Doa dan Amalan Rebo Wekasan
Do’a Dan Amalan Rebokasan
Hari Rabu terakhir bulan safar disebut juga Rebo Wekasan di beberapa daerah, seperti di Jogja disebut Rabu Pungkasan atau di daerah Banten sebagai Rebo Kasan. Rebo Wekasan merupakan sebuah tradisi di masyarakat Muslim terutama di Jawa, Sunda, Kalimantan Selatan, dan Bangka Belitung. Nama Rebo Wekasan sendiri diambil dari nama hari Rabu terakhir di bulan Safar.
Beberapa daerah tersebut mempercayai bahwa rabu terakhir di bulan safar itu adalah hari sial. Sehingga mereka harus melakukan ritual-ritual tertentu untuk menolak bala’ yang jatuh pada hari itu.
Sementara menurut `ulama besar, Imam Abdul Hamiid Quds, mufti dan imam Masjidil Haram Makkah pada awal abad 20 dalam bukunya “Kanzun Najah was-Suraar fi Fadail al-Azmina wasy-Syuhaar” mengatakan, “Banyak Awliya
Allah yang mempunyai Pengetahuan Spiritual telah menandai bahwa setiap tahun, 320 ribu penderitaan (Baliyyat) jatuh ke bumi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.” Beberapa ulama mengatakan bahwa ayat Alquran,
“Yawma Nahsin Mustamir” yang artinya “Hari berlanjutnya pertanda buruk” merujuk pada hari ini.
Bulan Safar sebenarnya bukanlah bulan sial. Sebab, mitos Safar bulan
sial ini sudah dibantah oleh Rasulullah Muhammad SAW yang menyatakan bahwa bulan Safar bukanlah bulan sial.
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada penyakit
menular (yang berlaku tanpa izin Allah), tidak ada buruk sangka pada
sesuatu kejadian, tidak ada malang pada burung hantu, dan tidak ada bala (bencana) pada bulan Safar (seperti yang dipercayai).”
Adapun amalan-amalan dan do’a hari Rabu terakhir di bulan safar yakni sebagai berikut:
Disunnahkan melakukan shalat 4 raka’at
Tata cara sholatnya dapat dilakukan secara sendiri sendiri atau ber jama’ah.
Jumlah raka’at = 4 raka’at dengan 2 kali salam dengan bacaan setelah al
fatihah :
Surat al kautsar (17x)
Surat al Ikhlas (5x)
Surat al Falaq dan an Nas masing masing (1x)
Niat Sholat : Usholli sunnatal lidaf’il balaa rokatainii lillaahi ta’ala
Artinya : Aku berniat shalat menghilangkan balai dua raka’at sunnat karena Allah SWT
Waktu pelaksanaannya dimulai dari hari selasa Ashar atau maghrib sampai Ashar atau maghrib hari rabu. Sebaiknya dilakukan setelah matahari terbit atau sebelum waktu dhuha di hari rabu.
Bismilaahir rahmaanir rahiim
Wa shallallaahu alaa sayyidinaa muhammadin wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Allaahumma yaa syadiidal quwa wa yaa syadidal mihaal yaa aziiza dzallat
Li’izzatika jamii’u khalqika ikfinii min jamii’I khalqika yaa muhsinu
yaa mujammilu yaa mutafadh-dhilu yaa mun’imu yaa mukrimu yaa man laa ilaaha illa anta bi rahmatika yaa arhamar raahimiin Allaahumma bisirril hasani wa akhiihi wa jaddihi wa abiihi ikfinii syarra haadzal yawma wa maa yanzilu fiihi yaa kaafii fasayakfiyukahumul-laahu wa huwas-samii’ul ‘aliim. Wa hasbunallaahu wa ni’mal wakiilu wa laa hawla wa laa quwwata
illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim. Wa shallallaahu ta’aalaa ‘alaa
sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wasallam
(Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Semoga shalawat dan salam Allah senantiasa tercurah pada junjungan kami, Nabi Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya. Allahumma, Ya Allah, Tuhan Yang Maha Memiliki Kekuatan dan Keupayaan; Ya Allah, Tuhan Yang Mahamulia dan karena Kemuliaan-Mu itu, menjadi hinalah semua makhluk ciptaan-Mu, peliharalah aku dari kejahatan makhluk-Mu; Ya Allah, Tuhan
Yang Maha Baik Perbuatan-Nya; Ya Allah, Tuhan Yang Memberi Keindahan, Keutamaan, Kenikmatan dan Kemuliaan; Ya Allah, Tiada Tuhan kecuali hanya Engkau dengan Rahmat-Mu Yang MahaPenyayang.
Allaahumma, Ya Allah, dengan rahasia kemuliaan Sayyidina Hasan ra dan saudaranya (Sayyidina Husein ra), serta kakeknya (Sayyidina Muhammad saw) dan ayahnya (Sayyidina `Ali bin Abi Thalib ra), peliharalah aku dari kejahatan hari ini dan kejahatan yang akan turun padanya; Ya Allah, Tuhan Yang Maha Memelihara, cukuplah Allah Yang Maha Memelihara lagi Maha Mengetahui untuk memelihara segalanya. Cukuplah Allah tempat kami bersandar; tiada daya dan upaya kecuali atas izin Allah Yang Maha Tinggi lagi MahaAgung. Amin.
Amalan dan Adab harian bulan Safar
Adab Harian di Bulan Safar. Sebaiknya dilakukan dilakukan awrad berikut ini setiap hari: Syahadat 3 kali, Istighfar 300 kali, Banyak bersedekah.
Awrad tersebut bermanfaat sebagai perlindungan terhadap 70.000 bala
(kutukan) yang dijatuhkan kepada umat manusia di bulan ini. Mawlana
Syekh Nazim QS juga berpesan untuk berhati-hati terhadap kesulitan yang
terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.
Wallahu a’lam bishshawab
**************************************
Amalan Doa Malam Rebo Wekasan Rabu Terakhir Bulan Safar
Malam rebo wekasan adalah salah satu waktu di mana menurut sebagain pendapat para ulama di turunkannya bala, atau balai. Sehingga malam tersebut sering di jadikan momen untuk memperbanyak amalan doa oleh
kebanyakan umat muslim.
Tetapi perlu kiranya menjadi sebuah perhatian atau peringatan bagi
seluruh umat muslim tentang di turunkannya bala atau cobaan sebanyak 320 ribu di hari atau malam rabu terakhir bulan safar. sebagai mana yang banyak di ceritakan oleh ulama-ulama ahli ma'ripat dan sebagainya tentang hal tersebut.
Di pungkiri atau tidak, ketika seorang ulama berbicara suatu hal maka
yang di katakannya tersebut bearasal dari hati yang bersih dan ilmu,
apalagi seperti kita kenal di kalangan ulama dan para wali ada yang
namanya ilham dan karomah, sehingga tidak menutup kemungkinan jika para ulama tersebut mengetahui suatu hal yang orang lain tidak mengetahuinya,
atau kata lainnya khawariqul adah.
Amalan Doa Rebo Wekasan Rabu Terakhir Bulan Safar
Untuk mengantisifasi hal tersebut, para ulama telah mengajarkan pada
kita untuk melaksanakan beberapa amalan atau doa, dengan tujuan memohon perlindungan agar terhindar dari bala tersebut (tolak Bala). Adapun yang di anjurkan di antaranya yaitu :
Melaksanakan Shalat Sunnah 4 Rakaat 2x salam, masing-masing rakaat setelah Fatihah membaca surat al-kautsar 17 kali, al-ikhlas 5 kali, al-falaq dan an-nas 1 kali.
Memperbanyak membaca istighfar dan dzikir
Membaca al-qur'an seperti surat yasin
Memperbanyak shodaqoh
Membaca Doa Yang Bacaannya Yaitu :
بِسْــمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ،
اَللّـٰـهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوٰى ، وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ ، يَا عَزِيْزُ ، يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ
خَلْقِكَ ، اِكْفِـنِيْ مِنْ شَرِّ جَمِيْعِ خَلْقِكَ ، يَا مُحْسِنُ ، يَا مُجَمِّلُ ، يَا مُتَفَضِّلُ ، يَا مُنْعِمُ ،
يَا مُتَكَرِّمُ، يَا مَنْ لآَ إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ ، اِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللّـٰـهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِـيْهِ وَأُمِّـهِ وَبَنِيْـهِ اِكْفِـنِيْ شَرَّ هٰذَا الْيَوْمِ وَمَا
يَنْزِلُ فِيْهِ . يَا كَافِيْ (فَسَـيَكْفِيْـكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ) ، وَحَسْبُنَا اللهُ
وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آٰلِـهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM
WA SHALLAAHU TA’AALAA ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII WASALLAM ALLAAHUMMA YAA SYADIIDAL QUWAA WA YAA SYADIIDAL MIHAAL WA YAA 'AZIIZ
DZALLAT LI'IZZATIKA JAMII'U KHALQIKA IKFINII MIN JAMII'I KHALQIKA YAA MUHSINU YAA MUJAMMILU YAA MUTAFADLDLILU YAA MUN'IMU YAA MUKRIMU YAA MAN LAA ILAAHA ILLAA ANTA BIRAHMATIKA YAA ARHAMARRAAHIMIIN ALLAAHUMMA BISIRRIL HASAN WA AKHIIHI WA JADDIHII WA ABIIHI IKFINII
SYARRA HAADZAL YAUMI WAMAA YANZILU FIIHI YAA KAAFI
{ FASAYAKFIIKAHUMULLAAHU WAHUWASSAMII'UL 'ALIIM }
WAHASBUNALLAAHU WANI'MAL WAKIIL WALAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL 'ALIYYIL 'AZHIIM WASHALLALLAAHU 'ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA'ALAA AALIHII WASHAHBIHII WASALLAM
Artinya : Dengan menyebut asma Allah Yang maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad dan atas keluarga serta para sahabat beliau, Ya Allah Wahai Yang Maha Kuat kekuatan-Nya, wahai Yang sangat rekadaya-Nya, wahai Yang Maha Perkasa yang mana kepada keperkasaan-Mu tunduklah segala makhluk, cukupkanlah aku dari segala makhluk-Mu, wahai
Yang Maha Baik, wahai Yang Maha Memperindah, wahai Yang Maha Memberi karunia, wahai Yang Maha Memberi nikmat, wahai Yang Maha Memulyakan, wahai Yang tiada Tuhan selain Engkau, kasihilah aku dengan rahmat-Mu wahai Yang Maha Penyayang di antara para penyayang, Ya Allah, dengan rahasia yang ada pada sayyid Hasan, saudaranya (Sayyid Husein) , kakeknya (Nabi Muhammad shallallaahu ‘Alaihi wasallam) , ayahnya (sayyidina Ali) ,ibunya (Sayyidah Fathimah), serta keturunannya, jauhkanlah hamba dari keburukan hari ini dan keburukan yang turun di dalamnya, wahai Dzat Yang mencukupi
( Allah akan mencukupi kamu sekalian dan Allah Maha mengetahui lagi Maha mendengar) Dia adalah sebaik-baik Dzat Yang mencukupi dan menguasai, tiada daya dan kekuatan selain hanya dari Allah yang maha Agung dan maha Luhur, Ya Allah, dengan rahasia yang ada pada sayyid Hasan, saudaranya (Sayyid Husein) , kakeknya (Nabi Muhammad shallallaahu ‘Alaihi wasallam) , ayahnya (sayyidina Ali) ,ibunya (Sayyidah Fathimah), serta keturunannya, jauhkanlah hamba dari keburukan hari ini dan
keburukan yang turun di dalamnya, wahai Dzat Yang mencukupi ( Allah akan mencukupi kamu sekalian dan Allah Maha mengetahui lagi Maha mendengar),
Dia adalah sebaik-baik Dzat Yang mencukupi dan menguasai, tiada daya dan kekuatan selain hanya dari Allah yang maha Agung dan maha Luhur
Selanjutnya di anjurkan pula menulis kalimat di bawah ini yang kemudian
di masukan ke air putih bersih lalu di minum.
سلام قولا من رب رحيم. سلام على نوح في العالمين. سلام على إبراهيم. سلام
على موسى وهارون. سلام على إلياسين. سلام عليكم طبتم فادخلوها خالدين. من
كل أمر سلام هي حتى مطلع الفجر
Bagi umat muslim yang ingin mengamalkan amalan doa rebo wekasan tersebut harus di sertai niat ikhlas semata-mata beribadah karena allah. Mudah-mudahan pembahasan ini membantu anda semua yang sedang mencarinya, mohon maaf atas segala kekurangannya.
**************************************
Hakikat dan Amaliah Rebo Wekasan
A. Kabar Ghaib
Bermula dari kabar ghaib sebagian orang-orang yang ma’rifat kepada Allah menyebutkan bahwa dalam setiap tahun akan turun 320.000 malapetaka.
Semuanya terjadi pada Rabu terakhir bulan Shafar. Sehingga hari tersebut
menjadi hari tersulit dalam hari-hari tahun itu. (Imam ad-Dairabiy dalam
Na’t al-Bidayat wa Tausyifu Nihayat halaman 195 atau lebih dikenal
Mujarrabat ad-Dairabiy al-Kabir, Syaikh al-Buni dalam al-Firdaus, Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Nihayat az-Zain halaman 63, Syaikh al-Kamil Faridudin dalam Jawahir al-Khamsi halaman 50-51, Syaikh Imam Hamid al-Quds mufti sekaligus Imam Masjidil Haram Mekah dalam kitabnya Kanz an-Najah wa as-Surur, dan beberapa ulama lainnya).
Ada dua kemungkinan sebab orang yang menolak kabar ghaib tersebut,
karena tidak mempercayai karomah dan atau belum menemukan dasar
dalilnya. Mengenai karomah, Ahlussunnah wal Jama’ah tidak menyangsikan lagi akan kebenaran dan keberadaannya pada hamba-hamba Allah yang terkasih (Auliya’). Namun bagi sebagian orang (tetangga sebelah) ada yang sama sekali menolak dan tidak mempercayainya. Padahal kalau kita
ambil warning dari panutan utama mereka, yakni Ibnu Taimiyah, kita akan temukan beliau termasuk ulama yang sangat mempercayai adanya karamah:
ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم
من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات
“Diantara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan
apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.” (Al-‘Aqidah al-Wasithiyyah).
Adapun dari segi dasar dalilnya, Ibn Abbas Ra. Meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ
فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ.
“Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” (HR.
Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, al-Khathib al-Baghdadi, al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir juz 1 halaman 4 dan al-Hafidz Ahmad bin ash-Shiddiq al-Ghumari dalam al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ ash-Shaghir wa Syarhai al-Munawi juz 1 halaman 23).
Hadits di atas kedudukannya memang dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan),
yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf.
B. Shalat Rebo Wekasan
Setiap Rabu terakhir bulan Shafar, sebagian besar kaum Muslimin
Nusantara melakukan shalat sunnah memohon kepada Allah Swt. agar
dijauhkan dari berbagai malapetaka. Namun ada pula yang menentang
amaliah shalat sunnah Rebo Wekasan tersebut dengan berlandaskan pada
pernyataan Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Irsyad al-‘Ibad yang mengatakan bahwa hal itu termasuk bid’ah madzmumah (tercela). Sebenarnya kalau kita mau telaah lagi, shalat sunnah Rebo Wekasan tidak bertentangan sama sekali dengan pernyataan Syaikh Zainuddin al-Malibari.
Akan tetapi, demi tidak memperpanjang pembahasan, sebagai jalan keluarnya bagi orang yang ingin melaksanakan shalat tersebut adalah sesuai dengan tuntunan Syaikh al-Kamil Fariduddin dalam kitab Jawahir al-Khamis. Beliau menyarankan hendaknya dalam shalat tersebut diniati melaksanakan shalat sunnah mutlak. Dimana shalat mutlak adalah shalat yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab dan bilangannya.
Begitupula menurut KH. Bisyri Mustofa, beliau mengetengahkan solusi mendamaikan dua kutub yang bertentangan ini yakni niat shalatnya adalah niat shalat muthlaq. Hal ini juga berlaku dalam shalat-shalat lain yang tidak ada dalil al-Quran dan al-Hadits seperti shalat sunnah Anisul Qabri.
C. Amaliah Rebo Wekasan
1. Sholat Rebo Wekasan
Adalah shalat 4 rakaat yang dilaksanakan pada Rabu terakhir bulan Shafar yang bertujuan meminta kepada Allah agar diselamatkan dari malapetaka pada hari itu dan hari-hari selanjutnya sampai setahun yang akan datang.
Shalat ini dilaksanaan setelah shalat Isya dan sebelum shalat Witir.
Tatacara pelaksanaannya adalah:
Niat shalatnya adalah shalat sunnah mutlak, atau bisa dengan niat khusus
berikut ini:
أُصَلِّى سُنَّةً لِيَوْمِ اْلأَ خِرِ مِنْ شَهْرِ الصَّفَرِ لِدَفْعِ اْلبَلاَء ِرَكْعَتَيْنِ لِهَُِم تَعَالَى أَللهُ أَكْبَرْ
“Aku niat shalat sunnah hari terakhir bulan Shafar sebanyak dua rakaat
agar dijauhkan dari malapetaka karena Allah Ta’ala.”
Setelah selesai membaca al-Fatihah pada tiap-tiap rakaat membaca surat
al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlas 5 kali dan surat al-Mu’awwidzatain 1
kali. Setelah salam membaca bacaan berikut ini masing-masing sebanyak 70 kali:
سُبْحَانَ اللهِ وَاْلحَمْدُ لِهَِin وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ
باِللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ…
إِياَّكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ…
Lalu membaca doa shalat sunnah Rebo Wekasan sebagai berikut:
أَللَّهُمَّ يَا شَدِيْدَ اْلقَوِىِّ وَيَاشَدِيْدَ اْلمِحَالِ يَا عَزِيْزُ ذَلَّلْتَ بِعِزَّتِكَ جَمِيْعَ خَلْقِكَ إِكْفِنِىْ مِنْ
جَمِيْعِ خَلْقِكَ يَامُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ أَللَّهُمَّ بَسِّرْ اْلحَسَنَ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ إِكْفِنِىْ شَرَّ هَذَا
اْليَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ اْلبَلِيَاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ
السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ اْلوَكِيْلُ وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّابِاللهِ اْلعَلِيِّ
اْلعَظِيْمِ اَللَّهُمَّ إِعْصِمْنَا مِنْ جَهْدِ اْلبَلاَءِ وَدَرْكِ الشَّقَاءِ وَسُوْءِ اْلقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ
اْلأَعْدَاءِ وَمَوْتِ اْلفُجْأَةِ وَمِنْ شَرِّ السَّامِ وَالْبَرْسَامِ وَالْحُمَى وَاْلبَرَصِ وَاْلجُذَامِ وَاْلأَسْقَامِ
وَمِنْ جَمِيْعِ اْلأَمْرَاضِ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى َسِّيدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ .
Tata cara shalat Rebo Wekasan menurut fersi lain adalah pertama berniat shalat sunnah mutlak:
أُصَلِّى سُنَّةً مطلقة ركعتين مأموما / إماما لله تعالى الله أكبر
“Aku niat shalat sunah Mutlak dua rakaat menjadi makmum/imam karena Allah Ta’ala.”
Rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca surat al-Falaq 10 kali. Pada
rakaat kedua setelah al-Fatihah membaca surat an-Nas 10 kali. Setelah salam membaca:
أستغفر الله العظيم x 10
اللهم صل على سيدنا محمد x 10
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidatuna Fathimah Ra. bahwa Nabi Saw. bersabda:
مَنْ صَلىَّ لَيْلَةَ اْلأَرْبِعَاءِ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَاءُ فِى اْلأُوْلَى فَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ
اْلفَلَقْ عَشْرَ مَرَّاتٍ وَفِى الثَّانِيَّةِ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ عَشْرَ مَرَّاتٍ ثُمَّ إِذَا سَلَمَ أَسْتَغْفِرُ
اللهَ عَشْرَمَرَّاتٍ ثُمَّ يُصَليِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَشْرَمَرَّاتٍ نَزَلَ مِنْ كُلِّ سَمَاءٍ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ
يَكْتُبُوْنَ ثَوَابَهُ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang berkenan mengerjakan shalat 2 rakaat di malam Rabu, pada rakaaat pertama membaca surat al-Fatihah dan al-Falaq 10 kali dan pada rakaat kedua membaca al-Fatihah dan an-Nas 10 kali, kemudian setelah salam membaca istighfar 10 kali dan shalawat 10 kali maka 70
malaikat turun dari langit yang bertugas mencatatkan pahalanya sampai hari kiamat.”
Menurut sebagian ulama: “Balak atau malapetaka yang ditakdirkan oleh
Allah Swt. akan terjadi selama satu tahun itu semuanya diturunkan dari
Lauhul Mahfudz ke langit dunia pada malam Rabu terakhir bulan Shafar.
Maka barangsiapa yang bersedia menulis 7 ayat di bawah ini kemudian dilebur dengan air lalu diminum, maka orang tersebut akan dijauhkan dari malapetaka. Ayatnya adalah sebagai berikut :
سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ , سَلَامٌ عَلَى نُوحٍ فِي الْعَالَمِينَ , سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ,
سَلَامٌ عَلَى مُوسَى وَهَارُونَ
سَلَامٌ عَلَى إِلْ يَاسِينَ , سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ , سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ
الْفَجْرِ.
Atau lazimnya ayat-ayat tersebut dikombinasikan dengan bentuk sesuai dengan yang ada pada gambar di atas.
Wallahu Al-Musta’an A’lam.
**************************************
Rebo Wekasan: Tradisi dan Hukumnya dalam Islam
Pendahuluan
Rebo artinya nama hari dalam bahasa Jawa, yaitu Rabu dalam bahasa
Indonesia, Wednesday (Inggris), أربعاء(Arab), Çarşamba(Turki),چھار
شنبہ(Persia). Sedangkan Wekasan adalah bahasa Jawa yang artinya
pungkasan atau akhir (the endالنهاية). Jadi Rebo Wekasan secara bahasa
adalah hari Rabu Terakhir. Tapi sebagai istilah tradisi yang dikenal
maksudnya adalah hari Rabu Terakhir dari bulan Safar, yaitu bulan ke-2
dari 12 bulan penanggalan Hijriyah. Karena itu tradisi ini sangat kental
dengan Islam.
Tradisi Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi memperingati hari Rabu
terakhir di bulan Safar. Tujuan peringatan itu adalah menolak bencana, talak balak. Kegiatan yang dilakukan berkisar pada berdoa, Shalat Sunnah, bersedekah. Kegiatan-kegiatan itu bisa bermacam-macam dalam praktiknya.
Penelitian dengan wawancara beberapa orang yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia memberi kesimpulan bahwa tradisi Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi yang masih berjalan sampai hari ini. Dan daerah-daerah yang mengenal dan melakukan tradisi itu mayoritas adalah daerah Pesisiran. Daerah yang dikenal relatif lebih dulu, kuat, dan kosmopolit keislamannya dibanding daerah Pedalaman Jawa.
Daerah-daerah yang memperingati adalah Gresik, Probolinggo, Situbondo, Pasuruan (Jatim), Tasikmalaya, Cirebon (Jabar), Pandeglang, Serang (Banten). Meskipun tidak semua daerah di kabupaten-kabupaten itu memperingatinya, tapi paling tidak mereka mengenal nama Rebo Wekasan.
Hal itu berbeda dengan daerah-daerah Pedalaman Jawa yang bahkan tidak mengenal istilah Rebo Wekasan. Apalagi memperingatinya. Seperti Nganjuk, Kediri, Solo, Majalengka, Tangsel. Orang-orang daerah ini mengenal istilah Rebu Wekasan melalui penduduk daerah Pesisir yang berpindah, melalui perkawinan misalnya.
Cara memperingatinya pun berbeda-beda. Di Tasikmalaya dengan Shalat
berjamaah di akhir hari Rabu di Musalla atau Masjid dan berdoa bersama.
Di Daerah Gresik ada yang memperingatinya dengan saling bersedekah bubur Harisa, bubur daging kambing, dengan orang sekampung. Di Probolinggo dengan mendatangi tokoh agama Islam berkelompok-kelompok dengan membawa air untuk didoakan keselamatan dari balak.
Di luar pulau Jawa tradisi ini pada umumnya tidak dikenal. Di
Kutowinangun Lampung, memperingatinya karena orangnya dari Jawa semua.
Penduduk asli Bengkulu Muslim tidak mengenal istilah Rebo Wekasan.
Begitu juga anak Bali yang Islamnnya dibawa dari Bugis, Sulawesi dan
Kalimantan.
Beberapa pesantren di Jawa, santrinya melakukan Shalat dan doa bersama.
Misalnya pesantren Ummul Quro Al-Islami di Bogor, pesantren Paiton
Probolinggo, dan pesantren Internasional Jagat Arsy, TQN pimpinan Mursyid Syaikh Muhammad Abdul Ghouts Saifullah Maslul di Serpong.
Hukum dalam Islam
Karena pelaku tradisi Rebo Wekasan ini adalah pemeluk agama Islam, maka banyak ulamanya memperbincangkan tentang hukumnya dalam Islam. Ada
beberapa pendapat tentang hukum tradisi ini: Mubah, Sunnah, dan Bid’ah atau dilarang, Haram.
Pendapat Haram mendasarkan pada beberapa argumen baik secara umum maupun atas beberapa hal yang dikerjakan didalam Rebo Wekasan. Pertama mendasarkan bahwa Shalat Talak Balak pada hari itu adalah Bid’ah, hal baru, dan tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ini adalah fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ di Saudi dan diikuti oleh Markaz Al-Fatwa di Qatar dan menambah bahwa bacaan-bacaan doa yang khusus di hari itu juga Bid’ah,tidak ada dalam Hadits. Ke-2 berdasarkan bahwa merasa naas dengan hari Rabu dan bulan Shafar itu itu sudah ada sejak zaman Jahiliyah dan telah dihapus oleh Islam. Nabi bersabda, "لا
طيرة "، tidak ada pertanda buruk kesialan pesimisme. Sahih, HR. Muslim.
Dan Hadits, "لا صفر"،tidak ada naas di bulan Safar. Terjemah ini adalah
yang kuat dari beberapa pendapat terjemahan yang ada. Ke-3, Hadits bahwa hari Rabu adalah hari naas (berbunyi, يوم الأربعاء يوم نحس مستمر) sangat lemah atau bahkan Maudlu’, palsu, menurut Ibn al-Jauzi dan diikuti oleh Syaikh Al-Albani.
Pendapat yang mengatakan bahwa tradisi Rebo Wekasan adalah Mubah, yaitu boleh dilakukan boleh tidak, mengatakan bahwa memang kabar adanya balak (bencananaas) di Rebo Wekasan itu tidak ada di Hadits. Tapi dari ulama-ulama ‘Arifin, dekat dengan Allah. Diantara yang dikutip adalah ucapan Baba Farid (w. 1266 M, di Punjab India) Mursyid tarekat Chisti.
Dan menurut pendapat ini percaya pada ilham orang sholeh itu boleh asal tidak disandaran pada Nabi dan tidak bertentangan dengan Syariat.
Seperti masalah balak di Rebo ini. Bagi yang tidak percaya juga boleh
asal tidak menghina orang sholeh tadi. Buya Yahya dai dari Cirebon
diantara yang berpendapat ini.
Pendapat bahwa Rebo Wekasan adalah Sunah berdasarkan kumpulan beberapa Hadits. Pertama Hadits Shahih riwayat Muslim فإن في السنة ليلة (في رواية
"يوما) ينزل فيه وباء, Sesungguhnya dalam setahun ada malam (riwayat
lain, hari) yang didalamnya turun wabah. Ke-2 Hadits Shahih menurut
Syaikh Al-Albaniفإنه لا يبدو جذام ولا برص إلا يوم الأربعاء أو ليلة
الأربعاء, Sesungguhnya Kusta tidak muncul kecuali malam Rabu atau hari
Rabu. Ke-3 perkataan Ibn Rajab Al-Hambali bahwa Rasulallah SAW
memerintahkan saat terjadi sebab-sebab siksa langit yang menakutkan
seperti gerhana, untuk berbuat baik seperti Shalat, berdoa, bersedekah.
Pentahkik buku Ibn Rajab mengatakan bahwa perkataan Rasulullah SAW yang dituturkan Ibn Rajab itu ada di Hadits-hadits tentang gerhana di buku
Shahih Bukhari dan Muslim. Begitu juga mengikuti pendapat Mazhab Hanafi
dalam Fikih bahwa disunnahkan Shalat saat panik dan menakutkan seperti angin kencang, gelap gulita.
Penutup
Sangat menarik apabila ada kajian filologi, arkeologi, dan sejarah dalam
menelaah tradisi Rebo Wekasan ini. Seperti juga hubungan antara India
dan Indonesia (Cirebon khususnya) yang tampak dalam rujukan orang daerah ini dalam pembenaran Shalat di Rebo Wekasan ke Syaikh Fariduddin (w. 1266), mursyid tarekat Chisti dari Punjab dan buku Al-Jawahir Al-Khumus yang juga tulisan ulama Sufi India, Ibn Khathiruddin (w.
1562). Juga penelitian lebih lanjut kenapa hanya di daerah Jawa dan
mayoritas Pesisiran.
**************************************
Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan
Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam.
Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah
terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan
muslimin hingga saat ini.
Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah,
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak
Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak
ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta
sebagaimana engkau menghindari singa." (H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).
Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu,
bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.
Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab
penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar
terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah
bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”.
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan
adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya
kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.
Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.
Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang
ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada perkara-perkara tersebut.
Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara
tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti
perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada
hakikatnya. Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan
aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang
perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang
pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.
Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya,
karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah
pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.
Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan
terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada
tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar”
memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut ini:
“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti
bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Indikasi Kesialan dalam Quran dan Hadits
Mungkin ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala, yang
artinya:’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma
yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20).
Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa
kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir) tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan. Hemat penulis, penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus.
Istilah hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga
terdapat dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal.
45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin
mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”
Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam
al-Bukhari sebagaimana disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya adalah bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan ditakdirkan Allah.
Bagaimana dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur (penulis sendiri terus terang belum mengetahui dan meneliti kebenaran nama dan kitab ini, bahkan dalam beberapa tulisan kitab ini disebut dengan Kanzun Najah Was-Suraar Fi Fadhail Al-Azmina Wash-Shuhaar dan Kanju al-Najah wa al-Surur fi al-Adiyati al-Lati Tasrohu al-Sudur) yang menjelaskan:
banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar.
Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang
tahun. Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil,
sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat
al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan
surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salammembaca do’a, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjag a orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.
Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik
Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat
(dikutip dengan penyesuaian):
Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus
menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari
sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau
nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, dinyatakan:
“Naas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang
mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa
setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna
dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga naas bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.” Wallahu ‘A’lam.
**************************************
Yang Terlupakan Dari Rebo Wekasan
Peringatan Rebo Wekasan atau dikenal pula dengan Arba’ Musta’mir,
yakni hari Rabu terakhir pada bulan Shafar. Kegiatan Rebo Wekasan ini
kerapkali disimbolisasikan dengan perkumpulan dan jamuan yang tentunya sudah disiapkan segala hal berkaitan dengan peringatan tersebut. Mereka yang mempercayai peringatan Rebo Wekasan ialah mereka yang menganggap bahwa akan muncul bala’ atau cobaan besar.
Tidak hanya sampai disebuah perkumpulan saja, kegiatan Rebo Wekasan juga memiliki kudapan khusus sesuai tradisi turun-temurun yang ada. Bila Idul Fitri identik dengan ketupat serta opor ayam, maka Rebo Wekasan identik
dengan kue apem, Ya kue apem sebagai perlambang maaf, silaturahim, perdamaian serta keamanan lahir dan bathin disetara-bahasakan sebagai simbol afwun (bahasa Arab “maaf”).
Pembagian kue apem, dimaksudkan sebagai sedekah sekaligus untuk menolak bala, sebab menurut hadits Nabi sedekah dapat menolak bala’. Dilanjutkan dengan kegiatan Rabu ba’dha maghrib, dengan adanya doa bersama.
Sedangkan pada hari Rabu pagi, shalat sunnah Li Daf’il Bala empat
rakaat. Usai shalat sunah, dibaca surah Yasin satu kali, pada ayat
“salaamun qaulam mirrabbir rahiim” dibaca 313 kali. Selanjutnya dibaca
doa Rebo Wekasan, yang ditiupkan pada air putih untuk diminum, mohon keselamatan pada Allah. Inilah yang banyak ditemui diberbagai daerah di Pulau Jawa.
Lain halnya dengan kegiatan Rebo Wekasan daerah Ulakan, Minangkabau, Sumatera Barat, ada pula tradisi yang dinamakan Basapa atau Bersafar.
Tradisi ini dilakukan untuk menghormati ulama besar Ulakan, yakni Syaikh Burhanuddin Ulakan, dengan berziarah ke makamnya pada hari Rabu sesudah tanggal 10 Shafar. Syaikh Burhanuddin Ulakan adalah khalifah Tarekat Syathariyah yang wafat pada hari Rabu, 10 Shafar 1111 H1699 M. Tradisi Basapa ke makam Syaikh Burhanuddin di Ulakan mirip pula dengan tradisi Bersafar ke makam Upu Daeng Menambon di daerah Sebukit Raya, yang
dilakukan oleh masyarakat Menpawah, Kalimantan Barat.
Di Indonesia, peringatan Rebo Wekasan antara lain dilakukan masyarakat Jawa, Sunda, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, dengan ragam tradisi budaya masing-masing.
*Bagaimana Syariat Memandang?*
Hari Rabu adalah hari yang nahas memang benar disebutkan dalam beberapa riwayat. Akan tetapi semua riwayat tersebut dinilai sangat lemah, bahkan ada yang menghukuminya sebagai riwayat yang dibuat-buat alias Maudhu’.
Redaksi riwayat hadits tersebut ialah
آخر أربعة في الشهر يوم نحس مستمر
Artinya: “Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari nahas yang terus
berlanjut”.
Hadits ini disebutkan oleh Imam Ibnu Jauzy dalam Kitab Al-Maudhu’at, Bab
Dzammu Yaumil Arbi’a, yang jalur riwayatnya berasal dari Ibnu Abbas,
Ibnu Umar dan Jabir. Radhiyallahu Anhum. Pada Akhir paparannya, Imam Ibnu Jauzy berkata: “Semua hadits ini tidak shahih dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam”. selesai.
Juga disebutkan oleh Imam As-Suyuthy dalam kitabnya Al-La’ali’ul
Mashnu’ah Fil Ahaditsil Maudhu’ah. Dan disebutkan juga oleh Assakhawy
dalam Al-Maqashidul Hasanah.
Nampaknya dari riwayat-riwayat sangat lemah inilah bersumbernya
keyakinan yang telah menyebar disebagian masyarakat muslim, bahwa hari rabu terakhir pada bulan Safar adalah hari yang nahas dan terdapat bencana di dalamnya. Namun yang unik adalah keyakinan ini dinamai dengan sebutan yang berbeda beda di masing-masing wilayah, seperti rabu wekasan, rabu bontong atau lainnya.
Akan tetapi yang perlu diingat bahwa riwayat riwayat tersebut selain
sangat lemah – sehingga dimasukkan oleh Ulama ke dalam kitab-kitab yang membahas hadits palsu – namun juga tidak satu pun darinya yang menyebutkan bahwa letak bulan yang dimaksudkan sebagai tempat hari rabu terakhir adalah bulan Shafar secara khusus, melainkan pada semua bulan.
Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa keyakinan rabu terakhir pada bulan Shafar secara khusus sebagai rabu yang nahas dan terdapat bala’ di dalamnya adalah keyakinan yang dibuat-buat dan tidak dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya, terlebih jika dianggap sebagai bagian Syariat Islam.
Lalu darimanakah muncul anggapan bahwa rabu terakhir yang diyakini
sebagai rabu nahas adalah rabu terkahir yang ada di bulan Shafar? tidak jelas dan otentik asal muasal penentuan tersebut, hanya saja di dalam kitab Al-Mujarrabat yang ditulis oleh Syaikh Ahmad bin ‘Amr Addirby wafat pada tahun 1151 H. Menyebutkan bahwa rabu terakhir pada bulan Shafar adalah hari yang paling sulit pada setiap tahun, sebab menurutnya pada hari tersebut diturunkan Tiga Ratus Ribu bencana. Akan tetapi sayangnya hal ini tidak disandarkan kepada dalil yang jelas, penulis kitab Al-Mujarrabat hanya menyandarkan hal tersebut kepada tokoh-tokoh yang beliau beri gelar sendiri sebagai orang-orang yang ‘Arif dan memiliki Mukasyafat dan Tamkin tanpa menyebut inisial nama sama sekali. dan metode seperti ini (berhujjah dengan Mukasyafat dan
Ilhamat) tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan suatu hal yang
ghaib terlebih pada urusan bersifat kepercayaan.
Di lain hal, meyakini bulan Shafar sebagai bulan nahas atau kesialan
adalah satu keyakinan yang pernah dianut oleh kaum Jahiliyyah di zaman
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam namun kemudian dibantah dan tiadakan setelahnya oleh Syara’, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam
sabdanya membantah keyakinan buruk kaum Musyrikin terhadap beberapa perkara dan di antaranya adalah Shafar, beliau bersabda:
ولا صفر
Artinya: “Dan tidak ada Shafar” [HR: Bukhari dan Muslim]
Makna Shafar sendiri memang diperselisihkan maknanya oleh para Ulama, dan di antara pendapat itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Shafar di sini adalah kepercayaan buruk kaum Jahiliyyah terhadap bulan Shafar, dimana mereka menganggapnya sebagai bulan yang sial. Pendapat ini
dipandang oleh Ibnu Rajab Rahimahullah sebagai pendapat yang paling menyerupai (sesuai), beliau berkata:
“Dan semoga saja pendapat ini adalah pendapat yang paling menyerupai (sesuai) di antara pendapat pendapat yang ada, dan orang-orang yang jahil di antara mereka yang Tasya’um (menganggap sial) bulan Shafar, serta terkadang ia melarang musafir (bepergian jauh) padanya, juga Tasya’um (menganggap sial) bulan Shafar adalah bagian dari jenis Thiyarah yang dilarang, demikian juga halnya dengan mensialkan hari-hari tertentu seperti (menganggap sial) hari rabu”. [dinukil dari Taisirul ‘Azizil Hamid]
Demikian juga halnya dengan fatwa para ulama Nusantara mengenai
peringatan Rebo Wekasan, salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambak beras Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian):
Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus
menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari
sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan)
atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan
oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala.
Meyakini hari rabu terakhir sebagai hari nahas dan meyakini bulan Shafar
sebagai bulan sial adalah dua hal yang berbeda, namun kedua keyakinan tersebut kemudian dipadukan menjadi satu oleh pemeluknya, sehingga berkumpullah dua kesialan menjadi satu, kesialan hari rabu dan kesialan bulan Shafar, maka tentu hal ini akan sangat menakutkan, dimana dua
kesialan menyatu pada satu titik waktu yang sama. Akan tetapi –
sebagaimana yang telah dipaparkan – kedua keyakinan ini adalah kegelapan sehingga jadilah kegelapan di atas kegelapan.
Dan menjadi jelas bagi siapa saja yang terbuka hatinya untuk menerima kebenaran agar meninggalkan tradisi yang telah dipoles-poles sedemikian rupa sehingga dianggap legal dalam Syariat Islam, bahwa rabu terakhir di
bulan Shafar adalah keyakinan yang tidak didasari oleh Al-Qur’an dan
Sunnah, dan tidak juga difatwakan penganjuarannya oleh para Ulama besar Islam seperti Imam Syafi’i dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany.
Rahimahumallah.
**************************************
ISTILAH REBO WEKASAN
Buya Yahya Menjawab
Assalamu ‘Alaikum WR. WB
Buya bagaimana hukumnya membaca doa khusus dan sedekah-sedekah khusus pada hari RABU WEKASAN, Apakah amalan itu disyariatkan dan dicontohkan Nabi Muhammad ? karena orang-orang kampung meyakini pada hari itu diturunkan bala dan bencana ?
Wa’alaikum Salam wr. Wb.
RABU WEKASAN adalah istilah untuk hari rabu akhir bulan shofar. Bulan
shofar tidak beda dengan bulan yang lainya. Bukan bulan bencana dan
bukan bulan sial. Kita tidak boleh mempercayai adanya bulan sial. Bulan sial adalah bulan seorang hamba melakukan kemaksiatan. Adapun berita tentang adanya ribuan bala bencana di hari itu bukanlah berita dari Nabi Muhammad SAW. Itu hanya ungkapan sebagian orang sholeh dan Bukan hadits nabi.
Yang mau mempercayai perkataan orang sholih tidak salah dengan 2 syarat :
1. Jangan di sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Perkataan tersebut tidak bertentangan dengan syariat nabi Muhammad SAW. Tentang bala bencana bisa saja di ucapkan oleh seorang sholih dari ilham. Masalah ilham telah disepakati keberadaanya seperti disebutkan dalam Al-Qur’an.
Bagi yang tidak mempercayai juga tidak ada masalah sebab kita tidak
wajib percaya kepada orang yang mengaku mendapatkan ilham. Yang tidak diperkenakan adalah kurang ajar kepada orang sholeh. Artinya bagi yang tidak percaya ya silahkan asal tetap menjaga tatakrama kepada orang sholeh tersebut.
Bagi yang tidak mempercayai, berprasangka baiklah kepada Allah dengan sungguh semoga di hari RABU WEKASAN Allah turunkan rahmat kepada kita serta tingkatkan ibadah dan jauhi maksiat agar Alloh senantiasa menjaga kita. Dan bagi yang mempercayai juga tidak perlu cemas dan berprasangka buruk pada Alloh sebab bencana apapun yang diturunkan hanya akan menimpa
orang yang berprasangka buruk kepada Alloh dan yang dikehendaki oleh Alloh.
Adapun amalan yang seyogyanya dilakukan adalah tidak beda dengan amalan di hari-hari yang lainya. Perbanyaklah sedekah jangan tinggalkan di setiap hari untuk sholat hajat agar dijauhkan dari bencana dan agar dikarunia nikmat dan rahmat oleh Alloh SWT. Wallohu a’lam Bishshowab.
**************************************
Malapetaka Rabu Wekasan
PERTANYAAN
Apa itu Rabu Wekasan dan bagaimana hukumnya?
JAWABAN
Rabu Wekasan (Jawa: Rebo Wekasan) adalah tradisi ritual yang
dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, guna memohon
perlindungan kepada Allah Swt dari berbagai macam malapetaka yang akan terjadi pada hari tersebut. Tradisi ini sudah berlangsung secara
turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dll.
Bentuk ritual Rebo Wekasan meliputi empat hal; (1) shalat tolak bala’;
(2) berdoa dengan doa-doa khusus; (3) minum air jimat; dan (4)
selamatan, sedekah, silaturrahin, dan berbuat baik kepada sesama.
Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar
Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li
Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (biasa disebut: Mujarrobat
ad-Dairobi). Anjuran serupa juga terdapat pada kitab: ”Al-Jawahir
Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.
Dalam kitab-kitab tersebut disebutkan bahwa salah seorang Waliyullah yang telah mencapai maqam kasyaf (kedudukan tinggi dan sulit dimengerti orang lain) mengatakan bahwa dalam setiap tahun pada Rabu terakhir Bulan
Shafar, Allah Swt menurunkan 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam bala’ dalam satu malam. Oleh karena itu, beliau menyarankan Umat Islam untuk shalat dan berdoa memohon agar dihindarkan dari bala’ tsb.
Tata-caranya adalah shalat 4 Rakaat. Setiap rakaat membaca surat al
Fatihah dan Surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan
An-Nas 1 kali. Kemudian setelah salam membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali. Waktunya dilakukan pada pagi hari (waktu Dhuha).
PANDANGAN ISLAM
Untuk menyikapi masalah ini, kita perlu meninjau dari berbagai sudut
pandang.
Pertama, rekomendasi sebagian ulama sufi (waliyullah) tersebut
didasari pada ilham. Ilham adalah bisikan hati yang datangnya dari Allah (semacam “inspirasi” bagi masyarakat umum). Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, ilham tidak dapat menjadi dasar hukum. Ilham tidak bisa melahirkan hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram.
Kedua, ilham yang diterima para ulama tersebut tidak dalam rangka
menghukumi melainkan hanya informasi dari “alam ghaib”. Jadi, anjuran beliau-beliau tidak mengikat karena tidak berkaitan dengan hukum Syariat.
Ketiga, ilham yang diterima seorang wali tidak boleh diamalkan oleh
orang lain (apalagi orang awam) sebelum dicocokkan dengan al-Qur’an dan Hadits. Jika sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits, maka ilham tersebut dapat dipastikan kebenarannya. Jika bertentangan, maka ilham tersebut harus ditinggalkan.
Memang ada hadits dla’if yang menerangkan tentang Rabu terakhir di Bulan Shafar, yaitu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ
فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير،
والخطيب البغدادي..
“Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi.
(dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz
1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi
li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Selain dla’if, hadits ini juga tidak berkaitan dengan hukum (wajib,
halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib
wat-tarhib).
HUKUM MEYAKINI
Hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir Bulan Shafar, sudah dijelaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا
عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit
menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar.
Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang
terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi Saw terhadap tradisi yang brekembang di masa Jahiliyah. Ibnu Rajab menulis: “Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini
datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi SAW membatalkan hal
tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin
Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” (Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).
Hadis ini secara implisit juga menegaskan bahwa Bulan Shafar sama seperti bulan-bulan lainnya. Bulan tidak memiliki kehendak sendiri. Ia berjalan sesuai dengan kehendak Allah Swt.
Muktamar NU ke-3 juga pernah menjawab tentang hukum berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan. Para Muktamirin mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah sbb: “Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti, bukan untuk ditinggalkan dan memilih
apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu
merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Pencipta. Apa yang dikutip tentang hari-hari naas dari sahabat Ali kw. adalah batil dan dusta serta tidak ada
dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul
Fuqaha’, 2010: 54).
HUKUM SHALAT
Shalat Rebo Wekasan (sebagaimana anjuran sebagian ulama di atas), jika
niatnya adalah shalat Rebo Wekasan secara khusus, maka hukumnya tidak
boleh, karena Syariat Islam tidak pernah mengenal shalat bernama “Rebo Wekasan”. Tapi jika niatnya adalah shalat sunnah mutlaq atau shalat hajat, maka hukumnya boleh-boleh saja. Shalat sunnah mutlaq adalah shalat yang tidak dibatasi waktu, tidak dibatasi sebab, dan bilangannya tidak terbatas. Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan saat kita memiliki keinginan (hajat) tertentu, termasuk hajat li daf’il makhuf (menolak hal-hal yang dikhawatirkan).
Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Qudus (imam masjidil haram) dalam kitab Kanzun Najah Was Surur halaman 33 menulis: “Syeikh Zainuddin murid Imam Ibnu Hajar Al-Makki berkata dalam kitab “Irsyadul Ibad”, demikian juga para ulama madzhab lain, mengatakan: Termasuk bid’ah tercela yang
pelakunya dianggap berdosa dan penguasa wajib melarang pelakunya, yaitu Shalat Ragha’ib 12 rakaat yang dilaksanakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab…….. Kami (Syeikh Abdul Hamid) berpendapat : Sama dengan shalat tersebut (termasuk bid’ah tercela)
yaitu Shalat Bulan Shafar. Seseorang yang akan shalat pada salah satu
waktu tersebut, berniatlah melakukan shalat sunnat mutlaq secara sendiri-sendiri tanpa ada ketentuan bilangan, yakni tidak terkait dengan waktu, sebab, atau hitungan rakaat.”
Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang juga
menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat. Kemudian Muktamar NU ke-25 di Surabaya (Tanggal 20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlaq. (Referensi: Tuhfah al-Muhtaj Juz VII, Hal 317).
HUKUM BERDOA
Berdoa untuk menolak-balak (malapetaka) pada hari Rabu Wekasan hukumnya boleh, tapi harus diniati berdoa memohon perlindungan dari malapetaka
secara umum (tidak hanya malapetaka Rabu Wekasan saja). Al-Hafidz Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali menyatakan: “Meneliti sebab-sebab bencana seperti melihat perbintangan dan semacamnya merupakan thiyarah yang terlarang. Karena orang-orang yang meneliti biasanya tidak menyibukkan
diri dengan amal-amal baik sebagai penolak balak, melainkan justru
memerintahkan agar tidak keluar rumah dan tidak bekerja. Padahal itu
jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Ada lagi yang menyibukkan diri dengan perbuatan maksiat, padahal itu dapat
mendorong terjadinya malapetaka. Syari’at mengajarkan agar (kita) tidak
perlu meneliti melainkan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak, seperti berdoa, berzikir, bersedekah, dan bertawakal kepada Allah Swt serta beriman pada qadla’ dan qadar-Nya.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).
HUKUM MENYEBARKAN
Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari pernah menjawab pertanyaan tentang Rebo Wekasan dan beliau menyatakan bahwa semua itu tidak ada dasarnya dalam Islam (ghairu masyru’). Umat Islam juga dilarang menyebarkan atau mengajak orang lain untuk mengerjakannya. Berikut naskah lengkap dari beliau:
بسم الله الرحمن الرحيم وبه نستعين على أمور الدنيا والدين وصلى الله على
سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
أورا وناع فيتوا أجاء – أجاء لن علاكوني صلاة ربو وكاسان لن صلاة هدية كاع
كاسبوت إع سؤال، كرنا صلاة لورو إيكو ماهو دودو صلاة مشروعة في الشرع لن
أورا أنا أصلي في الشرع. والدليل على ذلك خلو الكتب المعتمدة عن ذكرها، كيا
كتاب تقريب، المنهاج القويم، فتح المعين، التحرير لن سأ فندوكور كيا كتاب
النهاية، المهذب لن إحياء علوم الدين. كابيه ماهو أورا أنا كع نوتور صلاة
كع كاسبوت.
ومن المعلوم أنه لو كان لها أصل لبادروا إلى ذكرها وذكر فضلها، والعادة
تحيل أن يكون مثل هذه السنة وتغيب عن هؤلاء وهم أعلم الدين وقدوة المؤمنين.
لن أورا وناع أويه فيتوا أتوا عافيك حكوم ساكا كتاب مجربات لن كتاب نزهة
المجالس. كتراعان سكع كتاب حواشى الأشباه والنظائر للإمام الحمدي قال: ولا
يجوز الإفتاء من الكتب الغير المعتبرة، لن كتراعان سكع كتاب تذكرة
الموضوعات للملا على القاري: لا يجوز نقل الأحاديث النبوية والمسائل
الفقهية والتفاسير القرآنية إلا من الكتب المداولة (المشهورة) لعدم
الإعتماد على غيرها من ودع الزنادقة والحاد الملاحدة بخلاف الكتب المحفوظة
انتهى. لن كتراعان سكع كتاب تنقيح الفتوى الحميدية: ولا يحل الإفتاء من
الكتب الغريبة. وقد عرفت أن نقل المجربات الديربية وحاشية الستين لاستحباب
هذه الصلاة المذكورة يخالف كتب الفروع الفقهية فلا يصح ولا يجوز الإفتاء
بها. لن ماليه حديث كع كاسبات وونتن كتاب حاشية الستين فونيكا حديث موضوع.
كتراعان سكع كتاب القسطلاني على البخاري: ويسمى المختلف الموضوع ويحرم
روايته مع العلم به مبينا والعمل به مطلقا. انتهى…. …… إلى أن قال: وَلَيْسَ
لِأَحَدٍ أَنْ يَسْتَدِلَّ بِمَا صَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: الصَّلاَةُ خَيْرُ
مَوْضُوْعٍ، فَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَكْثِرْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَقْلِلْ، فَإِنَّ ذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِصَلاَةٍ مَشْرُوْعَةٍ.
سكيرا أورا بيصا تتف كسنتاني صلاة هديه كلوان دليل حديث موضوع، مك أورا
بيصا تتف كسنتاني صلاة ربو وكاسان كلوان داووهي ستعاهي علماء العارفين،
مالاه بيصا حرام، سبب إيكي بيصا تلبس بعبادة فاسدة. والله سبحانه وتعالى
أعلم. (هذا جواب الفقير إليه تعالى محمد هاشم أشعري جومباع).
KESIMPULAN
Tradisi Rebo Wekasan memang bukan bagian dari Syariat Islam, akan
tetapi merupakan tradisi yang positif karena (1) menganjurkan shalat dan
doa; (2) menganjurkan banyak bersedekah; (3) menghormati para wali yang mukasyafah (QS. Yunus : 62). Karena itu, hukum ibadahnya sangat bergantung pada tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan syariat, maka hukumnya boleh.
Tapi bila terjadi penyimpangan (baik dalam keyakinan maupun caranya),
maka hukumya haram.
Bagi yang meyakini silahkan mengerjakan tapi harus sesuai aturan syariat dan tidak perlu mengajak siapapun. Bagi yang tidak meyakini tidak perlu mencela atau mencaci-maki.
Mengenai indikasi adanya kesialan pada akhir bulan Shafar, seperti
peristiwa angin topan yang memusnahkan Kaum ‘Aad (QS. Al-Qamar: 18-20),
maka itu hanya satu peristiwa saja dan tidak terjadi terus-menerus.
Karena banyak peristiwa baik yang juga terjadi pada Rabu terakhir Bulan
Shafar, seperti penemuan air Zamzam di Masjidil Haram, penemuan sumber
air oleh Sunan Giri di Gresik, dll.
Kemudian, betapa banyak orang yang selamat (tidak tertimpa musibah) pada Hari Rabu terakhir bulan Shafar, meskipun mereka tidak shalat Rebo
Wekasan. Sebaliknya, betapa banyak musibah yang justru terjadi pada
hari Kamis, Jum’at, Sabtu, dll (selain Rabu Wekasan) dan juga pada
bulan-bulan selain Bulan Shafar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya
musibah atau malapetaka adalah urusan Allah, yang tentu saja berkorelasi dengan sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Mengenai cuaca ekstrim yang terjadi di bulan ini (Shafar), maka itu
adalah siklus tahunan. Itu adalah fenomena alam yang bersifat alamiah
(Sunnatullah) dan terjadi setiap tahun selama satu bulanan (bukan hanya
terjadi pada Hari Rabu Wekasan saja). Intinya, sebuah hari bernama “Rebo
Wekasan” tidak akan mampu membuat bencana apapun tanpa seizin Allah Swt.
Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar