Kitab AlHikam Syeh ibnu atha illah

 


Kajian Al-Hikam
Pengantar Kajian Al-Hikam

Kitab Al-Hikam adalah buah karya Syekh Ibnu Atha'illah, mursyid ketiga dari Thariqah Syadziliyah. Adapun pendiri pertama Syadziliyah adalah Syekh Abu Hasan Ali Asy-Syadzili, seorang Maroko yang kemudian menetap di Iskandariah, Mesir dan wafat pada 1258 M. Penggantinya adalah Syekh Abu Abbas Al-Mursi, yang berasal dari Murcia, Andalusia, Spanyol (wafat di tahun 1287 M), yang  sepeninggalnya dilanjutkan oleh Syekh Ibnu
Atha'illah.

Syekh Ibnu Atha'illah hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mamluk. Beliau lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), Mesir, lalu pindah ke Kairo. Di kota inilah beliau menghabiskan hidupnya dengan mengajar Fikih Mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual.

Ibn Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya
yang pernah dihasilkannya. Karya itu meliputi bidang tasawuf, tafsir, akidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah Kitab Al-Hikam yang disebut-sebut sebagai
magnum opus beliau.

Al-Hikam adalah sebuah kitab yang diperuntukkan bagi para pejalan (salik), yang di dalamnya berisi panduan lanjut bagi setiap pejalan untuk menempuh perjalanan spiritual. Al-Hikam berisi berbagai terminologi suluk yang ketat, yang merujuk pada berbagai istilah dalam Al-Qur'an.

       Al-Hikam Pasal 7: Cahaya Basirah dan Cahaya Sirr

لاَ يـُشَـكِّكَــنَّكَ فيِ الْـوَعْدِ عَدَمُ وُقُــوْعِ

 الْـمَـوْعُـوْدِ ، وَ إِنْ تَـعَـيَّنِ زَمَنُهُ ؛ لِئَـلاَّ

يـَكُوْنَ ذَ لِكَ قَدْحًـا فيِ بَـصِيْرَ تِـكَ ، وَ إِخْمَـادً

 ا لِـنُورِ سَرِ يـْرَ تِـكَ

"Janganlah karena tiadanya pemenuhan atas apa-apa yang dijanjikan, padahal telah jatuh waktunya, membuatmu ragu terhadap janji-Nya; agar yang demikian itu tidak menyebabkan bashirah-mu buram dan cahaya sirr-mu padam!"

    Syarah

Dalam Al-Quran, ada sebuah hikmah dari kisah Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Siti Sarah.

Ibrahim a.s. senantiasa berdoa agar dikaruniai keturunan, sebagaimana
termaktub dalam Al-Qur’an Surah Ash-Shaaffaat [37]: 100: “Rabbii hablii
minash-shaalihiin.” Tatkala datang dua malaikat yang memberi kabar gembira akan lahirnya Ishaq a.s., Siti Sarah digambarkan “tersenyum keheranan” (Q.S. Huud [11]: 72-73 ), atau “memekik” (Q.S. Adz  Dzaariyaat [51]: 29).

قَالَتْ يَا وَيْلَتَىٰ أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَـٰذَا بَعْلِي

 شَيْخًا ۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ

قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ‌ اللَّـهِ ۖ رَ‌حْمَتُ اللَّـهِ

 وَبَرَ‌كَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ ۚ إِنَّهُ

حَمِيدٌ مَّجِيدٌ

Istrinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh." Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang
ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul-bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." – Q.S. Huud [11]: 72-73

Demikian halnya Ibrahim a.s. berkata:

قَالَ أَبَشَّرْ‌تُمُونِي عَلَىٰ أَن مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ‌ فَبِمَ

 تُبَشِّرُ‌ونَ

قَالُوا بَشَّرْ‌نَاكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُن مِّنَ الْقَانِطِينَ

Berkata Ibrahim: "Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?" Mereka menjawab: "Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa." Ibrahim berkata: "(Tidak ada)
orang yang berputus-asa dari rahmat-Nya, kecuali orang-orang yang sesat." – Q.S. Al-Hijr [15]: 54-55

Keraguan kita akan janji Allah, sesungguhnya adalah tanda dari kelemahan
tauhid, sehingga membuat bashirah menjadi buram dan cahaya sirr (rahasia-rahasia) menjadi padam. Keraguan adalah sesuatu yang berbahaya dalam jalan suluk. Dalam kisah Siti Hajar, hal tersebut telah membuat
kelahiran Ishaq a.s. tertunda sebagai sebuah hukuman karena bersitan keraguan akan janji Allah.

Mengenai bashirah, seperti telah dibahas dalam pasal-pasal sebelumnya, adalah
cahaya untuk melihat Al-Haqq pada segenap ufuk alam semesta. Adapun cahaya sirr merupakan cahaya yang akan menampakan jati diri setiap insan. Rahasia tentang hakikat diri kita, qadha dan qadar, misi hidup, hanya bisa ditampakkan dengan cahaya sirr Allah.

Al-Hikam Pasal 8: Amal, Berserah Diri dan Ma’rifat

إِذَا فَتَحَ لَـكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلاَ تُبــَالِ

 مَعَهَا أِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَإِنَّـهُ مَا فَـتَـحَهَا

لَكَ إِلاَّ وَهُوَ يُرِ يْدُ أَنْ يَـتَـعَرَّفَ إِلَيكَ. أَلَمْ تَـعْلَمْ

 أَنَّ الـتَّــعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ

وَاْلأَعْمَالُ أَنْتَ مُــهْدِ يْــهَا إِلَـيْهِ، وَأَيــْنَ مَا

 تُــهْدِ يْهِ إِلَـيْهِ مِمَّا هُـوَ مُوْرِدُهُ عَلَـيْكَ

"Ketika Dia membukakan bagimu (suatu) Wajah Pengenalan, maka jangan
engkau sandingkan (hadirnya) pengenalan itu dengan sedikitnya amal-amalmu; karena sesungguhnya Dia tidak membukakan pengenalan itu bagimu kecuali (bahwa) Dia semata-mata menginginkan untuk memperkenalkan (Diri-Nya) kepadamu.

Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya (suatu) pengenalan itu
(semata-mata) Dia yang menginginkannya atasmu, sedangkan amal-amal itu (semata-mata) suatu hadiah dari engkau kepada-Nya; maka tidaklah sebanding antara apa-apa yang engkau hadiahkan kepada-Nya dengan apa-apa yang Dia inginkan untukmu."

    Syarah

Ada rahasia yang sangat halus dibalik kalimat-kalimat Ibnu Athaillah dalam pasal ini. Ibnu Athaillah bukan hendak  mengatakan bahwa amaliah tidak berarti, karena itu adalah tanda kepatuhan kepada-Nya. Namun ada persoalan yang lebih besar dari itu yang harus dimiliki setiap pejalan suluk.

Ketika Allah membuka “Wajah Pengenalan”, maka yang Dia anugrahkan kepada seorang hamba adalah Diri-Nya, Eksistensi-Nya, bukan semata perbuatan-Nya, karunia-Nya, atau surga-Nya. Maka tidaklah sebanding
ketika Allah menyerahkan seluruh Diri-Nya untuk dikenali, sementara seseorang hanya menyerahkan amal perbuatannya, bukan dirinya.

Adalah Nabi Muhammad SAW memberi nasihat kepada putrinya Fatimah r.a.
untuk senantiasa berdoa pada setiap pagi dan petang:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ! أَصْلِحْ لِي

 شَأْنِيَ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ

Wahai (Dzat) yang Maha Hidup dan Maha Berdiri! Dengan rahmat-Mu aku
memohon pertolongan. Perbaikilah urusanku seluruhnya; dan jangan Engkau
serahkan aku kepada diriku walau hanya sekejap mata. – H.R. Imam An-Nasai, Imam Al-Hakim.

Dalam hadits yang lain dikatakan:

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي

 طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لاَ إِلهَ

إِلاَّ أَنْتَ

Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharapkan! Maka janganlah Engkau
serahkan aku kepada diriku meski sekejap mata, dan perbaikilah urusanku seluruhnya. (Sungguh) tidak ada tuhan selain Engkau. – H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban.

Bahwa kebanyakan manusia mengandalkan urusannya kepada dirinya, kepintarannya, amal perbuatannya. Dan sangatlah sedikit manusia yang menginginkan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Sementara dalam
Al-Quran dikatakan bahwa sebaik-baik agama seseorang adalah yang:
aslama wajhahu (menyerahkan wajahnya), seluruh eksistensinya, seluruh jiwa-raganya, hidup dan matinya, hanya kepada Allah.

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ

 مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang diapun seorang yang ihsan dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus?– Q.S. An-Nisa [4]: 125

        Al-Hikam Pasal 9: Amal, Ahwal dan Warid

تَـنَوَّعَتْ أَجْنَاسُ اْلأَعْمَالِ لِـتَـنَوُّعِ وَارِدَاتِ

 اْلأَحْوَالِ

"Beragamnya jenis amal-amal itu disebabkan oleh beragamnya warid-warid
(yang turun) pada ahwal-ahwal (hamba-Nya)."

    Syarah

Warid adalah terminologi suluk yang banyak ditemukan dalam Al-Hikam.
Makna sederhana warid adalah karunia Allah yang turun kepada seorang hamba. Proses turunnya warid terkait dengan kesiapan qalb, dalam hal ini adalah kadar ahwal si hamba. Sebagai contoh, dalam Al-Quran Allah berfirman:

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا ...

Tidak dianugerahkan (al-hasanah) itu melainkan kepada orang-orang yang
sabar ... – Q.S. Al-Fushilat [41]: 35

Dalam ayat di atas, sabar adalah ahwal si hamba, dan al-hasanah yang dianugrahkan merupakan warid yang Allah karuniakan.

Namun dalam pasal ini Ibnu Athaillah tidak hanya berbicara tentang ahwal dan warid; namun juga berbicara keterkaitan antara
warid dan amal. Bahwa warid yang diterima seorang hamba terkait dengan amal hamba tersebut. Amal yang dimaksud disini adalah berupa amal yang khusus, yakni amal atau dharma yang terkait dengan misi hidup atau
jatidiri seseorang.

Haruslah dipahami bahwa jatidiri setiap manusia adalah unik dan berbeda. Suatu warid yang Allah karuniakan kepada seorang hamba pasti akan mengungkap jatidiri hamba tersebut. Seorang nabi, seorang rasul, seorang wali, seorang mursyid, seorang raja, seorang ilmuwan,
masing-masing memiliki amal-amal yang khusus terkait jatidirinya. Misalkan seorang hamba yang jatidirinya sebagai mursyid,
maka akan dikaruniai warid berupa pengetahuan atau kemampuan untuk
membimbing murid-muridnya.


Al-Hikam Pasal 10: Cahaya Ikhlas

اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ، وَأَرْوَاحُـهَا وُجُوْدُ سِرِّ

 اْلإِخْلاَصِ فِيهَا

"Amal-amal itu semata bentuk-bentuk yang tampil, adapun ruh-ruh yang
menghidupkannya adalah hadirnya sirr ikhlas (cahaya ikhlas) padanya"

    Syarah

Alkisah, suatu hari saat Rasulullah SAW sedang berkumpul dengan beberapa
sahabatnya, datanglah seorang wanita kafir membawa beberapa biji buah jeruk sebagai hadiah. Rasulullah SAW menerimanya dengan senyuman gembira. Lalu mulailah jeruk itu dimakan oleh Rasulullah SAW dengan tersenyum, sebiji demi sebiji hingga habislah semua jeruk tersebut.

Maka ketika wanita itu meminta izin untuk pulang, maka salah seorang sahabat
segera bertanya mengapa tidak sedikit pun Rasulullah menyisakan jeruk tadi untuk sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun menjawab: “Tahukah kamu, sebenarnya buah jeruk itu terlalu asam sewaktu saya merasakannya pertama kali. Kalau kalian turut makan, saya takut ada di antara kalian yang akan mengernyitkan dahi atau memarahi wanita tersebut. Saya takut
hatinya akan tersinggung. Sebab itu saya habiskan semuanya.”

Akhlak yang agung seperti ini tidak dapat dipoles di permukaan, tetapi semata-mata karena ada cahaya ikhlas yang sudah tertanam di dalam hati. Sikap dan perilaku adalah cerminan hati. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah SAW bersabda:

"Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, ‘Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah’, lalu Allah berfirman, ‘(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku, yang Aku berikan ke dalam
hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku" –Hadits Qudsi

Sirr secara bahasa artinya adalah “rahasia”. Secara hakikat sirr adalah cahaya khusus yang Allah berikan kepada seorang hamba yang Dia cintai, sebagaimana diungkap dalam hadits diatas.

Tidak ada amal-amal yang agung dapat tegak kecuali Allah telah menanamkan ruh berupa cahaya ikhlas yang dapat menghidupkan amal tersebut. Sebagaimana akhlak-akhlak yang tinggi yang ditampilkan oleh para nabi, rasul serta hamba-Nya yang Dia cintai adalah karena ada ruh-ruh yang menghidupkannya; dan itu berupa sirr (cahaya) ikhlas yang menyala di dalam hati.

Al-Hikam Pasal 11: Kuburlah Eksistensimu!

اِدْفِنْ وُجُودَكَ فيِ أَرْضِ الْخُمُولِ، فَمَا نَـبَتَ

 مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لاَ يَــتِمُّ نَـتَاءِجُهُ

"Kuburlah wujudmu (eksistensimu) di dalam bumi kerendahan (ketiadaan); maka segala yang tumbuh namun tidak ditanam (dengan baik) tidak akan sempurna buahnya."

    Syarah

Secara bahasa, al-humuul artinya adalah kosong, lemah, bodoh, tidak aktif, tidak dikenal; yang dalam pasal ini bermakna “kerendahan” atau “ketiadaan”. Sementara wujud atau eksistensi manusia pada dasarnya ingin diakui, dikenal, mahsyur, terpandang, paling hebat, dan semacamnya.
Dalam istilah psikologi, manusia diatur oleh ego yang ada dalam dirinya.

Bersuluk pada dasarnya adalah proses menumbuhkan jiwa. Adapun jiwa bagaikan pohon yang tumbuh; jiwa harus ditanam dan dirawat agar dapat tumbuh dan berbuah dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً

 كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي

 السَّمَاءِ

تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ

 الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan *kalimah tayyibah* itu seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya (menjulang) ke langit;

pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya.
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka
selalu ingat.

– Q.S. Ibrahim [14]: 24-25

Kita tidak akan mampu mengenal siapa diri kita, buah takwa apa yang harus kita hasilkan, kecuali Allah memberi petunjuk dan perlindungan. Selama ini ego diri kita yang mengatur siapa diri kita dan apa yang kita inginkan; sementara Allah lah yang lebih mengetahui diri kita yang sesungguhnya.

Dalam pasal ini, Ibnu Athaillah mengungkap sebuah kunci agar kita dapat menghasilkan buah takwa yang sempurna, yakni dengan mengubur eksistensi kita, ego kita, dalam bumi ketiadaan. 
===========
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Lubabul Hadist dan Terjemahan

Manaqib jawahirul ma’ani atau MANAQIB ASY-SYEICH ABDUL QADIR AL-JILANI

Fiqih Puasa Mazhab Syafi’i