlah mereka itu ?". Jawab Anas, "Kira-kira 300 orang". [HR. Muslim].
عَنْ قَتَادَةَ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُثْمَانَ الثَّقَفِيّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ ثَقِيْفٍ يُقَالُ اَنَّ لَهُ مَعْرُوْفًا وَ اَثْنَى عَلَيْهِ. قَالَ قَتَادَةُ اِنْ لَمْ يَكُنْ اِسْمُهُ زُهَيْرَ بْنَ عُثْمَانَ فَلاَ اَدْرِى مَا اْسمُهُ. قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اْلوَلِيْمَةُ اَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ. وَ اْليَوْمَ الثَّانِى مَعْرُوْفٌ وَ اْليَوْمَ الثَّالِثَ سُمْعَةٌ وَ رِيَاءٌ. احمد و ابو داود
Dari Qatadah dari Al-Hasan dari 'Abdullah bin Usman Ats-Tsaqafiy dari seorang laki-laki dari Tsaqif, dia mempunyai nama terkenal dan 'Abdullah memujinya. Qatadah berkata, "Jika nama laki-laki itu bukan Zuhair bin 'Utsman, maka aku tidak tahu siapa namanya". Laki-laki itu berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Walimah pada hari pertama benar, pada hari kedua dikenal dan pada hari ketiga sum'ah (menginginkan kemasyhuran) dan riya' ". [HR. Ahmad dan Abu Dawud].
19. Hiburan pada acara walimah
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: فَصْلُ مَا بَيْنَ اْلحَلاَلِ وَ اْلحَرَامِ الدُّفُّ وَ الصَّوْتُ فِى النّكَاحِ. الخمسة الا ابا داود
Dari Muhammad bin Hathib, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Pemisah antara yang halal dan yang haram yaitu rebana dan bunyi-bunyian dalam acara walimah". [HR. Khamsah kecuali Abu Dawud].
عَنْ عَائِشَةَ رض عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَعْلِنُوْا هذَا النّكَاحَ وَ اضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِاْلغُرْبَالِ. ابن ماجه
Dari 'Aisyah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda, "Umumkanlah pernikahan ini dan pukullah rebana". [HR. Ibnu Majah].
عَنْ خَالِدِ بْنِ ذَكْوَانَ قَالَ: قَالَتِ الرُّبَيّعُ بِنْتُ مُعَوّذِ بْنِ عَفْرَاءَ: جَاءَ النَّبِيُّ ص فَدَخَلَ حِيْنَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِى كَمَجْلِسِكَ مِنّى فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفّ وَ يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِى يَوْمَ بَدْرٍ اِذْ قَالَتْ اِحْدَاهُنَّ وَ فِيْنَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ. فَقَالَ دَعِى هذِهِ وَ قُوْلِى بِالَّذِى كُنْتِ تَقُوْلِيْنَ. البخارى
Dari Khalid bin Dzakwan, ia berkata : Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz bin 'Afraa' berkata : Ketika pernikahanku, Nabi SAW datang lalu masuk rumahku dan duduk di atas tempat tidurku seperti halnya dudukmu di sisiku sekarang ini, sedang para wanita memukul rebana sambil (menyanyi) yang syairnya meratapi bapak-bapakku kurban perang Badr, sehingga berkatalah salah seorang diantara mereka, "Dan diantara kami ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang bakal terjadi besok pagi". Kemudian Nabi SAW bersabda, "Janganlah begitu, tetapi ucapkan saja sebagaimana yang kau nyanyikan tadi". [HR. Bukhari].
20. Memenuhi undangan walimah
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ اْلوَلِيْمَةِ تُدْعَى لَهَا اْلاَغْنِيَاءُ وَ تُتْرَكُ اْلفُقَرَاءُ. وَ مَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَ رَسُوْلَهُ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, dimana yang diundang menghadirinya orang-orang yang kaya, sedang orang-orang fakir ditinggalkan. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَجِيْبُوْا هذِهِ الدَّعْوَةَ اِذَا دُعِيْتُمْ لَهَا. وَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَأْتِى الدَّعْوَةَ فِى اْلعُرْسِ وَ غَيْرِ اْلعُرْسِ. وَ يَأْتِيْهَا وَ هُوَ صَائِمٌ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Ibnu 'Umar, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Penuhilah undangan ini apabila kamu diundang kepadanya". Sedang Ibnu 'Umar selalu menghadiri undangan walimah dan lainnya dan ia (juga) pernah menghadirinya pada hal ia sedang berpuasa. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
و فى رواية اِذَا دُعِيَ اَحَدُكُمْ اِلَى اْلوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا. احمد و البخارى و مسلم
Dan dalam riwayat lain (dikatakan), "Apabila salah seorang diantara kamu diundang ke walimah, hendaklah ia menghadirinya". [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
و رواه ابو داود و زاد: فَاِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ وَ اِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيَدَعْ.
Dan Abu Dawud juga meriwayatkan dan ia menambahkan, "Kemudian jika ia tidak berpuasa maka makanlah dan jika ia berpuasa maka tinggalkanlah".
و فى رواية قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَ رَسُوْلَهُ. وَمَنْ دَخَلَ عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ دَخَلَ سَارِقًا وَ خَرَجَ مُغِيْرًا. ابو داود
Dan dalam riwayat lain (dikatakan) : Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa diundang kemudian tidak memenuhinya maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa menghadiri walimah tanpa diundang maka ia masuk laksana pencuri dan keluar sebagai orang yang merampok". [HR. Abu Dawud].
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا دُعِيَ اَحَدُكُمْ اِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ فَاِنْ شَاءَ طَعِمَ وَ اِنْ شَاءَ تَرَكَ. احمد و مسلم و ابو داود
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Apabila salah seorang diantara kamu diundang ke walimah, maka penuhilah, kemudian jika ia suka makanlah dan jika ia tidak suka tinggalkanlah". [HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud].
21. Apabila ada dua undangan Walimah
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنِ اْلحِمْيَرِيّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ ص عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَاَجِبْ اَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَاِنَّ اَقْرَبَهُمَا بَابًا اَقْرَبُهُمَا جِوَارًا. فَاِذَا سَبَقَ اَحَدُهُمَا فَاَجِبِ الَّذِى سَبَقَ. احمد و ابو داود
Dari Humaid bin 'Abdur Rahman Al-Himyari, dari seorang laki-laki shahabat Rasulullah SAW dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Apabila ada dua undangan yang bersamaan, maka penuhilah yang lebih dekat pintunya diantara keduanya itu, sebab yang lebih dekat pintunya itulah tetangga yang paling dekat. Lalu apabila salah satu diantara dua undangan itu datang lebih dahulu, maka penuhilah undangan yang datang lebih dahulu itu". [HR. Ahmad dan Abu Dawud].
22. Menghadiri undangan, lalu melihat kemungkaran
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيّرْهُ بِيَدِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذلِكَ اَضْعَفُ اْلاِيْمَانِ. احمد و مسلم و ابو داود و النسائى و الترمذى و ابن ماجه
Barangsiapa diantara kamu mengetahui ada kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, kemudian jika ia tidak mampu (dengan lisannya) maka dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman. [HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah]
عَنْ عُمَرَ رض قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَقْعُدْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ. احمد
Dari 'Umar RA, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia duduk pada hidangan yang diedarkan padanya khamr". [HR. Ahmad].
23. Laki-laki boleh mengawini sampai 4 wanita.
Firman Allah SWT :
وَ اِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى اْليَتمى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مّنَ النّسآءِ مَثْنى وَ ثُلثَ وَ رُبعَ، فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمنُكُمْ، ذلِكَ اَدْنى اَلاَّ تَعُوْلُوْا. النساء:3
Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [QS. An-Nisaa' : 3]
Hadits-hadits Nabi SAW :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ غَيْلاَنَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ اَسْلَمَ وَ تَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: اِخْتَرْ مِنْهُنَّ. وَ فِى لَفْظٍ: اَمْسِكْ اَرْبَعًا. وَ فَارِقْ سَائِرَهُنَّ. الشافعى و ابن ابى شيبة و احمد و الترمذى و ابن ماجه و الدارقطنى و البيهقى
Dari Ibnu 'Umar bahwasanya Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafiy masuk Islam dan ia mempunyai 10 istri. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Pilihlah diantara mereka". Dalam lafadh lain, "Pakailah 4 orang, dan cerailah yang lainnya !". [HR. Syafi'i, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Tirmidzi Ibnu Majah, Daruquthni dan Baihaqi]
عَنْ قَيسِ بْنِ اْلحَارِثِ قَالَ: اَسْلَمْتُ وَ عِنْدِى ثَمَانُ نِسْوَةٍ، فَاَتَيْتُ النَّبِيَّ ص فَذَكَرْتُ ذلِكَ لَهُ، فَقَالَ: اِخْتَرْ مِنْهُنَّ اَرْبَعًا. ابو داود و ابن ماجه
Dari Qais bin Harits, ia berkata : Aku masuk Islam sedang aku memiliki delapan istri, lalu aku menghadap Nabi SAW, kemudian aku terangkan kepadanya hal itu, lalu beliau bersabda, "Pilihlah empat diantara mereka". [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah].
24. Kewajiban adil terhadap para istri
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَا مِنْ يَوْمٍ اِلاَّ وَ هُوَ يَطُوْفُ عَلَيْنَا جَمِيْعًا امْرَأَةً امْرَأَةً فَيَدْنُوْ وَ يَلْمَسُ مِنْ غَيْرِ مَسِيْسٍ حَتَّى يُفْضِيَ اِلَى الَّتِى هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيْتُ عِنْدَهَا. احمد و ابو داود بنحوه
Dari 'Aisyah RA ia berkata, "Adalah Rasulullah SAW tidak pernah ada satu hari kecuali beliau mesti mengelilingi kami seluruhnya, seorang demi seorang, kemudian beliau mendekat dan memegang-megang tanpa bercampur sehingga masuklah beliau kepada (istri) yang hari itu menjadi gilirannya, lalu beliau bermalam di situ". [HR. Ahmad dan Abu Dawud juga meriwayatkan seperti itu]
و فى لفظ كَانَ انْصَرَفَ مِنْ صَلاَةِ اْلعَصْرِ دَخَلَ عَلَى نِسَائِهِ فَيَدْنُوْ مِنْ اِحْدَاهُنَّ. احمد و البخارى و مسلم
Dan dalam lafadh lain (dikatakan), "Adalah Nabi SAW apabila selesai shalat 'Ashar, beliau masuk ke rumah istri-istrinya lalu mendekat kepada salah seorang diantara mereka". [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَاَتَانِ يَمِيْلُ ِلاِحْدَاهُمَا عَلَى اْلاُخْرَى جَاءَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يَجُرُّ اَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًا اَوْ مَائِلاً. الخمسة
Dari Abu Hurairah RA, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa mempunyai dua istri lalu ia condong kepada salah satu diantara mereka, maka ia akan datang pada hari qiyamat nanti sambil menyeret sebelah pundaknya dalam keadaan jatuh atau condong". [HR. Khamsah].
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ وَ يَقُوْلُ: اَللّهُمَّ هذَا قَسْمِى فِيْمَا اَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِى فِيْمَا تَمْلِكُ وَ لاَ اَمْلِكُ. الخمسة الا احمد
Dari 'Aisyah RA ia berkata : Adalah Rasulullah SAW selalu menggilir (istri-istrinya), maka beliau pun berlaku adil, lalu beliau berdoa, "Ya Allah, beginilah yang bisa aku lakukan menggilir menurut kemampuanku, maka semoga Engkau tidak mencelaku dalam hal yang Engkau menguasainya sedang aku tidak menguasai". [HR. Khamsah kecuali Ahmad]
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يَسْأَلُ فِى مَرَضِهِ الَّذِى مَاتَ فِيْهِ: اَيْنَ اَنَا غَدًا ؟ اَيْنَ اَنَا غَدًا ؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ، فَاَذِنَ لَهُ اَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ فَكَانَ فِى بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا. احمد و البخارى و مسلم
Dari 'Aisyah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bertanya pada waktu sakit yang beliau wafat dalam sakitnya itu, "Dimana aku besok ? Di mana aku besok ?", yang beliau inginkan yaitu harinya 'Aisyah, lalu istri-istri beliau mengidzinkannya berada dimana saja beliau suka, kemudian beliau berada di rumah 'Aisyah sehingga wafat di sisinya. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ اِذَا اَرَادَ اَنْ يَخْرُجَ سَفَرًا اَقْرَعَ بَيْنَ اَزْوَاجِهِ فَاَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ. و البخارى و مسلم
Dari 'Aisyah RA bahwa sesungguhnya Nabi SAW apabila hendak bepergian beliau mengundi diantara istri-istrinya, siapa diantara mereka yang keluar baginya maka dialah yang ikut pergi bersama beliau. [HR. Bukhari dan Muslim].
25. Khususiyah bagi Nabi SAW boleh beristri lebih dari empat
ياَيُّهَا النَّبِيُّ اِنَّا اَحْلَلْنَا لَكَ اَزْوَاجَكَ اللّتِيْ اتَيْتَ اُجُوْرَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ مِمَّا اَفَآءَ اللهُ عَلَيْكَ وَ بَنَاتِ عَمّكَ وَ بَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَ بَنَاتِ خَالِكَ وَ بَنَاتِ خَالتِكَ اللّتِيْ هَاجَرْنَ مَعَكَ وَ امْرَأَةً مُّؤْمِنَةً اِنْ وَّ هَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيّ اِنْ اَرَادَ النَّبِيُّ اَنْ يَّسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِنْ دُوْنِ اْلمُؤْمِنِيْنَ، قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِيْ اَزْوَاجِهِمْ وَ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ لِكَيْلاَ يَكُوْنَ عَلَيْكَ حَرَجٌ، وَ كَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا. الاحزاب:50
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Al-Ahzaab : 50]
26. Boleh memberikan hari gilirannya kepada madunya.
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ فَكَانَ النَّبِيُّ ص يَقْسِمُ لِعَائِشَةَ يَوْمَهَا وَ يَوْمَ سَوْدَةَ. احمد و البخارى و مسلم
Dari 'Aisyah, bahwa sesungguhnya Saudah binti Zam'ah memberikan hari (gilirannya) kepada 'Aisyah, maka Nabi SAW menggilir 'Aisyah pada harinya (sendiri) dan harinya Saudah. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنْ عَائِشَةَ فِى قَوْلِهِ تَعَالَى وَ اِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا، قَالَتْ: هِيَ اْلمَرْأَةُ تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ لاَ يَسْتَكْثِرُ مِنْهَا فَيُرِيْدُ طَلاَقَهَا وَ يَتَزَوَّجُ غَيْرَهَا تَقُوْلُ لَهُ: اَمْسِكْنِى وَ لاَ تُطَلّقْنِى، ثُمَّ تَزَوَّجْ غَيْرِى، وَ اَنْتَ فِى حِلّ مِنَ النَّفَقَةِ عَلَيَّ وَ اْلقَسْمِ لِى فَذلِكَ قَوْلُهُ. فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا، وَّ الصُّلْحُ خَيْرٌ. احمد و البخارى و مسلم
Dari 'Aisyah tentang firman Allah Ta'ala "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz (meninggalkan kewajiban bersuami istri) atau sikap tidak acuh dari suaminya". (QS. An-Nisaa' : 128), 'Aisyah berkata, "Dia adalah wanita yang berada di bawah laki-laki yang tidak banyak permintaannya kepada istrinya, kemudian ia bermaksud menthalaqnya dan mengawini wanita lain. Berkatalah wanita itu kepada suaminya, "Pertahankanlah diriku, jangan engkau menthalaqku dan kawinlah lagi dengan wanita lain, sedang engkau bebas dalam memberi nafqah dan giliran kepadaku". Maka itulah (yang dimaksud oleh) firman Allah "Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perda-maian itu lebih baik bagi mereka". (QS. An-Nisaa' : 128). [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
و فى رواية قالت: هُوَ الرَّجُلُ يَرَى مِنِ امْرَأَتِهِ مَا لاَ يُعْجِبُهُ كِبَرًا اَوْ غَيْرَهُ فَيُرِيْدُ فِرَاقَهَا فَتَقُوْلُ: اَمْسِكْنِى وَ اقْسِمْ لِى شِئْتَ قَالَتْ: فَلاَ بَأْسَ اِذَا تَرَاضَيَا. احمد و البخارى و مسلم
Dan dalam satu riwayat (dikatakan), "Dia itu adalah laki-laki yang melihat istrinya tidak menyenangkannya lagi karena tua atau lainnya, lalu ia bermaksud menthalaqnya. Maka berkatalah istrinya kepadanya, "Pertahankanlah diriku dan gilirlah aku sesukamu". 'Aisyah berkata, "Yang demikian itu tidak mengapa apabila mereka sama-sama ridla". [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
27. Larangan membicarakan persetubuhan antara suami istri
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ اْلقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِيْ اِلَى اْلمَرْأَةِ وَ تُفْضِيْ اِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا. احمد و مسلم
Dari Abu Sa’id RA, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya seburuk-buruk manusia dalam pandangan Allah pada hari qiyamat nanti adalah laki-laki yang bersetubuh dengan istrinya dan perempuan yang bersetubuh dengan suaminya kemudian menyiarkan rahasianya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص صَلَّى، فَلَمَّا سَلَّمَ اَقْبَلَ عَلَيْهِمْ بِوَجْهِهِ فَقَالَ: مَجَالِسَكُمْ هَلْ مِنْكُمُ الرَّجُلُ اِذَا اَتَى اَهْلَهُ اَغْلَقَ بَابَهُ وَ اَرْخَى سِتْرَهُ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُحَدِّثُ فَيَقُوْلُ: فَعَلْتُ بِاَهْلِى كَذَا، وَ فَعَلْتُ بِاَهْلِى كَذَا ! فَسَكَتُوْا. فَاَقْبَلَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ: هَلْ مِنْكُنَّ مَنْ تُحَدِّثُ؟ فَجَثَتْ فَتَاةٌ كَعَابٌ عَلَى اِحْدَى رُكْبَتَيْهَا وَ تَطَاوَلَتْ لِيَرَاهَا رَسُوْلُ اللهِ ص وَ يَسْمَعَ كَلاَمَهَا، فَقَالَتْ: إِيْ وَ اللهِ اِنَّهُمْ يَتَحَدَّثُوْنَ وَ اِنَّهُنَّ لَيَتَحَدَّثْنَ، فَقَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَا مَثَلُ مَنْ فَعَلَ ذلِكَ؟ اِنَّ مَثَلَ مَنْ فَعَلَ ذلِكَ مَثَلُ شَيْطَانٍ وَ شَيْطَانَةٍ لَقِيَ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ بِالسِّكَّةِ فَقَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا وَ النَّاسُ يَنْظُرُوْنَ اِلَيْهِ . احمد و ابو داود
Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW shalat, kemudian setelah salam maka ia menghadapkan wajahnya kepada jamaah, lalu bersabda, “Tetaplah di tempat duduk kalian ! Apakah diantara kalian, ada orang yang apabila bersetubuh dengan istrinya, ia menutup pintu dan tabirnya. Kemudian keluar lalu bercerita, “Aku telah melakukan dengan istriku demikian dan aku telah melakukan dengan istriku demikian ?”. Maka mereka terdiam. Lalu Nabi SAW menghadap kepada kaum wanita dan bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang membicarakan begitu ?”. Kemudian ada seorang pemudi yang membungkuk-bungkuk sambil bertekan satu lututnya dan mendongak agar dilihat oleh Rasulullah SAW dan didengar perkataannya, lalu pemudi itu berkata, “Demi Allah, sesungguhnya mereka (laki-laki) sama membicarakan (hal itu) dan mereka (wanita-wanita) juga sama membicarakannya”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kalian seperti apakah orang yang berbuat demikian itu ? Sesungguhnya orang yang berbuat demikian itu adalah seperti syaithan laki-laki dan syaithan perempuan yang bertemu di jalan, kemudian syaithan laki-laki itu melampiaskan hajatnya kepada yang perempuan, sedang orang banyak sama melihatnya”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud]
28. Doa akan bercampur suami-istri
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَوْ اَنَّ اَحَدَهُمْ اِذَا اَرَادَ اَنْ يَأْتِيَ اَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللهِ، اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَ جَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا. فَاِنَّهُ اِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ اَبَدًا. مسلم
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang diantara mereka akan menggauli istrinya membaca “Bismillaah, Alloohumma jannibnasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa” (Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari syaithan dan jauhkanlah syaithan dari apa yang Engkau rezqikan kepada kami). Maka jika ditaqdirkan dari hubungan itu lahir seorang anak, syaithan tidak akan membahayakannya selamanya. [HR. Muslim]
29. Pergaulan dan hak-hak suami istri
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَ اِسْتَوْصُوْا بِالنّسَاءِ خَيْرًا، فَاِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَ اِنَّ اَعْوَجَ شَيْءٍ فِى الضّلَعِ اَعْلاَهُ، فَاِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَ اِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ اَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنّسَاءِ خَيْرًا. متفق عليه و اللفظ للبخارى و لمسلم: فَاِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَ بِهَا عِوَجٌ، وَ اِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا، وَ كَسْرُهَا طَلاَقُهَا.
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW beliau bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti tetangganya. Dan nasehatilah wanita-wanita kalian dengan baik, karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kalian meluruskannya niscaya kalian mematahkannya, dan jika kalian membiarkannya, ia tetap bengkok. Maka nasehatilah wanita-wanita kalian dengan baik”. [HR. Muttafaq ‘alaih, dan lafadh itu bagi Bukhari]
Dan bagi Muslim (sabda beliau), “Jika kamu mengambil kesenangan dengannya, kamu akan mendapat kesenangan dalam keadaan ia bengkok. Dan jika kamu meluruskannya, niscaya kamu menyebabkan patahnya. Dan patahnya itu berarti thalaqnya”.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، اِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ. احمد و مسلم
Dari Abu Hurairah, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seorang mukmin membenci (istrinya) yang mukminah, (sebab) jika ia tidak menyukai sebagian perangainya, maka ia akan menyukai perangainya yang lain”. [HR. Ahmad dan Muslim]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. وَ خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ. احمد و الترمذى و صححه
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sesempurna-sempurna iman orang mukmin adalah yang paling baik akhlaqnya diantara mereka dan orang paling baik diantara kalian ialah orang yang paling baik terhadap istrinya”. [HR. Ahmad dan Tirmidzi dan Tirmidzi mengesahkannya]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلاَهْلِهِ، وَ اَنَا خَيْرُكُمْ ِلاَهْلِى. الترمذى و صححه
Dari Aisyah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik orang diantara kalian ialah orang yang paling baik terhadap istrinya dan aku adalah orang yang paling baik diantara kalian terhadap istriku”. [HR. Tirmidzi dan ia mengesahkannya]
عَنْ عَمْرِو بْنِ اْلاَحْوَصِ اَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ اْلوَدَاعِ مَعَ النَّبِيّ ص، فَحَمِدَ اللهَ وَ اَثْنَى عَلَيْهِ وَ ذَكَرَ وَ وَعَظَ ثُمَّ قَالَ: اِسْتَوْصُوْا بِالنّسَاءِ خَيْرًا، فَاِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذلِكَ اِلاَّ اَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيّنَةٍ، فَاِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِى اْلمَضَاجِعِ وَ اضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرّجٍ، فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، اِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَ لِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَاَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَ لاَ يَأْذَنَّ فِى بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، اَلآ وَ حَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ اَنْ تُحْسِنُوْا اِلَيْهِنَّ فِى كِسْوَتِهِنَّ وَ طَعَامِهِنَّ. ابن ماجه و الترمذى و صححه
Dari ‘Amr bin Ahwash, bahwa ia ikut serta dalam haji wada’ bersama Nabi SAW. Kemudian beliau memuji kepada Allah dan menyanjung-Nya, berdzikir dan memberikan washiyat, lalu beliau bersabda, “Nasehatilah para wanita dengan baik, karena sesungguhnya mereka itu bagi kalian hanyalah (ibarat) orang-orang tawanan, dimana kalian tidak boleh menyakiti mereka itu sedikitpun, kecuali jika mereka melakukan kekejian yang nyata. Jika mereka melakukannya, maka jauhilah mereka dari tempat tidur dan pukullah dengan pukulan yang tidak membahayakan. Kemudian kalau mereka sudah thaat kepada kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyakiti mereka, sebab sesungguhnya kalian mempunyai hak pada istri kalian dan istri kalianpun mempunyai hak pada kalian. Adapun hak kalian pada istri-istri kalian ialah mereka tidak mempersilahkan orang yang kalian benci menginjak tempat tidur kalian, dan mereka tidak mengizinkan kepada orang yang tidak kalian sukai untuk masuk rumah kalian. Dan ingatlah, hak mereka pada kalian ialah kalian memberi pakaian dan makan yang layak bagi mereka”. [HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya]
عَنْ مُعَاوِيَةَ اْلقُشَيْرِيّ اَنَّ النَّبِيَّ ص سَأَلَهُ رَجُلٌ: مَا حَقُّ اْلمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ؟ قَالَ: تُطْعِمُهَا اِذَا طَعِمْتَ، وَ تَكْسُوْهَا اِذَا اكْتَسَيْتَ، وَ لاَ تَضْرِبِ اْلوَجْهَ، وَ لاَ تُقَبّحْ، وَ لاَ تَهْجُرْ اِلاَّ فِى اْلبَيْتِ. احمد و ابو داود و ابن ماجه
Dari Mu’awiyah Al-Qusyairiy, bahwa sesungguhnya Nabi SAW ditanya oleh seorang laki-laki, “Apa hak seorang istri pada suaminya ?”. Beliau menjawab, “Engkau memberinya makan apabila engkau makan dan engkau memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah memukul wajah, jangan mencaci maki dan janganlah engkau meninggalkannya melainkan di dalam rumah”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah]
عَنْ اُمّ سَلَمَةَ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَ زَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ اْلجَنَّةَ. ابن ماجه و الترمذى و قال حديث حسن غريب
Dari Umu Salamah RA, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Siapasaja wanita yang meninggal dunia sedang suaminya ridla terhadapnya maka ia masuk surga”. [HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi dan Tirmidzi berkata : Hadits ini Hasan Gharib]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ اِلَى فِرَاشِهِ فَاَبَتْ اَنْ تَجِيْءَ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اْلمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. متفق عليه
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu istrinya itu menolak, kemudian si suami tidur semalam dalam keadaan marah kepadanya, maka ia dilaknat oleh para malaikat sampai shubuh”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لَوْ كُنْتُ آمِرًا اَحَدًا اَنْ يَسْجُدَ ِلاَحَدٍ َلاَمَرْتُ اْلمَرْأَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا. الترمذى و قال: حديث حسن غريب
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Sekiranya aku (boleh) menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang, tentu aku suruh istri untuk sujud kepada suaminya”. [HR. Tirmidzi dan ia berkata : Hadits hasan gharib]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ اَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ اِلاَّ بِاِذْنِهِ. متفق عليه
Dari Abu Hurairah, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh wanita berpuasa sedang suaminya berada di rumah melainkan dengan idzinnya”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
30. Larangan menggauli istri pada duburnya
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَلْعُوْنٌ مَنْ اَتَى اْلمَرْأَةَ فِى دُبُرِهَا. احمد و ابو داود
Dari Abu Hurairah RA ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Terlaknatlah orang yang menggauli wanita pada duburnya”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَنْ اَتَى حَائِضًا اَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا اَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ص. احمد و الترمذى
Dan dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menggauli wanita yang sedang haidl atau menggauli wanita pada duburnya atau (mendatangi) juru ramal lalu mempercayainya, maka benar-benar ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW”. [HR. Ahmad dan Tirmidzi]
عَنْ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ: اَنَّ النَّبِيَّ ص نَهَى اَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ فِى دُبُرِهَا. احمد و بن ماجه
Dari Khuzaimah bin Tsabit, bahwasanya Nabi SAW melarang laki-laki menggauli istrinya pada duburnya. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: فِى الَّذِيْ يَأْتِى امْرَأَتَهُ فِيْ دُبُرِهَا: هِيَ اللُّوْطِيَّةُ الصُّغْرَى. احمد
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari datuknya, bahwasanya Nabi SAW bersabda tentang orang yang menggauli istrinya pada duburnya, “Itu hampir menyerupai amaliah kaum Luth”. [HR. Ahmad]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَنْظُرُ اللهُ اِلَى رَجُلٍ اَتَى رَجُلاً اَوِ امْرَأَةً فِى الدُّبُرِ. الترمذى و قال حديث غريب
Dari Ibnu ‘Abbas RA ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang mengumpuli sesama laki-laki atau menggauli wanita pada duburnya”. [HR. Tirmidzi dan ia berkata : Hadits ini Gharib]
عَنْ جَابِرٍ اَنَّ يَهُوْدَ كَانَتْ تَقُوْلُ: اِذَا اُتِيَتِ اْلمَرْأَةُ مِنْ دُبُرِهَا ثُمَّ حَمَلَتْ كَانَ وَلَدُهَا اَحْوَلَ. قَالَ: فَنَزَلَتْ: نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّى شِئْتُمْ. الجماعة الا النسائى
Dari Jabir, bahwasanya orang-orang Yahudi berkata, “Apabila seorang wanita digauli dari belakangnya, kemudian hamil, maka anaknya akan lahir dalam keadaan juling”. Jabir berkata, “Lalu turunlah (ayat) “Istri-istrimu itu laksana tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu (dengan cara) bagaimana saja kamu kehendaki”. (QS. Al-Baqarah : 223) [HR. Jamaah kecuali Nasai]
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص فِى قَوْلِهِ تَعَالَى: نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّى شِئْتُمْ، يَعْنِى صِمَامًا وَاحِدًا. احمد و الترمذى و قال: حديث حسن
Dari Umi Salamah, dari Nabi SAW tentang firman Allah, “Istri-istrimu itu laksana tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu (dengan cara) bagaimana saja kamu kehendaki”, yakni pada lubang yang satu (itu)”. [HR. Ahmad dan Tirmidzi dan Tirmidzi berkata : Hadits ini Hasan]
31. Tentang ‘azl
عَنْ جَابِرٍ رض قَالَ: كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ اْلقُرْآنُ يَنْزِلُ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Jabir RA, ia berkata, “Kami pernah melakukan ‘azl di masa Rasulullah SAW, sedang Al-Qur’an masih turun”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
و لمسلم: كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص فَبَلَغُ ذلِكَ نَبِيَّ اللهِ ص فَلَمْ يَنْهَنَا
Dan bagi Muslim (dikatakan), “Kami pernah ‘azl di masa Rasulullah SAW, kemudian sampailah hal itu kepada Nabiyullah SAW, tetapi beliau tidak mencegah kami”.
عَنْ جَابِرٍ رض اَنَّ رَجُلاً اَتَى رَسُوْلَ اللهِ ص فَقَالَ: اِنَّ لِى جَارِيَةً، هِيَ خَادِمَتُنَا وَ سَانِيَتُنَا فِى النَّخْلِ وَ اَنَا اَطُوْفُ عَلَيْهَا. وَ اَكْرَهُ اَنْ تَحْمِلَ، فَقَالَ: اِعْزِلْ عَنْهَا اِنْ شِئْتَ فَاِنَّهُ سَيَأْتِيْهَا مَا قُدِّرَ لَهَا. احمد و مسلم و ابو داود
Dari Jabir RA, bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya, “Sesungguhnya kami mempunyai seorang jariyah, ia adalah wanita hamba kami dan penyiram kebun kurma kami dan aku menggilirnya tetapi aku tidak ingin dia hamil”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Lakukanlah ‘azl terhadapnya jika kamu mau, karena sesungguhnya akan tibalah kepada wanita itu apa yang ditaqdirkan oleh Allah padanya”. [HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ رض قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص فِى غَزْوَةِ بَنِى اْلمُصْطَلِقِ فَاَصَبْنَا سَبَايَا مِنَ اْلعَرَبِ فَاشْتَهَيْنَا النِّسَاءَ وَ اشْتَدَّتْ عَلَيْنَا اْلعُزْبَةُ وَ اَحْبَبْنَا اْلعَزْلَ فَسَاَلْنَا عَنْ ذلِكَ رَسُوْلَ اللهِ ص فَقَالَ: مَا عَلَيْكُمْ اَنْ لاَ تَفْعَلُوْا، فَاِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ قَدْ كَتَبَ مَا هُوَ خَالِقٌ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Abu Sa’id RA, ia berkata : Aku pernah keluar bersama Rasulullah SAW dalam perang Banil Mushthaliq, lalu kami memperoleh tawanan-tawanan dari orang-orang Arab, kemudian kami mempunyai keinginan kepada para wanita, sedang kami sangat berat membujang dan kami suka ‘azl lalu kami tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, maka jawab beliau, “Mengapa kamu tidak melakukannya, karena Allah ‘Azza wa Jalla benar-benar telah menentukan apa yang akan Dia ciptakan sampai yaumul qiyamah”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
32. Main-main dalam thalaq
وَ اِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَاِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ. البقرة:227
Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) thalaq, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengatahui. [QS. Al-Baqarah : 227]
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِيْ اَيْمَانِكُمْ وَ لكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوْبُكُمْ، وَ اللهُ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ. البقرة:225
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [QS. Al-Baqarah : 225]
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِيْ اَيْمَانِكُمْ وَ لكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ اْلاَيْمَانَ . المائدة:89
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu segaja, [QS. Al-Maaidah : 89]
قَالَ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنّيَّاتِ وَ اِنَّمَا لِكُلّ امْرِئٍ مَا نَوَى.... الجماعة
‘Umar bin Khaththab berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya tiap-tiap sesuatu tergantung apa yang diniatkan”. [HR. Jama’ah]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: لاَ طَلاَقَ وَ لاَ عَتَاقَ فِى اِغْلاَقٍ. احمد و ابو داود و ابن ماجه فى نيل الاوطار 6:264
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada thalaq dan tidak ada memerdekakan budak dalam keadaan tidak normal akal”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 264]
وَ قَالَ عُثْمَانُ: لَيْسَ لِلْمَجْنُوْنِ وَ لاَ سَكْرَانَ طَلاَقٌ. البخارى
Dan ‘Utsman berkata, “Tidak ada thalaq bagi orang yang majnun (gila) dan orang yang sedang mabuk”. [HR. Bukhari]
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: طَلاَقُ السَّكْرَانِ وَ اْلمُسْتَكْرَهِ لَيْسَ بِجَائِزٍ. وَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فِيْمَنْ يُكْرِهُهُ اللُّصُوْصُ فَيُطَلّقُ، فَلَيْسَ بِشَيْءٍ. البخارى، فى نيل الاوطار 6:265
Ibnu ‘Abbas berkata, “Thalaqnya orang yang mabuk dan orang yang dipaksa itu tidak sah”. Dan Ibnu ‘Abbas berkata tentang orang yang dipaksa oleh orang-orang jahat (untuk menthalaq istrinya) lalu ia pun menthalaqnya, maka hal itu tidak apa-apa (tidak jatuh thalaqnya). [HR. Bukhari, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 265]
قَالَ عَلِيٌّ: كُلُّ الطَّلاَقِ جَائِزٌ اِلاَّ طَلاَقَ اْلمَعْتُوْهِ. البخارى فى صحيحه
Ali RA berkata : Setiap thalaq dipandang jatuh kecuali thalaqnya orang yang tidak normal akalnya”. [HR. Bukhari dalam kitab shahihnya]
عَنْ قُدَامَةَ بْنِ اِبْرَاهِيْمَ اَنَّ رَجُلاً عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ تَدَلَّى يَشْتَارُ عَسَلاً فَاَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فَجَلَسَتْ عَلَى اْلحَبْلِ فَقَالَتْ لِيُطَلّقَنَّهَا ثَلاَثًا وَ اِلاَّ قَطَعَتِ اْلحَبْلَ. فَذَكَّرَهَا اللهَ وَ اْلاِسْلاَمَ فَاَبَتْ. فَطَلَّقَهَا ثَلاَثًا. ثُمَّ خَرَجَ اِلَى عُمَرَ فَذَكَرَ ذلِكَ لَهُ، فَقَالَ: اِرْجِعْ اِلَى اَهْلِكَ، فَلَيْسَ هذَا بِطَلاَقٍ. سعيد بن منصور و ابو عبيد القاسم بن سلام، فى نيل الاوطار 6:265
Dari Qudamah bin Ibrahim, bahwasanya ada seorang laki-laki di jaman ‘Umar bin Khaththab menggantung pada tali untuk mengambil madu lebah, lalu istrinya menghadap kepadanya sambil duduk diatas tali tersebut seraya meminta supaya suaminya menthalaqnya tiga kali (sekaligus) dan jika tidak maka tali itu akan ia potong. Kemudian suaminya mengingatkannya supaya ia ingat kepada Allah dan Islam, tetapi perempuan itu tetap menolak, lalu laki-laki itu menthalaqnya tiga kali (sekaligus). Kemudian orang laki-laki itu pergi menemui ‘Umar menyampaikan hal itu kepadanya. Maka ‘Umar berkata, “Kembalilah kepada istrimu, karena yang begini ini bukan thalaq”. [HR. Sa’d bin Manshur dan Abu ‘Ubaid Al-Qashim bin Salam, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 265]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَ هَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النّكَاحُ وَ الطَّلاَقُ وَ الرَّجْعَةُ. الخمسة الا النسائى و قال الترمذى خديث حسن غريب
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga perkara, sungguh-sungguh jadi sungguhan dan main-main jadi sungguhan. Yaitu nikah, thalaq dan ruju’ ”. [HR. Khamsah kecuali Nasai, dan Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan gharib]
قَالَ فُضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: ثَلاَثٌ لاَ يَجُوْزُ فِيْهِنَّ اللَّعِبُ: اَلطَّلاَقُ وَ النّكَاحُ وَ اْلعِتْقُ. الطبرانى، ضعيف
Dari Fudlalah bin ‘Ubaid, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga perkara yang tidak boleh dibuat permainan, yaitu thalaq, nikah dan memerdekakan budak”. [HR. Thabrani, dla’if karena di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah yang dilemahkan oleh ahli hadits]
و للحارث بن ابى اسامة من حديث عبادة بن الصامت رفعه: لاَ يَجُوْزُ اللَّعِبُ فِيْ ثَلاَثٍ: اَلطَّلاَقُ وَالنّكَاحُ وَاْلعِتَقُ. فَمَنْ قَالَهُنَّ فَقَدْ وَجَبْنَ. سنده ضعيف
Dan bagi Harits bin Abu Usamah dari hadits ‘Ubadah bin Shamit, ia merafa’kannya (hadits itu dari Rasulullah SAW), “Tidak boleh untuk main-main dalam tiga perkara, yaitu thalaq, nikah dan memerdekakan budak. Dan barangsiapa yang mengucapkannya, maka jadilah”. [Sanadnya dla’if, dalam Bulughul Maram hadits no. 1111]
عَنْ اَبِى ذَرّ رَفَعَهُ: مَنْ طَلَّقَ وَ هُوَ لاَعِبٌ فَطَلاَقُهُ جَائِزٌ. وَ مَنْ اَعْتَقَ وَ هُوَ لاَعِبٌ فَعِتْقُهُ جَائِزٌ. وَ مَنْ نَكَحَ وَ هُوَ لاَعِبٌ فَنِكَاحُهُ جَائِزٌ. عبد الرزاق و فى اسناده انقطاع، فى نيل الاوطار 6:264
Dari Abu Dzarr, ia merafa’kannya, “Barangsiapa menthalaq dengan main-main, maka thalaqnya itu jadi, dan barangsiapa memerdekakan budak dengan main-main, maka kemerdekaan itu jadi, dan barangsiapa menikah dengan main-main, maka nikahnya itu jadi”. [HR. Abdur Razzaq, munqathi’ (terputus), dalam Nailul Authar juz 6, hal. 264]
Keterangan :
1. Dari dalil-dalil diatas menunjukkan bahwa thalaq yang sah adalah thalaq yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dan thalaq yang dilakukan dengan main-main atau diwaktu tidak sadar atau tidak normal akalnya atau dipaksa, adalah tidak sah.
2. Adapun maksud hadits yang menyatakan “Ada tiga perkara, sungguh-sungguh jadi sungguhan, dan main-main jadi sungguhan ...” maksudnya adalah, “Thalaq, nikah, dan memerdekakan budak maupun ruju’ adalah merupakan urusan yang besar, maka tidak boleh orang main-main dengan ketiga hal tersebut. Maka apabila akan melakukan ketiga perkara tersebut hendaklah melakukannya dengan serius (sungguh-sungguh).
33. Tentang Khulu’
Khulu’ menurut bahasa ialah melepas. Adapun khulu’ menurut istilah syara’ ialah seorang istri meminta kepada suami supaya dirinya diceraikan dengan memberikan suatu tebusan (‘iwadl), misalnya mengembalikan mahar yang dulu diberikan oleh suaminya.
.... فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِه. البقرة:229
....
jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. [QS. Al-Baqarah : 229]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنّى مَا اَعْتِبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَ لاَ دِيْنٍ، وَ لَكِنّى اَكْرَهُ اْلكُفْرَ فِى اْلاِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِقْبَلِ اْلحَدِيْقَةَ وَ طَلّقْهَا تَطْلِيْقَةً. البخارى و النسائى، فى نيل الاوطار 6:276
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunmu kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia sekali”. [HR. Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 276]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ جَمِيْلَةَ بِنْتَ سَلُوْلٍ اَتَتِ النَّبِيَّ ص فَقَالَتْ: وَ اللهِ مَا اَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِى دِيْنٍ وَ لاَ خُلُقٍ وَ لكِنّى اَكْرَهُ اْلكُفْرَ فِى اْلاِسْلاَمِ، لاَ اُطِيْقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ص: اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَاَمَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيْقَتَهُ وَ لاَ يَزْدَادَ. ابن ماجه
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Jamilah binti Salul datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak mencela kepada Tsabit tentang agama dan akhlaqnya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam, aku tidak kuat menahan rasa benci kepadanya”. Lalu Nabi SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya ?” Ia menjawab, “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh Tsabit agar mengambil kembali kebunnya dari Jamilah, dan tidak minta tambahan”. HR. Ibnu Majah]
عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ ضَرَبَ امْرَأَتَهُ فَكَسَرَ يَدَهَا وَ هِيَ جَمِيْلَةُ بِنْتُ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ، فَاَتَى اَخُوْهَا يَشْتَكِيْهِ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص: فَاَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِلَى ثَابِتٍ فَقَالَ لَهُ: خُذِ الَّذِيْ لَهَا عَلَيْكَ وَ خَلّ سَبِيْلَهَا. قَالَ: نَعَمْ. فَاَمَرَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ تَتَرَبَّصَ حَيْضَةً وَاحِدَةً وَ تَلْحَقَ بِاَهْلِهَا. النسائى، فى نيل الاوطار 6:277
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas memukul tangan istrinya yang bernama Jamilah binti ‘Abdullah bin Ubaiy sehingga patah, kemudian saudaranya datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukannya, lalu Rasulullah SAW mengutus (seseorang) kepada Tsabit, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Ambillah kembali apa yang pernah kamu berikan kepada istrimu, dan lepaskanlah dia”. Tsabit menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW menyuruh Jamilah agar menunggu satu kali haidl dan pulang kepada keluarganya”. [HR. Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا، فَاَمَرَهَا النَّبِيُّ ص اَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ. ابو داود و الترمذى و قال: حديث حسن غريب
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya istri Tsabit bin Qais menebus dirinya dari suaminya, kemudian Nabi SAW menyuruhnya supaya ber’iddah sekali haidl. [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits hasan gharib, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]
عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص فَاَمَرَهَا النَّبِيُّ ص اَوْ اُمِرَتْ اَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ. الترمذى و قال: حديث الربيع الصحيح انها امرت ان تعتد بحيضة، فى نيل الاوطار 6:277
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz, bahwasanya ia pernah menebus dirinya (khulu’) di masa Rasulullah SAW, kemudian Nabi SAW menyuruhnya atau dia disuruh agar ber’iddah sekali haidl. [HR. Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits Rubayyi’ ini sah, bahwa ia disuruh oleh Nabi SAW agar ber’iddah dengan sekali haidl, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]
عَنْ اَبِى الزُّبَيْرِ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ كَانَتْ عِنْدَهُ بِنْتُ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ بْنِ سَلُوْلٍ وَ كَانَ اَصْدَقَهَا حَدِيْقَةٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ الَّتِى اَعْطَاكِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَ زِيَادَةً. فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اَمَّا الزّيَادَةُ فَلاَ، وَ لكِنْ حَدِيْقَتُهُ. قَالَتْ: نَعَمْ. فَاَخَذَهَا لَهُ. وَ خَلَّى سَبِيْلَهَا. فَلَمَّا بَلَغَ ذلِكَ ثَابِتَ بْنَ قَيْسٍ قَالَ: قَبِلْتُ قَضَاءَ رَسُوْلِ اللهِ ص. الدارقطنى باسناد صحيح و قال: سمعه ابو الزبير من غير واحد، فى نيل الاوطار 6:277
Dari Abu Zubair bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas mempunyai istri anak perempuan dari ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul. Dahulu ia memberikan mahar kepada istrinya berupa sebuah kebun. Kemudian Nabi SAW bertanya (kepada si istri), “Maukah kamu mengembalikan kebun pemberian suamimu itu ?”. Ia menjawab, “Ya, dan akan saya tambah”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Adapun tambahan itu tidak usah, cukup kebunnya saja”. Ia berkata, “Ya”. Kemudian Nabi SAW mengambil kebun itu untuk diberikan kepada Tsabit dan beliau menceraikannya. Kemudian setelah hal itu sampai kepada Tsabit bin Qais, ia berkata, “Sungguh aku menerima putusan Rasulullah SAW”. [HR. Daruquthni dengan sanad yang sah, ia berkata, “Hadits ini didengar oleh Abu Zubair tidak hanya dari seorang saja”, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277].
34. Tentang IIaa’
Ilaa’ menurut bahasa ialah sumpah. Adapun menurut istilah syara’ ialah suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya. Kalau seorang suami bersumpah demikian, ia diberi tempo selama empat bulan. Setelah usai empat bulan, ia supaya memilih apakah akan meneruskan pernikahannya dengan membayar kaffarat, atau menthalaq istrinya tersebut. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍ، فَاِنْ فَآءُوْ فَاِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ.(226) وَ اِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَاِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ.(227) البقرة
Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (226)
Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) thalaq, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (227) [QS. Al-Baqarah]
عَنِ الشَّعْبِيّ عَنْ مَسْرُوْقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: آلَى رَسُوْلُ اللهِ ص مِنْ نِسَائِهِ وَ حَرَّمَ، فَجَعَلَ اْلحَرَامَ حَلاَلاً وَ جَعَلَ فِى اْليَمِيْنِ اْلكَفَّارَةَ. ابن ماجه و الترمذى
Dari Sya’biy, dari Masruq dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah bersumpah ilaa’ terhadap sebagian istri-istrinya dan beliau pernah mengharamkan (sesuatu), lalu yang beliau haramkan itu beliau jadikan halal dengan membayar kaffarat atas sumpahnya”. [HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: اِذَا مَضَتْ اَرْبَعَةُ اَشْهُرٍ يُوْقَفُ حَتَّى يُطَلّقَ، وَ لاَ يَقَعُ عَلَيْهِ الطَّلاَقُ حَتَّى يُطَلّقَ، يَعْنِى اَلْمُوْلِى. البخارى
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Apabila telah lewat empat bulan, maka ditawaqqufkan hingga (suami yang bersumpah ilaa’ itu) menthalaqnya, dan thalaq itu tidak jatuh hingga ia (suami yang bersumpah ilaa’) itu menjatuhkan thalaqnya. [HR. Bukhari]
قَالَ اَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِى رِوَايَةِ اَبِى طَالِبٍ، قَالَ عُمَرُ وَ عُثْمَانُ وَ عَلِيٌّ وَ ابْنُ عُمَرَ: يُوْقَفُ اْلمُوْلِى بَعْدَ اْلاَرْبَعَةِ فَاِمَّا اَنْ يَفِيْءَ وَ اِمَّا اَنْ يُطَلّقَ. احمد فى نيل الاوطار 6:287
Ahmad bin Hanbal berkata dalam riwayatnya Abu Thalib : ‘Umar, ‘Utsman, Ali dan Ibnu ‘Umar berkata, “Orang yang bersumpah ilaa’ itu ditawaqqufkan sesudah empat bulan, maka mungkin ia kembali dan mungkin ia menthalaq”. [HR. Ahmad. dalam Nailul Authar 6:287]
Keterangan :
1. Menurut riwayat Muslim, Rasulullah SAW pernah meng-ilaa’ istri-istri beliau (menjauhkan diri dari istri-istri beliau) selama 1 bulan (29 hari).
2. Perlu diketahui bahwa di jaman jahiliyah suami kadang meng-ilaa’ istrinya sampai 1 atau 2 tahun, bahkan tidak terbatas. Maka Allah Yang Maha Bijaksana mengijinkan (membatasi) ilaa’ itu hanya 4 bulan.
35. Tentang Dhihar.
Dhihar terambil dari kata dhahrun (punggung). Di jaman jahiliyah, apabila suami mengatakan kepada istrinya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku”, maka yang demikian itu sudah dianggap sama dengan menthalaq istrinya. Tentang hal ini Allah SWT menurunkan firman-Nya sebagai berikut :
قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَ تَشْتَكِيْ اِلَى اللهِ وَ اللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا، اِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ. المجادلة:1
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (1).
الَّذِيْنَ يُظهِرُوْنَ مِنْكُمْ مّنْ نّسَآئِهِمْ مَّا هُنَّ اُمَّهتِهِمْ، اِنْ اُمَّهتُهُمْ اِلاَّ الّئِيْ وَلَدْنَهُمْ، وَ اِنَّهُمْ لَيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًا مّنَ اْلقَوْلِ وَزُوْرًا، وَ اِنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ. . المجادلة:2
Orang-orang yang mendzihar istrinya diantara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (2).
وَ الَّذِيْنَ يُظهِرُوْنَ مِنْ نّسَآئِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مّنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَآسَّا، ذلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِه، وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ. . المجادلة:3
Dan orang-orang yang mendhihar istri-istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (3)
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَآسَّا، فَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا، ذلِكَ لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَ رَسُوْلِه، وَ تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ، وَ لِلْكفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ. المجادلة:4
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksa yang sangat pedih (4). [QS. Al-Mujadalah]
Asbabun Nuzul ayat ini sehubungan dengan persoalan seorang wanita yang bernama Khaulah binti Tsa’labah yang telah didhihar suaminya (Aus bin Shamit), yaitu dengan mengatakan kepada istrinya, “Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”. Dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli istrinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat jahiliyah, kalimat dhihar seperti itu sudah sama dengan menthalaq istrinya. Maka Khaulah mengadukan peristiwa yang dialaminya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah dalam hal ini menjawab bahwa belum ada keputusan dari Allah.
Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW mengatakan, “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia”. Lalu Khaulah berkata, “Suamiku belum menyebut kata-kata thalaq”. Kemudian Khaulah berulang-ulang mendesak kepada Rasulullah supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga turunlah ayat diatas.
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِيَّ ص قَدْ ظَاهَرَ مِنِ امْرَأَتِهِ، فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى ظَاهَرْتُ امْرَأَتِى فَوَقَعْتُ عَلَيْهَا قَبْلَ اَنْ اُكَفِّرَ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى ذلِكَ؟ يَرْحَمُكَ اللهُ. قَالَ: رَأَيْتُ خَلْخَالَهَا فِى ضَوْءِ اْلقَمَرِ. قَالَ: فَلاَ تَقْرَبَهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا اَمَرَكَ اللهُ. الخمسة الا احمد وصححه الترمذى
Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW (menerangkan bahwa) ia telah mendhihar istrinya, lalu ia mencampurinya. Kemudian ia bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendhihar istriku, lalu aku mencampurinya sebelum aku membayar kafarat (maka apakah yang harus aku lakukan) ?”. Nabi SAW bertanya, “Semoga Allah merahmatimu. Apakah yang mendorongmu berbuat demikian itu ?”. Ia menjawab, “Aku melihat gelang kakinya dalam sinar bulan”. Nabi SAW bersabda, “Hendaklah engkau tidak mendekatinya sehingga engkau laksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu”. [HR. Khamsah kecuali Ahmad dan dishahihkan oleh Tirmidzi]
عَنْ اَبِى سَلَمَةَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اَعْطَاهُ مِكْتَلاً فِيْهِ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا فَقَالَ: اَطْعِمْهُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا، وَ ذلِكَ لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ. الدارقطنى و للترمذى معناه
Dari Abu Salamah dari Salamah bin Shakhr, bahwa sesungguhnya Nabi SAW memberinya seonggok (kurma) yang berisikan lima belas sha’, lalu ia bersabda, “Berikanlah kepada enam puluh orang miskin dan untuk setiap orang satu mud”. [HR. Daruquthni, dan Tirmidzi meriwayatkan yang semakna dengan itu]
36. Tentang Li’an
Li’an menurut bahasa artinya saling melaknat. Adapun menurut syara’ adalah : Apabila suami menuduh istri berbuat zina atau tidak mengakui anak yang dilahirkan itu sebagai anaknya sedangkan dia tidak mempunyai empat orang saksi dalam tuduhannya itu, maka masing-masing (suami-istri) harus bersumpah sebagaimana yang Allah jelaskan dalam QS. An-Nuur ayat 6-9 sebagai berikut :
وَ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَآءُ اِلاَّ اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهدتٍ بِاللهِ اِنَّه لَمِنَ الصّدِقِيْنَ. وَ اْلخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَتَ اللهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ اْلكذِبِيْنَ. النور:6-7
Dan orang-orang yang menuduh isrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. [QS. An-Nuur : 6-7]
وَ يَدْرَؤُا عَنْهَا اْلعَذَابَ اَنْ تَشْهَدَ اَرْبَعَ شَهدتٍ بِاللهِ اِنَّه لَمِنَ اْلكذِبِيْنَ. وَ اْلخَامِسَةَ اَنَّ عَذَابَ اللهِ عَلَيْهَا اِنْ كَانَ مِنَ الصّدِقِيْنَ. النور:8-9
Dan istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. [QS. An-Nuur : 8-9]
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَجُلاً لاَعَنَ امْرَأَتَهُ وَ انْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا، فَفَرَّقَ رَسُوْلُ اللهِ ص بَيْنَهُمَا وَ اَلْحَقَ اْلوَلَدَ بِاْلمَرْأَةِ. الجماعة
Dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya ada seorang laki-laki yang menuduh istrinya berzina lalu berbuat li’an dan ia tidak mengakui anak yang dilahirkan istrinya, kemudian Rasulullah SAW memisahkan antara keduanya dan menghubungkan anak tersebut kepada ibunya. [HR. Jamaah].
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ اَنَّهُ قَالَ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ: يَا اَبَا عَبْدِ الرَّحْمنِ، اْلمُتَلاَعِنَانِ اَ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، نَعَمْ. اِنَّ اَوَّلَ مَنْ سَأَلَ عَنْ ذلِكَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ. قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَرَأَيْتَ لَوْ وَجَدَ اَحَدُنَا امْرَأَتَهُ عَلَى فَاحِشَةٍ كَيْفَ يَصْنَعُ؟ اِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِاَمْرٍ عَظِيْمٍ. وَ اِنْ سَكَتَ سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذلِكَ. قَالَ: فَسَكَتَ النَّبِيُّ ص، فَلَمْ يُجِبْهُ، فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذلِكَ اَتَاهُ فَقَالَ: اِنَّ الَّذِى سَأَلْتُكَ عَنْهُ ابْتُلِيْتُ بِهِ. فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ هذِهِ اْلايتِ فِى سُوْرَةِ النُّوْرِ { وَ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ} فَتَلاَهُنَّ عَلَيْهِ وَ وَعَظَهُ وَ ذَكَّرَهُ وَ اَخْبَرَهُ اَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا اَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ اْلآخِرَةِ، فَقَالَ: لاَ، وَ الَّذِى بَعَثَكَ بِاْلحَقِّ نَبِيًّا مَا كَذَبْتُ عَلَيْهَا.ثُمَّ دَعَاهَا وَ وَعَظَهَا وَ اَخْبَرَهَا اَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا اَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ اْلآخِرَةِ. فَقَالَ لاَ، وَ الَّذِى بَعَثَكَ بِاْلحَقِّ نَبِيًّا اِنَّهُ لَكَاذِبٌ. فَبَدَأَ بِالرَّجُلِ، فَشَهِدَ اَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ. اِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ. وَ اْلخَامِسَةَ اَنَّ لَعْنَةَ اللهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ اْلكَاذِبِيْنَ. ثُمَّ ثَنَى بِاْلمَرْأَةِ فَشَهِدَتْ اَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ. اِنَّهُ لَمِنَ اْلكَاذِبِيْنَ وَ اْلخَامِسَةَ اَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَا اِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ. ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا. احمد و البخارى و مسلم
Dari Sa’id bin Jubair, bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar, “Hai Abu Abdurrahman, apakah suami istri yang telah berli’an itu harus diceraikan antara keduanya ?”. Ia menjawab, “Subhaanallaah, ya !. Sesungguhnya pertama kali orang yang bertanya tentang hal itu adalah Fulan bin Fulan”. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu kalau salah seorang di antara kami ini mendapati istrinya berbuat zina, apakah yang harus ia lakukan ? Jika ia berbicara berarti berbicara tentang urusan besar dan jika ia diam berarti ia mendiamkan perkara besar juga”. Ibnu Umar berkata, “Kemudian Nabi SAW diam, tidak menjawabnya”. Kemudian ia datang lagi kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya yang kutanyakan kepadamu itu menimpa diriku sendiri”. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat dalam surat An-Nuur “Dan orang-orang yang menuduh istri-istrinya (berzina) ....”. Kemudian Nabi SAW membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya dan menasehatinya serta mengingatkannya dan memberitahu, bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat. Lalu orang itu berkata, “Tidak ! Demi Dzat yang mengutusmu sebagai Nabi dengan benar, aku tidak berdusta atas istriku”. Kemudian Nabi SAW memanggil istri orang itu seraya menasehatinya dan memberitahu, bahwa adzab di dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat. Perempuan itu kemudian berkata, “Tidak ! Demi Dzat yang mengutusmu sebagai Nabi dengan benar, suamiku itu dusta”. Lalu Nabi SAW memulai dari si laki-laki. Laki-laki itu bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa dia sungguh di pihak yang benar, dan ke limanya semoga laknat Allah akan menimpa dirinya jika ia berdusta. Lalu RasulullahSAW beralih kepada si wanita, kemudian wanita itu bersaksi dengan nama Allah empat kali bahwa sesungguhnya suaminya itu berdusta, dan kelimanya semoga murka Allah ditimpakan kepadanya jika suaminya itu benar. Lalu beliau menceraikan keduanya. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
Catatan :
Tentang dhihar dan li’an ini, di depan sudah kami kemukakan, namun di sini perlu kami ungkap kembali secara ringkas karena ada hubungannya dengan masalah thalaq.
37. Menthalaq istri yang belum dikumpuli.
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً وَّ مَتّعُوْهُنَّ عَلَى اْلمُوْسِعِ قَدَرُه، وَ عَلَى اْلمُقْتِرِ قَدَرُه، مَتَاعًا بِاْلمَعْرُوْفِ، حَقًّا عَلَى اْلمُحْسِنِيْنَ(236) وَ اِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ، وَ قَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلاَّ اَنْ يَعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَ الَّذِيْ بِيَدِه عُقْدَةُ النّكَاحِ، وَ اَنْ تَعْفُوْآ اَقْرَبُ لِلتَّقْوى، وَ لاَ تَنْسَوُا اْلفَضْلَ بَيْنَكُمْ، اِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ.(237) البقؤة
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (236)
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (237) [QS. Al-Baqarah]
38. Tidak ada ‘iddah bagi wanita yang belum dikumpuli
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْآ اِذَا نَكَحْتُمُ اْلمُؤْمِنتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّوْنَهَا، فَمَتّعُوْهُنَّ وَ سَرّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلاً. الاحزاب:49
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. [QS. Al-Ahzab : 49]
39. Tentang ‘Iddah
a. Wanita yang haidl, ‘iddahnya 3 kali quru’ (tiga kali haidl/tiga kali suci).
وَ اْلمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلثَةَ قُرُوْءٍ، وَ لاَ يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ، وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدّهِنَّ فِيْ ذلِكَ اِنْ اَرَادُوْا اِصْلاحًا. البقرة:228
Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. [QS. Al-Baqarah : 228]
عَنِ اْلاَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: اُمِرَتْ بَرِيْرَةُ اَنْ تَعْتَدَّ بِثَلاَثِ حِيَضٍ. ابن ماجه، فى نيل الاوطار 6:326
Dari Aswad, dari ‘Aisyah, ia berkata, “Barirah disuruh (oleh Nabi SAW) supaya ber’iddah tiga kali haidl”. [HR. Ibnu Majah, dalam Nailul 6:326]
b. Wanita yang ditinggal mati suaminya, iddahnya 4 bulan 10 hari.
وَ الَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّ عَشْرًا، فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْ اَنْفُسِهِنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ، وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ. البقرة:234
Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. [QS. Al-Baqarah : 234]
عَنْ اُمّ سَلَمَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ اَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. البخارى و مسلم، فىنيل الاوطار 6:329
Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari”. [HR Bukhari dan Muslim, dalam Nailul 6:329]
عَنْ اُمّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا نُنْهَى اَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجٍ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. وَ لاَ نَكْتَحِلَ وَ لاَ نَتَطَيَّبَ وَ لاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا اِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ. وَ قَدْ رُخّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ اِذَا اغْتَسَلَتْ اِحْدَانَا مِنْ مَحِيْضِهَا فِى نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ اَظْفَارٍ. البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 6:332
Dari Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Kami dilarang berkabung terhadap orang mati lebih dari tiga hari kecuali terhadap suami, yaitu empat bulan sepuluh hari, dimana tidak boleh bercelak, tidak boleh berwangi-wangian dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup, kecuali kain genggang (pakaian yang tidak mencolok), dan kami diberi keringanan pada waktu suci yaitu apabila salah seorang diantara kami mandi dari haidlnya (menggunakan) sedikit qust adhfar (sejenis kayu yang berbau harum)”. [HR. Bukhari dan Muslim]
و فى رواية قالت: قَالَ النَّبِيُّ ص: لاَ يَحِلُّ ِلامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ تُحِدُّ فَوْقَ ثَلاَثٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجٍ فَاِنَّهَا لاَ تَكْتَحِلُ وَ لاَ تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا اِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ، وَ لاَ تَمَسُّ طِيْبًا اِلاَّ اِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ اَوْ اَظْفَارٍ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 6:332
Dan dalam riwayat lain (dikatakan), Ummu ‘Athiyah berkata : Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suami, maka istri tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai pakaian yang dicelup kecuali kain genggang dan tidak boleh memakai wangi-wangian kecuali apabila bersuci (dengan menggunakan) sedikit qust atau adhfar (sejenis kayu yang berbau harum)”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ اُمّ سَلَمَةَ قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ص حِيْنَ تَوَفَّى اَبُوْ سَلَمَةَ وَ قَدْ جَعَلْتُ عَلَيَّ صَبْرًا، فَقَالَ: مَا هذَا يَا اُمَّ سَلَمَةَ؟ فَقُلْتُ: اِنَّمَا هُوَ صَبْرٌ يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَيْسَ فِيْهِ طِيْبٌ. قَالَ: اِنَّهُ يَشُبُّ اْلوَجْهَ فَلاَ تَجْعَلِيْهِ اِلاَّ بِاللَّيْلِ وَ تَنْزَعِيْنَهُ بِالنَّهَارِ. وَ لاَ تَمْتَشِطِيْ بِالطّيْبِ وَ لاَ بِاْلحِنَّاءِ، فَاِنَّهُ خِضَابٌ. قَالَتْ: قُلْتُ: بِأَيّ شَيْءٍ اَمْتَشِطُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِالسّدْرِ تُغَلّفِيْنَ بِهِ رَأْسَكِ. ابو داود و النسائى، فى نيل الاوطار 6:332
Dari Ummu Salamah, ia berkata : Rasulullah SAW pernah masuk ke (rumahku) ketika Abu Salamah meninggal dunia, sedang aku memakai celak. Lalu Nabi SAW bertanya, “Apa ini, hai Ummu Salamah ?”. Kemudian aku menjawab, “Ini jadam (celak) ya Rasulullah, yang tidak ada wangi-wangiannya”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya jadam itu mempercantik wajah, maka janganlah kamu pakai kecuali pada waktu malam dan hilangkan di waktu siang. Janganlah kamu bersisir menggunakan wangi-wangian atau hinna’, karena sesungguhnya itu juga pewarna”. Ummu Salamah berkata : Aku bertanya, “Kalau begitu aku harus bersisir dengan apa ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab, “Dengan daun bidara yang kamu dapat menggunakannya di kepalamu dengannya”. [HR. Abu Dawud dan Nasai]
c. Wanita yang telah berhenti dari haidl atau tidak haidl, ‘iddahnya 3 bulan.
وَالّئِيْ يَئِسْنَ مِنَ اْلمَحِيْضِ مِنْ نِسَآئِكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلثَةُ اَشْهُرٍ وَالّئِيْ لَمْ يَحِضْنَ. الطلاق:4
Dan wanita-wanita yang tidak haidl lagi (menopause) diantara wanita-wanitamu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haidl. [QS. Ath-Thalaaq : 4]
d. Wanita yang hamil, ‘iddahnya hingga melahirkan.
وَ اُولاَتُ اْلاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ، وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّه مِنْ اَمْرِه يُسْرًا. الطلاق:4
Dan wanita-wanita yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. [QS. Ath-Thalaaq : 4]
40. Meminang dengan sindiran
(kepada wanita yang ber’iddah karena ditinggal mati suaminya atau yang ‘iddah thalaq tiga).
وَ لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِه مِنْ خِطْبَةِ النّسَآءِ اَوْ اَكْنَنْتُمْ فِيْ اَنْفُسِكُمْ، عَلِمَ اللهُ اَنَّكُمْ سَتَذْكُرُوْنَهُنَّ وَ لكِنْ لاَّ تُوَاعِدُوْهُنَّ سِرًّا اِلاَّ اَنْ تَقُوْلُوْا قَوْلاً مَّعْرُوْفًا، وَ لاَ تَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النّكَاحِ حَتّى يَبْلُغَ اْلكِتبُ اَجَلَه، وَ اعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِيْ اَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوْهُ، وَ اعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ. البقرة:235
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk ber’aqad nikah sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [QS. Al-Baqarah : 235]
عَنْ سُكَيْنَةَ بِنْتِ حَنْظَلَةَ قَالَتْ: اِسْتَأْذَنَ عَلَيَّ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيّ وَ لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتِى مِنْ مَهْلَكَةِ زَوْجِى فَقَالَ: قَدْ عَرَفْتِ قَرَابَتِى مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص. وَ قَرَابَتِى مِنْ عَلِيّ، وَ مَوْضِعِى مِنَ اْلعَرَبِ. قُلْتُ: غَفَرَ اللهُ لَكَ يَا اَبَا جَعْفَرٍ، اِنَّكَ رَجُلٌ يُؤْخَذُ عَنْكَ وَ تَخْطُبْنِى فِى عِدَّتِى. فَقَالَ: اِنَّمَا اَخْبَرْتُكِ بِقَرَابَتِى مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ مِنْ عَلِيّ. وَ قَدْ دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص عَلَى اُمّ سَلَمَةَ وَ هِيَ مُتَأَيّمَةٌ مِنْ اَبِى سَلَمَةَ. فَقَالَ: لَقَدْ عَلِمْتِ اَنّى رَسُوْلُ اللهِ ص وَ خِيَرَتُهُ مِنْ خَلْقِهِ وَ مَوْضِعِى مِنْ قَوْمِى كَانَتْ تِلْكَ خِطْبَتَهُ. الدارقطنى
Dari Sukainah binti Handhalah, ia berkata : Muhammad bin ‘Ali meminta idzin kepadaku, sedang masa ‘iddahku dari kematian suamiku belum usai, lalu Muhammad berkata, “Kamu tentu telah tahu kekerabatanku dari Rasulullah SAW dan kekerabatanku dari ‘Ali (bin Abu Thalib) serta kedudukanku di kalangan bangsa ‘Arab”. Aku berkata, “Semoga Allah mengampunimu, hai Abu Ja’far, sesungguhnya kamu adalah orang yang menjadi ikutan, sedang kamu meminangku dalam masa ‘iddahku”. Maka Muhammad berkata, “Aku hanya memberitahu kepadamu tentang hubungan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW dan ‘Ali, sedang Rasulullah SAW sendiri pernah masuk (ke rumah) Ummu Salamah sedangkan dia adalah janda Abu Salamah, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu sudah tahu bahwa aku adalah Rasulullah dan pilihan-Nya diantara makhluq-Nya serta kedudukanku di kalangan kaumku”. Itulah pinangan Nabi SAW dengan sindiran”. [HR. Daruquthni]
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ اَنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلاَثًا فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص سُكْنَى وَ لاَ نَفَقَةً، قَالَتْ: وَ قَالَ لىِ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِيْنِى، فَآذَنْتُهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ وَ اَبُوْ جَهْمٍ وَ اُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لاَ مَالَ لَهُ وَ اَمَّا اَبُوْ جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنّسَاءِ، وَ لكِنْ اُسَامَةُ فَقَالَتْ بِيَدِهَا هكَذَا: اُسَامَةُ اُسَامَةُ. فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص: طَاعَةُ اللهِ وَ طَاعَةُ رّسُوْلِهِ. قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ فَاغْتُبِطْتُ. الجماعة الا البخارى
Dari Fathimah binti Qais, sesungguhnya suaminya telah menthalaqnya tiga kali, sehingga Rasulullah SAW tidak memberinya (haq) tempat tinggal dan nafqah. Fathimah berkata : Dan Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Apabila kamu telah halal dengan habis ‘iddahmu, maka beritahulah aku”. (Ketika ‘iddahnya telah selesai) kemudian aku memberitahu kepada beliau. Lalu Mu’awiyah, Abu Jahm dan Usamah bin Zaid meminangnya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda (kepada Fathimah binti Qais), “Adapun Mu’awiyah adalah seorang laki-laki miskin tidak berharta sama sekali, sedang Abu Jahm adalah seorang laki-laki yang suka memukul istrinya, tetapi Usamah .... lalu Fathimah berkata (menirukan ucapan Nabi) dengan menggerakkan tangannya demikian. “Usamah, Usamah”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepada Fathimah, “Thaatlah kepada Allah dan thaatlah kepada Rasul-Nya”. Fathimah berkata, “Kemudian aku nikah dengan Usamah, lalu aku pun berbahagia”. [HR. Jama’ah kecuali Bukhari]
41. Nafqah dan tempat tinggal bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.
وَ الَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا وَّصِيَّةً ِّلاَزْوَاجِهِمْ مَّتَاعًا اِلَى اْلحَوْلِ غَيْرَ اِخْرَاجٍ، فَاِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْ مَا فَعَلْنَ فِيْ اَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَّعْرُوْفٍ، وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ. البقرة:240
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwashiyat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafqah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS. Al-Baqarah : 240]
عَنْ فُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ قَالَتْ: خَرَجَ زَوْجِى فِى طَلَبِ اَعْلاَجٍ لَهُ فَاَدْرَكَهُمْ فِى طَرَفِ اْلقُدُوْمِ فَقَتَلُوْهُ، فَاَتَانِى نَعْيُهُ وَ اَنَا فِى دَارٍ شَاسِعَةٍ مِنْ دُوْرِ اَهْلِى، فَاَتَيْتُ النَّبِيَّ ص فَذَكَرْتُ ذلِكَ لَهُ، فَقُلْتُ: اِنَّ نَعْيَ زَوْجِى اَتَانِى فِى دَارٍ شَاسِعَةٍ مِنْ دُوْرِ اَهْلِى، وَ لَمْ يَدَعْ نَفَقَةً، وَ لاَ مَالاً وَرِثْتُهُ، وَ لَيْسَ اْلمَسْكَنُ لَهُ، فَلَوْ تَحَوَّلْتُ اِلَى اَهْلِى وَ اِخْوَتِى لَكَانَ اَرْفَقَ لِى فِى بَعْضِ شَأْنِى، قَالَ: تَحَوَّلِى. فَلَمَّا خَرَجْتُ اِلَى اْلمَسْجِدِ اَوْ اِلَى اْلحُجْرَةِ دَعَانِى اَوْ اَمَرَبِى فَدُعِيْتُ، فَقَالَ: اُمْكُثِى فِى بَيْتِكِ الَّذِى اَتَاكِ فِيْهِ نَعْيُ زَوْجِكِ، حَتَّى يَبْلُغَ اْلكِتَابُ اَجَلَهُ، قَالَتْ: فَاعْتَدَدْتُ فِيْهِ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. الخمسة و صححه الترمذى
Dari Furai’ah binti Malik, dia berkata : Suamiku keluar mencari budak-budaknya (yang melarikan diri), kemudian dia menemukan mereka di Tharaful Qudum, lalu mereka membunuh suamiku. Maka sampailah berita kematiannya kepadaku, sedang aku berada di sebuah rumah yang jauh dari rumah-rumah keluargaku. Kemudian aku datang kepada Nabi SAW dan aku ceritakan hal itu kepada beliau. Aku berkata, “Sesungguhnya berita kematian suamiku sampai kepadaku sedang aku berada di sebuah rumah yang jauh dari rumah-rumah keluargaku, dan dia tidak meninggalkan nafqah, harta warisan dan rumah. Maka kalau aku pindah ke rumah keluargaku dan saudara-saudaraku tentu lebih baik bagiku untuk sebagian urusanku”. Nabi SAW bersabda, “Pindahlah !”. Kemudian ketika aku telah keluar ke masjid atau ke kamar, Nabi SAW memanggilku atau menyuruh seseorang untuk memanggilku, lalu aku dipanggil, kemudian beliau bersabda, “Tetaplah tinggal di rumah dimana kamu menerima berita kematian suamimu, sehingga habis masa iddahmu”. Furai’ah berkata, Lalu aku pun ber’iddah di situ selama empat bulan sepuluh hari”. [HR. Khamsah dan dishahihkan Tirmidzi]
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِى قَوْلِهِ { وَ الَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا وَّصِيَّةً ِّلاَزْوَاجِهِمْ مَّتَاعًا اِلَى اْلحَوْلِ غَيْرَ اِخْرَاجٍ } نُسِخَ ذلِكَ بِآيَةِ اْلمِيْرَاثِ بِمَا فَرَضَ اللهُ لَهَا مِنَ الرُّبُعِ وَ الثُّمُنِ، وَ نُسِخَ اَجَلُ اْلحَوْلِ اَنْ جُعِلَ اَجَلُهَا اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. النسائى و ابو داود
Dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwashiyat untuk istri-istrinya (yaitu) diberi nafqah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya”. (QS. Al-Baqarah : 240). Bahwa ketentuan ini dinasikh oleh ayatul miraats, yaitu bahwa Allah menentukan bagian istri yang ditinggal mati itu seperempat atau seperdelapan bagian (dari harta warisan suami) dan masa setahun itu (juga) dinasikh, yaitu masanya dijadikan empat bulan sepuluh hari”. [HR. Nasai dan Abu Dawud]
Keterangan :
Dalam memahami surat Al-Baqarah : 240 ini ulama ada dua pendapat. Pendapat pertama, memahami sebagaimana riwayat ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas tersebut diatas. (Ini bagi yang berpaham ada nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an).
Pendapat kedua (yang berpaham tidak ada nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an), memahami bahwa bagi istri yang ditinggal mati oleh suami, tetap mendapatkan haq waris, namun pemberian nafqah hingga setahun itu sifatnya hanya anjuran (sunnah), karena setelah turun ayat 240 surat Al-Baqarah tersebut, kemudian turun ayat 234 surat Al-Baqarah yang menyatakan bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya hanya empat bulan sepuluh hari.
42. Tentang nafqah dan tempat tinggal bagi istri yang dithalaq tiga
عَنِ الشَّعْبِيّ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ عَنِ النَّبِيّ ص فِى اْلمُطَلَّقَةِ ثَلاَثًا، قَالَ: لَيْسَ لَهَا سُكْنَى وَ لاَ نَفَقَةَ. احمد و مسلم
Dari Sya’biy dari Fathimah binti Qais dari Nabi SAW, tentang wanita yangt dithalaq tiga, beliau SAW bersabda, “Tidak ada (haq) baginya tempat tinggal dan tidak ada nafqah. [HR. Ahmad dan Muslim]
و فى رواية عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ: طَلَّقَنِى زَوْجِى ثَلاَثًا فَلَمْ يَجْعَلْ لِى رَسُوْلُ اللهِ ص سُكْنَى وَ لاَ نَفَقَةَ. الجامعة الا البخاري
Dan dalam riwayat lain dari Fathimah binti Qais, ia berkata, “Aku dithalaq oleh suamiku thalaq tiga, kemudian Rasulullah SAW tidak memberi (haq) bagiku tempat tinggal dan tidak juga nafqah”. [HR. Jama’ah kecuali Bukhari]
و فى رواية عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ اَيْضًا قَالَتْ: طَلَّقَنِى زَوْجِى ثَلاَثًا فَاَذِنَ لِى رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ اَعْتَدَّ فِى اَهْلِى. مسلم
Dan dalam riwayat lain dari Fathimah binti Qais juga, ia berkata, “Suamiku menthalaqku thalaq tiga, kemudian Rasulullah SAW memberi idzin kepadaku ber’iddah di (rumah) keluargaku”. [HR. Muslim]
43. Tentang Ruju’
وَ اْلمُطَلَّقتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلثَةَ قُرُوْءٍ، وَ لاَ يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ، وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدّهِنَّ فِيْ ذلِكَ اِنْ اَرَادُوْا اِصْلاَحًا. البقرة:228
Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. [QS. Al-Baqarah : 228]
الطَّلاَقُ مَرَّتنِ فَاِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ. البقرة:229
Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. [QS. Al-Baqarah 229]
وَ اِذَا طَلَّقْتُمُ النّسَآءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ سَرّحُوْهُنَّ بِمَعْرُْوفٍ، وَ لاَ تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لّتَعْتَدُوْا. البقرة:231
Apabila kamu menthalaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. [QS. Al-Baqarah 231]
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رض اَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلّقُ ثُمَّ يُرَاجِعُ وَ لاَ يُشْهِدُ. فَقَالَ: اَشْهِدْ عَلَى طَلاَقِهَا وَ عَلَى رَجْعَتِهَا. ابو داود هكذا موقوفا، و سنده صحيح
Dari ‘Imran bin Hushain RA, bahwasanya ia ditanya tentang laki-laki yang menthalaq istrinya, kemudian merujukinya dengan tanpa saksi, ia berkata, “Hendaklah kamu saksikan pada thalaqnya dan pada rujuknya”. [Demikian diriwayatkan oleh Abu Dawud, mauquf dan sanadnya shahih]
و اخرجه البيهقى بلفظ: اَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رض سُئِلَ عَمَّنْ رَاجَعَ امْرَأَتَهُ، وَ لَمْ يُشْهِدْ، فَقَالَ: فِى غَيْرِ سُنَّةٍ فَلْيُشْهِدِ اْلآنَ. و زاد الطبرانى فى رواية: وَ يَسْتَغْفِرِ اللهَ.
Dan Baihaqi meriwayatkan dengan lafadh : Bahwasanya ‘Imran bin Hushain RA ditanya tentang laki-laki yang merujuki istrinya dengan tanpa saksi, ia berkata, “Ia tidak menurut sunnah, maka sekarang ia harus bersaksi”. Dan dalam sebuah riwayat, Thabrani menambahkan, “Dan hendaklah ia minta ampun kepada Allah”.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّهُ لَمَّا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ قَالَ النَّبِيُّ ص لِعُرَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا. البخارى و مسلم
Dari Ibnu ‘Umar RA bahwasanya ketika ia mencerai istrinya (dalam keadaan haidl), Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar, “Suruhlah ia agar merujuki istrinya”. [HR. Bukhari dan Muslim]
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ اَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يُطَلّقُ امْرَأَتَهُ ثُمَّ يَقَعُ بِهَا وَ لَمْ يُشْهِدْ عَلَى طَلاَقِهَا وَ لاَ عَلَى رَجْعَتِهَا، فَقَالَ: طَلَّقْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ وَ رَاجَعْتَ لِغَيْرِ سُنَّةٍ، اِشْهَدْ عَلَى طَلاَقِهَا وَ عَلَى رَجْعَتِهَا وَ لاَ تَعُدْ. ابو داود و ابن حبان و لم يقل و لا تعد
Dari ‘Imran bin Hushain bahwa ia pernah ditanya tentang laki-laki yang menthalaq istrinya kemudian ia tetap mencampurinya, sedang ia ketika menthalaq itu tidak ada saksinya, demikian pula rujuknya. Kemudian ia menjawab, “Kamu menthalaq tidak menurut sunnah (Nabi) dan merujuk (juga) tidak menurut sunnah. Adakanlah saksi ketika menthalaq dan merujuk dan janganlah kamu ulangi (perbuatan seperti itu). [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, sedang Ibnu Majah tidak berakata, “Jangan kamu ulangi”.]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ اْلقُرَظِيّ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ، فَطَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى، فَتَزَوَّجْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَ اِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ هَدْبَةِ الثَّوْبِ، فَقَالَ: اَتُرِيْدِيْنَ اَنْ تَرْجِعِى اِلَى رِفَاعَةَ؟ لاَ حَتَّى تَذُوْقِى عُسَيْلَتَهُ وَ يَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ. الجماعة
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Istri Rifa’ah Al-Quradhiy pernah datang kepada Nabi SAW, lalu berkata, “Aku fulu menjadi istri Rifa’ah, kemudian ia menthalaqku thalaq tiga, kemudian sesudah itu aku kawin dengan ‘Abdurrahman bin Zubair, sedang apa yang ada padanya seperti ujung pakaian”. Kemudian Nabi SAW bertanya, “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa’ah ? Tidak boleh, sehingga kamu merasakan madunya dan dia merasakan madumu”. [HR. Jama’ah]
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَلْعُسَيْلَةُ هِيَ اْلجِمَاعُ. احمد و النسائى
Dari ‘Aisyah bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Yang dimaksud madu itu ialah jima’ “. [HR. Ahmad dan Nasai]
Keterangan :
1. Bekas istri yang boleh dirujuki adalah yang baru dithalaq dua kali.
2. Bekas istri yang sudah dithalaq tiga kali tidak boleh dirujuki, kecuali apabila bekas istri tadi sudah kawin dengan laki-laki lain dan sudah dikumpuli, kemudian dithalaq oleh suami yang kedua tersebut dan sesudah habis masa ‘iddahnya.
3. Adapun cara rujuk adalah dengan nikah lagi, dengan alasan karena ikatan nikah yang dulu sudah putus karena thalaq. Namun demikian ada pula ulama yang berpendapat apabila rujuknya itu masih di dalam masa ‘iddah, tidak perlu dengan nikah lagi, dengan alasan “Dan suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah”. [Al-Baqarah : 228], Walloohu a’lam.
Komentar
Posting Komentar