Fiqih Puasa Mazhab Syafi’i
Fiqih Puasa Mazhab Syafi’i
Fiqih Puasa
Di dalam mempelajari cara puasa ada beberapa hal terpenting yang harus kita hadirkan terlebih dahulu sebelum membahas permasalahan di seputar puasa:
2. Hal-hal yang membatalkan puasa
3. Orang yang boleh untuk tidak berpuasa
4. Niat dalam berpuasa
1. DEFINISI PUASA
FIQIH PUASA, 9 HAL YANG MEMBATALKAN PUASA, 9 ORANG YANG BOLEH MENINGGALKAN PUASA
Puasa menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu baik dari makanan atau berbicara. Menurut bahasa arab orang menahan diri untuk tidak berbicara juga disebut berpuasa. Adapun puasa menurut agama adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya mulai dari terbitnya fajar sodiq (masuknya waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (masuknya waktu maghrib)
2. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Jika kita perhatikan dari definisi puasa disitu disebutkan hal-hal yang membatalkan puasa. Maka dari itu menjadi sesuatu yang amat penting dalam ilmu puasa adalah mengetahui hal-hal
yang membatalkan puasa.
Hal-hal yang membatalkan puasa ada sembilan (9) yaitu :
1. Memasukan sesuatu ke dalam salah satu lima (5) lubang, yaitu :
a. Mulut
Hukum memasukkan sesuatu ke lubang mulut adalah membatalkan puasa.
Untuk memudahkan pemahaman kita maka hukum memasukkan sesuatu ke lubang mulut ini ada empat hukum yaitu :
1) Membatalkan: Yaitu di saat kita memasukkan sesuatu ke dalam mulut kita dan kita menelannya dengan sengaja saat kita sadar bahwa kita sedang puasa. Jadi yang menjadikannya batal adalah karena menelan dengan sengaja. Maka dari itu jika ada orang memasukkan permen atau es krim ke dalam mulutnya maka hal itu tidak membatalkan puasanya asalkan tidak ditelan. Catatan masalah ludah,
Di dalam masalah ini ada hal yang perlu kita perhatikan yaitu
masalah ludah. Ludah itu jika kita telan tidak membatalkan puasa kita dengan syarat :
Ludah kita sendiri
Tidak bercampur dengan sesuatu yang lainya
Ludah masih berada di tempatnya (mulut)
Maka di saat syarat-syarat di atas terpenuhi maka jika ludah
itu ditelan, tidak membatalkan puasa. Bahkan jika seandainya ada
orang yang mengumpulkan ludah di dalam mulutnya sendiri dan setelah terkumpul lalu ditelan, maka hal itu tidak membatalkan puasa.
Akan tetapi menelan ludah akan membatalkan puasa jika salah satu syarat di atas ada yang tidak terpenuhi, seperti karena dia menelan ludahnya orang lain, atau menelan ludah yang sudah
bercampur dengan sesuatu sepertipermen, es krim atau makanan yang masih tersisa di dalam mulut kita atau menelan ludah yang sudah dikeluarkan dari mulutnya lalu diminum maka itu semua membatalkan puasa.
Catatan :
Masalah sisa makanan di dalam mulut. Sisa makanan di mulut maka ada dua macam:
Jika sisa makanan dimulut kemudian bercampur dengan ludah dengan sendirinya dan susah untuk dipisahkan maka jika
ditelan tidak membatalkan puasa. Misalnya orang yang sahur lalu
tidur dan tidak sempat kumur atau sikat gigi lalu menduga
di dalam mulutnya ada sisa–sisa makanan. Maka jika sisa
makanan tersebut sudah tidak bisa lagi dibedakan dengan
ludah maka hal itu tidak membatalkan puasa jika ditelan.
Jika ada sisa makanan yang bisa dipisahkan dari ludah lalu
bercampur dengan ludah dan bercampurnya karena dikunyah
dengan sengajaatau digerak-gerakan agar bercampur kemudian
ditelan, maka hal itu membatalkan puasa. Seperti sisa makanan
dalam bentuk nasi atau biji-bijian yang bisa dibuang akan tetapi justru dikunyah lalu ditelan maka hal itu membatalkan puasa.
2) Makruh (dilarang, akan tetapi tidak dosa jika dilanggar):
Dihukumi makruh jika kita memasukkan sesuatu ke dalam mulut tanpa kita telan hanya untuk main-main saja. Contohnya ketika ada seseorang yang sedang berpuasa kemudian dia dengan sengaja memasukkanpermenatau es krim ke dalam mulutnya tanpa
menelannya maka hukumnya makruh dan tidak membatalkan puasa dan jika tiba-tiba tanpa disengaja permen yang ada di mulutnya tertelan maka batal, karena ia menelan dengan tidak sengaja yang disebabkan sesuatu yang tidak dianjurkan yaitu telah bermain-main dengan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.
3) Mubah (boleh dilakukan dan tidak dilarang) : Dihukumi mubah
yaitu ketika seorang juru masak mencicipi masakannya dengan niat untuk membenahi rasa. Maka di samping hal itu tidak membatalkan puasa, hal yang demilkian itu juga bukan pekerjaan yang makruh.
Akan tetapi hal itu boleh-boleh saja. Dalam hal ini bukan
hanya juru masak saja yang diperkenankan akan tetapi juga
siapapun yang lagi memasak. Akan tetapi dengan catatan tidak boleh
ditelan.
4) Sunnah (dianjurkan dan ada pahalanya): Dihukumi sunnah yaitu ketika kita berkumur-kumur di dalam berwudhu. Maka di saat itu di samping tidak membatalkan puasa, berkumur dalam wudhu’ tetap disunnahkan biarpun dalam keadaan puasa dengan catatan tidak boleh ditelan. Bahkan jika tertelan sekalipun tanpa sengaja maka tidak membatalkan puasa. Dengan catatan ia berkumur-kumur dengan cara yang wajar saja dan tidak berlebihan.
b. Hidung
Memasukan sesuatu ke dalam lubang hidung membatalkan puasa.
Adapun batasan dalam hidung adalah bagian yang jika kita
memasukkan air akan terasa panas (tersengak) maka di situlah
batas dalam yang jika kita memasukkan sesuatu ke tempat tersebut akan membatalkan puasa yaitu hidung bagian atas yang mendekati mata kita. Adapun hidung di bagian bawah yang lubangnya biasa di jangkau jemari saat membuang kotoran hidung, jika kita memasukkan sesuatu ke bagian tersebut hal itu tidak membatalkan puasa asal tidak sampai kebagian atas seperti yang telah kami jelaskan.
c. Telinga
Menjadi batal jika kita memasukan sesuatu ke dalam telinga kita. Yang dimaksud dalam telinga adalah bagian dalam telinga yang tidakbisa dijangkau oleh jari kelingking kita saat kita membersihkan telinga. Jadi memasukkan sesuatu ke bagian yang masih bisa dijangkau oleh jari kelingking kita hal itu tidak membatalkan puasa, baik yang kita masukkan itu adalah jari tangan kita atau yang lainya. Akan tetapi kalau kita memasukkan sesuatu melebihi dari bagian yang di jangkau jemari kita seperti korek kuping atau air maka hal itu akan membatalkan puasa. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Dan ada pendapat yang berbeda yaitu pendapat yang diambil oleh Imam Malik dan Imam Ghozali dari madzhab Syafi’i bahwa “Memasukan sesuatu ke dalam telinga tidak membatalkan” akan tetapi lebih baik dan lebih aman jika tetap mengikuti pendapat kebanyakan para ulama yaitu pendapat yang mengatakan memasukkan sesuatu ke lubang telinga adalah membatalkan
puasa.
d. Jalan depan (alat buang air kecil)
Memasukan sesuatu ke dalam lubang kemaluan adalah membatalkan puasa walaupun itu adalah sesuatu yang darurot seperti dalam pengobatan dengan memasukkan obat ke lubang kemaluan atau pipa untuk mengeluarkan cairan dari dalam bagi orang yang sakit. Termasuk
memasukan jemari bagi seorang wanita adalah membatalkan puasa.
Maka dari itu para wanita yang bersuci dari bekas buang air
kecil harus hati-hati jangan sampai saat membersihkan sisa buang air kencing (beristinja) melakukan sesuatu yang membatalkan puasa.
Bagi wanita yang ingin beristinja hendaknya hanya membasuh
bagian yang terbuka di saat ia jongkok saja dengan perut jemari dan tidak perlu memasukan jemari ke bagian yang lebih dalam, karena hal itu akan membatalkan puasa. Lebih dari itu ditinjau dari sisi kesehatan justru tidak sehat kalau cara membersihkan kemaluan adalah
dengan cara membersihkan bagian yang tidak terlihat di saat
jongkok sebab yang demikian itu justru akan membuka kemaluan
untuk kemasukan kotoran dari luar.
e. Jalan Belakang (alat buang air besar)
Memasukkan sesuatu ke lubang belakang sama hukumnya seperti
memasukkan sesuatu ke jalan depan. Artinya jika ada orang
memasukkan sesuatu ke lubang belakang biarpun dalam keadaan
darurat dalam pengobatan adalah membatalkan puasa termasuk
memasukkan jemari saat istinja (bersuci dari bekas buang air
besar). Maka cara yang benar dalam istinja adalah cukup dengan membersihkan bagian alat buang air besar dengan perut jemari tanpa harus memasukkan jemari kebagian dalam.
2. Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja akan membatalkan puasa baik dilakukan dengan wajar atau tidak, baik dalam keadaan darurat atau tidak.
Seperti dengan sengaja mencari bau yang busuk lalu diciumi
hingga muntah atau memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya agar bisa muntah. Berbeda jika muntah yang terjadi karena tidak disengaja
maka hal itu tidak membatalkan puasa kita dengan syarat :
Kita tidak boleh menelan ludah yang ada di mulut kita sehabis muntah sebelum kita mensucikan mulut kita terlebih dahulu dengan cara berkumur dengan air suci. Jika di saat kita belum berkumur kemudian kita langsung menelan ludah kita maka puasa kita menjadi batal sebab muntahan adalah najis dan mulut kita telah menjadi najis karena muntahan sehingga ludah kita telah bercampur dengan najis yang jika ditelan akan membatalkan puasa karena yang ditelan bukan lagi ludah yang murni akan tetapi ludah yang najis. Jika ada orangmenggosok-gosok gigi kemudian dia itu biasanya tidak muntah maka di saat dia gosok gigi tiba-tiba muntah maka tidak batal, akan tetapi jika dia tahu kalau biasanya setiap menggosok gigi akan muntah maka hukum menggosok gigi yang semula tidak haram menjadi haram dan jika ternyata benar-benar muntah maka puasanya menjadi batal. Jika ada orang yang kemasukan lalat sampai melewati tenggorokannya kemudian dia berusaha untuk mengeluarkannya maka menjadi batal karena sama saja seperti muntah yang disengaja. Berbeda dengan dahak, jika seseorang berdahak maka hal itu dimaafkan dan tidak membatalkan puasa, akan tetapi dahak yang sudah keluar melewati tenggorokan
tidak boleh ditelan dan itu membatalkan puasa. Batas tenggorokan adalah tempat keluarnya huruf “ha” ( makhraj huruf ح).
3. Bersenggama
Melakukan hubungan suami istri itu membatalkan puasa. Yang
dimaksud bersenggama adalah jika seorang suami telah memasukkan semua bagian kepala kemaluanya ke lubang kemaluan sang istri dengan sengaja dan sadar kalau dirinya lagi puasa maka saat itu puasanya
menjadi batal (dalam hal ini sama hubungan yang halal atau yang haram seperti zina atau melalui lubang dubur atau dengan binatang). Adapun bagi sang istri biarpun yang masuk belum semua bagian kepala kemaluan sang suami asal sudah ada yang masuk dan melewati
batas yang terbuka saat jongkok maka saat itu puasa sang istri
sudah batal. Dan batalnya bukan karena bersenggama tapi masuk dalam pembahasan batal karena masuknya sesuatu ke lubang kemaluan. Bagi suami yang membatalkan puasanya dengan bersenggama dengan istrinya dosanya amat besar dan dia harus membayar karafat dengan
syarat berikut ini:
Dilakukan oleh orang yang wajib baginya berpuasa
Dilakukan di siang bulan puasa
Dia ingat kalau dia sedang puasa
Tidak karena paksaan
Mengetahui keharomannya atau dia adalah bukan orang yang bodoh
Berbuka karena bersenggama
Dan bagi orang tersebut dikenai hukuman:
1. Mengqodho puasanya
2. Membayar kafarat (denda)
Kafarat (denda) bersenggama di siang hari bulan ramadhan adalah:
a. Memerdekakan budak
b. Puasa selama dua bulan berturut-turut
c. Memberikanmakan kepada 60 fakir miskin dengan syarat
makanan yang bisa digunakan untuk zakat fitrah.
Denda yang harus dibayar salah satu saja dengan berurutan. Jika
tidak mampu bayar A maka bayar B jika tidak mampu bayar C.
4 Keluar mani dengan sengaja
Maksudnya adalah mengeluarkan mani dengan sengaja dengan mencari sebab keluarnya mani. Contohnnya: ketika ada orang yang tahu bahwa jika dia mencium istrinya atau dia dengan sengaja menyentuh kemaluannya dengan tangannya sendiri atau dengan tangan istrinya bakal keluar mani maka puasanya menjadi batal karena keluar mani
tersebut dengan sengaja. Akan tetapi tidak menjadi batal jika
seandainya keluar mani tanpa disengaja seperti bermimpi
bersenggama dan di saat terbangun benar-benar menemukan air mani di
celananya maka yang seperti itu tidak membatalkan puasa.
5. Hilang akal
Hilang akal di bagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Gila: Sengaja atau tidak disengaja gila itu membatalkan
puasa walaupun sebentar.
b. Mabuk dan Pingsan:
Jika disengaja maka mabuk dan pingsan membatalkan puasa biarpun sebentar. Seperti dengan sengaja mencium sesuatu yang ia tahu kalau ia menciumnya pasti mabuk atau pingsan. Jika mabuk dan pingsannya adalah tidak disengaja maka akan membatalkan puasa jika terjadi seharian penuh. Tetapi jika dia masih merasakan sadar walau hanya sebentar di siang hari maka puasanya tidak batal. Misal mabuk kendaraan atau mencium sesuatu yang ternyata menjadikannya mabukatau pingsan sementara ia tidak tahu
kalau hal itu akan memabukkan atau menjadikannya pingsan. Maka orang tersebut tetap sah puasanya asalkan sempat tersadar di siang hari walaupun sebentar.
c. Tidur: Tidak membatalkan puasa walaupun terjadi seharian penuh.
6. Haid
Membatalkan puasa walaupun hanya sebentar sebelum waktu berbuka.
Misal haid datang 2 menit sebelum masuk waktu maghrib maka puasanya menjadi batal akan tetapi pahala berpuasanya tetap utuh.
7. Melahirkan
Melahirkan adalah membatalkan puasa baik itu mengeluarkan bayi
atau mengeluarkan bakal bayi yang biasa disebut dengan keguguran.
Misal seorang ibu hamil sedang berpuasa tiba-tiba melahirkan di
siang hari saat berpuasa, maka puasanya menjadi batal.
8. Nifas
Nifas juga membatalkan puasa. Misalnya ada orang melahirkan
ternyata setelah melahirkan tidak langsung keluar darah nifas.
Karena ia mengira tidak ada nifas akhirnya ia berpuasa dan
ternyata disaat ia lagi puasa darah nifasnya datang maka saat itu puasanya batal.
9. Murtad.
Murtad atau keluar dari Islam membatalkan puasa. Misalnya ada
orang lagi berpuasa tiba-tiba ia berkata bahwa ia tidak percaya
kalau Nabi Muhammad adalah Nabi atau ada orang lagi berpuasa tiba-tiba menyembah berhala maka puasanya menjadi batal.
3. ORANG–ORANG YANG BOLEH UNTUK TIDAK BERPUASA
1. Anak kecil
Maksudnya adalah anak yang belum baligh. Baligh ada 3 tanda yaitu :
a. Keluar mani (bagi anak laki-laki) padausia 9 tahun hijriah.
b. Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi anak perempuan)
c. Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka di tunggu
hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun maka ia
telah baligh dengan usia yaitu usia 15 tahun.
2. Gila
Orang gila tidak wajib berpuasa bahkan seandainya berpuasa maka
puasanya pun tidak sah. Namun dalam hal ini ulama membagi ada dua macam orang gila yaitu :
a. Orang gila yang disengaja jika berpuasa maka puasanya tidak
sah dan wajib mengqodho’. Sebab sebenarnya ia wajib berpuasa
kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila maka karena kesengajaan inilah ia wajib mengqodho’ puasanya setelah sehat akalnya.
b. Orang gila yang tidak disengaja, tidak wajib berpuasa bahkan seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqodho’ karena gilanya bukan disengaja.
3. Sakit
Orang sakit boleh meninggalkan puasa. Akan tetapi di sini ada
ketentuan bagi orang sakit tersebut yaitu: Yaitu Sakit parah yang
memberatkan untuk berpuasa yang berakibat semakin parahnya
penyakit atau lambat kesembuhannya. Dan yang bisa menentukan ini adalah:
Dokter muslim yang terpercaya.
Berdasarakan pengalamannya sendiri.
Catatan:
Dalam hal ini tidak terbatas kepada orang sakit saja akan
tetapi siapapun yang lagi berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya. Akan tetapi ia hanya boleh makan dan minum seperlunya kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang berpuasa. Akan tetapi khusus orang seperti ini (bukan orang
sakit).
4. Orang tua
Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa
diperkenankan untuk meninggalkan puasa.
5. Bepergian (musafir)
Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan
ketentuan sebagai berikut ini :
a. Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.
b. Di pagi (saat subuh) hari yang ia ingin tidak berpuasa ia
harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat
tinggalnya (minimal batas kecamatan) Misal seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Antara Cirebon semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km). Ia meninggalkan cirebon jam 2 malam (sabtu dini hari). Subuh hari itu adalah jam 4 pagi. Pada jam 4 pagi (saat subuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes. Maka di pagi hari sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.
Berbeda jika berangkatnya ke semarang setelah masuk waktu subuh, sabtu pagi setelah masuk waktu subuh masih di Cirebon. Maka di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk subuh ia masih ada di rumah. Tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari
ahadnya, karena di subuh hari ahad ia berada di luar wilayahnya.
Catatan:
Seseorang dalam bepergian akan di hukumi mukim (bukan musafir
lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari. Misal
orang yang pergi ke semarang tersebut dalam contoh saat di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di semarang juga tetap boleh berbuka asalkan ia tidak bermaksud tinggal di semarang lebih dari 4 hari. Dan jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai semarang ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqosor sholat. Untuk di hukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari
seperti kesalah pahaman yang terjadi pada sebagian orang akan
tetapi kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal
lebih dari 4 hari ia sudah di sebut mukim.
6. Hamil
Orang hamil yang khawatir akan kondisi :
Dirinya, atau
Janin (bayinya)
7. Menyusui
Orang menyusui yang khawatir akan kondisi :
Dirinya atau
Kondisi bayi yang masih di bawah umur 2 tahun hijriyah
Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri akan tetapi bisa juga
bayi orang lain.
8. Haid
Wanita yang lagi haid tidak wajib berpuasa bahkan jika berpuasa
puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.
9. Nifas
Wanita yang lagi nifas tidak wajib berpuasa bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.
Siapa yang wajib mengqodho atau membayar fidyah dari orang
yang boleh meninggalkan puasa?
1. Anak kecil
Anak kecil jika sudah baligh maka ia tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkannya.
2. Orang Gila
Gila yang disengaja wajib meng-qodho’ sajadan tidak
wajib membayar fidyah.
Gila yang tidak disengaja tidak wajib mengqodho dan tidak
wajib membayar fidyah
3. Orang sakit
a. Sakit yang masih ada harapan sembuh wajib mengqodho’ jika
sembuh, dan tidak wajib membayar fidyah.
b. Sakit yang menurut keterangan dokter sudah tidak ada harapan
sembuh maka ia tidak wajib meng-qodho’ akan tetapi hanya wajib membayar fidyah setiap hari yang ia tinggalkan dengan 1 mud atu 6,7 ons diberikan kepada fakir miskin dengan makanan Seperti beras.
4. Orang tua
Orang tua disamakan dengan orang sakit yang tidak diharapkan
kesembuhannya. Karena orang tua tidak akan kembali muda. Maka baginya tidak wajib mengqodho’ dan hanya wajib membayar fidyah 1 mud atau 6,7 ons diberikan kepada fakir miskin.
5. Orang musafir
Orang yang bepergian hanya wajib mengqodho saja dan tidak wajib membayar fidyah.
6. dan 7. Wanita hamil dan menyusui
Wanita hamil dan menyusui ada tiga macam :
a.Wajib mengqodho’ saja jika dia khawatir akan dirinya sendiri
b. Wajib mengqodho’ saja jika dia khawatir akan dirinya sendiri
sekaligus khawatir keadaan anaknya
c.Wajib mengqodho’ dan membayar fidyah jika dia khawatir akan
keselamatan bayinya dan tidak khawatir akan dirinya sendiri.
8. Wanita Haid
Wanita haid hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah.
9. Wanita Nifas
Wanita Nifas hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah
Orang Yang Wajib Berpuasa
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa selain orang yang boleh meninggalkan puasa maka mereka adalah orang-orang yang wajib berpuasa.
4. NIAT DI DALAM PUASA
Yang wajib dihadirkan di dalam niat adalah :
1. Untuk puasa wajib :
Bermaksud berpuasa
Meyakini kefardhuannya (bahwa puasa yang akan dilakukan adalah wajib)
Menentukan jenis puasanya
Ini semua cukup dilintaskan di dalam hati saja dan jika
diucapkan dengan lidahnya asal hatinya tetap ingat akan niat
tersebutmaka puasanya juga sah bahkan sebagian ulama
menganjurkan untuk diucapkan dengan lidahnya denganbahasa
apapun untuk membantu hati mengingat niat tersebut.
Contoh : “Aku berniat puasa Fadhu Ramadhan” (nawaetu shouma
romadlon fardlon)
Aku Berniat Puasa = Bermaksud Puasa Fardhu = Meyakini kefardhuannya
Ramadhan = Menentukan jenis puasanya.
2. Untuk puasa sunnah :
1. Sunnah rowatib ataupuasa sunnah yang sudah ditentukan
waktunya seperti puasa 6 syawal atau puasa senin dan kamis.
Cara niatnya adalah :
Bermaksud berpuasa
Menyebut puasa yang akan di lakukan
Contoh : “Aku niat Puasa hari kamis” (nawaetu shouma yaumi…)
Aku niat puasa = Bermaksud Puasa Hari kamis = Menentukan jenis puasa sunnahnya
2. Puasa sunnah mutlaqoh atau puasa sunnah di selain hari-hari
yang telah ditentukan. Cara niatnya adalah cukup bermaksud untuk berpuasa Contoh : “Aku Niat Puasa” . (nawaetu shoumu)
Catatan :
Di dalam berniat tidak harus menggunakan bahasa arab, akan
tetapi dengan bahasa apapun niatnya maka puasa tetap sah.
Waktu niat di dalam berpuasa ada dua macam :
1.Puasa Fardhu
Untuk puasa fardhu (wajib) maka niatnya harus dilakukan sebelum
terbit fajar sodik (fajar yang sesungguhnya) atau sebelum masuk
waktu subuh.
Catatan:
Semua niat dalam ibadah adalah dilakukan di awal memulai
pekerjaan ibadahnya kecuali puasa yang cara niatnya adalah bisa
di malam hari jauh-jauh sebelum fajar shodiq terbit.
2. Puasa sunnah
Untuk puasa sunnah tidak diharuskan niat pada malam harinya akan
tetapi boleh berniat di pagi hari dengan 2 syarat :
Belum tergelincir matahari
Belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa yang tersebut di
atas seperti makan atau minum.
Catatan :
Sekilas perbedaan ulama dalam niat.
Mazhab Syafi’i :
Satu kali niat untuk satu kali puasa artinya niat puasa harus
dilakukan setiap malam.
Mazhab Malik :
Boleh menggabungkan niat di awal puasa selama satu bulan penuh
dengan syarat dalam sebulan itu tidak terputus dengan batalnya
puasa, jika sempat terputus dengan tidak berpuasa maka ia harus
memulai dengan niat yang baru lagi seperti terputusnya karena haid.
Mazhab Abu Hanifah :
Tidak ada perbedaan dalam puasa wajib atau sunnah bahwa menginapkan
niat di malam hari tidak wajib menurut Imam Abu Hanifah, jika
berniat setelah terbitnya matahari tetap sah asalkan matahari
belum tergelincir (masuk waktu dzuhur) dan belum melakukan
hal-hal yang membatalkan puasa.
3. Puasa qodho
Bagi yang punya hutang puasa, cara mengqodhonya adalah dengan
melakukan puasa di hari-hari yang di perkenankan puasa di
sepanjang satu tahun setelah ramadhan, yaitu selain :
Hari raya Idul Fitri
Hari raya Idul Adha
3 hari tasyrik (11,12,13 Dzul Hijjah)
Caraniat puasa qodho’ sama dengan cara niat puasa ramadhan
adapun menambah kalimat qodho’ itu tidak harus akan tetapi
sekedar dianjurkan. Jika mengqodho’ puasa ramadhan bertepatan
dengan hari-hari di sunnahkan puasa sunnah. Maka cukup niat
puasa qodho yang wajib saja tanpa harus dibarengi dengan niat
puasa sunnahnya.Dan orang tersebut sudah mendapatkan pahala
puasa wajib dan puasa sunnah sekaligus biarpun tanpa diniatkan
puasa sunnah.
Wallohu A’lam
***********************************
Ringkasan Fiqih Puasa dalam Madzhab Al-Imam Syafi’i
*Mafahim: *Puasa secara bahasa berarti: Menahan. Menurut istilah syara’ berarti menahan diri dari sesuatu perkara yang membatalkan puasa, mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat tertentu.
*Dasar Wajib Puasa
*Maksud Firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (Al Baqarah: 183)
*Hikmah Puasa *
Antara lain, menahan hawa nafsu, mengurangi syahwat, memberikan
pelajaran bagi orang kaya untuk merasakan lapar sehingga menumbuhkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin dan menjaga dari maksiat.
*Syarat Sah Puasa:*
1. Islam
2. Berakal
3. Bersih dari haid/ nifas
4. Mengetahui waktu diperbolehkan untuk berpuasa
Tidak Sah puasa bagi orang kafir, orang gila walau pun sebentar,
perempuan haid atau nifas dan puasa pada waktu yang diharamkan berpuasa, seperti hari raya atau hari tasyriq. Adapun perempuan yang terputus haid atau nifasnya sebelum fajar, maka puasanya tetap Sah dengan syarat telah niat, sekali pun belum mandi sampai pagi.
*Syarat Wajib Puasa:*
* Islam: Puasa tidak wajib bagi orang kafir dalam hukum dunia, namun di akhirat mereka tetap akan diadzab karena kekafirannya. Adapun orang murtad, maka wajib baginya mengqodho’ apabila ia kembali masuk Islam.
* Mukallaf (baligh dan berakal): Anak yang belum baligh tidak wajib
puasa, namun orang tua wajib memerintahkan putra-putrinya berpuasa sejak kecil (7 tahun) dan memukul (sewajarnya) jika meninggalkan puasa saat berumur 10 tahun.
* Mampu mengerjakan puasa (bukan orang lansia atau orang sakit):
Lansia yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh menurut medis wajib mengganti puasanya dengan membayar fidyah yaitu satu mud (sekitar 6,25 ons) makanan pokok (beras) untuk setiap harinya.
* Mukim: Tidak wajib bagi Musafir selama ia bepergian sejauh lebih
dari 82 km, keluar dari batas kotanya sebelum fajar dan menetap di kota tujuan tidak lebih dari 4 hari.
*Rukun-rukun Puasa:***
*1. Niat*: (untuk puasa wajib maupun sunnah), mulai terbenamnya matahari
hingga sebelum terbitnya fajar.
Niat (talaffud) puasa Ramadhan:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى
“SAYA NIAT MENGERJAKAN KEWAJIBAN PUASA BULAN RAMADHAN ESOK HARI PADA
TAHUN INI KARENA ALLAH TA’ALA”.
Niat hendaknya dilakukan setiap malam hari selama bulan Ramadhan. Niat (rukun) dilakukan di dalam hati, tanpa niat (dalam hati) puasanya tidak Sah. Adapun mengucapkan/ talaffud adalah sunnah.
2. *Menghindari perkara yang membatalkan puasa*, kecuali jika lupa ataudipaksa atau karena kebodohan yang ditolerir oleh syari’at (jahil ma’dzur).
Jahil ma’dzur/ kebodohan yang ditolerir syari’at ada dua:
* a. Hidup jauh dari ulama
* b. Baru masuk Islam
*Hal-hal yang Membatalkan Puasa:*
1. Masuknya sesuatu ke dalam rongga terbuka yang tembus ke dalam tubuh seperti mulut, hidung, telinga dan dua lubang qubul-dubur dengan disengaja, mengetahui keharamannya dan atas kehendak sendiri. Namun jika dalam keadaan lupa, tidak mengetahui keharamannya karena bodoh yang ditolerir atau karena dipaksa, maka puasanya tetap Sah.
2. Murtad, yakni keluar dari Islam, baik dengan niat dalam hati,
perkataan, perbuatan, walau pun perbuatan murtad tersebut sekejap saja.
3. Haid, nifas dan melahirkan sekali pun sebentar.
4. Gila meski pun sebentar.
5. Pingsan dan mabuk (tidak disengaja) sehari penuh. Jika masih ada kesadaran sekali pun sebentar, puasanya tetap Sah.
6. Bersetubuh dengan sengaja dan mengetahui keharamannya.
7. Mengeluarkan mani, baik dengan tangan, atau tangan istrinya, atau dengan berhayal, atau dengan melihat (jika dengan berhayal dan melihat itu dia tahu kalau akan mengeluarkan mani), atau dengan tidur berdampingan (bersenang-senang) bersama istrinya. Jika mani keluar dengan salah satu sebab di atas, maka puasanya batal.
8. Muntah dengan sengaja.
*Masalah-masalah yang Berkaitan dengan Puasa:***
*1. Suami-Istri*
Apabila seseorang berhubungan dengan istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja, tanpa terpaksa dan mengetahui keharamannya maka puasanya
batal, berdosa, wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sampai maghrib dan wajib mengqodho puasanya serta wajib membayar denda kaffarah udzma yaitu:
* Membebaskan budak perempuan yang islam.
* Jika tidak mampu, wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.
* Jika tidak mampu, maka wajib memberi makanan pada 60 orang miskin masing-masing berupa 1 mud (sekitar 6,5 ons) dari makanan pokok.
Denda ini wajib dikeluarkan hanya bagi laki-laki saja, karena dengan
masuknya kelamin laki-laki, sang wanita sudah menjadi batal puasanya.
*2. Hukum Menelan Dahak.*
* Jika telah mencapai batas luar tenggorokan, maka haram menelan dan membatalkan puasanya.
* Jika masih di batas dalam tenggorokan, maka boleh dan tidak
membatalkan puasanya.
Yang dimaksud batas luar tenggorokan menurut pendapat Imam Nawawi (yang mu’tamad) adalah makhroj huruf ha’ (ح) dan dibawahnya adalah batas dalam. Sedangkan menurut sebagian ulama, batas luar adalah makhroj huruf kho’ (خ) dan dibawahnya adalah batas dalam.
*3. Menelan Ludah Tidak Membatalkan Puasa dengan Syarat:*
* Murni (tidak tercampur benda lain)
* Suci
* Berasal dari sumbernya yaitu lidah dan dalam mulut, sedangkan
menelan ludah yang sudah berada pada bibir luar membatalkan puasa.
*4. Hukum Masuknya Air Mandi ke Dalam Rongga Tanpa Sengaja:*
* Jika sebab mandi sunnah seperti mandi untuk sholat jum’at atau mandi wajib (janabat) maka tidak membatalkan puasa kecuali jika sengaja atau dengan menyelam.
* Jika bukan mandi sunnah atau wajib seperti mandi untuk membersihkan badan, maka puasanya batal baik disengaja atau tidak.
*5. Hukum Air Kumur yang Tertelan Tanpa Sengaja:*
* Jika berkumur untuk kesunnahan seperti dalam wudhu’, tidak membatalkan puasa asalkan tidak terlalu ke dalam (mubalaghoh).
* Jika berkumur biasa, bukan untuk kesunnahan maka puasanya batal secara mutlak, baik terlalu ke dalam (mubalaghoh) atau tidak.
*6. Muntah atau Dalam Mulut Berdarah*
Orang yang muntah atau dalam mulutnya berdarah wajib berkumur dengan mubalaghoh (membersihkan hingga ke pangkal tenggorokan) agar semua bagian mulutnya suci. Apabila ia menelan ludah tanpa mensucikan mulutnya
dari sisa muntah, maka puasanya batal.
*7. Membatalkan Puasa atau Tidak Niat*
Orang yang sengaja membatalkan puasanya (alasan syar’i) atau tidak
berniat di malam hari, wajib menahan diri di siang hari Ramadhan dari perkara yang membatalkan puasa (selayaknya orang puasa) sampai maghrib
dan setelah Ramadhan wajib mengqodho puasanya.
*8. Berbagai konsekuensi bagi orang yang tidak berpuasa atau membatalkan puasa Ramadhan:*
A. WAJIB QODHO’ DAN MEMBAYAR DENDA
* Jika membatalkan puasa demi orang lain. Seperti perempuan mengandung dan menyusui yang tidak puasa karena kuatir pada kesehatan anaknya saja.
* Mengakhirkan qodho’ puasanya hingga datang Ramadhan lagi tanpa ada uzur.
B. WAJIB QODHO’ TANPA DENDA
* Berlaku bagi orang yang tidak berniat puasa di malam hari
* Orang yang membatalkan puasanya dengan selain jima’ (bersetubuh)
* Perempuan hamil atau menyusui yang tidak puasa karena kuatir pada
kesehatan dirinya saja atau kesehatan dirinya dan anaknya.
C. WAJIB DENDA TANPA QODHO’
* Berlaku bagi orang lanjut usia tidak mampu berpuasa.
* Orang sakit yang tidak punya harapan sembuh, ia tidak mampu berpuasa.
D. TIDAK WAJIB QODHO’ DAN TIDAK WAJIB DENDA
* Berlaku bagi orang yang kehilangan akal/ gila yang permanen atau tidak mengalami kesembuhan.
Yang dimaksud DENDA di sini adalah FIDYAH, 1 mud (6,5 ons) makanan pokok daerah setempat (beras) untuk setiap harinya.
*Hal-hal yang Disunnahkan dalam Puasa Ramadhan*
1. Menyegerakan berbuka puasa.
2. Makan Sahur.
3. Mengakhirkan sahur, dimulai dari tengah malam.
4. Berbuka dengan kurma (ruthab) + dengan bilangan ganjil. Bila tidak
ada kurma, dengan air zam zam/ air putih. Atau dengan makanan manis
alami (yang belum tersentuh oleh api/ dimasak), misal: madu, kismis
dan sejenisnya.
5. Membaca doa saat berbuka puasa.
6. Memberi makanan berbuka pada orang yang berpuasa.
7. Mandi janabat sebelum terbitnya fajar bagi orang yang junub di malam
hari.
8. Mandi setiap malam di bulan Ramadhan.
9. Menekuni sholat tarawih dan witir.
10. Memperbanyak bacaan Al Qur’an dengan tadabbur.
11. Memperbanyak amalan sunnah dan amal sholeh.
12. Meninggalkan caci maki.
13. Berusaha makan dari yang halal.
14. Bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir.
HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM PUASA RAMADHAN
1. Mencicipi makanan.
2. Bekam (mengeluarkan darah).
3. Banyak tidur dan terlalu kenyang.
4. Mandi dengan menyelam.
5. Memakai siwak setelah masuk waktu duhur.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PAHALA PUASA (MUHBITHAAT)
1. Ghibah (gossip).
2. Adu domba.
3. Berbohong.
4. Memandang hal-hal yang haram atau pun halal, namun dengan syahwat.
5. Sumpah palsu.
6. Berkata jorok atau melakukan perbuatan jelek.
Catatan tambahan dan soal-jawab seputar puasa.
Untuk menentukan awal Bulan Ramadhan dan 1 Syawwal (Lebaran Idul Fitri) dianjurkan mengikuti keputusan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini adalah Majlis Ulama Indonesia (MUI), melalui sidang Itsbat, yang anggotanya terdiri dari pakar-pakar Islam yang kredibel dalam ilmu ru’yah maupun hisab. Dengan demikian umat Islam Indonesia dapat bersatu dan tidak
terpecah belah.
* Soal: Bagaimana hukumnya orang yang berpuasa melakukan cek golongan darah, dengan sedikit melukai kulit?
* Jawab : Boleh dan Puasanya Sah.
* Soal : Bagaimana hukumnya orang yang berpuasa melakukan infus/ memasukan makanan melalui pembuluh darah?
* Jawab : Tidak Boleh dan Puasanya Batal.
* Soal : Bagaimana hukumnya berpuasa melakukan suntik atau bius lokal?
* Jawab : Boleh dan Puasanya Sah selama cairan tidak mengalir ke
saluran makanan (pencernaan).
* Soal : Bagaimana hukumnya berpuasa melakukan donor darah atau mengambil darah untuk cek laboratorium termasuk hijamah (bekam)?
* Jawab : Hukumnya makruh dan Puasanya Sah.
*************************************
Fikih Ringkas Syafi’i tentang Puasa
Amalan yang mulia tentu saja harus dimulai dengan ilmu terlebih dahulu.
Karena kita sebagai seorang muslim tidak boleh beribadahserampangan.
Kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang diperbuat lebih banyak daripada kebaikan yang diraih.” (Majmu’ Al Fatawa, 2: 382). Jadi, biar ibadah puasa kita tidak sia-sia, dasarilah dan awalilah puasa tersebut dengan ilmu.
Kali ini Buletin At Tauhid akan mengetangahkan kajian puasa secara ringkas yang banyak merujuk pada Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Ghoyatul Ikhtishor) karya Al Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i (433-593 H), di samping ada tambahan pula dari penjelasan
ulama lainnya.
Puasa secara bahasa berarti menahan diri (al imsak) dari sesuatu.
Sedangkan secara istilah, puasa adalah menahan hal tertentu yang
dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu dengan memenuhi syarat tertentu. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 248).
Dalil Kewajiban Puasa
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.
Dari hadits shahih, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara:
(1) bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
(2) mendirikan shalat,
(3) menunaikan zakat,
(4) haji,
(5) puasa Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih).
Bahkan ada dukungan ijma’ (konsensus ulama) yang menyatakan wajibnya puasa Ramadhan.
Syarat Wajib Puasa
Kata Abu Syuja’, ada empat syarat wajib puasa:
(1) islam,
(2) baligh,
(3) berakal,
(4) mampu menunaikan puasa.
Rukun Puasa
Disebutkan Matan Ghoyatul Ikhtishor, rukun puasa itu ada empat:
(1)
niat,
(2) menahan diri dari makan dan minum,
(3) menahan diri dari
hubungan intim (jima’),
(4) menahan diri dari muntah dengan sengaja.
Niat puasa Ramadhan barulah teranggap jika memenuhi tiga hal:
1- At tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Shubuh.
Dari Hafshoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa
yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. An Nasai no. 2333, Ibnu Majah no. 1700 dan Abu Daud no. 2454. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if.
Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
2- At ta’yiin, yaitu menegaskan niat, yaitu harus ditegaskan apakah
puasa wajib ataukah sunnah.
3- At tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya. (Lihat Al
Fiqhul Manhaji karya Syaikh Musthofa Al Bugho, dkk, hal. 340-341).
Kalau ada yang bertanya bagaimanakah niat puasa Ramadhan, maka mudah
kami jawab, “Engkau berniat dalam hati, itu sudah cukup.” Karena niat
itu memang letaknya di hati. Jadi jika di hati sudah berkehendak mau
menjalankan puasa Ramadhan keesokan harinya, maka sudah disebut berniat.
Salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad Al Khotib berkata,
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Ar Roudhoh.” (Al Iqna’, 1: 404).
Sepuluh Pembatal Puasa
Yang membatalkan puasa ada 10 hal sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’:
(1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh),
(2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala,
(3) segala sesuatu yang masuk
lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur
Patokan makan atau minum bisa jadi pembatal: jika ada yang masuk dari luar ke dalam perut lewat saluran yang terbuka dan dilakukan dengan sengaja dalam keadaan berpuasa. Yang dimaksud jauf di sini adalah berupa rongga. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah contoh yang jadi pembatal adalah tetes telinga karena tetes tersebut masuk dari luar ke perut melalui rongga terbuka. Sedangkan menggunakan celak tidaklah
termasuk pembatal -kata ulama Syafi’iyah- karena mata bukanlah saluran yang sampai ke rongga perut. Sedangkan menelan ludah tidak membatalkan puasa karena berasal dari dalam tubuh. Lihat penjelasan ini dalam Kifayatul Akhyar, hal. 249.
Komentar: Pada kenyataannya, dalil begitu jelas menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa hanyalah makan dan minum saja. Ini berarti bahwa yang dianggap membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk menuju perut (lambung). Inilah yang menjadi batasan hukum dan jika tidak memenuhi syarat ini berarti menunjukkan tidak adanya hukum. Sehingga pendapat terkuat dalam masalah ini, yang dimaksud al jauf adalah perut (lambung), bukan organ lainnya dalam tubuh.
Juga ditambahkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman artinya bisa mengenyangkan, bukan segala sesuatu yang masuk dalam perut. Alasan yang mendukung hal
ini karena yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita.
(4) muntah dengan sengaja
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila
dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, shahih).
(5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan
Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara sengaja dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia (anal sex) atau
selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia).
Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.
(6) keluar mani karena bercumbu.
Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan
bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi
lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa. Lihat Al Iqna’, 1:
408-409 dan Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.
Dalam Hasyiyah Al Baijuri (1: 560) disebutkan bahwa keluarnya madzi
tidak membatalkan puasa, walau karena bercumbu.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium pasangannya.” (Al
Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).
(7) haidh dan (8) nifas
Dari Abu Sa’id Al Khudri ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,
“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?”
(Muttafaqun ‘alaih).
(9) Gila dan (10) Murtad
Tiga Sunnah Puasa
(1) Menyegerakan berbuka puasa
Yang dimaksud di sini adalah ketika matahari telah benar-benar
tenggelam, langsung disegerakan waktu berbuka puasa. Dalilnya adalah dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun
‘alaih)
(2) Mengakhirkan makan sahur
Makan sahur itu disepakati oleh para ulama, hukumnya sunnah (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 252). Mengenai anjuran makan sahur disebutkan dalam hadits, “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.” (Muttafaqun ‘alaih).
Mengenai sunnah mengakhirkan makan sahur di sini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi pun berdiri untuk pergi shalat, lalu beliau shalat. Kami pun berkata pada Anas, “Berapa lama jarak antara waktu selesai makan sahur
dan waktu pengerjaan shalat?” Beliau menjawab, “Sekitar seseorang membaca 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih). Ibnu Hajar berkata, “Hadits di atas menunjukkan jarak antara akhir makan sahur dan mulai shalat.”
(Fathul Bari, 4: 138). Ibnu Abi Jamroh mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan bahwa sahur itu diakhirkan.” (Idem)
(3) Meninggalkan kata-kata kotor
Orang yang berpuasa sangat ditekankan untuk meninggalkan ghibah (menggunjing orang lain) dan meninggalkan dusta, begitu juga meninggalkan perbuatan haram lainnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak
meninggalkan dusta dan malah melakukan konsekuensinya, maka Allah tidak pandang lagi pada makan dan minum yang ia tinggalkan.” (HR. Bukhari).
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata bahwa mencela, berdusta,
ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) dan semacamnya termasuk perbuatan yang haram secara zatnya. Namun dari sisi orang yang berpuasa, hal ini lebih berbahaya karena bisa menghapuskan pahala puasa, walau
puasanya itu sah dan telah dianggap menunaikan yang wajib. Sehingga perkara ini tepat dimasukkan dalam adab dan sunnah puasa. Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 347.
Yang Mendapatkan Keringanan Tidak Puasa
1- Orang yang sudah tua renta (sepuh)
Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu puasa, juga berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa sembuh sakit lagi dari sakitnya (tidak bisa diharapkan sembuhnya).
Dalil dari hal ini adalah riwayat dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas
membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin “. Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu tidaklah mansukh (dihapus). Ayat itu berlaku untuk orang yang sudah sepuh dan wanita yang sudah sepuh yang tidak mampu menjalankan puasa. Maka hendaklah keduanya menunaikan fidyah, yaitu
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa.” (HR. Bukhari).
2- Wanita hamil dan menyusui
Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh shalat
(shalat empat raka’at menjadi tiga raka’at), juga memberi keringanan
tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, hasan
dilihat dari jalur lainnya).
Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata mengenai ayat, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin“, itu adalah keringanan bagi pria dan
wanita yang sudah sepuh yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada
anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud).
3- Orang sakit dan musafir
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. ” (QS. Al Baqarah: 185).
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.
*************************************
Fiqh Imam Syafi'i
Puasa, Hikmah, Rukun Dan Syaratnya
Di: Fiqh Imam Syafi'i
Secara bahasa (etimologi) berarti : menahan. Menurut istilah syara'
(terminologi) berarti menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat tertentu.
Dasar wajib puasa: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (Al-Baqoroh 183) Puasa diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyyah. Hikmah puasa : menahan hawa nafsu,
mengurangi syahwat, memberikan pelajaran bagi si kaya untuk merasakan lapar sehingga menumbuhkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin, dan menjaga dari maksiat. Syarat sah puasa:
1. Islam
2. Berakal
3. Bersih dari haid dan nifas
4. Mengetahui waktu diperbolehkan untuk berpuasa.
Berarti tidak sah puasa orang kafir, orang gila walaupun sebentar,
perempuan haid atau nifas dan puasa di waktu yang diharamkan berpuasa,
seperti hari raya atau hari tasyriq. Adapun perempuan yang terputus haid atau nifasnya sebelum fajar maka puasanya tetap sah dengan syarat telah niat, sekalipun belum mandi sampai pagi. Syarat wajib puasa:
1. Islam
Puasa tidak wajib bagi orang kafir dalam hukum dunia, namun di akhirat mereka tetap dituntut dan diadzab karena meninggalkan puasa selain diadzab karena kekafirannya. Sedangkan orang murtad tetap wajib puasa
dan mengqodho’ kewajiban-kewajiban yang ditinggalkannya selama murtad.
2. Mukallaf (baligh dan berakal). Anak yang belum baligh atau orang gila tidak wajib puasa, namun orang tua wajib menyuruh anaknya berpuasa pada usia 7 tahun jika telah mampu dan wajib memukulnya jika meninggalkan
puasa pada usia 10 tahun.
3. Mampu mengerjakan puasa (bukan orang lansia atau orang sakit). Lansia yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh menurut medis wajib mengganti
puasanya dengan membayar fidyah yaitu satu mud (sekitar 6,5 ons) makanan pokok untuk setiap harinya. 4. Mukim (bukan musafir sejauh ± 82 km dan keluar dari batas daerahnya sebelum fajar). Rukun-rukun puasa: 1. Niat,
Niat untuk puasa wajib, mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar di setiap harinya. Sedangkan niat untuk puasa sunnah, sampai tergelincirnya matahari (waktu duhur) dengan syarat:
a. diniatkan sebelum masuk waktu dhuhur
b. tidak mengerjakan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan lain-lain sebelum niat. Niat puasa Ramadhan yang sempurna: نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَان هذِهِ السَّنَة ِللهِ
تَعَالَى Saya niat mengerjakan kewajiban puasa bulan Ramadhan esok hari pada tahun ini karena Allah SWT.
1. Menghindari perkara yang membatalkan puasa. Kecuali jika lupa atau dipaksa atau karena kebodohan yang ditolerir oleh syari’at (jahil ma’dzur). Jahil ma’dzur/kebodohan yang
ditolerir syariat ada dua:
a. hidup jauh dari ulama’.
b. baru masuk islam. Hal-hal yang membatalkan puasa :
1. Masuknya sesuatu ke dalam rongga terbuka yang tembus ke bagian dalam tubuh seperti mulut, hidung, telinga dan lain-lain jika ada unsur kesengajaan, mengetahui
keharamannya dan atas kehendak sendiri. Namun jika dalam keadaan lupa, tidak mengetahui keharamannya karena bodoh yang ditolerir atau dipaksa, maka puasanya tetap sah.
1. Murtad, sekalipun masuk islam seketika.
2. Haid, nifas dan melahirkan sekalipun sebentar.
3. Gila meskipun
sebentar.
4. Pingsan dan mabuk sehari penuh. Jika masih ada kesadaran
sekalipun sebentar, tetap sah.
5. Bersetubuh dengan sengaja dan
mengetahui keharamannya.
6. Mengeluarkan mani dengan sengaja, seperti dengan tangan atau dengan menyentuh istrinya tanpa penghalang.
7. Muntah dengan sengaja.
Masalah masalah yang berkaitan dengan puasa:
1. Apabila seseorang berhubungan dengan istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja, tanpa terpaksa dan mengetahui keharamannya maka puasanya batal, berdosa, wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sampai maghrib dan wajib mengqodhoi puasa serta wajib membayar kaffaroh [denda]
yaitu: - membebaskan budak perempuan yang islam - jika tidak mampu, wajib berpuasa dua bulan berturut turut, - jika tidak mampu maka wajib memberi makanan pada 60 orang miskin masing-masing berupa 1 mud (sekitar 6,5 ons) dari makanan pokok. Denda ini wajib dikeluarkan hanya bagi laki
laki.
2. Hukum menelan dahak : * Jika telah mencapai batas luar tenggorokan, maka haram menelan dan membatalkan puasa. * Jika masih di batas dalam tenggorokan, maka boleh dan tidak membatalkan puasa. Yang dimaksud batas luar menurut pendapat Imam Nawawi (mu’tamad) adalah makhroj huruf ha’ (ح), dan dibawahnya adalah batas dalam. Sedangkan
menurut sebagian ulama’ batas luar adalah makhroj huruf kho’(خ), dan di bawahnya adalah batas dalam.
3. Menelan ludah tidak membatalkan puasa dengan syarat: - Murni (tidak tercampur benda lain) - Suci - Berasal dari sumbernya yaitu lidah dan mulut, sedangkan menelan ludah yang berada pada bibir luar membatalkan puasa karena sudah di luar mulut.
4. Hukum masuknya air mandi ke dalam rongga dengan tanpa sengaja: - Jika sebab mandi sunnah seperti mandi untuk sholat jum’at atau mandi wajib seperti mandi janabat maka tidak membatalkan puasa kecuali jika sengaja
atau menyelam. - Jika bukan mandi sunnah atau wajib seperti mandi untuk membersihkan badan maka puasanya batal baik disengaja atau tidak.
5. Hukum air kumur yang tertelan tanpa sengaja: * Jika berkumur untuk kesunnahan seperti dalam wudhu’ tidak membatalkan puasa asalkan tidak terlalu ke dalam (mubalaghoh) * Jika berkumur biasa, bukan untuk kesunnahan maka puasanya batal secara mutlak, baik terlalu ke dalam (mubalaghoh) atau tidak.
6. Orang yang muntah atau mulutnya berdarah wajib berkumur dengan mubalaghoh (membersihkan hingga ke pangkal
tenggorokan) agar semua bagian mulutnya suci. Apabila ia menelan ludah tanpa mensucikan mulutnya terlebih dahulu maka puasanya batal sekalipun ludahnya nampak bersih.
7. Orang yang sengaja membatalkan puasanya atau
tidak berniat di malam hari, wajib menahan diri di siang hari Ramadhan dari perkara yang membatalkan puasa (seperti orang puasa) sampai maghrib
dan setelah Ramadhan wajib mengqodhoi puasanya.
8. Berbagai konsekuensi bagi orang yang tidak berpuasa atau membatalkan puasa Ramadhan:
1. Wajib qodho’ dan membayar denda : * Jika membatalkan puasa demi orang lain.
Seperti perempuan mengandung dan menyusui yang tidak puasa karena kuatir pada kesehatan anaknya saja. * Mengakhirkan qodho’ hingga datang Ramadhan lagi tanpa ada udzur.
2. Wajib qodho’ tanpa denda. Berlaku bagi orang yang tidak berniat puasa di malam hari, orang yang membatalkan puasanya dengan selain jima’ (bersetubuh) dan perempuan hamil atau
menyusui yang tidak puasa karena kuatir pada kesehatan dirinya saja atau kesehatan dirinya dan anaknya.
3. Wajib denda tanpa qodho’. Berlaku bagi orang lanjut usia dan orang sakit yang tidak punya harapan sembuh, jika keduanya tidak mampu berpuasa.
4. Tidak wajib qodho’ dan tidak wajib denda. Berlaku bagi orang yang gila tanpa disengaja. Yang dimaksud denda di sini adalah 1 mud (7,5 ons) makanan pokok daerah setempat untuk setiap harinya. Hal-hal yang disunnahkan dalam puasa Ramadhan:
1. Menyegerakan berbuka puasa.
2. Sahur, sekalipun dengan seteguk air.
3. Mengakhirkan sahur, dimulai dari tengah malam.
4. Berbuka dengan kurma.
Disunnahkan dengan bilangan ganjil. Bila tak ada kurma, maka air
zam-zam. Bila tak ada, cukup dengan air putih. Bila tak ada, dengan apa saja yang berasa manis alami. Bila tak ada juga, berbuka dengan makanan atau minuman yang diberi pemanis.
5. Membaca doa berbuka yaitu: اَللّهُمَّ لَكَ
صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلىَ رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ اِنْ شَاءَ
اللهُ .اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ اَللّهُمَّ اِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ
الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ اَنْ تَغْفِرَ لِي . 6. Memberi makanan berbuka kepada orang
berpuasa.
7. Mandi janabat sebelum terbitnya fajar bagi orang yang junub di malam hari.
8. Mandi setiap malam di bulan Ramadhan
9. Menekuni sholat tarawih dan witir.
10. Memperbanyak bacaan Al Quran dengan berusaha memahami artinya.
11. Memperbanyak amalan sunnah dan amal sholeh.
12. Meninggalkan caci maki.
13. Berusaha makan dari yang halal
14. Bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir, dan lain-lain Hal-hal yang dimakruhkan dalam puasa Ramadhan:
1. Mencicipi makanan.
2. Bekam [mengeluarkan darah].
3. Banyak tidur dan terlalu kenyang. 4. Mandi dengan menyelam.
5. Memakai siwak setelah masuk waktu duhur. Hal hal yang membatalkan pahala puasa:
1. Ghibah (gosip)
2. Adu domba
3. Berbohong
4. Memandang dengan syahwat
5. Sumpah palsu.
6. Berkata jorok
atau jelek Rasulullah SAW bersabda : خمس يفطّرن الصائم الكذب والغيبة
والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة “ Lima perkara yang membatalkan
(pahala) puasa : berbohong, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat “ (H.R. Anas)
************************************
Fikih Puasa (4): Pembatal Puasa
Serial kali ini, kita akan melanjutkan mengenai pembatal puasa lainnya yang sebelumnya telah sampai pada pembatal keempat.
Serial kali ini, kita akan melanjutkan mengenai pembatal puasa lainnya
yang sebelumnya telah sampai pada pembatal keempat.
Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Al Ghoyah wat Taqrib menyebutkan sebelumnya,
Yang membatalkan puasa ada 10 hal:
(1) segala sesuatu yang sampai ke
jauf (dalam rongga tubuh),
(2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala,
(3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur,
(4) muntah dengan sengaja,
(5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan,
(6) keluar mani karena bercumbu, (7) haidh,
(8) nifas,
(9) gila,
(10) keluar dari Islam (murtad).
(5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan
Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara sengaja dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia (anal sex) atau
selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia).
Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.
Sedangkan jika dilakukan dalam keadaan lupa dan tidak mengetahui
haramnya, maka tidak batal sebagaimana ketika membahas tentang pembatal puasa berupa makan. Lihat bahasan dalam Al Iqna’, 1: 408 dan Syarh Al
Baijuri, 1: 559-560.
Dalil yang menunjukkan bahwa bersetubuh termasuk pembatal adalah firman
Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid” (QS. Al Baqarah: 187). Tubasyiruhunna dalam ayat ini bermakna menyetubuhi.
(6) keluar mani karena bercumbu
Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan
bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi
lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa. Lihat Al Iqna’, 1:
408-409 dan Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.
Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal jika
mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak haram seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan
intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan
dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam (mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus ulama). (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Dalam Hasyiyah Al Baijuri (1: 560) disebutkan bahwa keluarnya madzi
tidak membatalkan puasa, walau karena bercumbu.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium pasangannya.” (Al
Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).
(7) haidh dan (8) nifas
Dari Abu Sa’id Al Khudri ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR.
Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79).
Muhammad Al Hishni, penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Telah ada
nukilan ijma’ (sepakat ulama), puasa menjadi tidak sah jika mendapati haidh dan nifas. Jika haidh dan nifas didapati di pertengahan siang, puasanya batal.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Jika seorang wanita mendapati haidh dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haidh atau nifas di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia wajib mengqodho’ puasa pada hari tersebut.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).
(9) Gila dan(10) Murtad
Kedua sifat ini membuat puasa tidak sah. Karena orang yang dalam keadaan gila dan murtad tidak dikenai kewajiban ibadah (bukan ‘ahliyatul ‘ibadah’).
Muhammad Al Hishni berkata, “Jika datang gila atau ada yang murtad, maka batallah puasa karena tidak termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Bagaimana dengan orang yang pingsan?
Dijelaskan oleh Muhammad Al Hishni bahwa jika hilang kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahari, -pen), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251 dan Hasyiyah Al Baijuri, 1: 561.
Bagaimana dengan orang yang tidur seharian, apakah puasanya sah?
Ada ulama yang mengatakan tidak sah sebagaimana perihal pingsan di atas.
Namun yang shahih dari pendapat madzhab Syafi’i, tidur seharian
tersebut tidak merusak puasa karena orang yang tidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251.
Demikian pembahasan mengenai pembatal puasa. Moga bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Wallahu waliyyut taufiq.
*********************************
Fidyah Di Dalam Puasa
Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia
membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.
Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak
dibenarkan dalam agama kita.
Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan
beberapa hal berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allah memberikan taufikNya kepada kita untuk ilmu yang bermanfa’at, serta amal shalih yang Dia ridhai.
A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah (فدية) atau fidaa (فدى) atau fida` (فداء) adalah satu makna. Yang
artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya.
Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”,
yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.
B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allah telah menyebutkan tentang fidyah dalam KitabNya Yang Mulia.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
ا”Beberapa hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah
(kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila
kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui”. [Al
Baqarah : 184].
Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allah :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“(Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka
dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin)”.
Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah? Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits
Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa`, kemudian ayat ini telah
dimansukh dengan firman Allah:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah dia berpuasa -Al Baqarah ayat 185-)”.
Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak
dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni يطوقونه . Artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.
Dari ‘Atha, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang
miskin”. [Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir].
Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa’di di dalam tafsirnya: “Dan ada
pendapat yang lain, bahwa ayat :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah
tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar”.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: “Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allah menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian
hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa.
Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah”.
C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
1. Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan
pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa’id bin Jubair, Abu
Hanifah, Ats Tsauri dan Auza’i.
2. Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.
Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.
Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allah menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?
Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia
tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa.
Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :
1. Wanita Hamil Dan Wanita Yang Menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka.
Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa,
maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan
anaknya.
Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah?
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.
Pendapat Pertama : Wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk
mengqadha` tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha` dan membayar fidyah.
Dalil dari pendapat ini ialah surat Al Baqarah ayat 185, yaitu tentang
keumuman orang yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha` puasa ketika mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas:
اَلْمُرْضِعُ وَالْحُبْلَى إذَا خَافَـتَا عَلىَ أوْلَادِهِمَا أفْطَرَتاَ وَأَطْعَمَتَا
“Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya,
maka keduanya berbuka dan memberi makan”. [HR Abu Dawud, dan dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18].
Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar;
dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al Albani di dalam Irwa’.
Ibnu Qudamah berkata,”Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk mengqadha`. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha` dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi’i.
Pendapat Kedua : Tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha’, akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.
Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas:
إنَّ اللهَ وَضَعَ الصِّـيامَ عَنِ الْحُبْلَى وَ الْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang
menyusui”. [HR Al Khamsah].
Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha’, namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.
Pendapat Ketiga : Wajib bagi mereka untuk mengqadha’ saja.
Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha’, karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan. Adapun hadits “Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”, maka yang dimaksud ialah, bahwa Allah menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha’. Pendapat ini merupakan
madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha’i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika
takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha’ (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).
Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pendapat inilah yang paling kuat.
Beliau (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka’bi,
dia berkata, Rasulullah telah bersabda:
إِنَّ الهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنْ الْحُبِْلَى وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa”. [HR Al Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih], akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha’ dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.
Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami kutip nash fatwa tersebut dibawah ini.
Pertanyaan Yang Ditujukan Kepada Lajnah Daimah.
Soal : Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha’? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha’, tetapi tidak
membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha’?
Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?
Jawab : Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin
yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa. Allah berfirman:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain”.
Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap
dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja.
Dan semoga Allah memberikan taufiq.
2. Orang Yang Mempunyai Kewajiban Untuk Mengqadha’ Puasa, Akan Tetapi Dia Tidak Mengerjakannya Tanpa Udzur Hingga Ramadhan Berikutnya.
Pendapat Yang Pertama : Wajib baginya untuk mengqadha’ dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi’i, dan Ahmad).
Bahkan menurut madzhab Syafi’i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha’ puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).
Dalil dari pendapat ini adalah:
Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha’ bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Ibnu Abbas dan Abu Hurairah meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha’ hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang
tersebut, Red) memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.
Pendapat Kedua : Tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam mengqadha’ puasanya. Ini merupakan
madzhab Abu Hanifah, dan merupakan pendapat Al Hasan dan Ibrahim An Nakha’i. Karena hal itu merupakan puasa wajib, ketika dia
mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.
Berkata Imam Asy Syaukani: “Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)”.
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang
benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk
berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha”.
Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur.
Berarti, (bagi) orang yang mengakhirkan mengqadha’ hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar fidyah.
Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha’, kemudian mati sebelum mengerjakannya.
Kedua : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha’nya, maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha’, tetapi karena dia
mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.
Ketiga : Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.
D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH.
Tidak disebutkan di dalam nash Al Qur`an atau As Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada ‘urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah
memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.
Pendapat Ulama Tentang Kadar Dan Jenis Fidyah.
Berkata Imam An Nawawi: “(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada
pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih
di antara jenis makanan yang ada”.
Imam An Nawawi juga berkata: “Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan.
Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja”.
Ukuran Satu Mud.
Satu mud adalah seperempat sha’. Dan sha’ yang dimaksud ialah sha’
nabawi, yaitu sha’-nya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu sha’ nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram.
Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha’ nabawi adalah
empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha’ nabawi sama dengan 3000 gram.
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha’ (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada
orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.
E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.
Pertama : Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua.
Disebutkan dari Anas bin Malik, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil).
Kedua : Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum
dimasak. Para ulama berkata: “Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha’ dari selainnya. Akan tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan”.
F. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH.
Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka
membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas ketika beliau tua. Dan tidak boleh
mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti
mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban.
Wallahu Ta’ala A’lam.
*************************************
Pengertian Puasa Menurut Empat Imam Mazhab
Sebagai kaum Suni (Sunah Wa Al Jama’ah) kita mungkin mengenali empat mazhab dalam Islam, lebih
spesifiknya mazhab Fiqih (tata cara atau syari’at dalam menjalankan
ibadah) yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam hambali.
Kali ini penulis akan membahas sedikit saja pengertian puasa menurut empat Imam Madzhab.
Terdapat perbedaan-perbedaan (baca: ikhtilaf) mazhab dalam menjalankan syari’at Islam. Penyebab perbedaan tersebut tidak akan dibahas di kesempatan kali ini, mudah-mudahan mimin sanggup menulis di artikel yang
lain.
Yang akan saya bahas dalam artikel ini adalah puasa menurut empat imam mazhab di atas.
Daftar Isi:
* Penentuan Awal Ramadhan
* Niat Puasa Ramadhan
* Kewajiban Berpuasa
* Hal-Hal yang Membatalkan dan Menghilangkan Pahala Puasa
* Mengganti Puasa
* Amalan Sunnah Utama Saat Puasa
Tulisan ini saya kutip dari buku Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaaf al
A’immah karya Syeikh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi yang kemudian dialihbahasakan dengan judul *Fiqih Empat Mazhab*.
Penentuan Awal Ramadhan
Empat imam mazhab sepakat bahwa puasa Ramadhan wajib apabila telah melihat hilal atau bulan Sya’ban sempurna 30 hari.
Perbedaan pendapatnya adalah jika bulan tidak bisa dilihat karena faktor cuaca seperti terhalang mendung atau kabut tebal. Tiga imam berpendapat tidak wajib berpuasa dan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Sedangkan Imam Hambali berpendapat tetap wajib berpuasa.
Berhubungan dengan siapa yang harus dipercaya saat melihat hilal, Imam Hanafi berpendapat orang yang dapat dipercaya adalah orang yang memiliki ilmu yaqin.
Imam Maliki berpendapat kesaksian dua orang yang adil. Imam Syafi’i dan Imam Hambali memiliki dua pendapat namun empat imam mazhab sependapat bahwa kesaksian seorang saja dalam melihat hilal belum cukup.
Oleh karena itu, di negara kita beberapa waktu lalu pemerintah dan organisasi independen melihat hilal di beberapa tempat di seluruh
Indonesia. Jadi sudah mulai kita pahami kenapa yang melihat hilal di
banyak tempat.
Di sinilah kita akan tahu mengapa puasa di hari akhir bulan Sya’ban
hukumnya makruh, karena tiga mazhab berpendapat tidak sah puasa pada hari syak (diragukan apakah hilal sudah terlihat atau belum) sedang Imam Hambali berpendapat jika langit terang makruh berpuasa pada hari itu dan
jika langit mendung maka wajib berpuasa (memulai puasa Ramadhan).
Empat imam mazhab sepakat apabila hilal dilihat oleh banyak orang di sebuah negara (contoh: Indonesia) maka semua orang Islam di dunia wajib berpuasa. Imam Syafi’i berpendapat lain, yang wajib adalah orang Islam yang dekat dengan tempat itu saja bukan yang jauh. Ukuran jarak jauh adalah seperti melakukan perjalanan yang diperbolehkan mengqashar shalat.
Zaman sekarang perjalanan Jakarta – Jayapura sepertinya tidak perlu
mengqashar shalat (ini hanya pendapat saya).
Empat mazhab juga sepakat penetapan menurut hisab (perhitungan tanggal)
tidak dapat dijadikan acuan. Dalam hal ini tetap mengutamakan
penglihatan pada hilal. Kecuali menurut Ibn Suraij – salah satu pengikut Imam Syafi’i – memperbolehkan mengacu pada hisab.
Niat Puasa Ramadhan
Niat berpuasa wajib hukumnya, menurut kesepakatan empat mazhab dan tidak sah jika tidak niat.
Tiga imam mazhab berpendapat bahwa niat wajib diucapkan (tidak dalam hati saja), sedangkan Imam Hanafi berpendapat tidak wajib diucapkan.
Waktu niat berpuasa menurut tiga mazhab adalah antara terbenamnya
matahari (waktu Maghrib) hingga fajar shodiq (matahari terbitufuk).
Sedangkan Imam Hanafi berpendapat boleh niat pada malam hari, jika tidak di malam hari, diperbolehkan niat sampai matahari condong ke barat (waktu Zuhur).
Hanya Imam Maliki yang berpendapat bahwa niat puasa cukup satu kali, yaitu pada awal malam Ramadhan pertama dengan diniatkan berpuasa sepanjang bulan Ramadhan. Sedangkan menurut tiga imam lain niat puasa harus dilakukan setiap hari.
Kewajiban Berpuasa
Orang Islam yang telah baligh dan berakal wajib melaksanakan puasa
kecuali wanita yang sedang haid dan nifas, maka bagi mereka haram
hukumnya berpuasa. Jika pun tetap berpuasa maka tidak sah dan wajib
mengganti di hari yang lain.
Wanita yang sedang hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan
menggantinya di hari lain jika khawatir terhadap kesehatan dirinya dan anaknya dan tetap sah jika berpuasa. Namun jika kekhawatiran hanya terhadap kesehatan anaknya saja maka wajib mengganti dan membayar
kafarah yaitu satu mud setiap harinya. Demikian menurut Imam Syafi’i dan Imam hambali.
Sedangkan Imam Hanafi berpendapat tidak wajib kafarah. Imam Maliki berpendapat lain, wajib kafarah untuk wanita yang menyusui dan tidak wajib bagi wanita yang hamil. Pendapat kedua Imam Maliki adalah tidak ada kafarah atas keduanya.
Empat imam mazhab sepakat bahwa musafir dan orang sakit yang tidak bisa disembuhkan boleh tidak berpuasa dan sah jika tetap berpuasa. Namun jika membahayakan diri mereka maka hukumnya makruh.
Imam Hambali berpendapat boleh musafir membatalkan puasanya apabila hari sebelumnya berpuasa kemudian melakukan perjalanan. Sedangkan tiga imam lain berpendapat tidak boleh membatalkan puasa.
Anak kecil yang belum mampu dan orang gila permanen tidak wajib
berpuasa. Dianjurkan kepada orang tua untuk memerintahkan anaknya
berpuasa saat umur 7 tahun, dan jika tidak berpuasa di umur 10 tahun diperbolehkan ‘memukul’ anaknya (maaf pakai tanda kutip, agak sedikit sensitif urusan KDRT di negeri kita).
Orang sakit yang tidak bisa disembuhkan dan orang tua renta tidak wajib berpuasa namun diwajibkan membayar fidyah. Demikian pendapat Imam
Hanafi dan pendapat paling shahih dari Imam Syafi’i. Imam Hambali
berpendapat hanya wajib memberi makan satu sha kurma atau satu
mud gandum. Sedangkan Imam Maliki berpendapat tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah.
Hal-Hal yang Membatalkan dan Menghilangkan Pahala Puasa
Para imam mazhab sepakat bahwa junub hingga waktu subuh puasanya sah, tetapi disarankan jika mandi janabah sebelum subuh.
Berdusta dan menggunjing (ghibah) atau membicarakan keburukan orang lain makruh hukumnya saat sedang berpuasa, demikian menurut empat imam mazhab.
Hal yang sering terjadi, jika seseorang makan atau minum karena menyangka sudah waktu berbuka atau belum subuh kemudian ia mengetahui
kebenarannya maka ia wajib mengganti puasanya.
Orang yang hanya berniat membatalkan puasa menurut tiga imam mazhab tidak batal. Sedangkan menurut Imam Hambali batal.
Jika seseorang sengaja muntah, pendapat Imam Maliki dan Syafi’i puasanya batal. Pendapat Imam Hanafi puasanya tidak batal kecuali memenuhi rongga mulutnya. Sedangkan pendapat paling masyhur Imam Hambali tidak batal
puasanya kecuali banyak dan mengotori badannya.
Jika diantara gigi ada sisa makanan maka puasanya tidak batal jika tidak mampu mengeluarkannya, namun jika menelannya hukum puasa menjadi batal.
Demikian menurut tiga imam mazhab, berbeda pendapat dengan Imam Hanafi bahwa puasanya tidak batal.
Memasukkan obat ke dalam perut melalui lubang dubur membatalkan puasa kecuali menurut satu riwayat dari Imam Maliki.
Meneteskan obat ke lubang telinga dan kemaluan membatalkan puasa,
demikian pendapat Imam Syafi’i.
Bekam (mengeluarkan darah dalam rangka pengobatan) makruh dilakukan saat berpuasa tetapi tidak membatalkan puasanya. Menurut Imam hambali orang yang melakukan bekan dan dibekam puasanya batal.
Apabila seseorang ragu apakah fajar sudah terbit atau belum namun tetap meneruskan makan, maka puasanya batal, demikain kesepakatan empat imam
mazhab.
Orang yang bersetubuh dalam keadaan berpuasa secara sengaja maka puasanya batal dan telah berbuat durhaka kepada Allah. Wajib menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dan wajib membayar kafarah kubra, yaitu memerdekakan seorang hamba sahaya. Jika tidak mampu maka
wajib puasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu maka wajib memeri makan 60 orang miskin.
Imam Maliki berpendapat boleh memilih salah satunya dan lebih utama memberi makan 60 orang miskin.
Para imam mazhab sependapat kafarah tidak wajib selain puasa di bulan Ramadhan.
Jika suami isteri sedang berhubungan dan fajar telah terbit puasa keduanya tetap sah apabila berhenti seketika itu juga. Jika tetap
meneruskannya maka batal dan wajib mengganti tetapi tidak wajib membayar kafarah, demikain pendapat Imam Hanafi. Imam Maliki berpendapat, jika berhenti wajib mengganti puasa dan jika diteruskan wajib mengganti dan
membayar kafarah. Imam Syafi’i berpendapat, jika berhenti seketika tidak diwajibkan mengganti atau kafarah tetapi jika diteruskan maka wajib keduanya. Dan Imam Hambali berpendapat wajib membayar keduanya baik berhenti ataupun diteruskan.
Bermesraan atau berkhalawat saat berpuasa hukumnya haram jika
menimbulkan syahwat, demikian menurut Imam Hanafi dan Syafi’i. Imam Maliki berpendapat mutlak haram meski tidak menimbulkan syahwat. Saat bermesraan keluar air madzi puasanya tidak batal menurut tiga mazhab, sedangkan menurut Imam Hambali batal puasanya.
Orang yang makan dan minum karena lupa tidak membatalkan puasa menurut tiga imam dan batal menurut Imam Maliki.
Jika air kumur-kumur dan yang dihirup ke hidung dalam wudhu terlanjur masuk ke kerongkongan maka puasanya batal menurut Imam Hanafi dan Imam Maliki. Menurut Imam Syafi’i tidak membatalkan puasa sama halnya menurut
Imam Hambali.
Jika seseorang pingsan sepanjang hari, puasanya batal menurut empat
mazhab. Berbeda dengan orang yang tidur seharian puasanya tetap sah.
Tidak makruh menyikat gigi saat puasa menurut tiga mazhab. Imam Syafi’i berpendapat jika dilakukan sebelum zuhur tidak makruh, sebaliknya jika dilakukan setelah zuhur hukumnya makruh.
Mengganti Puasa
Orang yang mempunyai hutang puasa Ramadhan wajib mengganti sesegera mungkin dan tak boleh menunda-nunda. Jika ditunda sampai datang Ramadhan
berikutnya tanpa uzur maka berdosa, wajib mengganti, dan wajib membayar satu mud satiap hari menurut tiga imam. Menurut Imam Hanafi boleh menundanya dan tidak diwajibkan membayar kafarah.
Jika orang tersebut meninggal dunia sebelum mampu mengganti puasa maka tidak berdosa menurut kesepakatan para mazhab. Menurut Thawus dan Qatadah wajib memberi makan setiap hari kepada orang miskin.
Jika ia meninggal sesudah mampu mengganti maka wajib membayar kafarah setiap hari satu mud, menurut Imam Hanafi dan Imam Maliki. Menurut Imam Syafi’i ada dua pendapat, yaitu wajib membayar satu mud setiap hari dan
kedua wali/kerabat mempuasakannya. Sedangkan menurut Imam Hambali jika
puasa Ramadhan wajib memberi makan orang miskin dan jika puasa nazar walikerabat wajib mempuasakannya.
Amalan Sunnah Utama Saat Puasa
Imam Hanafi dan Maliki berpendapat amalan sunnah utama adalah ilmu dan jihad. Imam Syafi’i berpendapat shalat merupakan amalan fisik paling utama. Imam Hambali berpendapat tidak ada amalan utama selain yang
fardhu kecuali jihad.
Demikian pengertian puasa menurut empat imam mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Mohon maaf jika ada yang kurang.
Semoga Manfaat.
************************************
Perbandingan Mazhab Tentang Puasa
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Puasa tidak sekedar menahan haus dan lapar saja tapi Dalam berpusa
banyak sekali hokum-hukum yang mengatur tentang ketentuan berpuas. Puasa merupakan suatu keharusan ibadah yang wajib dilaksanakan oleh umat
islam. Dan apabila puasa itu ditiggalkan maka kita wajib menggantinya.
Puasa mulai diwajibkan pada bulan sya’ban, tahun ke dua hijriyah.
Puasa merupakan fardu ain. Dalam hal ini semua ulam sepakat tapi banyak hal-hal yang dipertanyakan kekika menjalani puasa. Maka jarang pada setiap permasalahan dalam berpusa cara penyelesaianya pun berbeda-beda antara uama satu dengan ulama yang lainya. Oleh sebab itu perlu kita kaji apa saja yang menjadi masalah dalam berpuasa dan bagai mana
penyelesain nya menurut ulama mazhab.
B. RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana pengengertian puasa?
2.Bagaimana pendapat ulama tentang puasanya orang mabuk dan arang yang gila?
3.Apa saja yang dapat menyebabkan batalnya ibadah puasa?
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1.Untuk mengetahui apa itu berpusa
2.Untuk mengetahui pendapat ulama mazhab dengan puasanya orang yang mabuk dan orang gila?
3.Untuk mengetahui apa saja yang dapat membatalkan puasa?
BAB II
PEMBAHASA
A. PENGERTIAN PUASA RAMADHAN
Puasa pada bulan ramadhan merupakan salah sutu rukun dari beberapa rukun agama, dan orang yang mengingkarinya berate telah keluar dari islam, karena ia seperti sholat.
Berikut dalil Al Qur’an dan Hadits Puasa Ramadhan :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُكَمَاكُتِبَعَلَىالَّذِينَمِنْقَبْلِكُمْلَعَلَّكُمْتَتَّقُونَ
“Hai orang2 yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang2 sebelum kamu. Mudah2an kamu bertakwa” (Al -Baqarah:183)
Dari ayat di atas jelas bahwa puasa itu adalah wajib. Artinya jika
dikerjakan berpahala, dan jika tidak dikerjakan kita berdosa.
Yaitu ditetapkan dengan keharusan dan ketetapan itu diketahui baik oleh yang bodoh aupun yang alim, dewasa maupun yang anak-anak. Puasa mulai diwajibkan pada bulan sya’ban, tahun kedua hijriyah. Puasa merupakan fardu ‘ain’ bagi setiap mukallaf, dan tak seorangpun diperbolehkan
berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab sebagai berikut;
1.Haid dan nifAS : Para ulama sepakat bahwa billa seorang wanita
haid atau nifas, puasanya tidak sah.
2.Sakit : dalam hal ini ulama mazhab berbeda pendapat:
Imamiyah: seorang yang ditimpa suatu penyakit tidak boleh berpuasa, begitu pula jika akan mengakibatkan penyakit bertambah parah, atau akan memperlambat kesembuhan, karena sakit itu berbahaya, dan membahayakan
diharamkan. Melakun ibadah itu dilarang apabila menimbulkan bahaya bagi diriya, dan bila terpaksa berpuasa dalam keadaan sakit, maka puasanya tidak sah. Untuk mengetahui apakah ia (orang yang berpuasa) itu sakit, atau penyakit akan bertambah, cukup baginya mempergunakan perkiraan sendiri.
Kalau dirinya sangat lemah, bukan menjadi sebab dibolehkan nya berbuka, selama kelemahan itu sudah biasa bagi dirinya, karena yang menjadi sebab diharuskannya (kwajibannya) berbuka adalah sakit itu sendiri, bukan kelemahan, keletihan, dan kelelahan.
Empat mazhab: kalau orang yang berbuka itu sakit, dan ia khawatir dengan berpuasa itu akan menambah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya,
maka bila suka berpusalah bilatidak berbukalah.
Tetapi tidak ada ketentuan (keharusan ) baginya, karena berbuka itu merupakan keringanan, bukan keharusan bagi orang yang berada dalam keadaan sakit. Tetapi kalu menurut perkiraanya sendiri bahwa dengan berpusa itu sendiri dapat menimbulkan bahaya, atau akan membahayakan salah satu anggota indranya, maka dia harus berbuka dan bila trus berpuasa, puasanya tidak sah.
Orang kafir tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha' (mengganti) begitulah menurut jumhur (mayoritas) ulama, bahkan kalaupun mereka melakukannya tetap dianggap tidak sah. Hanya saja ulama berbeda pendapat
dalam menentukan apakah syarat islam ini syarat wajib atau syarat sahnya puasa? Dan yang melatarbelakangi mereka dalam hal ini adalah karena adanya perbedaan mereka dalam memahami ayat kewajiban puasa, mengenai
apakah orang kafir termasuk di dalamnya atau tidak. (baca Surat Al
Baqarah ayat 183)
Menurut Ulama Hanafiyah: orang kafir tidak termasuk dalam ketentuan wajib puasa. Sementara jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mereka
tetap termasuk dalam setiap firman Allah. Dengan demikian mereka
dibebani untuk melakukan semua syariatNya (dalam hal ini mereka wajib memeluk agama Islam kemudian melakukan puasa). Jadi menurut pendapat pertama (Hanafiyah) mereka hanya menaggung dosa atas kekafirannya
sementara menurut pendapat kedua (Jumhur Ulama) mereka menanggung dosa kekafiran dan meninggalkan syariat.
Maka jika ada seorang kafir masuk Islam pada bulan ramadhan dia wajib melaksanakan puasa sejak saat itu. Sebagaimana firman Allah "Katakanlah pada orang kafir bahwa jika mereka masuk islam akan diampuni dosanya yang telah lalu" (QS. Al Anfal:38).
B. HUKUM BERPUASA BAGI ORANG YANG MABUK ATAU HILANG AKAL
Kita telah menjelaskan diatas bahwa puasa Ramadhon itu wajib ain’ bagi tiap mukallaf. Dan yang dinamakan mukalaf itu adalah orang yang sudah baligh dan berakal. Maka puasa tidak diwajibkan bagi orang yang gila
ketika sedang gila. Dan kalau dia berpuasa maka puasanya tidak sah. Anak kecil tidak diwajibkan untuk berbuka puasa, tetapi puasanya tetap sah, kalau dia sudah mumayyiz. Dan tidak boleh tidak , bahwa syarat sahnya puasa adalah islam dan disertai niat.
Syafi’I;menurut syafi’i bagi orang yang mabuk atau pingsan kalau
perasaan orang yang mabuk atau pingsan hilang sepanjang waktu puasa, maka puasanya tidak sah. Tetapi kalau hanya sebagian waktu saja, maka puasanya sah. Namun bagi orang yang pingsan wajib meng-qodho’nya secara mutlak. Baik pingsanya disebabkan oleh diri sendiri atau karena dipaksa.
Tetapi bagi orang yang mabuk tidak wajib meng-qodho’nya kecuali mabuknya disebabkan oleh dirinya secara khusus.
Maliki: orang yang mabuk dan pingsan mulai dari terbitnya fajar
sampai terbenamnya matahari , atau tidak sadar dari sebagian besar waktunya berpuasa, maka puasanya tidak sah. Tetapi kalau tidak sadar hanya setengah hari, atau lebih sedikit dan mereka sadar pada waktu niat, dan berniat, kemudian jatuh mabuk dan pingsan, maka mereka tidak
diwajibkan meng-qodho’nya. Waktu niat puasa menurut adalah dari magrib sampai fajar.
Hanafi: orang yang pingsan adalah seperti orang gila, dan orang gila
hukumnya : kalau gilanya selama satu bulan ramadhan penuh, maka dia tidak diwajibkan meng-qodho’nya. Tetapi kalau gilanya itu hanya setangah bulan, dan setengah bulan akhir nya ai sadar, maka dia tetap harus berpuasa,dan wajib mengganti hari-hari yang ditinggalkan pada waku
gila.
Hambali: bagi orang yang mabuk dan pingsan wajib meng-qodho’nya, baik karena perbuatan diri sendiri atau karena dipaksa.
Imamiyah: hanya bagi orang yang mabuk saja yan, wajib menggantinya baik karena perbuatan sendiri atau tidak, tetapi bagi orang pingsan tidak dieajibkan meng-qodhonya sekalipun pingsanya hanya sebentar.
C. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
1.Makan dan minumm dengan sengaja, karena keduannya dapat
membatalkan puasa. Dan bagi orng yang makan dan minum dengan sengaja wajib meng-qodho’nya, menurut semua ulama mazhab.
2.Bersetubuh denggan sengaja, ia membatalkan puasa dan bagi yang
melakukan persetubuhan wajib menggantinya dan membayar kifayah, menurut semua ulama mazhab.
3.Istimma: yaitu mengeluarkan mani, ia merusak puasa menurut ulama mazhab secara sepakat, bila dilakukan secara sengaja.
4.Muntah dengan sengaja, dapat merusak puasa. Dan menurut
imamiyah, syafi’I dan maliki: wajib meng-qodho’nya. Tetapi menurut
hambali: ada dua riwayat,bahwa muntah dengan terpaksa tidak membatalkan puaasa.
5.Imamiyah menenggelamkan seluruh kepalanya kedalam air bersama badannya atau tidak dengan badan nya, ia dapat membatalkan puasa dan
wajib meng-qodho’nya dan juga wajib membayar kifayah. Tetapi menurut mazhab-mazhab yang lain hal ini tidak membatalkan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut kami uraian tentang pentingnya mengetahi apa yang menjadi permasalahan dalam berpuasa sangatlah perlu untuk kita ketahui sepeti:
1.Puasa itu hukumnya wajib bagi setiap muslim, berakal, mampu, dan balig. Puasa ramadhon merupakan fardu ain maka yang tidak melaksanakannya harus membayar fityah sesuai yang telah ditententukan oleh ulama mazhab.
2.Hokum bagi orang yang mabuk dalam menjalankan puasa
Menurut syafi’I, kalau perasaan orang yang mabuk itu hilang sepanjang waktu berpuasa maka wajib menggantinya, tapi kalau perasaan orang yang mabuk hilang hanya sebagian waktu saja maka puasanya tetap sah.
Maliki; orang yang mabuk atau pingsan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, maka puasanya tidak sah. Kalau ia sadar pada setengah hari dan pada saat niat atau berniat kemudian pingsan lagi maka ia tidak diwajiib kan membayar fityah.
Hambali:bagi orang yangmakalah ini kami buat, ada kurang dan lebihnya kami mohon maaf, serta kami mengharap kritik dan saran dari pembaca agar akalah yang akan datang lebih baik.
*************************************
Pentingnya Memperhatikan Niat Puasa
Amalan-amalan itu tergantung pada niatnya. Begitu pelajaran dari para guru di madrasah, pesantren, majelis ta’lim dan lainnya, mengutip sabda Baginda Nabi Muhammad SAW.
Ya, niat memang sangat menentukan nilai dari amalan yang dilakukan seseorang. Niat juga menentukan kualitas suatu perbuatan. Dengan niat perbuatan seseorang akan dinilai sebagai ibadah atau hanya kebiasaan
belaka. Dengan niat pula akan ditentukan seseorang akan mendapatkan ganjaran atau tidak dan seberapa besar ganjaran yang akan ia terima.
Begitu pula niat dalam ibadah puasa. Ia mengambil peranan yang cukup penting untuk diperhatikan oleh setiap Muslim yang hendak melakukan ibadah pantang makan dan minum ini. Terlebih bila puasa yang akan dilakukan adalah puasa wajib, lebih-lebih puasa wajib bulan Ramadhan, maka niat menjadi sangat vital dalam menentukan sah dan tidaknya puasa yang dijalani. Tidak sampai di sini, akibat kelalaian dalam hal niat juga akan mengakibatkan banyak “kerugian” bagi pelakunya.
Dalam madzhab Imam Syafi’i niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari, yakni waktu setelah terbenamnya matahari (maghrib) sampai dengan sebelum terbitnya fajar shadiq (belum masuk waktu shalat subuh).
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW (Lihat: Hasan Sulaiman Nuri dan Alwi Abas al-Maliki, Ibanatul Ahkam fii Syarhi Bulughil Maram, juz 2, hal. 376):
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Untuk puasa wajib, termasuk puasa bulan Ramadhan, niat yang demikian itu harus dilakukan setiap malam karena puasa dalam tiap-tiap harinya adalah satu ibadah tersendiri (Nawawi al-Bantani, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta:
Darul Kutub Islamiyah, 2008],hal. 192). Dengan demikian bila seseorang lupa belum berniat pada malam hari maka puasa pada siang harinya dianggap tidak sah.
Pertanyaannya kemudian adalah bila sudah jelas puasa pada hari tersebut tidak sah karena pada malam harinya lupa belum berniat, maka apakah diperbolehkan bila pada hari itu orang tersebut tidak berpuasa? Toh bila pun ia berpuasa sudah jelas puasanya tidak sah.
Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, hukum fiqih tetap mewajibkan orang tersebut berpuasa pada hari itu meskipun sudah jelas puasanya tersebut tidak sah. Tidak berhenti sampai di situ, orang tersebut juga harus mengganti (mengqadla) puasa hari tersebut di hari lain di luar bulan Ramadlan. Barangkali inilah yang dimaksud dengan “kerugian” sebagaimana disebut di atas. Hanya karena teledor dan lalai dalam memperhatikan niat
seseorang harus tetap berpuasa, namun puasanya itu dianggap tidak sah dan harus melakukan puasa ulang untuk menggantinya. Terlebih bila melihat dari sisi kemuliaan bulan Ramadhan maka jelas puasa sehari yang dilakukan di bulan Ramadhan jauh lebih bernilai dari pada puasa yang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Ini juga menjadikan orang yang lupa
niat semakin mengalami kerugian yang lebih besar.
Imam Qalyubi dalam kitab Hasyiyah¬-nya menyampaikan satu solusi sebagai langkah kehati-hatian. Bahwa agar puasanya orang yang lupa berniat pada malam harinya tetap sah maka dianjurkan pada malam pertama bulan
Ramadhan untuk berniat akan berpuasa Ramadhan satu bulan penuh. Bila ini dilakukan maka seandainya seseorang lupa berniat pada malam tertentu puasanya akan tetap dianggap sah dan tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Niat yang demikian itu dapat dilakukan dengan merujuk pada
apa yang diajarkan oleh Imam Maliki (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyataa Qalyubi wa ‘Umairah [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 129). Namun demikian Imam Maliki juga memberi syarat, niat berpuasa untuk satu bulan
penuh itu berlaku bila puasanya tidak terputus. Bila puasanya terputus karena sakit, haid atau perjalanan maka wajib berniat kembali untuk hari-hari yang tersisa (Hasan Sulaiman Nuri dan Alwi Abas al-Maliki, hal. 377).
Adalah sebuah kenikmatan yang besar bagi kaum Muslimin di Indonesia di mana para ulamanya membudayakan niat berpuasa bersama-sama pada setiap
malam hari seusai shalat tarawih berjama’aah di masjid-masjid dan
mushala-mushala. Kiranya perlu dibudayakan pula niat berpuasa sebulan penuh secara bersama-sama pada malam pertama bulan Ramadhan sebagai langkah kehati-hatian sebagaimana diajarkan oleh Imam Maliki di atas.
(Yazid Muttaqin)
Pentingnya Memperhatikan Niat Puasa Amalan-amalan itu tergantung pada niatnya. Begitu pelajaran dari para guru di madrasah, pesantren, majelis ta’lim dan lainnya, mengutip sabda
Baginda Nabi Muhammad SAW.
Ya, niat memang sangat menentukan nilai dari amalan yang dilakukan seseorang. Niat juga menentukan kualitas suatu perbuatan. Dengan niat perbuatan seseorang akan dinilai sebagai ibadah atau hanya kebiasaan
belaka. Dengan niat pula akan ditentukan seseorang akan mendapatkan ganjaran atau tidak dan seberapa besar ganjaran yang akan ia terima.
Begitu pula niat dalam ibadah puasa. Ia mengambil peranan yang cukup penting untuk diperhatikan oleh setiap Muslim yang hendak melakukan ibadah pantang makan dan minum ini. Terlebih bila puasa yang akan dilakukan adalah puasa wajib, lebih-lebih puasa wajib bulan Ramadhan, maka niat menjadi sangat vital dalam menentukan sah dan tidaknya puasa yang dijalani. Tidak sampai di sini, akibat kelalaian dalam hal niat juga akan mengakibatkan banyak “kerugian” bagi pelakunya.
Dalam madzhab Imam Syafi’i niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari, yakni waktu setelah terbenamnya matahari (maghrib) sampai dengan sebelum terbitnya fajar shadiq (belum masuk waktu shalat subuh).
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW (Lihat: Hasan Sulaiman Nuri dan Alwi Abas al-Maliki, Ibanatul Ahkam fii Syarhi Bulughil Maram, juz 2, hal. 376):
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Untuk puasa wajib, termasuk puasa bulan Ramadhan, niat yang demikian itu harus dilakukan setiap malam karena puasa dalam tiap-tiap harinya adalah satu ibadah tersendiri (Nawawi al-Bantani, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta:
Darul Kutub Islamiyah, 2008],hal. 192). Dengan demikian bila seseorang lupa belum berniat pada malam hari maka puasa pada siang harinya dianggap tidak sah.
Pertanyaannya kemudian adalah bila sudah jelas puasa pada hari tersebut tidak sah karena pada malam harinya lupa belum berniat, maka apakah diperbolehkan bila pada hari itu orang tersebut tidak berpuasa? Toh bila pun ia berpuasa sudah jelas puasanya tidak sah.
Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, hukum fiqih tetap mewajibkan orang tersebut berpuasa pada hari itu meskipun sudah jelas puasanya tersebut tidak sah. Tidak berhenti sampai di situ, orang tersebut juga harus mengganti (mengqadla) puasa hari tersebut di hari lain di luar bulan Ramadlan. Barangkali inilah yang dimaksud dengan “kerugian” sebagaimana
disebut di atas. Hanya karena teledor dan lalai dalam memperhatikan niat seseorang harus tetap berpuasa, namun puasanya itu dianggap tidak sah
dan harus melakukan puasa ulang untuk menggantinya. Terlebih bila
melihat dari sisi kemuliaan bulan Ramadhan maka jelas puasa sehari yang dilakukan di bulan Ramadhan jauh lebih bernilai dari pada puasa yang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Ini juga menjadikan orang yang lupa niat semakin mengalami kerugian yang lebih besar.
Imam Qalyubi dalam kitab Hasyiyah¬-nya menyampaikan satu solusi sebagai langkah kehati-hatian. Bahwa agar puasanya orang yang lupa berniat pada malam harinya tetap sah maka dianjurkan pada malam pertama bulan
Ramadhan untuk berniat akan berpuasa Ramadhan satu bulan penuh. Bila ini dilakukan maka seandainya seseorang lupa berniat pada malam tertentu puasanya akan tetap dianggap sah dan tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Niat yang demikian itu dapat dilakukan dengan merujuk pada
apa yang diajarkan oleh Imam Maliki (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyataa Qalyubi wa ‘Umairah [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 129). Namun demikian Imam Maliki juga memberi syarat, niat berpuasa untuk satu bulan
penuh itu berlaku bila puasanya tidak terputus. Bila puasanya terputus karena sakit, haid atau perjalanan maka wajib berniat kembali untuk hari-hari yang tersisa (Hasan Sulaiman Nuri dan Alwi Abas al-Maliki, hal. 377).
Adalah sebuah kenikmatan yang besar bagi kaum Muslimin di Indonesia di mana para ulamanya membudayakan niat berpuasa bersama-sama pada setiap
malam hari seusai shalat tarawih berjama’aah di masjid-masjid dan
mushala-mushala. Kiranya perlu dibudayakan pula niat berpuasa sebulan penuh secara bersama-sama pada malam pertama bulan Ramadhan sebagai langkah kehati-hatian sebagaimana diajarkan oleh Imam Maliki di atas.
(Yazid Muttaqin)
Pentingnya Memperhatikan Niat Puasa Amalan-amalan itu tergantung pada niatnya. Begitu pelajaran dari para guru di madrasah, pesantren, majelis ta’lim dan lainnya, mengutip sabda
Baginda Nabi Muhammad SAW.
Ya, niat memang sangat menentukan nilai dari amalan yang dilakukan seseorang. Niat juga menentukan kualitas suatu perbuatan. Dengan niat perbuatan seseorang akan dinilai sebagai ibadah atau hanya kebiasaan
belaka. Dengan niat pula akan ditentukan seseorang akan mendapatkan ganjaran atau tidak dan seberapa besar ganjaran yang akan ia terima.
Begitu pula niat dalam ibadah puasa. Ia mengambil peranan yang cukup penting untuk diperhatikan oleh setiap Muslim yang hendak melakukan ibadah pantang makan dan minum ini. Terlebih bila puasa yang akan dilakukan adalah puasa wajib, lebih-lebih puasa wajib bulan Ramadhan, maka niat menjadi sangat vital dalam menentukan sah dan tidaknya puasa yang dijalani. Tidak sampai di sini, akibat kelalaian dalam hal niat juga akan mengakibatkan banyak “kerugian” bagi pelakunya.
Dalam madzhab Imam Syafi’i niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari, yakni waktu setelah terbenamnya matahari (maghrib) sampai dengan sebelum terbitnya fajar shadiq (belum masuk waktu shalat subuh).
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW (Lihat: Hasan Sulaiman Nuri dan Alwi Abas al-Maliki, Ibanatul Ahkam fii Syarhi Bulughil Maram, juz 2, hal. 376):
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Untuk puasa wajib, termasuk puasa bulan Ramadhan, niat yang demikian itu harus dilakukan setiap malam karena puasa dalam tiap-tiap harinya adalah satu ibadah tersendiri (Nawawi al-Bantani, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta:
Darul Kutub Islamiyah, 2008],hal. 192). Dengan demikian bila seseorang lupa belum berniat pada malam hari maka puasa pada siang harinya dianggap tidak sah.
Pertanyaannya kemudian adalah bila sudah jelas puasa pada hari tersebut tidak sah karena pada malam harinya lupa belum berniat, maka apakah diperbolehkan bila pada hari itu orang tersebut tidak berpuasa? Toh bila pun ia berpuasa sudah jelas puasanya tidak sah.
Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, hukum fiqih tetap mewajibkan orang tersebut berpuasa pada hari itu meskipun sudah jelas puasanya tersebut tidak sah. Tidak berhenti sampai di situ, orang tersebut juga harus mengganti (mengqadla) puasa hari tersebut di hari lain di luar bulan Ramadlan. Barangkali inilah yang dimaksud dengan “kerugian” sebagaimana disebut di atas. Hanya karena teledor dan lalai dalam memperhatikan niat seseorang harus tetap berpuasa, namun puasanya itu dianggap tidak sah dan harus melakukan puasa ulang untuk menggantinya. Terlebih bila melihat dari sisi kemuliaan bulan Ramadhan maka jelas puasa sehari yang dilakukan di bulan Ramadhan jauh lebih bernilai dari pada puasa yang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Ini juga menjadikan orang yang lupa
niat semakin mengalami kerugian yang lebih besar.
Imam Qalyubi dalam kitab Hasyiyah¬-nya menyampaikan satu solusi sebagai langkah kehati-hatian. Bahwa agar puasanya orang yang lupa berniat pada malam harinya tetap sah maka dianjurkan pada malam pertama bulan
Ramadhan untuk berniat akan berpuasa Ramadhan satu bulan penuh. Bila ini dilakukan maka seandainya seseorang lupa berniat pada malam tertentu puasanya akan tetap dianggap sah dan tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Niat yang demikian itu dapat dilakukan dengan merujuk pada
apa yang diajarkan oleh Imam Maliki (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyataa Qalyubi wa ‘Umairah [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 129). Namun demikian Imam Maliki juga memberi syarat, niat berpuasa untuk satu bulan
penuh itu berlaku bila puasanya tidak terputus. Bila puasanya terputus karena sakit, haid atau perjalanan maka wajib berniat kembali untuk hari-hari yang tersisa (Hasan Sulaiman Nuri dan Alwi Abas al-Maliki,
hal. 377).
Adalah sebuah kenikmatan yang besar bagi kaum Muslimin di Indonesia di mana para ulamanya membudayakan niat berpuasa bersama-sama pada setiap
malam hari seusai shalat tarawih berjama’aah di masjid-masjid dan
mushala-mushala. Kiranya perlu dibudayakan pula niat berpuasa sebulan penuh secara bersama-sama pada malam pertama bulan Ramadhan sebagai langkah kehati-hatian sebagaimana diajarkan oleh Imam Maliki di atas.
(Yazid Muttaqin)
************************************
Kitab Puasa Kitab At-Taqriratus sadidah Fiqih imam syafi'i (belum
di revisi)
Kitab Siam ( puasa ) .
Depinisi puasa menurut bahasa adalah menahan diri dari apa saja ,
seperti firman Allah swt :
قال الله تعالى " انى نذرت للرحمن صوماً فلن أكلم اليوم انسياً "
Artinya : “ Saya bernazar akan berpuasa maka saya tidak akan berbicara dengan manusia seharian penuh“ Qs Maryam 26 .
Sedangkan Depinisi puasa menurut syariat adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dari semenjak terbitnya pajar sampai terbenamnya matahari dengan niat yang khusus .
Dan dalil wajibnya adalah firman Allah swt :
قال الله تعالى " يأيهاالذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من
قبلكم لعلكم تتقون "
Artinya : “ Hai orang orang yang beriman telah diwajibkan kepadamu
berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa“ Qs Al-baqarah 183 .
- Waktu diwajibkan : puasa ramadlan telah diwajibkan pada tahun kedua hijrah pada bulan sya’ban . Dan Rasulullah saw telah berpuasa sebanyak 9 kali ramadlan 8 bulan sebanyak 29 hari dalam satu bulan sedangkan 1
bulan genap 30 hari .
- Bulan ramadlan adalah bulan yang kesembilan dari penanggalan hijriyah, bulan ramadlan adalah bulan yang paling mulia diantara semua bulan .
Dan sebab disebut dengan ramadlan adalah bahwa dulu orang arab tatkala meletakkan nama-nama bulan bertepatanlah bulan ramadlan dengan musim panas , maka dinamakanlah bulan ramadlan yang berarti panasnya terik matahari , namun ada juga yang mengatakan dinamakan ramadlan karena bulan ini mampu membakar dosa-dosa manusia .
- Fadilah-fadilah berpuasa adala h sangat banyak sekali baik
disebut didalam Al-Qur’an atau dalam hadits firman Allah swt :
قال الله تعالى " كلوا واشربوا هنيئاً بما أسلفتم فى الأيام الخالية "
Artinya : “ Makan dan minumlah kalian semua dengan lahap sebagai
balasan atas kelaparan yang pernah kalian rasakan dulu“ Qs Al-haqqah 24 .
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " كل حسنة بعشر أمثالها الى سبعمائة ضعف
, الا الصوم فهو لى وأنا اجزى به "
Artinya : “ Setiap kebaikan Allah berikan ganjaran sepuluh kali lipat
sampai tujuh ratus , kecuali puasa maka hanya untuk saya dan saya juga yang akan memberinya upah“ Hr. malik dan al Bukhari .
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " من صام يوماً فى سبيل الله باعد الله
منه جهنم مسيرة مائة عام " .
Artinya “ Barang siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka Allah akan menjauhkan dirinya dari api neraka sejauh perjalanan seratus tahun“ hr . An Nasa’I .
· Hukum –hukum puasa ada empat .
1. Wajib , dan hal ini ada pada enam hal :
1.Puasa Ramadlan .
2.Puasa qada’ .
3.Puasa kaffarah , seperti kaffarah zihar , membunuh dll .
4.Puasa sebagai ganti membayar dam haji atau umrah .
5.Puasa sebelum shalat istisqa’ apabila pemerintah menyuruh .
6.Puasa nazar .
2. Sunnah , dan hal ini terbagi menjadi tiga :
1.Puasa yang disunnahkan setiap tahun seperti puasa hari arafah ,
tasu’a , asyura’ enam hari bulan sawal , tanggal sepuluh zul hijjah ,
bulan-bulan haram .
2.Puasa yang disunnahkan setiap bulan seperti puasa pada
pertengahan bulan ( haribidl ) tanggal 13,14,15 dan setiap akhir bulan
dari semua bulan ( hari sud ) yaitu tanggal 28,29,30 .
3.Puasa yang disunnahkan setiap minggu seperti puasa senin kamis .
- Puasa yang paling afdhal adalah puasanya nabi daud yaitu sehari puasa sehari berbuka .
3. Makruh seperti puasa pada hari jum’at saja atau sabtu saja atau
minggu saja atau puasa dahr yaitu melakukan puasa setiap hari tanpa
putus-putus bagi orang yang besar kemungkinan akan mudarat .
4.Haram , dan hal ini terbagi dua :
1.Haram tetapi sah yaitu puasanya seorang istri tanpa seizin
suaminya , puasanya seorang budak tanpa seizin tuannya , ini kalau bukan puasa wajib .
2.Haram dan tidak sah , ini terdapat pada lima hal :
1.Puasa pada hari raya idul fitri .
2.Puasa pada hari raya idul adha .
3.Puasa pada hari-hari tasyrik .
4.Puasa sesudah pertengahan bulan sya’ban .
5.Puasa pada hari syak , yaitu pada hari yang ketigapuluh bulan
sya’ban apabila orang bersangka bahwa mereka melihat hilal tetapi masih diragukan , atau dilihat oleh orang yang tidak diterima kesaksiannya seperti perempuan atau anak-anak .
· Satu masalah .
Kapankah diperbolehkan puasa pada hari syak atau sesudah pertengahan sya’ban itu ? .
Pada tiga tempat :
1.Apabila puasa yang dilakukan itu adalah wajib seperi puasa qada
, kaffarah atau nazar .
2.Apabila orang yang berpuasa itu selalu selalu melakukan puasa
senin kamis .
3.Apabila orang yang berpuasa itu menyambung puasanya dari sebelum tanggal 15 sya’ban sampai lewat .
· Syarat syarat sah puasa ada empat .
Apabila empat syarat ini ada maka puasa seseorang dihukum sah yaitu :
1.Islam , maka ia wajib alma keadaan muslim di selama menjalankan puasa , dan apabila ia melakukan kemurtadan pada sebagian hari walaupun sebentar saja maka puasanya batal .
2.Berakal , maka disyaratkan ia harus berakal “ mumayyiz “ selama
menjalankan ibadah puasa , maka apabila ia gila pada sebagian hari
puasanya walaupun hanya sebentar saja maka puasanya batal .
3.Suci dari haid dan nifas , maka disyaratkan bagi wanita untuk
tetap suci selama menjalankan puasa , maka apabila ia keatangan haid pada sebagian hari walaupaun sebentar maka puasanya batal . Adapun kalau ia jadi suci di tengah hari maka ia disunnahkan menaahan diri dari kakan dan layaknya prang yang berpuasa .
4.Waktu itu adalah sah untuk melakukan puasa , maksudnya adalah bahwa seseorang yang berpuasa mengetahui dan yakin bahwa pada hari itu sah untuk melakukan puasa tidak pada hari-hari terlarang untuk berpuasa .
· Syarat-syarat wajib berpuasa ada lima .
Apabila syarat-syarat ini ada maka wajib kita menjalankan puasa .
1.Islam . maka tidak wajib bagi orang kafir untuk melakukan puasa
. Begitu juga orang murtad , tapi wajib ia mengkada’nya apabila ia
kembali pada islam .
2.Mukallaf , artinya orang yang wajib menjalankan puasa itu adalah
orang yang berakal , balig . Adapun anak yang belum mumayyiz maka wajib bagi walinya ( pengasuhnya ) menyuruhnya apabila sudah berumur tujuh tahun dan boleh memukulnya dengan pukulan yang mendidik sesudah berumur
sepuluh tahun .
3.Mampu dan mampu ini ada dua mak’nanya :
1.Ithaqah hissy , artinya seseorang itu mampu secara alami , tidak
dalam keadaan sakit atau tua .
2.Ithaqah syar’y , artinya seseorang itu mampu tetapi terhalang
oleh syariat seperti wanita yang dalam keadaan haid .
4. Sehat , maka tidak wajib bagi orang yang sakit .
o Batasan sakit yang membolehkan tidak berpuasa itu adalah penyakit yang dikhawatirkan mendakangkan kebinasaan atau akan memperlambat kesembuhan atau bertambah parah dan ini disebut dengan “ mahzurat
tayammum “ ( keadaan yang membolhkan tayammum ) .
5. Bermukim , maka tidak wajib menjalankan puasa bagi orang yang sedang musafir sejauh 82 km , dan juga disyaratkan untuk bolehnya tidak berpuasa bagi oaring yang musafir adalah bukan musafir ma’siat dan harus keluar rumah sebelum terbitnya fajar .
Dan yang terafdal bagi orang yang musafir adalah berpuasa , kecuali
kalau tidak mampu melakukan .
· Rukun-rukun puasa ada dua :
1.Niat , baik puasa itu pardu atau sunnah hal ini berdasarkan hadits :
" انما الأعمال بالنيات "
Artinya “ Sesungguhnya segala perbuatan itu harus dengan niat“
hr Bukhari Muslim .
Dan wajib berniat tiap malam untuk puasa wajib .
vPerbedaan-perbedaan antara niat puasa wajib dan sunnah .
Niat puasa wajib
Niat puasa sunnah
1.Waktunya masuk dengan terbenamnya matahari sampai terbitnya fakjar dan wajib berniat pada malam hari .
2.Wajib dita’yin ( diperjelas ) apakah itu puasa ramadlan atau
kaffarah misalnya .
3.Tidak boleh menjama’ ( mengumpulkan antara dua puasa wajib pada satu hari .
1.Waktunya masuk dengan terbenmnya matahri sampai sebelum tergelincir dan tidak wajib berniat pada malam hari .
2.Tidak wajib menya’yin apakah itu puasa senin atau kamis misalnya
kecuali puasa muaqat seperti puasa hari arafah .
3.Boleh menjama’ antara dua puasa sunnah pada satu hari .
- Dan sah berniat pada puasa sunnah sesudah terbit fajar dengan dua syarat :
1.Harus berniat sebelum tergelincirnya matahari .
2.Tidak pernah mengerjakan segala sesuatu yang membatalkan puasa .
-Niat yang paling sempurna adalah melafazkan niat dengan hati
misalnya :
" نويت صوم غد عن أداء فرض شهر رمضان لهذه السنة لله تعالى "
Artinya “ saya berniat puasa besok pagi puasa ramadlan ada’ karena
Allah swt “ .
q Satu masalah . Bagaimana surah gambarannya bahwa puasa sunnah itu sah dengan niat sesudah terbitnya matahari dan sesudah makan ?
Gambaranya adalah apabila kebiasaanya berpuasa pada hari senin atau kamis misalnya kemudian ia lupa bahwa hari itu adalah hari senin maka ia
boleh berniat puasa walaupun ia sudah makan .
2.Meninggalkan semua hal-hal yang membatalkan puasa : Artinya bahwa seseorang harus dalam keadaan ingat , tidak terpaksa , tidak dalam keadaan jahil tidak tahu , maka pusanya tidak batal apabila ia makan atau minum dalam keadaan dipaksa , tidak tahu , atau lupa .
· Yang dimaksud dengan jahil ma’zur adalah dua orang :
1.Orang yang baru masuk islam mu’allaf .
2.Orang yang jauh dari ulama’ .
· Wajib menjalankan puasa ramadlan dengan lima sesuatu :
- Dua berdasarkan keumuman atau apabila hal ini sudah jelas maka wajib atas semua untuk menjalaankaan puasa yaitu apabila sudah ditetapkan oleh hakim .
- Tiga berdasarkan kekhususan atau hal ini apabila sudah jelas maka wajib atas perorangan .
Yang wajib atas semua orang umum ada dua :
1.Dengan menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari .
2.Dengan melihat hilal ,oleh orang yang diterima kesaksiannya (
Adil syahadah ) yaitu laki-laki , merdeka , berakal , berwibawa , sadar, dapat berbicara , mendengar , melihat , tidak pernah mengerjakan dosa-dosa besar dan tidak terus menerus mengerjakan dosa-dosa kecil dan ketaatannya lebih banyak dari maksiatnya .
Maksudnya adalah wajib menjalankan puasa atas semua orang yang tinggal di suatu negeri dan siapa saja yang sama terbit matahari di tempat itu ( mat’la’nya ) dan terbenamnya ini menurut imam Nawawy . Sedangkan menurut
imam Rafi’I adalah wajib menjalankan puasa atas semua orang yang jauh negerinya tidak lebih dari satu marhalah ( 82 km ) dengan negeri yang melihat hilal itu .
Yang wajib atas sebagian orang saja khusus ada tiga :
1.Dengan melihat hilal atas siapa saja yang melihatnya , walaupun
ia fasik .
2.Dengan mendapatkan kabar bahwa hilal telah nampak dan ada
tafsilnya :
a. apabila yang membawa kabar itu adalah orang yang terpercaya
maka wajib atas orang yang dikabari itu untuk berpuasa , baik percaya di dalam hati atau tidak .
b.apabila yang membawa kabar itu adalah orang yang tidak
terpercaya maka tidak wajib atas orang yang dikabari itu untuk berpuasa kecuali apabila ia percaya di dalam hatinya .
3.Dengan perkiraan bahwa bulan ramadlan telah masuk berdasarkan
ijtihad seperti mendengar suara meriam , atau melihat lampu obor di menara –menara .
q Beberapa masalah dalam hal melihat hilal .
1.Seseorang berpuasa selama 30 hari berdasarkan berita dari orang
yang diyakini benar , maka apakah boleh ia tidak berpuasa sesudah 30
hari ia berpuasa ?
-Menurut imam Ramly boleh ia berbuka makan tetapi secara
tersenbunyi . Sedangkan menurut imam Ibn Hajar tidak boleh karena hal
tersebut bukan termasuk dalil syariat , lain halnya kalau berita orang adil yang terpercaya dan ia telah berpuasa ihtiyathan , maka wajib ia
menahan diri dari makan ihtiyathan juga .
2.Seandainya seseorang musafir dari kotanya ke kota lain pada
akhir bulan sya’ban dalam keadaan tidak berpuasa karena tidak melihat
hilal ( bulan sabit ) , namun sesampainya di kota itu ia menjumpai penduduknya dalam keadaan berpuasa atau sebaliknya maaka bagaimana hukumnya ?
-Apabila ia menemukan penduduk kota itu dalam keadaan berpuasa
maka wajib ia ikut berpuasa . Adapun kalau ia menjumpainya dalam keadaan tidak berpuasa maka menurut imam Ramly boleh ia ikut tidak berpuasa .
Sedangkan menurut imam Ibn Hajar ia wajib tetap berpuasa , karena ia
berpuasa menurut keyakinannya , jadi tidak boleh hanya dengan melihat orang yang belum berpuasa .
3.Seseorang musafir dari kotanya menuju kota lain pada akhir bulan
ramadlan dalam keadaan berpuasa karena belum melihat hilal syawal atau tidak berpuasa karena melihat hilal , kemudin ia menjumpai penduduknya tidak berpuasa atau berpuasa sedangkan ia tidak berpuasa bagaimana hukummnya ?
-Pada kedua hal tersebut wajib ia mengikutinya karena ia telah
menjadi bagian dari penduduk itu .
§ Sunnah sunnah berpuasa ramadlan .
1.Menyegerakan berbuka , apabila sudah yakin matahari sudah
tenggelam , adapun kalau masih ragu maka wajib berihtiyath mengundurkannya .
2.Makan sahur walaupun hanya dengan seteguk air , dan waktunya
masuk setelah pertengahan malam .
3.Mengakhirkan sahur sampai batas tidak terlalu dekat dengan waktu
imsak , dan dianjurkan untuk menahan diri imsak sebelum subuh selama ukuran 50 ayat Al-Qur’an seperempat jam .
4.Berbuka dengan korma ruthab ( korma setengah matang ) dengan
bilangan ganjil , kalau tidak ada maka dengan busrun ( korma hijau )
kalau tidak ada maka dengan tamar ( korma kering ) kalau tidak ada maka dengan air zam zam kemudian hulwun ( makanan manis yang tidak dimasak )
seperti zabib ( anggur kering ) atau madu , kemudian halwa ( makanan
manis yang dimasak ) seperti kolak dll .
5.Membaca doa berbuka :
" اللهم لك صمت وبك آمنت وعلى رزقك أفطرت . ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت
الأجر انشاءالله . الحمد لله الذى اعاننى فصمت ورزقنى فأفطرت . اللهم انى
أسالك برحمتك التى وسعت كل شيء أن تغفرلى "
Artinya : “ ya Allah aku berpuasa karenamu dan aku beriman kepadamu dan
dengan rizkimu aku berbuka . Telah hilang rasa dahaga dan telah basah
ototku dan telah ada pahala insya Allah . segala puji bagi Allah yang
telah menolongku sehingga aku dapat berpuasa dan memberiku rizki sehingga aku dapat berbuka dan aku memohon dengan rahmatmu yang luasnya melebihi segala sesuatu , maka ampunilah aku“ .
6.Memberi makan untuk orang berbuka .
7. Mandi junub sebelum fajar agar dapat memulai puasanya dalam
keadaan suci .
8. Mandi setiap malam agar badan terasa segar untuk melakukan
ibadah .
9. Tetap mengerjakan shalat tarawih setiap malam sampai akhir
ramadlan , berdasarkan :
" من فام رمضان ايماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه "
Artinya “ Barang siapa yang mendirikan qiyamul lail tarawih karena iman dan mengharap rida Allah maka Allah akan menghapuskan dosa-dosanya
yang telah lewat“ .
10. Tetap mengerjakan shalat witir dan khusus witir pada bulan ramadlan dengan tiga sesuatu :
1.Disunnahkan berjamaah .
2.Disunnahkan dengan bacaan nyaring .
3.Disunnahkan membaca qunut sesudah tanggal 15 sampai akhir
ramadlan ini yang muk’tamad .
11. Memperbanyak membaca Al-Qur’an dengan tadabbur , ini berdasarkan
hadits :
" رمضان شهر القرآن "
Artinya : “ Bulan ramadlan itu adalah bulan Al-Qur’an“ .
12 . Memperbanyak mengerjakan sunnah-sunnah seperti shalat –shalat sunnah , shalat duha , tasbih awwabin .
13 .Memperbanyak mengerjakan amal salih seperti sadakah , silaturrahmi , menghadiri majlis ta’lim , iktikaf banyak berdoa dll .
14. Memperbanyak zikir dan ibadah pada sepuluh terakhir dari bulan
ramadlan , karena ada malam lailatul qadar dan pada tanggal-tanggal waitir ganjil dilebihkan .
1.Tetap menjaga agar berbuka dengan barang halal , sebagaimana
anjuran imam Abdullah bin husen :
( وأفطر على الحلال * يا طالب الكمال )
Artinya : “ Dan berbukalah selalu dengan barang yang halal * wahai
pencarai kesempurnaan“ .
2.Memberikan kelebihan pada sanak keluarga .
3. Meninggalkan hal-hal yang tidak ada gunanya dan pertengkran ,
dan apabila ia dimaki orang maka hendaknya berkata “ maaf saya sedang berpuasa “ .
q Faedah . telah berkata imam Al-Gazali ra “ puasa itu terbagi menjadi tiga :
1. Puasa awam yaitu puasanya orang yang hanya meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa saja namun tidak dapat meninggal hal-hal yang menggugurkan pahala puasa .
2. Puasa khas yaitu puasanya orang yang dapat menahan diri dari
segala yang menggugurkan pahala puasa seperti berbihong , gibah fitnah dll .
3. Puasa khas al khas yaitu puasanya orang yang hanya mengingat Allah saja dan lupa dari selain Allah .
· Makruh-makruh puasa delapan :
1.Al-Alk’ yaitu mengunyah makanan tanpa menelannya , karena kalau ada yang tertelan maka puasanya batal .
2.Zauqut tha’am mencicipi makanan yaitu orang yang perlu
mencicipi makanan , tapi tanpa ada yang masuk ke rongga .
3.Ihtijam berbekam yaitu orang yang mengeluarkan darahnya dengan cara membekam tengkuknya dengan pisau , hal ini makruh dilakukan karena
dapat melemahkan badan dan dalam mazhab hambali hukumnya dapat membatalkan puasa .
4.Majjul ma’ mengeluarkan air yang pertama diminum sewaktu
sesudah berbuka .
5.Mandi dengan menyelam , walaupun mandi wajib .
6.Bersiwak menggosok gigi sesudah zawal tergelincirnya
matahari , tapi imam Nawawi mengatakan hal ini tidak makruh .
7.Terlalu kenyang , terlalu banyak tidur dan mengerjakan hal-hal
yang kurang faedahnya .
8.Memakai hal-hal mubah seperti harum-haruman , mendengar musik
dan menonton .
· Hal-hal yang membatalkan puasa .
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa terbagi dua :
1.Hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa tanpa membatalkan
puasa itu dan tidak wajib mengqadaknya hal ini disebut denganAl-Muhbithat.
2.Hal-hal yang dapat membatalkan puasa sekaligus membatalkan
pahalanya disebut dengan Al-Mufthiratdan ini wajib mengqadak puasanya .
· Penjelasan .
1.Pertama . Al –Muhbithat yaitu hal-hal yang dapat membatalkan
pahala puasa , hal ini berdasarkan hadits :
" قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كم من صائم ليس له من صيامه ال الجوع
والعطش "
Artinya : “ Berapa banyak orang yang menjalankan puasa namun
tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga “ Hr Dailamy.
1.Al-Gibah yaitu membicarakan aib atau cacat orang lain walaupun
benar adanya .
2.An-Namimah yaitu memfitnah orang agar bertengkar dan putus
hubungan .
3.Al-Kazib yaitu berdusta , mengabarkan orang dengan yang bukan
kenyataannya .
4.Melihat hal-hal yang dihramkan agama .
5.Bersumpah palsu .
6.Berkata keji dan kotor hal ini berdasarkan hadits :
" من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاحة فى أن يدع طعامه وشرابه "
Artinya “ Barang siapa yang tidak dapat meninggalkan
perkataan kotor dan perbuatan keji maka Allah tidak membutuhkan
puasanya “ hr Bukhari .
2.Kedua . Al-Mufthirat yaitu hal-hal yang dapat membatalkan puasa
dan pahalanya ada delapan :
1.Murtad yaitu mengerjakan sesuatu yangdapat membtalkan iman baik dengan ucapan , perbuatan atau dengan keyakinan , murtad ini dapat membatalkan puasa walaupun sebentar .
2.Haid , nifas dan melahirkan ketiganya dapat membatalkan puasa walaupun sebentar .
3.Gila walaupun sebentar .
4.Terkena ayan atau mabuk , hal dapat membatalkan puasa dengan
syarat apabila berlangsung sehari dan apabila ia siuman walaupun
sebentar maka puasanya sah dan ini yang muk’tamad menurut imam Ramli .
Sedangkan menurut imam Ibn Hajar mabuk membatalkan puasa apabila
disengaja walaupun sebentar , sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa mabuk tidak membatalkan kecuali apabila sengaja dan berlangsung sehari
penuh .
5.Jima’ berhubungan suami istri ini dapat membatalkan puasa
apabila sengaja , tahu hal itu diharamkan dan kemauan sendiri , dan apabila ia batal puasanya dengan syarat-syarat di atas maka ia dikenakan lima hal :
1.Dosa besar .
2.Wajib menahan diri dari semua yang membatalkan puasa .
3.Wajib dita’zir yaitu hakim menurunkan hukum kepadanya menurut kebijakan dan pertimbangan hakim .
4.Wajib mengqadak puasa itu .
5.Wajib membayar kaffarah uzma tebusan besar yang harus dibayar
dengan tertib artinya tidak boleh berpindah kecuali tidak mampu yaitu :
a. memerdekakan budak muslim muslimah .
b.berpuasa selama dua bulan berturut-turut .
c. memberi makan 60 fakir miskin tiap orang 1 mud .
Kaffarat ini hanya wajib dikerjakan oleh laki-laki saja
dan kaffarat ini wajb dikerjakan lagi apabila terjadi pelanggaran lagi .
6.Masuknya sesuatu ke dalam rongga badan ( mamfaz maftuh ) .
Yang dimaksud dengan barang adalah semua bentuk materi baik padat atau cair termasuk asap , lain halnya kalau tidak nampak atau tak berbentuk
seperti angin maka tidak membatalkan .
Dan yang dimaksud dengan rongga badan adalah lubang-lubang yang terdapat di badan manusia seperti hidung dan semua lubang badan dalam mazhab syafi’I termasuk rongga yang dapat membatalkan puasa kecuali mata dan
telinga menurut imam Al- Gazali . Dan tidak termasuk membatalkan apabila masuknya dengan menyerap seperti lubang pori-pori .
Dan yang dimaksud dengan rongga adalah lubang badan yang berpungsi sebagai jalan makanan atau obat .
o Beberapa masalah .
1.Hukum jarum suntik bersuntik adalah boleh apabila dalam keadaan darurat , tapi para fuqaha berbeda pendapat mengenai apakah membatalkan puasa atau tidak , dalam tiga pendapat :
1.Jarum suntik membatalkan puasa kerena obatnya sampai ke dalam
perut .
2.Jarum suntik tidak membatalkan karena masuknya tidak melalui
manfaz maftuh ( rongga badan ) .
3.Pendapat yang mengatakan bahwa dalam masalah ini ada tafshil yaitu :
1.Apabila yang disuntikkan itu adalah berupa makanan seperti air
inpus , maka hal ini dapat membatalkan puasa .
2.Apabila yang disuntikkan itu hanya berupa obat saja maka
para fuqaha menjelaskan bahwa :
a.apabila obat yang disuntikkan itu masuk ke dalam urat yang
berongga maka hal ini dapat membatalkan puasa .
b.apabila obat yang disuntikkan itu masuk ke dalam otot maka hal
ini tidak membatalkan puasa .
2. Hukum riak adalah tafshil :
3.Apabila riak itu sudah sampai batas luar ( had zahir ) kemudian
ditelan kembali maka hal ini dapat membatalkan puasa .
4.Apabila riak itu masih dalam batas dalam ( had bathin ) kemudian
ditelan kembali maka hal ini tidak membatalkan puasa .
§ Penjelasan .
Yang dimaksud dengan batas luar adalah tempat keluarnya huruf kha’ , di
tenggorokan dan batas dalam adalah tempat keluarnya huruf ha’ besar .
Sedangkan para fuqaha berbeda pendapat tentang tempat keluarnya huruf ha’ kecil tipis , imam Nawawi memasukkannya ke dalam batas luar had zahir jadi membatalkan puasa apabila menelannya kembali . Sedangkan imam Rafi’I memasukkannya ke dalam batas dalam jadi tidak membatalkan puasa kalau di telan kembali .
3. Hukum menelan ludah adalah tidak membatalkan puasa karena sulit menjaganya tetapi dengan tiga syarat :
1.Air ludah itu bersih , tidak bercampur dengan sesuatu apapun
seperti bekas makanan dll .
2.Air ludah itu harus suci , tidak nakjis dengan darah gusi dll .
3.Air ludah itu masih berada di dalam dan mulut terhitung bagian
dalam , maka apabila seseorang menelan ludahnya yang berada di bibirnya maka puasanya batal .
4.Hukum masuknya air ke dalam rongga waktu mandi tanpa sengaja
adalah tafshil :
1.Apabila mandi itu disyariatkan diperintahkan oleh agama
seperti mandi wajib junub atau mandi sunnah seperti mandi jum’at maka puasanya tidak batal apabila mandi dengan mencebok , adapun apabila mandi dengan menyelam maka puasanya batal .
2.Apabila mandi itu tidak disyariatkan seperti mandi hanya untuk mendinginkan badan , maka puasanya batal walaupun dengan tidak sengaja , baik ia mandi dengan mencebok atau dengan menyelam .
5.Hukum apabila kemasukan air waktu berkemumur ( madlmadlah )
tanpa kehendak sendiri adalah tafshil :
1.Apabila berkemumur itu disyariatkan diperintahkan oleh agama baik pada waktu mandi atau wudlu maka kita lihat :
1.Apabila tidak berkemumur dengan sangat maka puasanya sah walupun
ada air yang masuk .
2.Apabila berkemumur dengan sangat maka puasanya batal karena
berkemumur dengan sangat makruh hukumnya bagi orang yang berpuasa .
2. Apabila berkemumur itu tidak disyariatkan seperti
kemumur yang keempat dalam wudlu maka apabila kemasukan air puasanya
batal .
7.Al-Istimna’( onani ) maksudnya adalah yang termasuk
membatalkan puasa adalah mengeluarkan air mani baik dengan tangannya
sendiri atau dengan tangan istrinya atau dengan menghayal atau dengan
meniduri , hal ini apabila ia tahu kalau hal itu dapat menyebabkan
keluarnya air mani , maka apabila air maninya kaluar pada salah satu
kelakuan ini maka puasanya batal .
v Kesimpulan masalah keluar air mani adalah :
1. Pada dua tempat dapat membatalkan puasa :
1.Apabila dikeluarkan dengan cara istimna’ ( onani ) .
2.Apabila keluar karena memeluk istrinya tanpa busana .
2. Pada dua tempat tidak membatalkan puasa :
1.Apabila keluar tanpa memeluk pasangan yaitu hanya dengan
menghayal atau memikirkan .
2.Apabila keluar karena memeluk pasangannya dalam keadaan berbusana .
o Hukum berciuman adalah haram apabila berciuman itu dapat mengerakkan
nafsu syahwat tapi apabila tidak maka hukumnya adalah khilaf aula
lebih baik dihindarkan dan puasa itu tidak batal apabila air mani keluar
karena berciuman .
8.Al-Istiqa’ah( sengaja muntah ) artinya yang kedelapan dari
hal-hal yang membatalkan adalah apabila seseorang sengaja dan berusaha
untuk mengeluarkan muntahnya dan hal itu dapat membatalkan puasa
walaupun muntahnya itu keluar sedikit .
oMuntah adalah makanan atau minuman yang keluar sesudah masuk
melewati tenggorokan walaupun belum berubah warna atau baunya .
oHukum apabila seseorang muntah adalah mulutnya mutanajis terkena
nak’jis maka ia wajib mencuci dan berkemumur sampai hilang , sampai
batas zahir luar dan puasanya tidak batal apabila kemasukan air ke
dalam tenggorokan tanpa disengaja karena membersihkan nak’jis
diperintahkan oleh syariat .
· Macam –macam orang yang tidak berpuasa menurut kewajibannya ada
empat :
1.Orang yang wajib mengqadak puasa dan membayar fidyah ada dua :
1.Apabila seseorang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan
keselamatan orang lain seperti perempuan hamil atau yang menyusui tidak
berpuasa karena mengkhawatirkan keselamatan janin atau bayinya . Adapun
apabila seseorang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan keselamatan
dirinya dan orang lain maka ia hanya wajib mengqadak puasanya saja tidak
wajib membayar fidyah .
2.Apabila seseorang tidak menqadak puasa ramadlanya tahun dulu
sampai masuk ramadlan tahun ini tanpa uzur yang dibenarkan , maka ia
wajib mengqadak puasanya itu dan membayar fidyah .
oFidyahnya adalah 1 mud ( 625 gr ) beras atau makanan pokok daerah
setempat dan fidyah ini akan bertambah sampai ia membayarnya . Contohnya
apabila tahun dulu ia wajib membayar 10 mud tapi sampai tahun ini ia
belum juga membayarnya maka tahun ini ia wajib membayar 20 mud begitu
seterusnya .
2.Orang yang wajib mengqadak saja , tidak wajib membayar fidyah
ada tiga yaitu :
1.Orang yang terkena penyakit ayan .
2.Orang yang lupa berniat puasa malam hari .
3.Orang yang sengaja membatalkan puasanya dengan selain jima’.
3. Orang yang wajib membayar fidyah saja , tidak wajib
mengqadak ada dua yaitu :
1.Orang tua yang sudah tidak mampu lagi untuk menjalankan puasa .
2.Orang sakit yang tidak jauh kemungkinan sembuhnya .
4. Orang yang tidak ada kewajiban sama sekali ( baik
qadak atau fidyah ) ada satu yaitu :
1.Orang gila yang tidak sengaja membuat dirinya gila .
· Keadaan orang-orang yang wajib mengqadak puasanya dan kewajiban
menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sampai magrib ada enam
yaitu :
1.Orang yang sengaja membatalkan puasanya .
2.Orang yang lupa berniat puasa pada malam hari .
3.Orang yang makan sahur karena mengira belum terbit fajar tetapi
ternyata sudah terbit fajar .
4.Orang yang berbuka puasa karena mengira matahari sudah terbenam
tetapi ternyata belum terbenam .
5.Orang yang mengetahui bahwa tanggal 30 sya’ban itu adalah
tanggal 1 ramadlan sedangkan ia tidak berpuasa .
6.Orang yang kemasukan air waktu berkumur yang tidak diperintahkan
oleh syariat .
· Hal-hal yang tidak membatalkan puasa walaupun masuk sesuatu ke
dalam rongga badan ada tujuh :
1.Sesuatu yang masuk ke dalam rongga , dalam keadaan lupa .
2.Sesuatu yang masuk ke dalam rongga sedangkan ia tidak tahu kalau
hal itu membatalkan puasa .
3.Sesuatu yang masuk ke dalam rongga dengan dipaksa dengan adanya
syarat-syarat pemaksaan yang dibenarkan .
4.Air ludah yang bersih yang berada di antara gigi –gigi masuk ke
dalam rongga .
5.Debu jalanan yang masuk ke dalam rongga badan .
6.Tepung , baik beras atau ketan atau yang lainnya .
7.Lalat baik di rumah atau di jalan ..
v Beberapa masalah dalam puasa .
1.Apabila seorang anak jadi balig , orang sakit jadi sembuh atau
orang musafir jadi mukim sedangkan mereka dalam keadaan berpuasa , maka
wajib atas mereka untuk menahan diri tidak boleh membatalkan puasanya .
2.Apabila perempuan haid atau nifas jadi suci , orang gila jadi
sadar atau orang kafir masuk islam semuanya pada pertengahan ramadlan ,
maka disunnahkan atas mereka untuk menahan diri dari hal –hal yang
membatalkan puasa , dan orang kafir dan orang gila tadi tidak wajib
mengqadak puasanya .
3.Orang murtad wajib mengqadak puasanya selama masa murtadnya
walaupun pernah terkena gila di pertengahannya .
4.Termasuk kesalahan yang patal atas sebagian orang adalah ketika
mereka mendengar azan subuh mereka beramai-ramai minum dengan keyakinan
bahwa waktu sahur masih ada , padahal hal itu tidak boleh karena dapat
membatalkan puasa dan ia wajib mengqadaknya apabila puasa itu pardu ,
hal itu karena muazzin mengumandangkan azan sesudah masuk waktu subuh .
5.Apabila seseorang meninggal sedangkan ada kewajiban untuk
mengqadak puasa , maka boleh bagi walinya untuk menggantikannya dengan
puasa atau dengan membayarkannya fidyah setiap puasa 1 mud .
6.Dibolehkan pada puasa sunnah untuk membatalkan puasanya walaupun
tanpa uzur , lain halnya dengan piasa fardu maka tidak boleh , baik
ramdlan , qadak , atau nazar .
7.Haram hukumnya melakukan puasa wishal ( menyambung hari ini
dengan besok tanpa berbuka di antaranya ) .
8.Wajib hukumnya mengqadak puasa fardu dengan segera apabila ia
membatalkannya dulu tanpa uzur , sedangkan apabila karena uzur , maka
boleh ia menundanya sampai waktu ia mungkin berpuasa .
9.Apabila ada orang melakukan hal-hal yang membatalkan puasa maka
apabila orang itu adalah orang alim yang salih maka sunnah kita
menegurnya , tapi apabila orang itu adalah orang biasa maka wajib kita
menegurnya .
v Bab i’tikaf .
Depinisi I’tikaf menurut bahasa adalah berketetapan pada sesuatu
walaupun jelek , tapi kata sebagian ulama hanya pada yang baik-baik saja .
Sedangkan menurut syara’ adalah tinggalnya seseorang yang khusus pada
tempat yang khusus dengan niat yang khusus .
Fadilahnya banyak sekali , rasulullah saw bersabda :
ورد عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : من مشى فى حاجة أخيه كان خيراً
له من أعتكاف عشر سنين , ومن اعتكف يوماً ابتغاء وجه الله عز وجل جعل الله
بينه وبين النار ثلاث خنادق , كل خندق أبعد مما بين الخافقين " و أيضاً " من
اعتكف عشراً فى رمضان كان كحجتين و عمرتين " .
Artinya : “ Barang siapa berjalan untuk menyampaikan hajat saudaranya ,
maka itu lebih baik dari melakukan I’tikaf selama sepuluh tahun “ . dan
“ Barang siapa melakukan I’tikaf karena Allah maka Allah akan
menjauhkannya dari neraka sejauh tiga parid , tiap parid lebih jauh dari
dua petala bumi dan langit “ dan juga sabdanya “ Barang siapa
beri’tikaf sepuluh hari pada bulan ramadlan maka sama seperti melakukan
haji dan umrah dua kali “ .
· Hukum –hukum I’tikaf ada empat :
1.Wajib yaitu apabila ia bernazar .
2. Sunnah dan ini adalah hukum asalnya , pada sepuluh akhir
ramadlan sangat dianjurkan .
3. Makruh yaitu I’tikafnya perempuan yang masih cantik dengan izin
suaminya .
4. Haram ada dua :
1.Haram tapi sah yaitu I’tikafnya perempuan tanpa izin suaminya ,
atau dengan izinnya tapi ada fitnah di sana .
2. Haram dan tidak sah yaitu I’tikafnya perempuan yang sedang haid
atau nifas .
· Rukun-rukun I’tikaf ada empat :
1.Niat .
2. Tinggal ( pekerjaan ) .
3. Tempat ( tempat I’tikaf ) .
4. Orang yang I’tikaf .
· Syarat-syarat I’tikaf ada enam :
1.Niat , berdasarkan hadits ( انماالأعمال بالنيات )
2. Masjid yang khusus diwakafkan sebagai masjid , maka tidak sah
di madrasah atau rubat .
3. Harus tinggal lebih dari masa tuma’ninah shalat yaitu selama
ukuran bacaan tasbih , maka tidak sah kalau hanya lewat saja , lain
halnya kalau mondar mandir maka sah .
4. Harus dalam keadaan suci dari hadas besar seperti junub , haid
dan nifas .
5. Harus dalam keadaan berakal , maka tidak sah I’tikafnya orang
gila , apabila seseorang terkena gila sewaktu I’tikaf walaupun sebentar
maka I’tikafnya batal .
6.Harus dalam keadaan beragama islam , maka tidak sah I’tikafnya
orang yang murtad atau kafir asli .
· Sunnat-sunnat I’tikaf banyak sekali :
1.I’tikaf di masjid jami’ yang didirikan shalat jum’at .
2. I’tikaf sehari semalam .
3. I’tikaf sambil berpuasa .
4. Memperbanyak zikir dan doa .
5. Meninggalkan segala yang makruh dan tidak ada faedahnya .
6. Menazarkannya agar mendapatkan pahala ibadah fardu .
q Beberapa masalah dalam I’tikaf .
1.Seseorang masuk masjid dan berniat I’tikaf kemudian keluar ,
kemudian masuk lagi , apakah ia wajib berniat I’tikaf lagi ?
Dalam masalah ini ada tafshil :
1.Terkadang orang yang I’tikaf itu tidak menentukan lama
waktunya.
2.Terkadang orang yang I’tikaf itu sudah menetukan lama waktunya .
3.Terkadang I’tikaf itu dinazarkan .
4.Terkadang I’tikaf itu sunnah saja .
q penjelasan .
1.Apabila waktu I’tikaf tidak ditentukan maka kita perhatikan :
1.Apabila seseorang keluar dari masjid tanpa ada keinginan untuk
kembali lagi maka ia wajib berniat I’tikaf lagi , baik ia keluar untuk
qadak hajat atau lainnya .
2.Apabila ia keluar dari masjid tapi ada keinginan untuk masuk lagi
maka ia tidak wajib berniat I’tikaf lagi , karena keinginannya itu
menjadi pengganti niat .
2.Apabila waktunya sudah ditentukan misalnya sehari , sebulan tapi
tidak ia syaratkan harus berturut-turut maka kita perhatikan :
1.Apabila ia keluar untuk qadak hajat seperti kencing , buang air
besar dll maka ia tidak wajib lagi berniat I’tikaf apabila kembali masuk
masjid karena termasuk pengecualian .
2.Apabila ia keluar bukan untuk qadak hajat maka tetapi ada
keinginan untuk kembali sewaktu keluarnya maka ia tidak wajib berniat
lagi , adapun kalau tidak ada keinginan untuk kembali lagi maka wajib ia
berniat lagi .
3.Apabila seseorang masuk masjid dan lupa berniat I’tikaf ,
bolehkah ia berniat di dalam shalatnya ?
Jawab . Boleh ia berniat dalam hati di dalam shalatnya tapi tidak boleh
melafazkannya karena termasuk ucapan lain dan dapat membatalkan shalat .
· Hal-hal yang membatalkan I’tikaf ada enam :
1.Gila dan terkena ayan .
2.Orang yang sengaja mabuk .
3.Haid .
4.Murtad .
5.Hadast besar yang membatalkan puasa seperti onani dan jima’ .
6.Keluar dari masjid tanpa uzur , maksudnya orang yang keluar
seluruh badannya dari masjid dengan sengaja , dengan sepengetahuannya
dan atas kemauan sendiri .
· Beberapa masalah dalam I’tikaf yang berturut-turut .
1.Apabila seseorang bernazar untuk I’tikaf berturut-turut maka ia
wajib menjalankannya sesuai dengan nazarnya , apabila ia memutuskannya
maka ia wajib mengulang lagi dari pertama .
2.Hal-hal yang memutuskan I’tikaf yang berturut –turut ada empat :
1.Mabuk .
2.Kafir murtad .
3.Jima’ dengan sengaja .
4.Keluar dari masjid tanpa hajat dan yang termasuk hajat seperti
sakit , mandi , menghilangkan nak’jis , makan , minum , buang air besar
, kencing begitu juga apabila ia sewaktu berada di jalan untuk kembali
kemudian ia shalat janazah atau bersilaturrahmi .
3.hal-hal uzur yang tidak memutuskan I’tikaf yang berturut-turut
( kalau ia kembali ke masjid ia tidak perlu lagi berniat I’tikaf ) ada
tujuh:
1.Gila , terkena ayan , ini apabila orang yang beri’tikaf itu tetap
di masjid atau keluar karena darurat keduanya .
2.Orang yang keluar dari masjid karena dipaksa dengan paksaan yang
tidak cukup syarat .
3.Haid , apabila tidak cukup untuk masa suci .
4.Azan , yang dilakukan oleh mua’zzin yang digaji , dan ia
melakukan azan di menara di luar masjid .
5.Mengadakan hukuman qisas yang ditetapkan bukan karena
pengakuannya .
6.Habis masa iddah apabila bukan disebabkan karenanya .
7.Memberikan kesaksian atas sebuah kasus dan ia menjadi saksi utama
dan kesaksiannya tidak di masjid .
4.Seseorang bernazar I’tikaf secara berturut-turut tapi ia
mensyaratkan kebolehannya keluar dari masjid sewaktu I’tikaf , bagaimana
hukumnya ?
Jawab dalam masalah ini ada perincian tafshil :
1.Apabila ia mensyaratkan boleh keluar untuk sesuatu yang mubah
boleh yang tidak menggangu I’tikaf maka syaratnya itu sah , dan apabila
ia menta’yinkan ( menentukan ) suatu pekerjaan seperti mau menziarahi
kerabatnya maka ia tidak boleh mengerjakan lebih dari itu . Tapi apabila
ia tidak menta’yinkan suatu perbuatan ( itlaq ) maka ia boleh keluar
untuk keperluan- keperluan mubah seperti menemuai penguasa .
2.Apabila ia tidak mensyaratkan akan keluar untuk suatu keperluan
khusus misalnya ia berkata “ saya akan keluar apabila ada hajat untuk
keluar “ atau untuk keperluan yang haram seperti mencuri atau bukan ada
manfaat seperti keluar hanya untuk bersantai saja atau keluar untuk
melakukan sesuatu yang membatalkan I’tiakf seperti jima’ maka syaratnya
tidak sah dan tidak I’tikafnya tidak sah .
· Bab haji dan umrah .
Depinisi haji menurut bahasa adalah : al qasdu maksud .
Sedangkan depinisinya menurut syara’ adalah : az ziarah berziarah .
Asal wajib haji dalilnya yaitu firman Allah di alma surat ali Imran 97 .
" ولله على الناس حج البيت ن استطاع اليه سبيلاً "
Artinya : “ Dan telah diwajibkan atas manusia untuk melaksanakan haji
bagi orang-orang yang mampu“ . Qs Ali Imran 97 .
Tahun diwajibkannya adalah : pada tahun keenam hijrah , ada yang
berpendapat tahun kesembilan .
Fadhilahnya banyak sekali :
" قال صلى الله عليه وسلم : العمرة الى العمرة كفارة لما بينهما , و الحج
المبرور ليس له جزاء الا الجنة "
Artinya : Satu umrah ke umrah yang lainnya sebagai kaffarah penebus
dosa diantara keduanya dan haji yang mabrur itu tidak ada balasannya
kecuali surga “ . hr Bukhari .
" تابعوا بين الحج والعمرة , فانهما ينفيان الذنوب والفقر كما ينفي الكير
خبث الحديد والذهب والفضة , وليس للحجة المبرورة ثواب الا الجنة "
Artinya : Ikutilah diantara haji dan umrah karena keduanya menyucikan
dosa-dosa dan kefakiran seperti pembersih besi membersihkan
karatan-karatan besi , emas dan perak , dan haji yang mabrur itu tidak
ada balasannya kecuali surga “Hr Hukari , Ahmad , Ibn Majah .
" من حج هذا البيت فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه "
Artinya : Barang siapa yang berhaji ke baitullah sedang ia tidak
menyebut hal-hal cabul dan kefasikan maka ia keluar dari dosa-dosanya
seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya“ . Hr Bukhari .
Haji mabrur adalah : Haji yang tidak bercampur dengan dosa mulai dari
memakai ihram sampai tahallul . Ada pendapat mengatakan bahwa haji mabrur adalah yang diterima Allah .
Rasulullah saw telah melaksanakan haji sekali seumur hidup yaitu pada
tahun kesepuluh hiriyah , adapun sebelum hijrah beliau telah
melaksanakan haji beberapa kali .
Dan beliau telah mengerjakan umrah sebanyak empat kali :
1.Umrah Hudaibiyah pada bulan zul qaidah tahun keenam .
2.Umrah Qada’ pada bulan zul qaidah tahun ketujuh .
3.Umrah sesudah perang Hunain , beliau berihram dari ji’ranah pada
bulan syawal tahun kedelapan .
4.Umrah yang beliau kerjakan sewaktu berhaji menurut pendapat yang
mengatakan bahwa beliau mengerjakan haji Qiran .
Hukum haji adalah fardu ain berdasarkan ijma’ .
Hukum umrah adalah fardu ain didalam mazhab syafi’I . Ada yang
berpendapat sunnah mua’kkadah dan tidak diwajibkan kecuali sekali seumur
hidup . Haji dan umrah bisa wajib dikerjakan lebih dari sekali apabila
dinazarkan atau qada’ .
Haji diwajibkan dalam mazhab syafi’I dengan kewajiban tarakhiy atau
boleh ditunda sampai umur terakhir mampu mengerjakannya ( siinuntamkin)
tanpa dosa tetapi kalau lewat dari itu kemudian tidak mampu
mengerjakannya maka hukumnya dosa besar . Dan bisa juga menjadi wajib
faury dengan segera yaitu pada hal-hal berikut ini :
1.Apabila haji qada’ .
2.Apabila manazarkannya .
3.Apabila khawatir ketuaan dan tidak akan mampu secara fisik untuk
mengerjakannya .
4.Apabila khawatir takut akan terjadi kehancuran pada harta atau
disrinya .
· Hukum haji ada lima :
1.Fardu ain yaitu haji islam apabila terdapat syarat-syarat wajib
haji .
2.Fardu kiayah yaitu berhaji untuk menghidupkan ka’bah setiap tahun .
3.Sunnah seperti hajinya anak kecil yang belum balig , budak dan
hajinya orang yang mampu berjalan kaki lebih dari dua marhalah dari makkah .
4.Makruh seperti apabila khawatir kalau terjadi musibah pada
dirinya seperti hajinya orang fakir maskin yang mungkin kehabisan bekal .
5.Haram seperti hajinya seorang perempuan tanpa muhrimnya apabila
tidak aman di perjalanan , tanpa izin suaminya atau apabila yakin ada
mudarat di perjalanan .
· Maratib tingkatan-tingkatan haji dilihat dari syarat-syaratnya
ada lima :
1.Sihhah mutlaqah sah sama sekali yaitu mengerjakan haji hanya
dengan syarat islam saja maka sah hukumnya walaupun dikerjakn oleh anak
kecil , budak , orang gila atau perempuan haid .
2.Sihhah mubasyarah sah mengerjakan amalan-amalan haji seperti
tawaf wukuf dengan syarat islam dan tamyiz .
3.Sihhah nazar sah mengerjakan haji dengan nazar dengan syarat
islam , tamyiz dan balig .
4.Al-wuqu’ an hajjil islam hajinya jatuh menjadi haji islam ,
gugur kewajiban hajinya sesudah itu seumur hidup yaitu dengan syarat
islam , tamyiz , balig dan benar-benar merdeka dengan sempurna .
5.Al-wujub wajib ia mengerjakan haji yaitu dengan syarat islam ,
tamyiz , balig , merdeka dan mampu .
o Mampu dan artinya .
Syarat-syarat mampu ada enam :
1.Ada bekal untuk pergi dan pulang dan nafakah orang yang
ditinggalkan , lebih dari hutangnya dan untuk keperluan rumah dan
pembantu kalau ada .
2.Ada air dan perbekalan di tempat-tempat persinggahan .
3.Bisa menunggang kendaraan melakukan perjalanan dengan
kendaraan apapun tanpa mudarat .
4.Perjalanan itu masih mungkin mengantarkan kita sampai ke
tempat-tempat melaksanakan haji sebelum habis waktu .
5.Adanya kendaraan yang layak baginya .
Dan ditambahkan syarat bagi perempuan yaitu adanya teman baik suami ,
muhrim atau perempuan –perempuan tsiqat ( terpercaya ) .
o Macam-macam mampu ( isthitha’ah ) ada dua :
1. Mampu dengan sendiri ( istitha’ah bin nafsi ) artinya
kemampuan seseorang untuk mengerjakan haji sendiri atau dengan bantuan
orang untuk mengerjakannya , seperti dengan menyewa orang yang akan
menuntunnya menjalankan haji seperti orang buta yang tidak memiliki
penuntun yang menta’atinya seperti anaknya atau budaknya .
2. Mampu dengan orang lain ( istitha’ah bil gair ) artinya orang
yang tidak mampu mengerjakan haji sendiri tapi ia mampu menyewa orang
untuk mengerjakn haji dan umrahnya maka ia wajib menyewa seseorang untuk
mengerjakan haji dan umrahnya .
o Pekerajaan –pekerjaan haji ada tiga :
1.Rukun yaitu amalan –amalan haji yang menentukan sah dan tidaknya
haji dan harus dikerjakan sendiri tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat
diganti dengan dam atau fidyah dan tidak boleh ia bertahallul sebelum
mengerjakannya .
2.Wajib yaitu amalan –amalan haji yang apabila ditinggalkan haji
itu sah tapi wajib diganti dengan dam atau fidyah dan berdosa apabila
ditinggalkan tanpa uzur yang dibenarkan .
3.Sunnah yaitu amalan yang tidak ada kaitannya dengan sah dan
tidaknya haji tapi sangat menentukan kesempurnaan dan kemabruran haji itu .
· Rukun-rukun haji .
Rukun-rukun haji ada enam yaitu ihram , wukuf di arafah , thawaf , sa’I
, memotong atau menggunting rambut dan tertib diantara rukun . Dan
rukun-rukun umrah sama dengan rukun haji kecuali wukuf di arafah .
Rukun haji yang paling afdhal adalah wukuf di arafah ini menurut imam
Ibn hajar berdasarkan hadits :
" الحج عرفة "
Artinya : pokok haji itu adalah wukuf di padang arafah “ .
Sedangkan menurut imam Ramli yang paling afdhal adalah thawaf ifadhah
karena thawaf sama dengan shalat .
· Penjelasan rukun-rukun haji :
( 1 ) . Ihram .
Depinisi ihram adalah niat memasuki nusuk haji dengan semua cara dan
kaifiyatnya .
Dan kaifiyatnya ada tiga , sebagian menambahkan dua lagi sehingga jadi
lima :
1.Ifrad yaitu mengerjakan haji terlebih dahulu kemudian umrah ,
kaifiyat ini yang paling afdhal menurut mazhab syafi’I tapi dengan
syarat harus berumrah pada tahun itu juga ( sebelum masuk tahun baru
hijriyah berikutnya ) .
2.Tamattu’ yaitu mengerjakan umrah terlebih dahulu kemudian haji
dan wajib membayar dam dengan empat syarat .
3.Qiran yaitu mengerjakan haji dan umrah sekaligus , atau
mengerjakan umrah dulu kemudian memasukkan haji sebelum mengerjakan
thawaf qudum dan wajib juga membayar dan dengan dua syarat .
· Kaifiyat cara niat haji dan umrah :
1. Lafaz niat haji yaitu :
( نويت الحج وأحرمت به لله تعالى , لبيك أللهم بحجة )
2. Lafaz niat umrah yaitu :
( نويت العمرة وأحرمت بها لله تعالى , لبيك أللهم بعمرة )
3. Lafaz niat Qiran yaitu :
( نويت الحج والعمرة لله تعالى , لبيك أللهم بحجة وعمرة )
Apabila akan menghajikan seseorang maka lafaz niatnya yaitu :
( نويت الحج العمرة عن .....فلان بن فلان وأحرمت به بها لله تعالى ,
لبيك أللهم بحجة بعمرة )
4. Lafaz niat apabila itlaq ( tidak menjelaskan haji atau umrah ) yaitu :
( نويت الاحرام للنسك )
Maka sesudah berniat ia boleh memilih untuk mengerjakan haji atau umrah
tapi sebelum mengerjakan thawaf qudum .
5. Lafaz niat ta’liq( menggantungkan niatnya pada seseorang ) yaitu :
( نويت الاحرام كاءحرام زيد )
· Sunnah-sunnah ihram :
1.Menyukur kumis dan menyisir jenggot .
2.Mencabut bulu ketiak .
3.Memotong kuku .
4.Memotong bulu kemaluan .
5.Mandi ihram .
6.Memakai kain ihram putih , baru yang sudah dicuci .
7.Mewangikan badan , bukan pakaian .
8.Memakai sandal .
9.Mengerjakan shalat sunnat ihram , membaca surat al kafirun pada
rakaat pertama dan al ikhlas pada rakaat kedua .
10. Melafazkan niat nusuk pada awal talbiyah dengan suara rendah .
11. Memulai niat pada awal keberangkatan .
o Sayogyanya bagi setiap orang yang akan berhaji atau umrah untuk
menyebut syarat yaitu :
( اللهم محلى حيث حبستنى )
Artinya : Ya Allah saya jadi halal dimanapun saya tertahan “ .
Maka apabila ia terhalang seperti karena sakit atau tertahan polisi
untuk melanjutkan ihramnya ia tidak terkena fidyah ia hanya wajib
bertahalul dimana ia mendapatkan uzur .
( 2 ) . Wukuf di arafah .
Wukuf di arafah adalah rukun haji yang paling utama sebagaimana dalam
hadits :
( الحج عرفة , من أدرك عرفة قبل أن يطلع الفجر فقد ادرك الحج ) و قد ورد (
أعظم الذنب من وقف بعرفات وظن أن الله لم يغفر له )
Artinya : Pokok amalan haji itu adalah wukuf di arafah , maka barang
siapa yang mendapatkan wukuf di arafah sebelum fajar terbit ( tanggal 10
zul hijjah ) maka hajinya sah “ dan dalam hadits lain “ Dosa yang paling
besar adalah apabila seseorang dapat wukuf di arafah sedang ia mengira
bahwa Allah tidak mengampuninya“ Hr Turmuzi , Ibn Majah , Ahmad .
Imam Abdullah al haddad berkata :
( وفى عرفات كل ذنب مكفر * ومغتفر منا برحمة غافر )
Artinya : “ dan di padang arafah semua dosa-dosa terhapuskan *
Dengan pengampunan dan rahmat kami terhapuskan “
o Waktu wukuf di arafah masuk sesudah matahari tergelincir zawal
pada tanggal sembila zul hijjah sampai sebelum terbit fajar pada tanggal
sepuluh besoknya .
o Lama yang diwajibkan untuk hadir adalah walaupun sebentar tapi dalam
keadaan sadar berakal walaupun hanya lewat atau tertidur .
o Syarat-syarat wukuf adalah harus dalam keadaan sah ibadahnya yaitu
dalam keadaan berakal maka tidak sah apabila terkena penyakit ayan ,
mabuk atau gila .
o Sunnat-sunnat wukuf :
1.Mandi sebelum wukuf .
2.Memasuki padang arafah sesudah zawal .
3.Mengerjakan shalat jama’ taqdim antara zuhur dan ashar di arafah .
4.Memperbanyak zikir , tasbih , membaca al Qur’an , shalawat dan
doa dengan menangis .
5.Wukuf sambil menghadap ke kiblat .
6.Keluar ke batu di gunung rahmah tempat nabi saw dulu
melaksanakan wukuf agar terkena sinar matahri .
7.Tinggal di arafah sampai terbenam matahari malam .
8.Berniat shalat jama’ ta’khir di arafah kalau yakin akan dapat
mengerjakan shalat jama’ di muzdalifah sebelum habis waktu ikhtiyar
yaitu seperti malam atau pertengahan malam .
9.Berangkat menuju muzdalifah sesudah habis warna syafaq kuning
di langit sebelah barat sesudah magrib .
( 3 ) . Thawaf .
Thawaf hukumnya wajib berdasarkan firman Allah :
" وليطوفوا بالبيت العتيق "
Artinya : “ Dan hendaklah mereka thawaf mengelilingi ka’bah itu“ .Qs
Al Haj 29 .
Thawaf ini disebut dengan thawaf ifadhah .
o Syarat-syarat thawaf ada sepuluh :
1.Menutup aurat .
2.Suci dari hadats besar dan kecil , maka apabila ia bersentuhan
dengan perempuan bukan muhrin maka wudlu’nya thawafnya batal karena
wudlunya batal dan hal ini diakui sangat sulit sekali pada waktu ramai ,
maka para fuqaha membolehkan untuk bertaqlid kepada imam malik dalam
masalah wudlu supaya tidak batal wudlunya apabila bersentuhan dengan
perempuan ajnabi dan pada waktu berwudlu harus mengikuti kaifiyat
wudlunya imam malik yang membasuh semua rambut kepala .
3. Suci dari nak’jis pada badan pakaian dan tempat .
4.Menjadikan ka’bah di sebelah kiri walaupun tidak pas dan
hikmahnya adalah agar ka’bah itu berada di bagian hati manusia .
5.Memulai thawaf dari hajar aswad .
6.Harus pas antara badan kita dengan hajar aswad , maka apabila
badan kita lebih maju ke pintu ka’bah maka thawaf kita tidak sah .
7.Mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali dengan yakin .
8.Mengerjakan thawaf di dalam ka’bah .
9.Harus mengelilingi di luar ka’bah , syazarwan dan hijir ismail .
10. Tidak berniat untuk hal lain seperti thawaf untuk melihat temannya
tapi kalau disatukan maka sah misalnya thwaf dan untuk mencari teman .
· Waktu thawaf ifadhah .
Thawaf ifadhah masuk waktunya dari pertengahan malam tanggal
sepuluh dan waktunya tidak habis seumur hidup , tapi yang afdhal adalah
menyegerakan thawaf pada tanggal sepuluh sebelum zawal tergelincir
matahari , sehingga ia dapat kembali ke mina dan shalat zuhur di sana .
oSunnat-sunnat thawaf :
1.Thawaf tanpa alas kaki dan dengan langkah agak rapat .
2.Raml yaitu berjalan dengan setengah lari sampai bergerak kedua
pundak tanpa melompat . Dan raml ini disunnatkan apabila ada sa’I
sesudah thawaf itu .
3.it’thiba’ yaitu menjadikan kain ihram sebelah kanan di bawah
ketiak dan yang sebelah kiri di atas pundak dan hanya disunnahkan pada
thawaf yang ada ramlnya .
4.Mendekat ke ka’bah kalau memungkinkan .
5.Thawaf dengan tenang dan tanpa bicara .
6.Mengangkat tangan sewaktu berdoa.
7.Muwalah yaitu mengerjakan thawaf dari pertama sampai habis
berturut-turut .
8.Membaca doa –doa thawaf dan zikirnya .
9.Memberi salam istilam kepada hajar aswad dan menciumnya dan
mencium tangannya sesudah itu .
10. Mengistilam rukun yamani dan mencium tangannya sesudah itu .
11. Melaksanakan shalat sunnat thawaf dua rakaat sesudah itu dengan
suara nyaring di belakang makam ibrahim atau di dalam hijir ismail atau
di masjid atau dimanapun juga seumur hidup .
12. Membaca doa di multazam ( tempat diantara hajar aswad dan pintu
ka’bah .
13. Membaca doa di hathim ( tempat diantara hajar aswd dan makam
ibrahim ) .
14. Minum air zam zam dengan kenyang dengan niat untuk kepentingan
dunia dan akhirat berdasarkan hadits :
" ماء زمزم لما شرب له "
Artinya : Air zamzam itu untuk apa yang kita niatkan “ Hr Daruqutni
dan Ibn Majah .
o Satu masalah . Apabila seseorang ditandu pada waktu thawaf atau sa’I
maka apakah terhitung buat penandu atau yang ditandu ?
Jawab pada tiga tempat hal terhitung buat yang ditandu :
1.Apabila yang menandu memikul tidak berihram sedangkan yang
ditandu berihram .
2.Apabila yang menandu berihram dan ia thawaf untuk dirinya sendiri .
3.Apabila orang yang menandu berihram tapi ia tidak thawaf untuk
dirinya sedangkan waktu thawaf sudah masuk .
Selain dari yang tiga ini maka semuanya terhitung jatuh untuk yang
menandu .
( 4 ) . Sa’I .
sa’I adalah bejalan dari shafa ke marwah bolak-balik sebanyak tujuh kali
ini berdasarkan firman Allah swt :
( ان اصفا و المروة من شعائرالله , فمن حج البيت او اعتمر فلا جناح عليه أن
يطوف بهما , ومن تطوع خيرأً فان الله شاكر عليم ) .
Artinya : Sesungguhnya gunung shafa dan gunung marwah itu termasuk dari
Sya’airillah tempat-tempat ibadah kepada Allah , maka barang siapa
yang berhaji atau umrah maka ia tidak berdosa apabila berkeliling ( sa’I
) diantara keduanya , dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan maka
sesungguhnya Allah maha bersyukur dan mengetahui“ Qs . Al Baqarah 158 .
Juga berdasarkan hadits :
( يأيها الناس اسعوا , فان الله قد كتب عليكم )
Artinya : Hai manusia bersa’ilah kalian karena Allah telah mewajibkan
kalian bersa’I“ Hr Ahmad dan Daruqutni .
· Syarat-syarat sa’I ada enam .
1.Memulai setiap hitungan ganjil di shafa .
2.Memulai setiap hitungan genap di marwah .
3.Harus genap tujuh kali dengan yakin pergi dihitung sekali
baliknya dihitung sekali .
4.Harus sesudah mengerjakan thawaf yang sah .
5.Tidak memaksudkan hal-hal lain .
6.Tidak keluar jauh dari batas-batas shafa dan marwah .
· Waktu mengerjakan sa’I .
Waktu mengerjakn sa’I adalah sesudah mengerjakan thawaf yang sah baik
thawaf Qudum ( baru datang ) atau thawaf ifadhah ( thawaf wajib ) dan
waktunya tidak habis seumur hidup .
· Sunnat-sunnat thawaf :
1.Naik ke gunung shafa dan marwah setinggi orang berdiri .
2.Membaca zikir dan doa di setiap putran .
3.Berjalan dengan pelan dan berlari-lari kecil diantara dua pilar
hijau bagi laki-laki saja .
4.Mengerjakn sa’I sampai habis putarannya ( muwalah ) .
5.Dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil dan nak’jis .
6.Muwalah antara thawaf , sa’I , shalat sunnat thawaf dan istilamnya .
7.Membaca doa-doa yang warid berdasarkan hadits .
8.Menutup aurat baik laki .
9.Berpakaian dengan cara it’thiba’ seperti waktu thawaf .
o Manakah yang lebih afdhal mengerjakan sa’I sesudah thawaf Qudum atau
thawaf ifadhah ?
Jawab , dalam masalah ini ada khilaf ulama :
Imam Ibn hajar mengatakan lebih afdhal sesudah thawaf Qudum karena
mengikuti Rasulullah saw . Sedangkan Imam Ramli mengatakan bahwa lebih
afdhal sesudah thawaf ifadhah karena syarat sah sa’I adalah harus
sesudah thawaf yang sah dan pada waktu thawaf Qudum biasanya akan batal
wudlunya karena bersentuhan dengan perempuan wudlunya akan batal juga
karena thawaf ifadhah dikerjakan sesudah tahallul pertama jadi dapat
memakai pakaian yang dapat menjaganya dari bersentuhan dengan perempuan
ajnabi sehingga thawafnya sah dan sa’inya juga sah .
( 5 ). Mencukur rambut .
· Halqun taqsir adalah mencukur paling kurang tiga helai rambut
bagaimanapun caranya .
· Waktu mencukur adalah mulai dari pertengahan malam tanggal
sepuluh idul adha dan waktunya tidak habis seumur hidup .
· Sunnat-sunnat mencukur :
1. Mengundurkan menta’khirkannya sampai selesai melempar jumrah
aqabah dan sesudah menyembelih hadi kurban dan dikerjakan pada hari
raya idul adha ( hari nahr ) .
2. Memulai memotong dari kepala bagian kanan sambil menghadap ke
kiblat .
3. Bergundul bagi laki-laki dan memotong sebagian saja bagi
perempuan tapi disunntkan mengambil dari beberapa bagian kepala .
4. Membaca doa waktu mulai dicukur :
" الله اكبر , ألله اكبر , الله اكبر , اللهم هذه ناصيتى بيدك , فاجعل لى
بكل شعرة نوراً الى يوم القيامة , واغفر لى ذنوبى "
Artinya : Allah akbar 3 X ya Allah inilah keningku diriku ada di
tanganmu maka jadikanlah dengan setiap rambutku ini zahaya bagiku sampai
hari kiamat dan ampunilah dosa-dosaku “
Kemudian setelah selesai membaca :
" اللهم آتنى بكل شعرة حسنة , وامح عنى سيئة , وارفع لى بها درجة واغفر لى
وللمحلقين والمقصرين ولجميع المسلمين "
Artinya : ya Allah berikanlah aku dengan setiap rambutku kebaikan , dan
hapuslah dosa-dosaku , dan angkatlah derajatku , ampunilah bagiku dan
bagi orang-orang yang mencukur selurih rambutnya , juga orang-orang yang
hanya memotong sebagian rambutnya dan juga semua kaum muslimin “ .
5. Orang yang bercukur tidak mensyaratkan ongkos mencukur kepada
tukang cukur .
6. Menanam rambut di tempat yang tidak dilalui orang .
7. Menggores-goreskan pisau cukur bagi orang yang tidak punya
rambut botak atau gundul .
oSatu masalah . apabila seseorang melakukan thawaf Qudum dan belum
bersa’I , kemudian ia ingin sa’I sesudah wukuf maka hal itu tidak boleh
, karena waktu sa’I adalah mulai dari selesai thawaf Qudum sampai
selesai wukuf , jadi waktunya sudah habis .
( 6 ) . Tertib antara rukun-rukunnya .
1.Wajib mendahulukan niat ihram sebelum semua amalan-amalan haji .
2.Wajib mendahulukan wukuf sebelum thawaf rukun ifadhah .
3.Wajib mendahulukan thawaf rukun sebelum sa’I , apabila tidak
mengerjakan sa’I sesudah thawaf Qudum .
4.Wajib mendahulukan Wukuf sebelum mencukur .
v Wajib-wajib haji .
Wajib-wajib haji ada enam :
1.Berihram dari miqat .
2.Bermalam ( mabit ) di muzdalifah .
3.Melempar jumratul aqabah .
4.Melempar jumrah yang tiga pada hari-hari tasyriq 11,12,13 .
5.Bermalam di mina pada hari-hari tasyriq .
6.Melakukan thawaf wada’ .
· Penjelasan .
( 1 ) . Berihram dari Miqat .
Arti berihram dari miqat adalah berniat akan melaksanakan haji atau
umrah di miqat atau sebelum melewati batas waktu atau tempat miqat .
· Macam-macam miqat ada dua :
1 ). Miqat zamani waktu yaitu waktu-waktu yang sah berniat ihram di
dalamnya baik ihram haji atau umrah .
1-Waktu ihram haji adalah pada bulan-bulan haji : syawal ,
zulqaidah dan tanggal sepuluh zulhijjah .
2-Waktu ihram umrah adalah setiap waktu kecuali dua waktu yaitu :
1.Sesudah tahallul sampai keluar dari mina , karena masih ada
kewajiban-kewajiban haji .
2.Apabila sudah berihram dengan haji maka tidak boleh lagi
berihram dengan umrah .
o Satu masalah . tidak boleh memasukkan umrah pada haji tapi kalau
sebaliknya maka dibolehkan karena ada faedahnya yaitu adanya
amalan-amalan haji yang tidak terdapat dalam ibadah umrah .
2 ). Miqat makani tempat yaitu tempat-tempat yang sah berniat ihram
haji atau umrah , maka wajib berniat sebelum melewati batas miqat
berdasarkan hadits nabi saw :
( هن لهن ولمن اتى عليهن من غير أهلهن ممن أراد الحج أو العمرة )
Artinya “ Miqat-miqat itu bagi penduduk-penduduknya dan bagi
yang melewatinya yang bukan dari penduduknya bagi siapa saja yang hendak
berhaji atau umrah “ . Hr Bukhari.
Miqat penduduk makkah berbeda dengan miqat orang-orang yang datang
dari jauh ( afaqiyyun ) .
1.Miqat penduduk makkah :
1-Untuk ihram umrah adalah di perbatasan tanah halal dan tanah
hharam dimanapun tempatnya , tapi yang afdhal di tan’im , ji’ranah dan
hudaibiyah .
2-Untuk ihram haji adalah di rumah masing-masing atau masjid .
Dan barang siapa yang rumahnya tempatnya berjarak dari makkah kurang
dari dua marhalah maka boleh berniat ihram haji atau umrah dari rumah
tempatnya seperti penduduk Jeddah .
2.Miqat afaqiyyin ( orang-orang selain penduduk makkah ) untuk
ihram haji atau umrah adalah :
1-Yalamlam sebuah tempat dekat desa sa’diyah , miqat ini bagi
penduduk yaman atau yang melewatinya .
2-Qarnulmanazil sebuah tempat yang dikenal sekarang dengan nama “
sailulkabir “ berada di jalur thaif makkah , miqat ini untuk penduduk
nejed atau yang melewatinya .
3-Zatuirqin bagi penduduk irak atau yang melewatinya .
4-Al-Juhfah bagi penduduk syam , mesir , maroko atau yang
melewatinya .
5-Zulhulaifah sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan nama “
bir ali “ miqat ini bagi penduduk madinah atau yang melewatinya dan
miqat ini adalah miqat yang paling afdhal karena merupakan miqatnya
Rasulullah saw .
oBeberpa masalah dalam hal berihram dari miqat :
1-Manakah yang paling afdhal berniat ihram dari daerahnya , rumahnya
tempatnya atau di miqat yang sudah ditentukan ?
Jawab , dalam masalah ini ada khilaf : menurut Imam Nawawi yang paling
afdhal adalah berihram di miqat mengikuti rasulullah saw . Sedangkan
menurut Imam Rafi’I yang paling afdhal adalah berihram dari tempatnya
rumahnya karena pahalanya akan lebih banyak berdasarkan hadits :
( وان لك من الأجر على قدر نصبك )
Artinya “ dan pahala yang kamu dapat adalah seberat yang kau
kerjakan“ Hr Bukhari .
2-Bagaimana hukumnya apabila seseorang yang akan berhaji atau
umrah melewati miqat tanpa ihram ?
Jawab , Ia wajib membayar dam kecuali kalau ia kembali ke
miqat yang tadi sebelum mengerjakan thawaf atau yang lainnya dari
amalan-amalan haji atau umrah .
3- Bagaimana hukumnya apabila seseorang melewati miqat tanpa
ihram kemudian karena ia tidak ingin melaksanakan haji atau umrah tapi
kemudian di tengah jalan ia berkeinginan ?
Jawab , ia wajib berniat ihram di tempat ia berkeinginan
untuk melaksanakan haji atau umrah .
4- Bagaimana hukumnya apabila seseorang sampai di makkah baru
berkeinginan untuk melaksanakan haji atau umrah dimanakah miqatnya ?
Jawab , miqatnya adalah sama dengan miqat penduduk makkah
dalam haji atau umrah .
6- Apakah kewajiban bagi orang yang melewati miqat tanpa ihram
karena lupa ?
Jawab , Ia wajib kembali ke miqatnya kalau tidak maka ia
wajib membayar dam .
( 2 ) . Mabit di Muzdalifah .
o Waktunya adalah mulai dari pertengahan malam hari nahr hari raya
idul adha tanggal sepuluh zulhijjah sampai terbit matahari .
o Lama mabit yang diwajibkan adalah walaupun sebentar sesudah masuk
pertengahan malam .
o Sunnat-sunnat mabit :
1.Mandi apabila belum mandi di arafah .
2.Shalat jama’ ta’khir magrib dan isya’ di muzdalifah kalau
memungkinkan kalau tidak maka boleh dikerjakan di arafah .
3.Memungut tujuh batu kerikil untuk melontar jumrah aqabah , tapi
yang ingin memungut lebih maka dibolehkan .
4.Bagi para wanita dan orang-orang tua beresiko tinggi maka
disunnatkan terlebih dahulu menuju mina untuk melontar jumrah aqabah
sebelum ramai .
5.Melaksanakan shalat subuh di muzdalifah dan memperbanyak zikir
sampai tampak terang di timur .
6.Berzikir di masy’arilharam , dan masy’arilharam adalah daerah
muzdalifah semuanya , sebagian mengatakan masy’arilharam adalah gunung
Quzah yang berada du belakang muzdalifah ada juga yang mengatakan
masy’arilharam adalah masjid yang ada di dekat gunung .
7.Berjalan dengan agak bergegas jalan cepat di Wadi Muhassir ,
sebuah tempat antara muzdalifah dan mina .
8.Sebagian ulama menganjurkan membaca dua bait syair yang dibaca
oleh sahabat Abdullah bin Umar ra yaitu :
" اليك تعدو قلقاً وضينها * معترضاً فى بطنها جنينـــــــها "
" مخالفاً دين النصارى دينها * قد ذهب الشحم الذى يزينها "
Artinya : Hanya kepadamulah susunan kekhawatiran itu
memberontak , sebagaimana memberontaknya janin alma perut ibunya “
Agama yang dibawanya berbeda dengan agama nasrani , telah
hilang gajih-gajih yang menjadi penghias “
· Masuknya waktu sebab-sebab tahallul .
Dengan masuknya pertengahan malam maka telah masuk bagi waktu lima
sesuatu , tiga diantaranya disebut sebab-sebab tahallul :
1.Melontar jumratul aqabah .
2.Mencukur atau memotong rambut .
3.Thawaf ifadhah .
Yang tiga ini adalah sebab-sebab tahallul dan masuk juga :
4.Mabit di muzdalifah .
5.Menyembelih qurban nahr dan hukumnya adalah sunnat kecuali
kalau dinazarkan dan makruh hukumnya melambatkan menta’khirkan
amalan-amalan ini dari hari raya .
o Tahallul dari ihram , haji memiliki dua tahallul .
1.Tahallul pertama yaitu apabila mengerjakan dua diantara
sebab-sebab tahallul yang telah disebut di atas , maka ia boleh
mengerjakan semua larangan ihram kecuali tiga hal yang bertalian dengan
wanita : aqad nikah , mencumbu istri dan jima’ .
2.Tahallul kedua yaitu apabila mengerjakan sebab yang ketiga yaitu
thawaf ifadhah , maka ia boleh mengerjakan semua larangan-larangan ihran
sampai masalah wanita yang tadi , ini kalau sudah mengerjakan sa’I
sesudah thawaf qudum maka kalau belum mengerjakan sa’I maka tidak boleh
ia bertahallul kedua kecuali kalau ia bersa’I sesudah thawaf ifadhah dan
sesudah bercukur dan melempar jumrah .
Dan disunnatkan mengerjakannnya dengan tertib seperti huruf “ رنحط “
ranhath : ra’ : ramyun ( melontar jumrah ) kemudian nun : nahrun (
berqurban ) kemudian ha’ : halqun ( bercukur ) kemudian tha’ : thawaf .
Dan disunnatkan juga memakai wangi-wangian , minyak rambut dan
berpakaian diantara dua tahallul dan juga disunnatkan tidak melakukan
jima’ sampai habis hari tasyrik .
( 3 ) . Melontar jumratul aqabah .
o Waktunya adalah mulai dari pertengahan malam hari raya sampai
terbenamnya matahari tanggal 13 hari tasyrik .
o Syarat-syarat melontar jumratul aqabah ada sembilan :
1.Harus melontar dari bawah gunung ini pada zaman dulu , kalau
sekarang boleh melontar dari lantai atas .
2.Harus dengan tujuh batu yang dilontar secara satu-persatu .
3.Harus dengan batu hitam yang asli tidak sah denga bata atau kayu .
4.Harus dengan melontar tidak sah dengan cara meletakkan .
5.Harus dilontar dengan tangan .
6.Harus yakin yang batunya masuk kedalam kolam jumrah .
7.Tidak memaksudkan hal yang lain .
8.Harus memaksudkannya untuk ibadah , tidak sah apabila
memaksudkan melontar tiang yang ada di tengah kolam jumrah itu .
9.Harus sebelum terbenamnya matahari pada tanggal 13 hari tasyrik
itu .
o Melontar bagi orang yang lemah .
Barang siapa yang tidak mampu melontar jumrah maka ia wajib
mencari wakil yang akan menggantikannya walaupun dengan upah lebih
sedikit dari biasanya .
o Batas –batas yang dikatakan lemah adalah apabila ada masyaqqah
kesulitan yang tidak dapat dipikulnya apabila ia melontarnya sendiri dan
kalau ia sesudah dilontarkan orang jadi kuat dan mampu ia tidak wajib
mengulangi lontarannya lagi dan disyaratkan bagi wakil itu harus sesudah
selesai melontar buat dirinya terlebih dahulu .
o Sunnat-sunnat melempar jumrah aqabah :
1. Mendahulukan melontar jumrah dari mencukur dan memotong kurban
, dan habislah waktu membaca talbiyah .
2. Melontar sesudah matahari naik tapi sebelum tergelincir .
3. Melontar saat pertama datang di mina .
4. Menjadikan mina di sebelah kanan dan makkah di sebelah kiri .
5. Membaca takbir setiap lemparan .
6. Batu kerikilnya sebesar biji kacang tanah atau telur burung .
7. Melontar dengan tangan kanan .
8. Melontar dengan mengangkat tangan sampai terlihat putihnya ketiak.
9. Batu kerikilnya sudah sudah suci .
( 4 ) . Melontar tiga jumrah pada hari-hari tasyrik .
o Waktunya adalah sesudah tergelincir matahari setiap hari tasyrik
sampai sebelum terbenamnya matahari pada tangal 13 hari terakhir
tasyrik , melempar hari pertama mulai pada tanggal 11 zulhijjah sesudah
tergelincirnya matahari sampai terakhir hari tasyrik , melontar hari
kedua pada tanggal 12 zulhijjah dengan waktu yang sama dengan hari
pertama dan melontar hari ketiga pada tanggal 13 dengan waktu mulai yang
sama dan habis dengan terbenamnya matahari , terakhir hari tasyrik .
o Waktu –waktu melontar jumrah ada tiga :
1.Waktu fadhilah ( afdhal utama ) yaitu sesudah zawal
tergelincirnya matahari .
2.Waktu ikhtiyar ( boleh memilih ) yaitu mulai dari zawal sampai
terbenam matahari .
3.Waktu jawaz ( boleh mengundurkan ) yaitu mulai dari zawal hari
pertama sampai terbenamnya matahari tanggal 13 hari terakhir tasyrik .
o Syarat-syarat melontar jumrah yang tiga ada sepuluh syarat :
1.Harus sesudah melontar jumratul aqabah .
2.Harus melontar tiap-tiap jumrah dengan tujuh batu kerikil .
3.Harus tertib jumrahnya mulai dari jumratul ula kemudian jumratul
wustha dan terakhir jumratul aqabah .
4.Harus melontar sesudah zawal ( tergelincirnya matahari waktu
zuhur ) .
5.Harus benda yang dilempar itu adalaah batu hitam asli .
6.Harus dengan cara dilontarkan .
7.Harus dilontarkan dengan tangan .
8.Harus yakin batunya masuk ke dalam kolam jumrah .
9.Tidak meniatkan untuk hal lain .
10. Harus meniatkan melontar jumrah .
o Sunnat-sunnat melontar jumrah yang tiga ada lima :
1.Mandi sebelum melontar .
2.Batu kerikilnya sebesar kacang tanah .
3.Bertakbir di tiap-tiap lontaran .
4.Berdoa sesudah melontar di jumratul ula dan jumratul wustha saja
sedangakan di jumratul aqabah tidak disunnatkan .
5.Melontar sambil menghadap ke kiblat .
( 5 ). Mabit ( bermalam ) di mina pada hari-hari tasyrik tanggal
11,12dan 13 zulhijjah .
o Waktunya mulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar .
o Lama mabit yang diwajibkan adalah harus lebih dari setengah malam .
o Nafar awal ( kelompok pertama ) yaitu orang-orang yang keluar lebih
dahulu dari mina pada tanggal 12 zulhijjah ini berdasarkan firman Allah
swt :
o
( فمن تعجل فى يومين فلا اثم عليه )
Artinya : Maka barang siapa yang keluar dari mina lebih dahulu yaitu
sesudah tinggal selama dua hari mkaa ia tidak berdosa “Q s Al Baqarah 203.
Maka boleh melakukan nafar awal dengan enam syarat kalau salah satu dari
syarat-syarat ini tidak ada maka tidak boleh melakukan nafar awal tapi
ia wajib melakukan mabit lagi pada malam tanggal 13 .
o Syarat-syarat nafar awal ada enam :
1.Melakulan nafar keluar dari mina pada tanggal 12 hari tasyrik .
2.Harus keluar sesudah zawal .
3.Harus sesudah melontar jumrah hari pertama dan kedua .
4.Harus sesudah mabit dua malam .
5.Harus berniat di mina keluar dari mina , maka apabila ia sampai
di makkah baru berniat maka ia wajib kembali lagi ke mina untuk berniat
nafar .
6.Harus sebelum terbenamnya matahari , maka apabila sampai
terbenamnya matahari ia masih di mina maka ia wajib mabit lagi dan
melontar lagi besoknya dan memakai nafar tsani ( keluar pada tanggal 13
hari tasyrik ) kecuali apabila ia terlambat katrena keperluan nafar
seperti menunggu kendaraan atau karena ramai .
( 6 ) . Thawaf wada’ ( perpisahan ) .
· Thawaf wada’ hukumnya wajib menurut pendapat yang lebih sahih
( Qaul ashah ) di dalam mazhab syafi’I atas semua orang yang akan
meninggalkan makkah pulang ke negerinya atau kembali ke tempat yang
jauhnya dari makkah dua marhalah .
· Syaratnya adalah harus mengherjakan thawaf ini sebelum
berangkat musafir , maka ia tidak boleh tinggal lagi di makkah kecuali
untuk keperluan musafir , apabila ia tinggal lagi tanpa uzur maka ia
wajib lagi mengulang thawafnya . Tapi menurut lawanan pendapat yang di
atas ( Qaul sahih ) thawaf wada’ dalam mazhab syafi’I hukumnya adalah
sunnat mua’kadah dan pendapat ini sama dengan mazhab maliki .
· Thawaf wada’ tidak diwajibkan atas wanita yang sedang haid
atau nifas dan mereka tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah (
tebusan ) apabila meninggalkannya , tapi apabila mereka suci sebelum
keluar dari batas kota makkah maka mereka wajib kembali untuk thawaf .
v Sunnat-sunnat haji .
Sunnat-sunnat haji banyak sekali dan hampir semuanya sudah disebut
bersama rukun dan wajib haji . Namun ada beberapa sunnat yang belum
disebut di atas yang akan kami sebutkan di sini :
1.Talbiyah membaca lafaz-lafaz talbiyah dan lafaznya adalah :
" لبيك اللهم لبيك , لبيك لا شريك لك لبيك , ان الحمد و النعمة لك و الملك
, لا شريك لك "
Artinya : Kami datang ya Allah menyambut panggilanmu , kaulah zat
yang tidak ada sekutunya , sesungguhnya segala puji , nikmat dan
kerajaan hanya milikmu , kaulah zat yang tidak ada sekutunya “ .
Maka disunnatkan memperbanyak membacanya dan disunnatkan dengan
mengangkat suara bagi laki-laki dan disunnatkan sesudahnya untuk membaca
shalawat nabi , berdoa memohon surga dan terhindar dari api neraka dan
berdoa dengan apa-apa yang ia inginkan dan suka .
o Waktu membaca talbiyah :
1.Kalau di dalam haji yaitu sejak mulai berniat ihram di miqat
sampai mengerjakan sebab-sebab tahallul .
2. Kalau dalam umrah yaitu sejak mulai berniat ihram di miqat
sampai akan mengerjakan thawaf .
Talbiyah ini lebih disunnatkan lagi untuk membacanya yaitu tatkala jalan
menanjak naik atau tajam turun , waktu bersama berkumpul , tidak
sedang shalat . Dan apabila orang yang sedang berihram itu baik haji
atau umrah melihat hal-hal yang menakjubkan maka disunnatkan membaca :
" لبيك , ان العيش عيش الآخرة "
Artinya : Kami sambut panggilanmu ya Allah , sesungguhnya hidup
yang kau ridhoi ( kehidupan yang sebenarnya ) adalah kehidupan di
akhirat “ .
2.Masuk kota makkah dari jalan atas pada waktu siang dengan
berjalan kaki tanpa alas kaki dan mandi sebelumnya . Dan yang afdhal
masuk masjid lewat pintu “ babussalam “ sambil membaca doa waktu melihat
ka’bah .
3. Thawaf Qudum adalah sunnat bagi semua orang yang masuk ke kota makkah
baik ia berhahaji , umrah atau tidak berihram sama sekali , tapi bagi
orang yang berumrah thawaf Qudumnya masuk sekaligus dengan thawaf
umrahnya dan bagi yang berhaji waktunya habis dengan melakukan wukuf di
arafah . Adapun bagi orang yang tidak berihram sama sekali maka waktunya
tidak habis sampai ia keluar dari makkah . Dan kita disunnatkan untuk
memperbanyak melakukan thawaf –thawaf sunnat walaupun pada waktu-waktu
yang makruh untuk shalat .
4. Mabit bermalam di mina pada malam arafah ( malam tanggal 9
zulhijjah) maka ia disunnatkan menjama’ shalat zuhur dan ashar , magrib
dan isya’ jama’ taqdim atau ta’khir juga shalat fajar di sana , mandi
untuk setiap shalat , mengerjakan shalat di masjid khaif dan
mendengarkan khutbah . Dan sunnatnya berangkat menuju arafah setelah
matahari naik dan nampak di gunung tsabir ( nama gunung di mina ) .
v Bab muharramat ihram ( larangan-larangan dalam ihram ) .
· Muharramat ihram adalah hal-hal yang diharamkan bagi orang
yang sedang berihram baik laki-laki atau perempuan yaitu menutup kepala
, memakai pakaian berjahit , menutup wajah , memakai sarung tangan bagi
wanita , memotong mencabut bulu dan kuku , berwangi-wangi , jima’
meminyakkan rambut atau jenggot , berburu dan memotong tanaman-tanaman
tanah haram yang basah .
· Macam-macam larangan ihram dilihat dari kekhususannya :
1.Larangan yang khusus bagi laki-laki yaitu memakai pakaian yang
berjahit dan menutup kepala .
2.Larangan yang khusus bagi wanita yaitu menutup wajah dan memakai
sarung tangan .
3.Larangan yang diharamkan bagi laki-laki dan wanita yaitu
larangan-larangan yang lainnya .
· Macam-macam larangan ihram dilihat dari keuzuran yang
diberikan :
1.Larangan-larangan yang diuzurkan dimaafkan bagi orang yang
tidak tahu ( jahil ) dan orang yang lupa ( nasy ) yaitu
larangan-larangan yang bersifat berhias atau disebut “ bab taraffuh “
seperti berwangi-wangi , jima’ , memakai pakaian yang berjahit , menutup
kepala , wajah dan memakai minyak rambut maka apabila larangan-larangan
ini dilanggar oleh orang yang tidak tahu hukumnya atau orang yang lupa
maka ia tidak dikenai fidyah ( denda ) apapun juga .
2.Larangan- larangan yang tidak diuzurkan dimaafkan bagi orang
yang tidak tahu hukumnya atau lupa yaitu larangan-larangan yang yang
bersifat merusak yang disebut “ bab itlaf “ ( merusak ) seperti
memotong bulu atau kuku , berburu , mencabut memotong tanaman-tanaman
tanah haram maka apabila larangan-larangan ini dilanggar maka ia wajib
membayar fidyah ( denda ) walaupun tidak tahu hukumnya atau lupa .
· Macam-macam larangan ihram dilihat dari besar kecil dosanya :
1.Termasuk dosa besar ( kaba’ir ) yaitu berburu dan jima’ .
2.Termasuk dosa kecil ( shaga’ir ) yaitu larangan lainnya .
· Macam-macam larangan ihram dilihat dari dosa dan fidyahnya :
1.Larangan yang dibolehkan karena ada keperluan , tidak haram dan
tidak ada fidyah yaitu memakai celana apabila tidak ada sarung ihram dan
memakai khuf apabila tidak ada sandal .
2. Larangan yang ada dosanya tapi tidak ada fidyahnya yaitu aqad
nikah , mencumbu wanita dengan sahwat dalam keadaan berpakaian , melihat
wanita dengan sahwat , membantu seseorang untuk berburu walaupun
binatangnya untuk orang yang halal ( tidak berihram ) .
3. Larangan yang ada fidyahnya tapi tidak ada dosa yaitu apabila
laki-laki harus menutup kepalanya dan wanita menutup wajahnya.
4. Larangan yang ada fidyahnya dan dosanya yaitu larangan
–larangan yang lainnnya .
· Penjelasan tentang larangan-larangan ihram .
1-Menutup kepala yaitu dengan semua yang terhitung penutup
menurut adat kebiasaan .
2-Memakai pakaian yang menutup atau berjahit yaitu pakaian
yang menutup badan atau sebagiannya baik berjahit atau tidak .
3-Menutu wajah dan memakai sarung tangan yaitu bagi wanita .
4-Mencabut memotong rambut dan kuku yaitu semua bulu yang
tumbuh di badan dari atas sampai bawah .
5-Berwangi-wangian yaitu memakai semua jenis wangi-wangian
yang terhitung sebagai pewangi menurut adat kebiasaan maka haram
memakainya menurut cara dipakainya .
6-Jima’ dan muqaddimatnya ( percumbuannya ) , jima’ dapat
merusak haji atau umrah dengan empat syarat :
· Dalam keadaan tahu keharamannya .
· Dalam keadaan sengaja .
· Karena keinginan sendiri .
· Sebelum tahallul pertama kalau dalam haji atau sebelum selesai
dari pekerjaan pekerjaan umrah dalam umrah .
oOrang yang rusakbatal haji atau umrahnya dikenakan lima sesuatu:
1.Melanjutkan pekerjaan hajinya atau umrahnya sampai selesai
seperti orang yang sah haji atau umrahnya .
2.Mendapat doasa besar .
3.Wajib segera mengqadaknya ( alalfaur ) .
4.Dikenakan denda berat ( kaffarah uzma ) .
5.Dikenakan ta’zir ( hukuman berdasarkan kebijakan hakim ) .
7- Memakai minyak rambut atau jenggot adapun meminyakkan badan maka
tidak dilarang .
8- Membunuh binatang buruan , dan syarat binatang yang haram diburu ada
tiga :
1.Harus binatang darat , maka menangkap ikan tidak dilarang baik
di kolam atau di laut .
2.Harus binatang yang boleh dimakan , maka memburu binatang yuang
haram dimakan tidak dilarang .
3.Harus binatang yang liar ( wahsyi ) yaitu yang apabila
didekati maka akan lari atau terbang seperti kijang dan burung merpati .
o Apabila binatang itu terlahir dari binatang yang halal dan binatang
yang haram atau dari binatang darat dan binatang laut atau dari binatang
liar dan binatang jinak ( ahly ) maka apabila diburu wajib membayar
fidyah , karena para fuqaha melihat lebih memberat keharamannya .
o Diharamkan bagi orang tidak berihram atau yang sedang berihram haji
atau umrah berburu di tanah haram , sedangkan di luar tanah haram hanya
dilarang bagi yang sedang berihram , juga menyakiti binatang , maka
apabila berburu di dalam tanah haram wajib membayar fidyah , baik yang
berihram atau tidak . Sedangkan di luar tanah haram wajib membayar
fidyah bagi yang berihram saja .
9- Memotong mencabut tanaman –tanaman tanah haram yang masih basah
seperti pepohonan atau rumputnya , keculai rumput izkhir , makanan
ternak , siwak dan semua jenis tanaman yang menghasilkan bahan makanan (
padi , gandum , jagung dan sayur mayur ) dan obat dan juga kalau ada
kebutuhan , adapun hasyis yang kering maka haram mencabutnya , boleh
dengan memotongnya .
v Bab wajib-wajib haji .
Macam-macam dam haji ada empat :
1.Dam tartib wa taqdir .
2.Dam tartib wa ta’dil .
3.Dam takhyir wa ta’dil .
4.Dam takhyir wa taqdir .
· Ma’na mufradat di atas :
1.Tartib artinya tidak boleh berpindah dari satu denda ke denda
yang lain keculai kalau memang tidak mampu .
2.Takhyir artinya boleh memilih antara denda-denda itu .
3.Taqdir artinya berpindah ke denda yang lain , yang sudah
diberikan ukuran besar kecilnya oleh agama tanpa ada kurang atau lebih .
4.Ta’dil artinya Membayar denda yang tidak ada ukuran pastinya
dari agama dan mengukurnya dengan perbandingan taqwim .
· Penjelasan masalah dam-dam di atas .
1-Dan tartib taqdir , wajib membayar denda bentuk ini pada
lima sesuatu :
1.Orang yang berihram dengan cara tamattu’ .
2.Orang yang tidak dapat wukuf di arafah .
3.Orang yang berihram dengan cara Qiran .
4.Orang yang meninggalkan salah satu dari wajib-wajib haji .
5.Orang yang mengerjakan amalan-amalan hajinya tidak sesuai dengan
nazarnya .
oFidyah denda dam tartib wa taqdir ini adalah wajib memotong satu
ekor kambing yang sah dikurban , kalau tidak mampu maka ia wajib
berpuasa sepuluh hari , tiga hari sebelum wukuf dan tujuh hari sesudah
pulang dan penjelasan lebih luasnya adalah sbb :
1-Orang yang berihram dengan cara tamattu’ , artinya orang yang
mengerjakan umrah lebih dahulu kemudian setelah itu mengerjakan haji ,
disebut dengan tamattu’ karena seseorang dapat boleh mengerjakan
hal-hal yang dilarang antara umrah dan haji tanpa denda . Wajib baginya
membayar fidyah karena kemudahan mengambil miqat dengan empat syarat :
1. Harus berumrah pada bulan-bulan haji , adapun kalau ia berumrah
di luar bulan haji , maka ia tidak wajib membayar fidyah .
2. Tidak termasuk ahli masjidil haram , artinya bukan termasuk
penduduk makkah atau orang yang tinggal di tempat yang berjarak kurang
dari dua marhalah 82 km dari batas haram makkah seperti penduduk jeddah .
3. mengerjakan haji pada tahun itu juga , adapun kalau berhaji
pada muharram tahun depannya , maka tidak wajib membayar fidyah .
4. Tidak kembali ke miqat , maka apabila ia kembali ke miqat maka
tidak wajib membayaar fidyah dam . Dan dalam hal ini ada tafshil :
-Terkadang orang itu berihram di miqatnya , maka apabila ia
kembali ke miqatnya semula atau miqat manapun yang ufuqi , maka tidak
wajib membayar dam .
-Terkadang orang itu berihram di tempat ia berkeinginan untuk
berihram umrah , maka apabila ia kembali temoat itu atau ke miqat yang
sudah ditentukan atau ke tempat sejauh dua marhalah , maka tidak wajib
membayar dam fidyah .
2- Orang yang tidak dapat mengikuti wukuf di arafah hal ini disebut
juga “ dam fawat “ . Apabila seseorang tidak dapat wukuf di arafah ,
maka ia wajib membayar dam ini dan ia wajib bertahallul dari ihramnya
dengan pekerjaan umrah yaitu dengan berthawaf kemudian bersa’I apabila
ia belum bersa’I sesudah thawaf Qudum , kemudian mencukur rambutnya dan
ia wajib mengqada’ hajinya itu dan ia membayar damnya pada saat ihram
haji qada’nya .
3- Orang yang berihram dengan cara Qiran yaitu berniat mengerjakan haji
dan umrah sekaligus , maka ia wajib membayar dam dengan dua syarat :
1.Tidak termasuk penduduk makkah atau orang yang tinggal di tempat
yang berjarak dari batas tanah haram .
2.Tidak kembali ke miqat , maka apabila ia kembali ke miqatnya
atau miqat yang mana saja dari miqat ufuqi maka ia tidak wajib membayar
dam , tapi dengan syarat sebelum mengerjakan thawaf qudum .
4- Orang yang meninggalkan tidak mengerjakan salah satu
dari kewajiban haji yang enam :
1-2 . yaitu meninggalkan melontar jumrah aqabah dan
jumrah yang tiga pada hari-hari tasyrik .
-Maka ia wajib membayar dam ini , apabila meninggalkan tiga
batu lontaran , seperti orang yang melontar dengan empat batu saja .
-Dan apabila meninggalkan satu batu saja maka ia wajib
membayar satu mud ( 625 gram ) , dua batu , dua mud .
3.Apabila Meninggalkan mabit tiga malam di mina , maka wajib
membayar dam ini . Dan apabila meninggalkan satu malam saja , maka ia
wajib membayar satu mud , dua malam , dua mud .
4.Apabila meninggalkan ihram dari miqat , maka wajib ia membayar
dam ini , kalau ia masuk haram , sedang ia berkeinginan melakukan haji
atau umrah .
5.Apabila meninggalkan mabit di muzdalifah , maka ia wajib
membayar dam ini kalau ia tidak melakukan mabit , sekadar sah mabit
lahzah ( sebentar ) .
6.Apabila meninggalkan thawaf wada’ , maka ia wajib membayar dam
ini kalau tidak melakukan thawaf wada’ kecuali bagi perempuan yang
sedang haid .
Maka orang-orang yang tidak memmotong kambing ia wajib berpuasa selama
sepuluh hari , apabila ia mengerjakannya di negerinya , maka ia wajib
memisahkan antara puasa tiga hari dengan tujuh hari itu dengan kira-kira
empat hari ditambah lama perjalanan dari makkah ke negerinya .
5- Apabila meninggalkan nazarnya , seperti orang yang bernazar akan
berhaji dengan jalan kaki kemudian ia memakai kendaraan atau sebaliknya .
-Disunnatkan bagi orang yang melakukan haji tamattu’ , Qiran ,
orang yang tidak berniat ihram dari miqat , orang yang tidak menjalankan
nazarnya dalam mengerjakan hajinya dan orang yang tidak mendapatkan masa
waktu wukuf di arafah dll , untuk melakukan puasa sebelum hari nahar
pada saat ia dalam keadaan berihram , apabila ia tidak mampu menyembelih
, yaitu pada hari keenam – ketujuh – kedelapan , agar ia tidak berpuasa
pada hari arafahnya , adapun kalau ia mengundurkannya maka ia berpuasa
sesudah hari-hari tasyrik .
-Orang yang meninggalkan mabit di mina , muzdalifah atau
meninggalkan melontar jumrah melakukan puasa , langsung setelah hari
tasyrik dan hukumnya jadi ada’ sedangkan kalau ia undurkan maka jadi Qada’ .
Imam Ibn Muqri, menazamkan :
" أربعة دماء حج تحصـر * أولــــــــــــها المرتب المقدر "
" تمتع فوت وحج قرنــــا * وترك رمى والمـــبيت بمــنى "
" وتركه الميــقات والمزدلفة * أو لم يودع أو كمشى أخلفه "
" ناذره يصوم ان دما فـقد * ثلاثة فيه و سبــــعا فى الـــبلد "
Artinya : Dam haji itu terbagi empat , yang pertama
yang disebut dengan dam tartib wa taqdir “ .
Tamattu’ , tidak wukuf , Qiran , tidak
melontar , tidak mabit di mina “ .
Dan orang yang tidak berihram dari
miqat , tidak mabit di muzdalifah , tidak thawaf wada’ , orang yang
berlawanan dengan nazarnya “ .
Ia wajib berpuasa tiga hari dalam ihram
sebelum wukuf , tujuh hari di negerinya , apabila tidak mampu
menyembelih“ .
2.Dam Tartib wa Ta’dil .
Dam ini wajib diwajibkan atas dua orang :
1.Orang yang tertahan masuk tanah haram .
2.Orang yang merusak hajinya dengan jima’ .
oPenjelasan .
1-Orang yang tertahan untuk masuk ke tanah haram untuk melakukan
haji atau umrah disebut dengan muhshar , seperti orang yang tertahan
karena sakit , tidak ada teman di jalan , perampok , musuh atau oleh
pemeriksaan petugas .
Hukum muhasshar adalah ia wajib bertahallul dengan cara menyembelih satu
ekor kambing , kemudian mencukur rambutnya dibarengi dengan niat
bertahallul pada keduanya , apabila ia tadak mampu melakukannya maka ia
wajib bersedekah dengan makanan seharga kambing dan ongkos bercukur itu
, apabila ia tidak mampu juga maka ia wajib berpuasa sebanyak berapa
mud yang dapat dibelikan dari harga kambaing dan ongkos mencukur itu .
Hal ini wajib dilakukan apabila ia tidak mensyaratkan akan jadi halal
apabila tertahan masuk kota haram makkah , Tapi kalau ia telah
mensyaratkannya maka ia tidak wajib membayar denda ( dam ini ) seperti
kalau ia mengatakan “ ya Allah saya jadi halal di manapun saya
tertegah masuk ke haram makkah “ jadi ia hanya wajib berniat
bertahallul dengan mencukur rambutnya saja , tidak wajib memotong kambing .
Dan fidyah –fidyah itu ia wajib bayar di tempat ia ditahan , dan tidak
wajib lagi membayar fidyahnya di tanah haram makkah .
Dan yang terafdhal bagi orang yang tertahan ( muhshar ) masuk ke dalam
tanah suci adalah bersabar , apabila ada harapan ia akan diberikan izin
masuk sebelum habis waktu wukuf di arafah , bahkan apabila ada
kemungkinan besar uzurnya penahanannya akan dicabut sebelum masa haji
atau sebelum tiga hari dari umrah maka terlarang ia mengerjakan tahalul .
Hukum tahalulnya orang sakit : orang yang sakit tidak oleh bertahalul
karena sakit , tapi ia wajib bersabar sampai sembuh , kecuali apabila
orang sakit itu menyatakan syarat tahalul sewaktu ihram , maka ia boleh
bertahalul .apabila ia tidak dapat ikut wukuf maka ia terkena dam
fawat dan ia harus bertahalul dengan pekerjaan umrah .
Orang yang sakit bertahalul sesuai dengan apa yang ia syaratkan , dan
ada beberapa hal :
1-Terkadang ia berkata dalam syaratnya انمرضت فانى أتحلل " “
artinya “ apabila saya sakit maka saya jadi halal “ . Maka ia wajib
bertahalul dengan mencukur rambut dan niat tahalul saja .
2- Terkadang ia berkata alma syaratnya “ انمرضت فانى أتحلل بلا
هدى“ artinya “ apabila saya sakit maka saya jadi halal tanpa sembelihan
“ . Maka ia wajib bertahalul dengan mencukur rambut dan niat tahalul saja .
3- Terkadang ia berkata dalam niatnya “ انمرضت فانى أتحل بالهدى
" artinya “ apabila saya sakit , maka saya jadi halal bertahalul
dengan sembelihan . Maka ia wajib menyembelih dam ihshar berupa kambing
, setelah itu ia wajib bercukur dan berniat bertahalul .
4- Terkadang ia berkata dalam niatnya “ انمرضت صرت حلالا "
artinya apabila saya sakit , maka saya langsung jadi halal “ . Maka ia
menjadi halal tanpa ada kewajiban apapun .
· Apakah kewajiban haji menjadi gugur atas orang yang
muhshar ( tertahan di perjalanan ) ?
-Apabila ia telah melakukan haji pada awal tahun ia mampu
mengerjakan haji , maka ia tidak wajib lagi mengqada hajinya . Artinya
kewajiban hajinya menjadi gugur . Adapun kalau ia belum pernah
mengerjakan haji sebelumnya maka kewajiban haji itu tidak gugur karena
ihshar .
·Orang-orang yang boleh mencegah orang lain untuk melakukan
haji tanpa harus mengqadanya :
1. Kedua orang tua ( bapak dan ibu ) . Mereka boleh mencegah
anaknya , apabila anaknya itu bukan orang mekkah ( makky ) untuk
mengerjakan haji atau umrah sunnah , baik sebelum mulai mengerjakannya
atau sesudah mulai , dengan syarat-syarat :
1.Salah satu dari orang tua tidak musafir , untuk mengerjakan haji
atau umrah .
2.Anak yang dicegah itu tidak berniat selain haji juga untuk
menuntut ilmu atau berdagang atau menyewakan barang yang membawa
keuntungan . Kalau salah satu syarat di atas tidak ada , maka anak boleh
mengerjakan haji atau umrah tanpa izin orang tua .
2.Suami . Suami boleh mencegah istrinya mengerjakan haji atau umrah
baik wajib atau sunnah . Dan kalau ia berhaji tanpa izinnya maka ia
boleh mentahalulkannya dan menjima’nya . Para fuqaha beralasan karena
mentaati suami hukumnya wajib alal fauri ( segera ) sedangkan haji
wajib ala tarakhi ( boleh diundur ) .
3.Sayyid ( tuan majikan ) . Majikan boleh melarang budaknya
, laki laki atau perempuan ,baik haji atau umrah , baik wajib atau
sunnah . Kalau mereka mengerjakan haji tanpa izin majikannya , maka
majikannya berhak membatalkan hajinya dengan menyuruhnya melakukan
muharramat ihram .
4.Adda’in( orang yang dipinjami ) . Orang yang dipinjami
hutang berhak melarang madinnya ( orang yang berhutang kepadanya )
untuk melarangnya melakukan haji atau umrah , baik wajib atau sunnah .
2 . Yang kedua dari orang yang wajib membayar dam tartib wa ta’dil
adalah orang yang merusak hajinya dengan jima’ bersetubuh dengan istri
, yang ia lakukan sebelum melakukan tahalul pertama atau belum selesai
mengerjakan umrah .
· Kaffarahnya ( kewajibannya ) adalah menyembelih seekor unta ,
kalau tidak mampu maka seekor sapi , kalau tidak mampu maka tujuh ekor
kambing yang sama syaratnya dengan kambing kurban , kalau tidak mampu
atau mampu , tapi hewan –hewan di atas tidak ada maka ia harus
bersedekah dengan uang seharga satu ekor unta itu , kalau tidak mampu
juga , maka ia harus memperkirakan berapa mud yang kita dapatkan kalau
dibelanjakan untuk membeli beras , kalau seandainya 300 mud atau 500 mud
maka ia harus berpuasa sejumlah mud tersebut .
· Dan kewajiban membayar kaffarah ini hanya wajib bagi laki-laki
saja menurut imam Ramli . Sedangkan menurut imam Ibn Hajar al Haitami
ada enam tafshil dalam masalah jima ‘ ini :
1-Tidak wajib membayar sama sekali , yaitu jima’nya orang yang
lupa .
2-Wajib bagi laki-laki , saja yaitu orang yang menjima’
istrinya atau budaknya dalam keadaan tahu haramnya , ingat , tanpa
paksaan , sengaja , masuk semua hasyafahnya ke farajnya dan sebelum
melakukan tahalul pertama .
3-Wajib atas perempuan saja , yaitu apabila istrinya dalam
keadaan ihram sedangkan suaminya dalam keadaan halal , atau sebaliknya
tapi tidak lengkap syarat-syarat yang di atas .
4-Wajib atas orang lain , yaitu apabila yang melakukan itu
adalah masih anak kecil ( belum mumayyiz ) , maka yang wajib menanggung
kaffarahnya adalah walinya ( orang tuanya yang mengasuhnya ) .
5-Wajib atas keduanya , yaitu apabila laki-laki yang sedang
berihram berzina dengan perempuan berihram juga . Atau melakukan jima’
syubhat dengan adanya syarat-syarat di atas .
6-Wajib membayar fidyah mukhayarah ( boleh memilih fidyah )
yaitu apabila melakukan jima’ diantara dua tahalul atau jima’ yang kedua
sesudah tahalul pertama .
· Contoh penjelas .
Seorang laki-laki menggauli istrinya sebelum melakukan tahalul pertama ,
dalam keadaan ingat , tanpa paksaan dan tahu hukumnya . Bagaimana
hukumnya ?
- Hajinya rusak batal , wajib menyempurnakan pekerjaan hajinya sampai
selesai , wajib mengqadaknya dengan segera , dan wajib membayar kaffarah
uzma yaitu :
1-Wajib menyembelih seekor unta , kalau tidak mampu , maka .
2-Wajib menyembelih seekor sapi , kalau tidak mampu , maka .
3-Wajib menembelih tujuh ekor kambing , kalau tidak mampu , maka .
4-Wajib ia membeli makanan pokok dengan harga satu ekor unta
itu , kemudian ia bersedekah kepada para pakir miskin di tanah haram
makkah , kalau tidak mampu , maka .
5-Wajib berpuasa sebanyak mud makanan pokok yang dapat dibeli
dengan harga unta itu . Contohnya :
-Harga 1 ekor unta = 1500 riyal .
-Harga 1 karung beras gandum = 150 riyal .
-Jumlah mud dalam 1 karung = 50 mud .
-Jadi 1500 riyal = 10 karung beras = 500 mud . Jadi ia harus
berpuasa 500 hari .
Imam Ibn Muqri menazamkan :
" والثانى ترتيب وتعديل ورد * فى محصر و وطء حج ان فسد "
" ان لم يجد قومه ثم اشترى * به طــــــعاما طعمــــــــــة للفقرا "
" ثم لعجز مثل ذاك صومــــا * أعنى به عن كل مد يومـــــــــا "
Artinya : “ Dan yang kedua dari bentuk dam itu adalah tatib wa ta’dil “
“ yaitu orang muhshar , orang yang rusak hajinya karena
jima’ , “
“ kalau tidak dapat menyembelih unta , maka ia
membelikan “
“ makanan pokok seharga unta itu disedekahkan kepada
orang miskin “
“ dan kalau hal itu juga tidak mampu , maka ia ganti
dengan puasa “
“ sebanyak jumlah mud yang didapat dengan harga unta
itu “
3.Dam Takhyir Wa Ta’dil .
Wajib membayar dam ini apabila melakukan dua sesuatu :
1-Berburu .
2-Memotong pepohonan .
- Tafshil masalahnya sbb :
1- Berburu , wajib membayar dam ini apabila berburu hewan darat yang
jinak dan boleh dimakan .
· fidyahnya adalah sbb :
1- Apabila hewan yang diburu itu ada kesamaan dengan hewan lain maka
dalam hal ini ia boleh memilih tiga sesuatu :
( 1 ) . Menyembelih hewan yang sama kemudian Bersedekah dengannya .
Contohnya kalau yang ia buru itu Na’amah , maka ia wajib menyembelih
unta , kalau yang diburunya itu himar wahsyi zebra , maka ia wajib
menyembelih sapi . dan kalau yang diburunya tu kijang , maka ia wajib
menyembelih kambing .
( 2 ) . Bersedekah dengan makanan yang ia beli dengan harga hewan
yang wajib ia beli itu .
( 3 ) . Berpuasa sebanyak mud makanan yang dibelikan seharga hewan
yang wajib disembelih itu .
2-Apabila hewan yang diburu itu tidak ada kemiripan kesamaan
dengan hewan lainnya seperti kalau ia memburu belalang , maka dalam hal
ini ia boleh memilih dua sesuatu :
( 1 ) .Bersedekah dengan makanan seharga hewan yang kita buru itu .
( 2 ) . Berpuasa sebanyak jumlah mud makanan yang dibeli dengan
harga hewan itu .
-Dan adapun kalau yang ia buru itu adalah burung merpati ,
maka ia haus menyembelih kambing , karena hadits menjelaskan demikian .
2 – Memotong kayu pohon . Wajib membayar dam ini bagi orang yang
memotong atau mencabut pohon yang masih hidup basah yang hidup di
dalam tanah haram , adapun pohon yang sudah mongering , maka haram
mencabutnya tapi boleh memotongnya .
· Fidyahnya adalah , boleh memilih diantara tiga sesuatu :
( 1 ) . Apabila pohon itu ukurannya besar menurut urf , maka ia wajib
menyembelih seekor sapi , dan kalau pohon itu sepertujuh dari pohon
besar itu , maka ia wajib menyembelih seekor kambing .
( 2 ) . Bersedekah dengan makanan yang dibelikan dengan harga sapi atau
kambing itu .
( 3 ) . Berpuasa sebanyak mud makanan yang dibelikan dari harga sapi
atau kambing itu .
= Apabila pohon yang dipotong atau dicabut itu kecil sekali , maka
ia boleh memilih dua sesuatu :
1 - Bersedekah dengan makanan seharga pohon itu .
2 - Berpuasa sebanyak jumlah mud pada makanan itu .
Imam Ibn Muqri menazamkan :
" والثالث التخيير والتعديل فى * صيد وأشجار بلا تكلف "
" ان شئت فاذبح أوعدل مثل ما * عدلت فى قيمة ما تقدما "
Artinya : “ dan yang ketiga yaitu dam takhyir wa ta’dil pada “
“ berburu dan memotong pohon tanpa takalluf “
“ kalau mau boleh menyembelih atau samakan dengan “
4 – Dam Takhyir Wa Taqdir .
Wajib membayar dam ini pada sembilan masalah yaitu sbb :
1. Memotong mencabut menghilangkan rambut kepala atau bulu
badan sebanyak tiga helai , walaupun sebagiannya saja , dengan syarat
pada satu waktu dan tempat . Adapun kalau ia menghilangkan satu helai
saja maka wajib membayar satu mud saja , dua helai dua mud .
2. Memotong mencabut menghilangkan kuku tangan atau kaki
sebanyak tiga kuku walaupun sebagian saja , dengan syarat pada satu
waktu dan tempat . Adapun kalau menghilangkan satu kuku , maka wajib
satu mud , kalau dua kuku , maka dua mud .
3. Memakai pakaian berjahit bagi laki-laki atau memakai sarung
tangan bagi perempuan .
4. Menutup kepala bagi laki-laki dan menutup wajah bagi perempuan .
5.Memakai minyak rambut baik di kepala atau jenggot .
6.Memakai minyak wangi dengan apa saja yang dipakai untk berwangi
dengan cara pemakaiannya sendiri .
7.Mencumbu istri atau perempuan lain dengan syahwat dan tanpa
satir ( kain penghalang ) . Contohnya adalah berciuman mencium .
8.Jima’ yang kedua , sesudah hajinya rusak karena jima’ yang
pertama sebelum tahalul pertama .
9.Jima’ antara dua tahalul pertama dan kedua .
· Fidyah Dam Takhyir Wa Taqdir adalah memilih tiga sesuatu :
1.Memotong satu ekor kambing .
2.Berpuasa sebanyak tiga hari .
3.Bersedekah dengan tiga sha’ untuk enam orang pakir miskin ,
setiap miskin mendapat setengah sha’ . Dan wajib hukumnya setiap
pelaksanaan dam dan sedekah karena haji itu dilaksanakan di tanah haram
makkah . Adapun puasa , maka boleh dimanapaun dan tidak wajib hari –
harinya berturut – turut dan wajib mengerjakan fidyah itu secepat
mungkin , apabila disebabkan tanpa uzur , tapi kalau karena uzur , maka
boleh diundur .
Imam Ibn Muqri menazamkan :
" وخيرن وقدرن فى الرابع * ان شئت فاذبح أو فجد بآصـــع "
" للشخص نصف , أو فصــم ثلاثا * تجتث ما اجتثثته اجتثاثا "
" فى الحلق والقلم ولـــبس دهن * طيب وتقبــــــيل ووطء ثنى "
" أو بين تحلــــيلى ذوى احرام * هذى دماء الحج بالتمـــــــــام "
" والحمد لله وصلى ربنــــــــا * على خيار خلقه نبينــــــــــــــا "
Artinya : “ dan berikutnya adalah apa yang disebut dam takhyir dan
taqdir “
“ damnya boleh menyembelih kambing atau bersedekah
dengan makanan “
“ bagi tiap pakir setengah sha’ , atau boleh berpuasa
tiga hari “
“ kamu akan bebas dari semua kewajibanmu “
“ memotong rambut bulu , kuku , dan memakai minyak
rambut “
“ memakai minyak wangi , mencium , dan juga menjima’
yang kedua “
“ ini lah dam – dam haji sudah saya jelaskan dengan
sempurna “
“ segala puji bagi Allah swt dan shalawat Allah atas
nabi kita “
“ semulia – mulia makhluknya adalah junjungan kita “
· Penutup .
· Berziarah ke makam Rasulullah saw di Madinah al Munawarah .
Disunnahkan menziarahi Nabi Muhammad saw di madinah berdasarkan ijma’ .
Bahkan sebagian para ulama mengatakan wajib dan disunnahkan juga berniat
menziarahi masjidnya untuk beri’tikaf di dalamnya . Ini berdasarkan
firman Allah swt :
ولوأنهم اذظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا الله و استغفر لهم الرسول لوجدوا
الله توابا رحيما " “
Artinya :Dan kalau mereka oaring –orang muslimin itu melakukan suatau
kezhaliman pada diri mereka , kemudian mereka berduyun –duyun
mendatangimu , kemudian mereka minta ampunan dari Allah swt dan
Rasulullah saw juga memintyakan bagi mereka suatu pengampunan , maka
mereka akan menadapatkan , bahwa Allah swt maha pengampun dan maha
penyayang “ An-Nisa’ 63 .
Juga berdasarkan hadits “
من حج ولم يزرنى فقد جفانى " و " من زار قبري – او قال – من زارنى كنت له
شفيعا و شهيد ا " و " من زارنى بالمدينة محتسبا كنت له شهيدا و شفيعا يوم
القيامة " و " من زارنى بعد وفاتى فكأنما زارنى فى حياتى " و " من زار قبري
وجبت له شفاعتى "
Artinya “ Barang siapa yang berhaji kemudian ia tidak datang
menziarahiku , maka ia telah membuat hubungan renggang denganku “ hr .
Ad-Daruquthni dan Al-Khathib . juga sabdanya “ Barang siapa yang
menziarahi kuburku atau aku , maka aku akan beri ia syafaatku dan
kesaksiannku “ hr . Abu Daud dan At-Tayalisi dan Al-Baihaqi . juga
sabdanya “ Barang siapa yang menziarahiku ke madinah dengan mengharap
pahala dari Allah swt , maka akan jadi saksinya dan memberinya syafaat
di hari kiamat nanti “ hr . At-Thabrani dan Al-Baihaqi . juga sabdanya “
Barang siapa yang menziarahiku sesudah matiku , maka seakan ia
menziarahiku pada masa hidupku “ juga sabdanya “ Barang siapa yang
menziarahi kuburku , maka ia telah kujamin dapat syafaatku “ hr .
Ad-Daruquthni .
· Sunnah-Sunnah ziarah :
1.Mandi sebelum masuk kota Madinah .
2.Melakukan shalat di masjid nabawi sebanyak 40 fardu shalat
wajib , secara berturut-turut , sebagian ulama berkata walaupun diqadak
semuanya pada satu waktu , karena fadhilahnya besar sekali .
Berdasarkan hadits :
منصلى فى مسجدى هذا أربعين صلاة , لاتفته صـــلاة كتبـــت له برآءة من
الــنار , ونجلةمن الــعذاب , وبرىء من النفاق "
Artinya : Barang siapa yang melakukan shalat di masjidku ini sebanyak
40 shalat , tanpa ada yang tertinggalkan , maka ia mendapatkan kebebasan
dari api neraka , selamat dari azab dan dari sifat munafiq “ hr . Ahmad
dan At-Thabrani .
3. Memperbanyak melakukan ibadah di Raudlah .
Berdasarkan hadits : مابين قبري ومنبري روضة من رياضالجنة " “
Artinya “ tempat yang terdapat antara kuburku dan mimbarku adalah
taman dari taman-taman surga “ hr . Al-Bukhari dan Muslim .
4. Berziarah ke masjid Quba’ .
Berdasarkan hadits : منتطهر فى بيته ثم اتى مسجد قباء فصلى فيه صلاة
كن له كأجر عمرة " "
Artinya : Barang siapa yang bersuci ( berwudlu’ ) di
rumahnya kemudian ia mendatangi masjid Quba’ , kemudian shalat ( apa
saja ) , maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakan umrah
“ hr Ahmad , An-Nasa’I , Ibn Majah , Ibn Abi Syaibah dan Al-Hakim .
5.Berziarah ke pekuburan baqi , pekuburan yang pertama di kota
Madinah Al-Munwarah , tempat dimakamkannya lebih dari 10.000 orang
sahabat Nabi saw .
6.Berziarah ke gunung uhud tempat dimakamkannya Para Syuhada’ Uhud
, diantaranya adalah paman Nabi saw saidina Hamzah ra .
7.Berziarah ke masjid-masjid dan tempat tempat yang bersejarah di
kota Madinah seperti masjid Qiblatain , masjid Al Fatah , masjid Gumamah
, Turbah Syifa’ , Wadi Aqiq dan gunung Sala’ .
8.Memperbanyak membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw . dan juga
banyak lagi hal-hal lain yang dianjurkan untuk memperbanyaknya .
***********************************
Kuasai Fikih Madzhab Syafi’i
Cara mudah mempelajari fikih adalah dengan mempelajarinya melalui fikih
madzhab. Bahkan yang terbaik adalah mempelajari fikih madzhab di negeri
masing-masing, seperti fikih Syafi’i untuk di negeri kita. Jika cara ini
yang ditempuh, maka akan mudah bagi kita untuk mengajarkan fikih di
tengah-tengah masyarakat dan tidak terlalu berseberangan. Namun bukan
berarti kita mesti fanatik, tidak demikian. Yang benar kita ambil ketika
bersesuaian dengan dalil dan yang berseberangan dengan dalil, kita
tinggalkan.
Ketika ada yang menanyakan pada Syaikh Sholih Al Fauzan mengenai kitab
fikih apa yang pantas diajarkan di negerinya, sedangkan masyarakatnya
bermadzhab Maliki. Syaikh hafizhohullah menjawab, ajarkan fikih
Maliki, sesuai fikih yang berlaku di tengah-tengah mereka. Demikian
disampaikan secara makna dari Kajian Syaikhuna, Syaikh Sholih Al Fauzan,
ketika membahas kitab Umdatul Fiqh 23031434 H di Jami Mat’ab Malaz
Riyadh KSA.
Kami pun mendapatkan nasehat yang sama dari Syaikh Sholih Al ‘Ushoimi,
ulama yang terkenal dengan banyaknya sanad sampai dikatakan ia punya
1000 guru, beliau nasehatkan untuk menghafalkan berbagai kitab matan di
dalamnya terdapat matan akidah, tauhid, ushul fikih, ushul hadits dan
ushul tafsir. Beliau punya list (daftar) kitab-kitab yang sebaiknya
dihafal. Padahal beliau adalah ulama Hambali, namun beliau katakan di
catatan kaki, untuk kitab fikih disesuaikan dengan madzhab di negeri
masing-masing. [Dauroh Muhimmatul ‘Ilmi di Masjid Nabawi selama 8 hari,
5-12 Rabi’ul Awwal 1434 H]
Ini berarti di negeri kita yang sudah ma’ruf dengan madzhab Syafi’i,
maka sebaiknya yang dihafalkan dan diajarkan adalah fikih Syafi’i. Tidak
usah pelajari yang tebal-tebal dahulu (seperti Al Umm dan Al Muhaddzab
karya Asy Syairozi atau Syarh Al Muhaddzab karya Imam Nawawi yang
dilanjutkan As Subkiy dan Syaikh Muhammad Al Bakhit), kuasai terlebih
dahulu yang ringkas-ringkas (matan) mulai dari matan Abi Syuja’ dan
matan Syafinatun Najah. Namun dengan catatan dibaca di depan guru yang
lebih memahaminya. Setelah dua kitab tadi, baca kitab lanjutan seperti
Fathul Qorib, Al Iqna’ dan Kifayatul Akhyar yang merupakan penjelasan
dari kitab Matan Abi Syuja’. Dengan mengambil cara seperti ini, maka
kita akan mudah memahami fikih masyarakat sekitar kita.
Kita menganjurkan mempelajari fikih madzhab Syafi’i bukan berarti kita
ingin taklid buta, namun sebagai jalan untuk belajar. Yang keliru dari
madzhab tersebut, tinggal diluruskan. Inilah yang ditempuh oleh para
ulama, mereka beranjak dari mempelajari fikih madzhab di negerinya,
sebagaimana praktek di Kerajaan Saudi Arabia. Lihat saja Syaikh Muhammad
bin Sholih Al Utsaimin, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, dan juga saat ini
Syaikhuna Sholih Al Fauzan (yang sedang mengajarkan fikih Al Muntaqo
karya Jadd Ibnu Taimiyah dan Umdatul Fiqh karya Ibnu Qudamah),
ulama-ulama besar dan senior seperti ini menganjurkan mempelajari fikih
madzhab seperti itu. Maka ini juga nasehat untuk para da’i Ahlus Sunnah
di negeri kita agar bisa memperhatikan hal ini.
Namun bagi yang mempelajari fikih madzhab, harus memperhatikan
rambu dalam bermadzhab:
Rambu pertama: Harus diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan
sarana kawan dan musuh sehingga bisa memecah belah persatuan kaum
muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak
mengikuti madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia
adalah kawan kami.
Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bid’ah) berprinsip bahwa satu
person dijadikan sebagai tolak ukur teman dan lawan. Sedangkan Ahlus
Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar wala’ dan baro’ (kawan
dan lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum
muslimin.
Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib
mengikuti imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada
yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh
baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak ditentukan bahwa
yang diikuti mesti Muhammad, ‘Amr atau yang lainnya.
Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa
ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari’at
Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka
tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah
pendapat imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia
mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya.
Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang
terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:
1- Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.
2- Berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah
perkataan imam madzhab.
3- Membela madzhab secara over-dosis bahkan sampai menggunakan
hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.
4- Mendudukkan imam madzhab seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah memberikan taufik dan kemudahan bagi kita untuk mempelajari
ilmu diin ini karena kebahagiaan di dunia dan akhirat hanya diraih
melalui ilmu agama. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ
فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ
“Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap
perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.” (Majmu’ Al Fatawa, 35: 121)
Komentar
Posting Komentar