Hukum nikah siri dalam islam
Hukum Nikah Siri Dalam Islam
Fenomena nikah siri kembali mencuat. Sejumlah lebih lagi menggunakan teknologi untuk menawarkan jasa pernikahan siri, seperti nikah siri online. Praktik nikah siri menjadi kepedulian serius Kementerian Agama (Kemenag). Bagaimana sebenarnya Islam menatap nikah siri?
Menikah dengan cara siri (rahasia) bukanlah tradisi umat Islam. Syariat
memerintahkan agar momen pernikahan yang sakral tersebut dipublikasikan menuju tengah-tengah khalayak ramai. Sabda Rasulullah SAW,
memerintahkan agar momen pernikahan yang sakral tersebut dipublikasikan menuju tengah-tengah khalayak ramai. Sabda Rasulullah SAW,
“Rahasiakanlah khitbah (lamaran) umumkanlah pernikahan. ” (HR Ibnu
Hibban dan juga Thabrani). Dalam hadis yg lain jua disebutkan,
“Umumkanlah pernikahan, selenggarakanlah di masjid, dan juga bunyikanlah tetabuhan. ” (HR Ahmad dan juga Tirmidzi).
Hibban dan juga Thabrani). Dalam hadis yg lain jua disebutkan,
“Umumkanlah pernikahan, selenggarakanlah di masjid, dan juga bunyikanlah tetabuhan. ” (HR Ahmad dan juga Tirmidzi).
Ketika masa Rasulullah SAW, tidak dikenal istilah nikah siri ini. Kalau
definisi nikah siri yang beredar di masyarakat ialah menikah tanpa
mencatatkan diri menuju KUA maka nikah ini tentu saja sah dengan cara
agama. Istilah nikah ini, yaitu nikah di bawah tangan. Hal tersebut
telah diakui keabsahannya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri kalau terpenuhi seluruh syarat dan juga rukunnya.
Pencatatan nikah baru diawali semenjak tahun 1974 dengan keluarnya UU Nomor satu Tahun 1974. Dalam Pasal dua Ayat (dua) disebutkan, “Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. “
Waktu tersebut para ulama Indonesia sepakat untuk mencatatkan pernikahan dengan cara formal dalam pencatatan negara. Selaku negara maju, minimal mesti ada tiga pencatatan, yaitu kelahiran, pernikahan, dan juga kematian. Namun, negara tidak memungkiri keabsahan pernikahan yang tidak
dicatatkan melalui KUA selama pernikahan tersebut dipandang sah dengan cara hukum agama.
Perihal ini diterangkan dalam Pasal dua Ayat (dua) yang dirancang dengan cara generik dengan Pasal dua Ayat (satu). Bunyinya,
“Perkawinan ialah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan juga
kepercayaannya tersebut. ”
kepercayaannya tersebut. ”
Jadi, keabsahan suatu pernikahan tidak ada hubungannya dengan pencatatan nikah.
Definisi lainnya dari nikah siri, yaitu menikah tanpa wali. Satu orang
perempuan dinikahkan oleh seseorang yang memosisikan dirinya selaku wali hakim tanpa sepengetahuan wali perempuan. Kasus ini marak terjadi. Satu
orang ayah tidak sadar bahwa memang putrinya telah menikah dengan manusia yg lain tanpa sepengetahuannya.
Jumhur (mayoritas) ulama mazhab tetap mensyaratkan adanya wali selaku rukun pernikahan. Tanpa adanya wali, pernikahan dianggap tidak sah.
Perihal ini berdalil dari hadis Abu Burdah RA yang menyebutkan, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali. ” (HR Abu Daud dan juga Tirmidzi).
Ulama lainnya, seperti Imam Abu Hanifah, memang tidak mensyaratkan wali selaku rukun nikah. Pendapat ini-lah yang banyak dipelintir beberapa
bagian manusia untuk melegalkan nikah siri bahwa memang menikah tanpa wali ialah sah. Namun butuh dimengerti, pernikahan yang dimaksudkan oleh Abu Hanifah, yaitu perempuan yang telah janda ataupun mempunyai kuasa atas dirinya. Contohnya, perempuan tersebut tidak memiliki wali (ayah,
kakak, kakek, dan juga sebagainya) dan juga dia memiliki kuasa atas
dirinya tersebut.
Perempuan dalam posisi tersebut, menurut Abu Hanifah, tidak disayaratkan wali dalam pernikahannya. Menurutnya, kehadiran wali dalam posisi
perempuan tersebut tidaklah mutlak dan juga tidak butuh keizinan wali untuk menikahkan. Adapun perempuan yang masih dalam kuasa walinya, seperti gadis perawan dan juga remaja putri yang masih dalam tanggung jawab manusia tuanya, tentulah Abu Hanifah hendak sepakat dengan pendapat jumhur.
Abu Hanifah berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, “Wanita yang telah
tidak bersuami tersebut (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari
walinya. ” (HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan juga Ibnu Majah). Hadis ini mengisyaratkan bahwa memang perempuan janda memiliki kuasa atas dirinya dibanding walinya. Syaratnya, perempuan ini menikah dengan laki-laki yang sekufu pula dengan dirinya.
Hadis ini men-jadi perdebatan sengit di antara para pakar hadis. Ulama hadis Muhammad bin Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar menyatakan, hadis tersebut di dipersoalkan kesahihan sanadnya.
Sufyan al-Thawri dan juga Shu’bah bin al-Hajjaj menyatakan hadis
tersebuy mursal. Terdapat satu orang perawi bernama Abu Ishaq
al-Hamdani, satu orang yang tsiqah namun mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Baihaqi seluruh perawinya, yaitu tsiqah (tepercaya), namun cuma mawquf kepada Abu Hurairah.
Pakar ilmu fikih jebolan Al Azhar Mesir, Syekh Abdurrahman al-Jaziri,
menyatakan, ke-2 pendapat tersebut dapat dipakai. Menurutnya, Islam tidak kaku terhadap suatu hukum kalau berbenturan dengan kondisi dan juga situasi. Di sinilah tampak kesyumulan dan juga kesesuaian Islam untuk menuntaskan problem masyarakat kepada tiap masa dan juga area sehingga tidak ada satu orang pun yang teraniaya.
Menurutnya, ke-2 pendapat ini sama bagusnya, dapat diterima akal, dan juga dapat diamalkan. Dia memberikan jalan tengah. Kesatu, ikuti-lah pendapat jumhur. Namun, kalau terhalang sebab alasan yang syar’i, tidak ada salahnya menggunakan pendapat Abu Hanifah. Dan juga, hal tersebut
bukanlah tindakan yang tercela.
Jadi jelaslah, menikah tanpa wali yang dimaksudkan Abu Hanifah tidak dapat dijadikan dalil melegalisir praktik nikah siri yang kali ini meresahkan umat. Pembolehan Abu Hanifah berangkat dari zuruf (alasan-alasan) tertentu. Abu Hanifah tidak mau manusia yang mau menjalankan syariat men-jadi terbebani. Allahu a’lam. n ed: hafidz muftisany.
*Cuma saja, pernikahan semacam ini amat tidak dianjurkan, sebab sejumlah alasan:*
* Pemerintah telah menetapkan aturan agar seluruh bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita selaku kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah
kepada Rasul, dan juga pemimpin kalian. ” (QS. An-Nisa: 59).
Sementara kita seluruh paham, pencatatan nikah sama satu kali tidak bertentangan dengan aturan Islam ataupun hukum Allah.
* Pencatatan di KUA hendak makin mengikat kuat ke-2 belah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), seperti mana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk makin merealisasikan perihal ini.
Dimana pasangan suami-istri sesudah akad nikah hendak lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan juga maraknya kezhaliman.
Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan hendak makin memperlihatkan tanggung jawabnya selaku suami ataupun selaku istri.
* Pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak
perempuan.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada kepada pihak suami. Sementara pihak istri cuma dapat melaksanakan gugat cerai menuju suami ataupun menuju pengadilan. Yang men-jadi problem, terkadang sejumlah suami menzhalimi bininya berlebihan, namun di pihak yg lain dia sama satu kali tidak mau menceraikan bininya. Dia cuma mau merusak bininya.
Sementara sang istri tidak bisa jadi mengajukan gugat cerai menuju
pengadilan agama, sebab dengan cara administrasi tidak memenuhi
persyaratan.
* Mempermudah pengurusan administrasi negara yang lainnya. Selaku warga negera yang baik, kita butuh tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst. Bagi Kamu bisa jadi seluruh tersebut terpenuhi, selama status Kamu masih me-ngikuti manusia tua dan juga bukanlah KK sendiri. Lalu bagaimana dengan keturunan Kamu. Bisa jadi anak Kamu hendak menjumpai banyak kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki akta kelahiran. Di ketika begitulah, seakan-akan anak Kamu tidak diakui selaku warga negara yang sempurna. Dan juga kita amat yakin, Kamu tidak menginginkan perihal ini terjadi kepada keluarga Kamu. Allahu a’lam.
*************************************
Pengertian dan Hukum Nikah Siri Menurut Syariat Agama Islam
Pernikahan Siri adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang dengan adanya wali, memenuhi rukun dan syarat nikah namun tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dengan persetujuan kedua belah pihak. Ada banyak sekali alasan dan petimbangan seseorang melakukan
nikah siri ini.
Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mencoba membahas sedikit lebih dalam mengenai nikah siri. Yuk, simak dengan seksama.
Pengertian Nikah Siri
Ada dua pemahaman mengenai pengertian nikah siri di kalangan masyarakat Indonesia.
1. Nikah siri diartikan sebagai suatu akad nikah yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, tetapi syarat serta hukumnya sudah sesuai dengan hukum agama Islam.
2. Nikah siri diartikan sebagai suatu pernikaan yang dilakukan tanpa adanya wali nikah yang sah dari pihak perempuan.
Lantas dari semua itu, bagaimana sih sebenarnya nikah siri itu sendiri
menurut hukum Islam?
Hukum Nikah Siri Menurut Agama Islam
Ada beberapa penjelasan mengenai hukum melakukan nikah siri menurut syariat agama Islam.
1. Hukum Pernikahan tanpa Wali
Wali nikah menurut mayoritas ulama merupakan salah satu rukun sahnya akad nikah. Jika salah satu rukun tidak terpenuhi, maka bisa dipastikan nikah tersebut menjadi tidak sah. Kalau pun ada sebagaian orang yang berpendapat bahwa wali nikah tidak termasuk salah satu rukun nikah, maka pendapat tersebut sangatlah lemah.
2. Nikah Siri yang Tidak dicatatkan pada Lembaga Catatan Sipil Negara
Pernikahan semacam ini sah jika memenuhi rukun-rukun pernikahan yakni adanya wali, dua orang saksi serta ijab qabul.
Nabi sudah menganjurkan umatnya untuk memberi tahu pernikahan dengan mengadakan walimah. Acara walimah ini sangat dianjurkan oleh Nabi meskipun hukumnya tidak sampai sunah muakkad.
Banyak sekali hal positif yang bisa didapat ketika seseorang
menyelenggarakan walimah. Antara lain bisa mencegah terjadinya firnah, memudahkan masyarakat sekitar untuk memberikan kesaksian jika ada persoalan yang menyangkut kedua mempelai, serta bisa memudahkan masyarakat untuk mengetahui bahwa seseorang telah menikah atau belum.
Nikah siri biasanya dilakukan oleh para pejabat serta orang-orang kaya.
Mereka melakukannya tanpa sepengetahuan dari istri dan dengan sengaja tidak dicatatkan di KUA. Sebenarnya secara syariat hal tersebut boleh dilakukan, sehingga halal untuk berhubungan seperti suami istri. Namun, di Indonesia sendiri Nikah Siri masih dianggap tabu.
Mengingat keutamaan walimah itu sendiri, ada baiknya jika tidak dalam keadaan terdesak sebaiknya tidak melakukan nikah siri.
Kesimpulan
Dalam hukum Islam nikah siri yang diperbolehkan adalah nikah yang syarat serta rukun nikahnya sudah terpenuhi yakni adanya wali nikah, dua orang saksi yang adil, serta adanya ijab qabul. Sedangkan nikah siri yang dilakukan tanpa adanya wali nikah hukumnya adalah tidak sah.
Adapun nikah yang sudah sesuai menurut syariat Islam tetapi tidak
dicatatkan di KUA, untuk hukumnya sendiri adalah sah. Tetapi pernikahan tersebut tidak mempunyai legal hukum. Artinya segala hak yang bisa diperoleh jika pernikahan dicatat di KUA, maka dia tidak bisa mendapatkanya. Salah satu contohnya adalah memberikan akta kelahiran.
Jika kita lihat sekali lagi, dampak dari pernikahan siri itu sendiri
akan sangat merugikan bagi istri, baik secara sosial maupun secara hukum.
Secara hukum:
Istri siri tidak berhak atas warisan dan juga nfakah dari suami apabila suami meniggal dunia.
Istri siri tidak dianggap sebagai istri yang sah.
Istri siri tidak berhak atas harta gono-gini apabila terjadi sebuah
perpisahan karena pada dasarnya perkawinan tersebut tidak pernah
tercatat.
Secara sosial:
Istri siri kerap kali sulit untuk bersosialisasi di lingkungan mereka
sendiri karena perempuan yang melakukan nikah siri sering kali di anggap sebagai istri simpanan, karena sudah tinggal serumah dengan laki laki tanpa ikatan perkawinan yang sah.
Bahkan dampak negatif tersebut sampai pada si anak. Karena anak yang lahir atas pernikahan sirih maka statusnya dia dianggap sebagai anak yang tidak sah.
Konsekuensinya, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan sang ibu dan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan ayah. Hal ini sudah di sebutkan dalam undang undang pasal 42 dan 43 UU perkawinan. Di dalam
aktanya, hanya akan tercatat nama ibunya yang melahirkan saja, dan
statusnya dianggap sebagai anak yang lahir di luar nikah.
Dan status tersebut akan berdampak sangat mendalam dari segi sosial dan juga psikologis anak karena ketidak jelasan status anak di mata hukum.
Demikian sedikit penjelasan mengenai nikah siri. Semoga bermanfaat ya, sekian dan terima kasih.
**********************************
Hukum Nikah Siri Dalam Islam
hukum nikah siri tanpa wali, syarat nikah siri,hukum nikah siri dengan
wali hakim, dasar hukum nikah siri, hukum nikah siri dalam islam,
makalah hukum nikah siri, hukum nikah siri menurut Negara, hukum nikah siri dalam pandangan islam
Nikah siri bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Nikah siri dalam presepsi masyarakat dipahami dengan 2 bentuk pernikahan :
Pertama, Nikah tanpa wali yang sah dari pihak wanita. Kedua, Nikah di
bawah tangan, artinya tanpa adanya pencatatan dari lembaga resmi negara
(KUA).
Nikah siri dengan pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah,
sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:
*Pertama*, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud,
turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)
*Kedua*, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.”
(HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)
Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam ini. (At-Talkhis Al-Habir, 3:156).
Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk
menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang sebenarnya.
Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.
Selanjutnya, jika yang dimaksud *nikah siri* adalah *nikah di bawah
tangan*, dalam arti tidak dilaporkan dan dicatat di lembaga resmi yang
mengatur pernikahan, yaitu KUA maka status hukumnya sah, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga nikah siri dengan pemahaman ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul akad nikah, dan seterusnya.
Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena
beberapa alasan:
*Pertama*, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk
pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum
muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama
aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59). Sementara kita semua
paham, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah.
*Kedua*, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya
sebagai suami atau sebagai istri.
*Ketiga*, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang
menjadi masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara
administrasi tidak memenuhi persyaratan.
Dus, jadilah sang istri terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami yang tidak bertanggung jawab itu. Beberapa pertanyaan tentang kasus semacam ini telah disampaikan kepada kami. Artinya, itu benar-benar terjadi dan mungkin banyak terjadi.
Anda sebagai wanita atau pihak wali wanita, selayaknya perlu mawas diri.
Bisa jadi saat di awal pernikahan Anda sangat menaruh harapan kepada sang suami. Tapi ingat, cinta kasih juga ada batasnya. Sekarang bilang sayang, besok tidak bisa kita pastikan. Karena itu, waspadalah..
*Keempat*, memudahkan pengurusan administrasi negara yang lain.
Sebagai warga negera yang baik, kita perlu tertib administrasi. Baik
KTP, KK, SIM dst. Bagi Anda mungkin semua itu terpenuhi, selama status
Anda masih mengikuti orang tua dan bukan KK sendiri. Lalu bagaimana
dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai banyak
kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak
memiliki akta kelahiran. Di saat itulah, seolah-olah anak Anda tidak
diakui sebagai warga negara yang sempurna. Dan kami sangat yakin, Anda
tidak menginginkan hal ini terjadi pada keluarga Anda. Allahu a’lam.
**********************************
DAMPAK NEGATIF NIKAH SIRI
Dampak Negatif Nikah Siri – Pernikahan memang menjadi dambaan setiap
orang yang hidup dengan normal. Mempunyai impian membina rumah tangga
bahagia bersama
pasangan selalu diidam-idamkan. Namun sebagian orang memasuki akad
nikahnya dengan cara menikah siri. Secara bahasa, nikah siri adalah
nikah dengan cara sembunyi-sembunyi, namun dalam konteks masyarakat kita
arti nikah siri identik dengan nikah tanpa pencatatan di Kantor urusan
Agama (KUA) atau sering juga disebut dengan nikah dibawah tangan.
nikah dibawah tangan Nikah siri, banyak merugikan wanita
Nikah siri di zaman sekarang ini seringkali kita jumpai di berbagai
daerah, tidak hanya di perkotaan saja, di daerah-daerah pelosok juga
sekarang banyak pasangan yang melakukan nikah siri. Pasangan dengan
kemampuan ekonomi menengah ke
bawah, biasanya melakukan nikah siri dikarenakan alasan biaya atau tidak
mampu untuk membayar administrasi pencatatan nikah. Sedangkan bagi para
pasangan dengan
golongan ekonomi menengah ke atas, mereka beranggapan lebih baik menikah
siri daripada berzina. Biasanya bagi golongan ini nikah siri bukan
merupakan pernikahan dengan
istri pertamanya, dengan kata lain pernikahan yang tidak ingin diketahui
oleh banyak orang, apalagi istri pertamanya.
Sudah banyak sekali kita saksikan korban dari pernikahan siri, bahkan
dari kalangan artis juga
banyak yang menjadi korbannya. Terlepas dari berbagai pro dan kontra
tentang hal ini, kami berpendapat bahwa
nikah siri itu sangat merugikan atau berdampak negatif, khususnya bagi
para wanita. Berikut
ini adalah dampak negatif nikah siri:
1. Mereka yang melakukan nikah siri terkadang tidak memikirkan
bagaimana nasib dan masa depan anak-anak mereka kelak, anak suatu
hari nanti akan membutuhkan akta kelahiran, entah untuk administrasi
pendidikan atau hal lainnya. Sedangkan untuk membuat akta kelahiran anak, orang
tua harus menunjukan surat nikahnya, jika pasangan menikah secara
siri, bagaimana anaknya nanti memiliki akta kelahiran?
2. Pihak wanita nantinya bisa kehilangan atau tidak mendapat hak-haknya
secara penuh. Hak-hak yang seharusnya didapatkan istri yang sah secara
hukum, tidak akan didapatkan oleh istri yang nikah siri. Misalnya
seperti hak mendapat nafkah lahir dan batin, hak nafkah sertahak
penghidupan untuk anak Anda kelak. Dan sulit sekali untuk menuntut
hal ini di mata hukum.
3. Apabila nantinya terjadi perceraian, pihak wanita tidak mempunyai
hak atas tunjangan nafkah sebagai seorang mantan
istri
dan juga harta gono gini.
4. Pihak wanita juga bisa dikenakan pidana jika istri yang sah dari
suami siri melaporkan pihak wanita dan juga suaminya (suami sirinya)
telah melakukan suatu tindak pidana kejahatan dalam pernikahan (sebagaimana
dalam pasal 279 (1) KUHP) ataupun tindak pidana perzinaan
(sebagaimana dalam pasal 284 ayat (1) KUHP).
5. Istri dan anak dari hasil pernikahan siri tidak berhak atas mendapat
nafkah dan warisan dari suaminya jika suaminya tersebut meninggal dunia.
6. Status anak yang nantinya tidak jelas di mata hukum.
Itulah sebagian dampak negatif nikah siri. Banyak sekali
kerugian-kerugian yang akan diterima oleh istri dan juga anak hasil
pernikahan siri. Cukup banyak wanita yang terjebak dalam pernikah siri.
Nikah siri memang sah jika hanya dipandang secara agama, tapi tidak
demikian secara hukum negara, hal tersebut dapat memberikan kebebasan
kepada pria untuk
seenaknya menikah lagi (poligami) dan sang istri siri juga tidak berhak
untuk melarang suaminya jika ingin menikah lagi. Istri siri juga tdak
mempunyai hak untuk melakukan menuntut jika terjadi
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh suami sirinya.
Menikah siri Pernikahan harus secara agama dan negara
Korban dari nikah secara siri ini selalu istri dan anak-anak
<http:www.fanind.comtips-memilih-mainan-untuk-anak.html> yang tidak
berdosa serta tidak tahu menahu akibat kesewenangan pihak suami.
Bersyukurlah saat ini sedang digulirkan RUU Pasal 143 yang hanya
berlaku bagi pemeluk Agama Islam ini menggariskan bahwa setiap orang
yang secara sengaja melangsungkan pernikahan tidak di hadapan pejabat
pencatat nikah yang resmi akan dipidana dengan ancaman hukuman yang
bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari 6
juta hingga 12 juta. Selain nikah siri,draf RUU ini juga menyinggung
tentang nikah mutah atau kawin kontrak. Sebaiknya wanita jangan mau
tergoda bujuk rayu pria yang mengajak nikah siri, ingat dampak
negatifnya dalam jangka panjang dan selalu berpedoman pada hukum Agama dan Negara.
*************************************
Mengapa Nikah Siri Tidak Dilarang?
Isu nikah siri kembali jadi bahan pembicaraan di berbagai tempat. Mulai
warung kopi di pojok pasar, dekat kawasan perkantoran di berbagai daerah
hingga karyawan swasta dan aparatur negeri sipil (ASN) di gedung
pencakar langit di wilayah Jakarta pun ikut-ikutan membahasnya.
Ini berawal dari penangkapan Aris Wahyudi, pemilik website
nikahsirri.com. Dia ditangkap pihak berwajib belum lama ini dari
kediamannya, Perumahan Angkasa Puri, Kelurahan Jatimekar, Kecamatan
Jatiasih, Kota Bekasi, pada Minggu dini hari, 24 September 2017.
Tentu saja sebelum polisi menangkap Wahyudi sudah mempelajari aspek
hukum yang akan dikenakan. Sekurangnya pelaku, dari fakta yang ada,
telah melakukan tindak pidana UU ITE, UU Pornografi dan UU Perlindungan
Anak.
Bagai gayung bersambut. Warga di negeri ini menyambut gembira dan
memberi apresiasi kepada pihak kepolisian yang tanggap terhadap
pemunculan konten berisi informasi tak senonoh, porno dan tersiar
melalui media sosial.
Di Tanah Air, memang, bukan rahasia lagi bahwa kemiskinan akibat
keterbelakangan ekonomi, pendidikan rendah dan nafsu bejat "hidung
belang" hingga dunia prostitusi banyak diwarnai dan diawali dengan
kemasan nikah siri.
Soal nikah siri ini kini makin ramai lagi tatkala soal status
keperawanan dan jejaka ikut dibahas di media sosial. Sungguh, suatu
kenyataan yang tak dapat dihindari seiring kemajuan teknologi informasi.
Terkait hal ini, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto
menyebut bahwa tren nikah siri dan kontrak berpotensi menjadi pintu
masuk penjualan manusia. Untuk itu, KPAI mengutuk keras hadirnya webset
nikah siri. Jika tidak cepat ditutup bakal berdampak serius bagi tumbuh
kembang anak.
Pernyataan ini sejatinya selaras dengan para aktivis perlindungan anak
dan perlindungan perdagangan manusia. Lantas, apa yang bisa dilakukan
pemerintah?
***
Harus dipahami bahwa perkawinan sejenis, perkawinan antaragama,
perkawinan siri, perkawinan kontrak (mut'ah), perkawinan di bawah usia
hingga kini masih terus menjadi fenomena yang harus diselesaikan.
Khusus kawin siri beberapa tahun silam pernah menjadi bahasan menarik
pula. Hal itu dikaitkan dengan perlu tidaknya sanksi pidana bagi pihak
pelakunya.
Ada ulama yang menyatakan bahwa jeratan pidana bagi pelaku nikah siri
bertentangan dengan syariah. Sebab, sesuai syariah Islam, persyaratan
nikah itu harus ada wali, ijab kabul, mas kawin dan saksi, tanpa ada
ketentuan dicatatkan di instansi pemerintah.
Syarat ini dibenarkan semua madzab dalam Islam, mulai madzab Imam
Syafi'i, Hanafi dan Hambali. Jika ada sanksi pidana, tentu saja bakal
menuai protes luar biasa dari masyarakat.
Demikian halnya dengan pelaku poligami yang tidak izin ke pengadilan.
Alasan dia, poligami adalah salah satu cara untuk menghindari perzinaan.
Ketua Pusat Studi Wanita (PSW/LPPM) Unair Surabaya, Dr Emy Susanti
Hendrarso MA beberapa tahun silam pernah menyatakan, pemberian sanksi
bagi pelaku nikah siri adalah untuk melindungi perempuan agar tak masuk
dalam perkawinan bermasalah.
Hingga kini, meski nikah siri dianggap sebagai prostitusi terselubung,
namun masih banyak pihak menyatakan tidak setuju dengan ancaman pidana
dalam perkawinan siri maupun poligami, karena dinilainya bertentangan
dengan Alquran.
Di dalam Alquran tidak dijelaskan kewajiban untuk mencatatkan poligami
ke instansi negara. Karena itu, ke depan nanti ada aturan nikah siri
dikenai pidana maka bisa jadi hal itu sebagai perbuatan menabrak hukum
Alquran.
Ada pria menjalani poligami tanpa meminta izin dari pengadilan karena
izin dari istri pertama sudah cukup baginya. Dasarnya, Alquran
mengharuskan umat Muslim taat kepada Allah dan Rasul. Rasul sendiri
melakukan poligami, berarti secara aturan agama itu diperbolehkan. Jadi,
tidak benar kalau harus dipidana karena poligami.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Senin (25/9/2017) mengeluarkan
pernyataan. Nikah siri yang difasilitasi situs nikahsirri.com melanggar
Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Nikah siri itu, walaupun menggunakan dalil agama sah, tapi secara
Undang-Undang Perkawinan dilarang. Sebab nikahnya tidak di hadapan
aparat negara (Kantor Urusan Agama), kata anggota Dewan Pertimbangan MUI
Amidhan Shaberah.
Mengutip hasil keputusan ijtima' ulama seluruh Indonesia di Pondok
Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada 2006, MUI mengeluarkan
fatwa mengenai nikah siri. Nikah siri atau di bawah tangan sah bila
untuk membina rumah tangga, namun haram jika menimbulkan mudharat.
Jadi nikah itu harus ditetapkan dan tercatat di KUA, agar ada surat
nikah. Surat nikah ini penting bagi istri dan anak nantinya. Anak perlu
identitas berupa akte lahir. Akte lahir untuk data kependudukan, kartu
keluarga dan identitas jati diri lainnya berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Maka kini semakin jelas bahwa kawin siri sangat berpotensi menimbulkan
masalah ke depannya. Jika perkawinan tak tercatat, ke depan, akan
membawa implikasi hukum bagi anak-anak mereka dan bahkan persoalan lainnya.
Peran KUA sangat penting dan sudah harus mensosialisasikan nikah secara
benar kepada masyarakat. Nikah siri dan segala dampaknya yang
ditimbulkan harus dapat dicegah. Dengan sosialisasi pernikahan yang
benar, maka ke depan, nikah siri akan dapat dihindari.
Tapi, selama belum ada ketegasan (pemerintah) dan kedudukan atau posisi
nikah siri, di mata hukum terus "ngegantung", maka hal ini akan
dimanfaatkan para "hidung belang".
Pelaku prostitusi akan memanfaatkan peluang ini untuk tetap mencari
untung dengan cara main "kucing-kucingan" dengan aparat penegak hukum.
Bisa jadi, sampai "Lebaran Kuda" pun masalahnya tak akan selesai.
*************************************
Saatnya Kita Tahu Alasan Banyak Orang Melakukan Nikah Siri, Ternyata
Bukan Cuma Gara-Gara Nafsu Lho
nikah siri ituuu...
Nikah siri itu katanya mengandung risiko, salah satunya karena nggak ada
pengakuan resmi akan legalitasnya oleh negara kita. Tapi ternyata makin
ke sini makin marak aja nikah siri. Dan kamu pasti bertanya-tanya dong
apa aja alasan dari pasangan-pasangan yang memilih melakukannya? Memang,
ada beragam alasan. Apakah melulu negatif? Yuk kita buktikan. Bacanya
pelan-pelan, hati-hati nanti kepengen nikah siri juga lho.
1. Alasan utama, apalagi kalau bukan adanya legalitas seksual.
Katanya sih, “daripada zina, disahkan oleh agama dulu aja, negara
mah nanti-nanti bisa”
legal sih, tapi ya secara agama aja
Mengurus pernikahan yang sah di mata negara itu butuh waktu dan tenaga
ekstra. Karenanya, hal ini pun dikenal ribet dengan segala dokumen
persyaratan dan tetek bengeknya. Daripada sudah keburu nafsu nggak mampu
menahan hasrat dan malah jatuh dalam jurang zina, kenapa nggak disahkan
oleh agama saja? Kalau sudah sah kan jatuhnya malah kewajiban dan
mendapat pahala. Tapi kalau begini juga pernikahan jadi kaya legalitas
seksual aja maknanya, padahal masih banyak hal menguntungkan lainnya
yang tak hanya tentang hubungan badan semata.
2. Tapi masalah legalitas seksual bukan gara-gara nafsu doang.
Kadang juga untuk menghindari fitnah saat melangsungkan persiapan
nikah
kalau nikah siri ya jangan harap kamu punya ini
Berulang kali ada kasus, seorang pria melamar wanitanya dan malah
disuruh langsung melantunkan ijab kabul oleh orangtua sang wanita,
padahal belum punya dokumen persyaratan apapun untuk menikah. Jawaban
yang biasa terdengar ialah “untuk menghindari adanya fitnah dari
tetangga dan orang-orang lainnya”. Hal begini menurut mereka justru
bagus untuk persiapan resepsinya. Bayangkan saja, untuk resepsi tentu
butuh sering berjalan berdua untuk mencari gedung, gaun, undangan,
suvenir dan mengurusi tetek bengek lainnya. Supaya tak ada fitnah dan
malah menambah dosa orang lain gara-gara memperbincangkan mereka, nikah
siri dipilih jadi jalan pintas.
3. Ganjalan restu dari orangtua pun tak pelak jadi salah satu
alasan pasangan yang memilih menikah siri. Semacam gaya lain dari
kawin lari
karena nggak menuntut adanya orang tua
Ketika melaksanakan nikah siri, untuk pihak mempelai wanita tak butuh
orangtuanya, sebab yang jadi wali memang tak mutlak harus orangtua.
Karena hal itulah, nikah siri seolah menjadi pilihan bagi mereka yang
cinta dan hubungannya terhalang restu. Lha kalau sudah sah secara agama,
apalagi sudah ada benih dari hasil hubungan mereka, orangtua bisa apa?
Kesannya memang memaksa, agar orangtua menjadi tak tega dan lantas
merestui jalannya rumah tangga mereka. Hal begini seringkali jadi alasan
di Indonesia.
4. Nikah siri juga kerap dilakukan oleh mereka yang menjadi istri
kedua atau ketiga atau entah ke berapa. Ya, bisa saja kita sebut
ini sebagai dampak dari adanya poligami
begitu tahu, lalu istri pertama minta cerai, sama aja
Yang seringkali jadi pertanyaan ialah, apakah melarang seseorang untuk
berpoligami itu melanggar Hak Asasi Manusia? Jawabannya bisa ya, bisa
tidak. Tapi biasanya, ketika si istri pertama tak mengizinkan adanya
poligami, suami akan tetap melakukannya dengan menikah siri. Kalau
begini bukannya malah melanggar hak istri pertama ya? Apa boleh dibilang
kalau nikah siri itu serupa bentuk mengkhianati dan membohongi istri
pertama? Ya, tergantung gimana sudut pandangnya.
5. Alasan yang satu ini terkesan jahat sih, tapi ada juga yang
menggunakannya. Beberapa mengaku ingin menghilangkan jejak agar
nantinya tak ada tuntutan apapun yang memberatkan
nikah siri itu pilihan sih, jangan ada judgementlah
Kalau ada alasan model begini, apa kamu masih mau kalau ada yang ngajak
menikah siri? Dari niatnya aja sudah begitu, bukan tak mungkin ‘kan
ketika dalam mahligai pernikahan nanti dia melakukan tindakan buruk? Dan
ketika kamu baru kepikiran melayangkan tuntutan kepada pihak yang
berwajib, pikiran itu patah dengan sendirinya lantaran kamu tak bisa
menuntutnya sebagai suami atau istri. Memang sah menurut agama, tapi
kamu tak punya surat apapun dari negara yang melegalkan pernikahan
kalian, jadilah tak ada yang bisa dipersalahkan.
6. Ada juga yang benar-benar melakukan nikah siri karena terpaksa
sama sekali tak punya biaya. Terjepit situasi dan punya masalah
dengan ekonomi
pasti ada alasan di balik terlaksananya sesuatu
Pasangan yang memutuskan menikah siri bisa jadi juga karena tak memiliki
cukup dana untuk melangsungkan pernikahan secara hukum negara. Keduanya
bukan tak mungkin sedang terjepit situasi dan keadaan lingkungannya.
Misalnya ketika harus segera dinikahkan ataupun tidak mampu mengurus
surat-menyurat di kantor urusan agama (KUA). Mungkin lingkungan rumahnya
nggak memungkinkan untuk diadakan pesta pernikahan atau bisa saja dia
tinggal di desa tertinggal. Bukan tidak mungkin juga memang mereka tak
menginginkan pesta pernikahan yang ramai.
7. Sebutlah Ayu Utami, dia salah satu orang yang memilih menikah
siri dan tak berniat mendaftarkan pernikahan ke negara sama
sekali. Kenapa?
ayu utami dan suami yang akhirnya menikah secara agama
Sebab, hukum perkawinan di Indonesia dianggapnya masih tidak adil.
Lantaran, secara otomatis menempatkan suami sebagai kepala
keluarga.”Padahal tentang siapa yang jadi kepala keluarga, apa harus ada
kepala keluarga, atau apa benar harus ada kepala keluarga, serahkan saja
pada pasangan yang menikah,” terangnya dilansir dari ayuutami.info
Dia menginginkan hal itu jadi urusan pribadinya, tak perlu mengikuti
aturan negara. Karena pada praktiknya, banyak istri yang justru menjadi
tulang punggung keluarga, tapi malah tak mendapat pengakuan, perlakuan,
dan penghargaan yang layak sebagai pencari nafkah utama.
Tujuh alasan di atas semoga menjawab pertanyaanmu tentang apa sih yang jadi alasan seseorang memilih melakukan nikah siri. Terlepas dari adanya pro kontra selama ini, apalagi saat maraknya jasa nikah siri /online/, ya inilah realita yang terjadi. Jangan gegabah, segalanya ada positif
negatif dan dampak atau risiko yang menanti.
********************************
Adab-Adab Poligami
SYARAT DAN ADAB POLIGAMI
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Allah Azza wa Jalla yang menciptakan manusia, maka Dia jugalah yang
paling mengetahui mashlahat (perkara yang membawa kepada kebaikan) bagi
manusia, dibandingkan manusia itu sendiri. Dia Maha Mengetahui, Maha
Bijaksana, dan Maha Kasih Sayang kepada hamba-hambaNya. Allah berfirman :
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan
atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” [Al Mulk/67:14]
Demikianlah seluruh syari’at Allah, semuanya merupakan mashlahat, baik
mashlahat murni yang tidak ada keburukannya, ataupun mashlahat rajihah
(yang lebih kuat) terhadap keburukannya. Termasuk dalam hal ini, yaitu
poligami yang telah dihalalkan oleh Allah di dalam kitab suciNya,
dihalalkan oleh RasulNya yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
disepakati oleh umat Islam.
Sebagai syari’at yang dihalalkan, maka seorang muslim yang melakukan
poligami, semestinya memperhatikan syarat dan adab-adabnya. Sementara
itu, di tengah masyarakat, umat Islam yang melakukan poligami, sebagian
di antara mereka melakukannya dengan tanpa memenuhi syarat dan
adab-adabnya, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam. Hal ini turut
memperburuk citra agama Islam di mata musuh-musuhnya. Sehingga
melahirkan penilaian negatif terhadap poligami yang merupakan anugerah
Allah ini.
Oleh karena itu sebagai umat Islam, sepantasnya kita mengetahui
syarat-syarat dan adab-adab poligami, sehingga kesempurnaan agama Allah
ini dapat kita pahami. Dan bagi seseorang yang melaksanakan poligami,
dia melaksanakan dengan sebaik-baiknya sebagaimana dituntunkan syari’at.
ADAB-ADAB POLIGAMI
Ketika seseorang melakukan poligami, maka semestinya dia mengetahui
adab-adab yang berkaitan dengannya. Berikut adalah di antara pembahasan
dalam perkara ini.
1. Dengan Berpoligami, Seorang Laki-Laki Janganlah Menjadi Lalai Dalam
Menjalankan Ketaatannya Kepada Allah.
Yang dimaksud yakni hanya memikirkan isteri-isteri dan anak-anaknya
saja. Karena sesungguhnya tujuan kehidupan adalah beribadah kepada
Allah. Demikian juga kewajiban hidup di dunia ini banyak. Ada kewajiban
terhadap Allah, kewajiban terhadap orang tua, kewajiban terhadap
tetangga, dan lain-lain. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا
وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap
mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[Ath-Thaghabun/64:14]
Dalam tafsirnya tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Allah
Ta’ala berkata memberitakan tentang isteri-isteri dan anak-anak, bahwa
di antara mereka ada yang menjadi musuh bagi suami dan anak. Dalam arti,
isteri-isteri dan anak-anak dapat melalaikannya dari amal shalih.
Sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ
ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka
mereka itulah orang-orang yang merugi”.[Al Munafiqun/63:9]
2. Seorang Laki-Laki –dari umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam – Tidak Boleh Beristeri Lebih Dari Empat Dalam Satu Waktu.
Jika seseorang masuk agama Islam, sedangkan dia beristeri lebih dari
empat, maka dia disuruh memilih empat isterinya, dan lainnya diceraikan.
Seorang sahabat Nabi yang bernama Wahb al Asadi Radhiya;;ahu ‘anhu berkata:
أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانُ نِسْوَةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
“Aku masuk Islam, sedangkan aku memiliki delapan isteri. Aku menyebutkan
hal itu kepada Nabi n , maka beliau bersabda: “Pilihlah empat dari
mereka”. [HR Abu Dawud, no. 2241. Hadits ini dishahihkan oleh al Albani]
3. Jika Seseorang Menikahi Wanita Kelima, Padahal Dia Masih Memiliki
Empat Isteri.
Dalam masalah ini, al Qurthubi rahimahullah mengatakan: “(Imam) Malik
dan Syafi’i mengatakan, ‘Jika dia mengetahui (hukumnya), maka dia
dikenai had’. Begitu pula (yang) dikatakan oleh Abu Tsaur. Az-Zuhri
mengatakan,’Jika dia mengetahui (hukumnya), maka dia dirajam (dilempari
dengan batu sampai mati). Jika dia tidak tahu, maka dia dikenai had yang
rendah, yaitu dera. (Adapun) wanita itu, (ia) mendapatkan mahar, dan
dipisahkan antara keduanya. Mereka tidak boleh berkumpul selamanya’.”
Kalau ini sebagai hukuman bagi orang yang menikahi isteri kelima, lalu bagaimanakah orang yang menikahi isteri ke enam dan seterusnya, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang zhalim dari kalangan raja –dan lainnya- zaman dahulu dan sekarang?
4. Seorang Laki-Laki Tidak Boleh Memperisteri Dua Wanita Bersaudara Dalam Satu Waktu.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“(Diharamkan atas kamu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nisaa`/4:23]
5. Seorang Laki-Laki Tidak Boleh Memperisteri Seorang Wanita Dan Bibinya Dalam Satu Waktu.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَالْمَرْأَةُ وَخَالَتُهَا
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang wanita dinikahi
bersama dengan ‘ammah (wanita saudara bapak)nya, dan seorang wanita bersama khalah (wanita saudara ibu)nya (oleh seorang laki-laki, Pen.).
[HR Bukhari, no. 5110, Muslim, no. 1408]
6. Boleh Berbeda Mahar Dan Walimah Bagi Isteri-Isteri. Yaitu Nilai Mahar dan Besarnya Walimah Di Antara Para Isteri Tidak Harus Sama.
An-Najasyi Radhiyallahu menikahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah Radhiyallahu ‘anha, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan mahar sebanyak empat ribu (dirham). (HR Abu
Dawud, an-Nasaa-i). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menikahi Shafiyah Radhiyallahu ‘anha dengan mahar memerdekan Shafiyah dari perbudakan. [HR Bukhari, 5086, Muslim, no. 1045]
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang walimah yang
diadakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menikahi Zainab bintu Jahsy Radhiyallahu ‘anha :
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا
أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan walimah pada seorangpun dari isteri-isterinya sebagaimana beliau
mengadakan walimah terhadapnya. [HR Bukhari, 5171, Muslim, no. 1428].
7. Seorang Suami Yang Menikah Lagi Dengan Gadis, Maka Dia Tinggal Bersamanya Selama Tujuh Hari, Kemudian Melakukan Giliran Yang Sama Setelah itu. Jika Yang Dinikahi Janda, Maka Dia Tinggal Selama Tiga Hari, Kemudian Baru Melakukan Giliran.
Hal ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ مِنْ السُّنَّةِ إِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ الْبِكْرَ عَلَى الثَّيِّبِ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا وَقَسَمَ
وَإِذَا تَزَوَّجَ الثَّيِّبَ عَلَى الْبِكْرِ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاَثًا ثُمَّ قَسَمَ
“Dari Anas, dia berkata: “Termasuk Sunnah, jika seorang laki-laki
menikah lagi dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan (kemudian) menggilir. Dan jika menikahi janda, maka dia tinggal bersamanya selama tiga hari, kemudian baru menggilir”. [HR Bukhari, no. 5214, Muslim, no. 1461].
8. Seorang Wanita Yang Dipinang Oleh Seorang Laki-Laki Yang Telah
Beristeri, Tidak Boleh Mensyaratkan Kepada Laki-Laki Itu Untuk
Menceraikan Isterinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسْأَلْ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ
أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا وَلْتَنْكِحْ فَإِنَّ لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang wanita meminta (seorang laki-laki) menceraikan saudaranya (seagama), sehingga dia akan membalikkan piringnya. Namun hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya dia mendapatkan apa yang telah ditakdirkan baginya”. [HR
Bukhari, no. 6601]
Menurut Imam an-Nawawi, makna hadits ini adalah, larangan terhadap
seorang wanita asing (bukan mahram) meminta kepada seorang laki-laki
menceraikan isterinya, dan menikahinya, sehingga dia mendapatkan nafkah
laki-laki itu, kebaikannya, dan pergaulannya, yang sebelumnya untuk wanita yang telah diceraikan.
Ketika menjelaskan makna hadits ini, di antaranya al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, kemungkinan yang dimaksudkan adalah, hendaklah dia menikah
dengan laki-laki tersebut, tanpa meminta mengeluarkan madunya dari penjagaan laki-laki itu (yakni menceraikannya). Tetapi hendaklah ia menyerahkannya kepada apa yang telah Allah takdirkan. Oleh karena itulah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup dengan sabdanya “karena sesungguhnya dia mendapatkan apa yang telah ditakdirkan baginya”,
sebagai isyarat, walaupun jika dia meminta dan mendesaknya, serta
mensyaratkan (untuk mencerainya), maka hal itu tidak akan terjadi,
kecuali apa yang Allah takdirkan. (9/275).
Demikian juga seorang isteri, tidak boleh meminta suaminya untuk
menceraikan madunya. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah, beliau berkata: “Di dalam hadits ini terdapat fiqih (pemahaman), bahwa seorang wanita tidak pantas meminta kepada suaminya
untuk menceraikan madunya, agar dia bersendiri dengan suaminya”.
(9/274). Wallahu a’lam.
9. Suami Wjib Berlaku Adil Dalam Memberi Giliran Pada Isteri-Isterinya.
Misalnya, setiap satu isteri bagian gilirannya satu hari dan satu malam.
Atau jika seorang isteri mendapatkan sepekan, maka yang lain juga mendapatkan bagian yang sama. Demikian pula terhadap isteri yang sedang haidh atau sakit, ia tetap berhak mendapat giliran. Dan jika suami akan bersafar, kemudian hendak mengajak salah satu isterinya, maka dia dapat
mengadakan undian.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ
سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ
زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْتَغِي بِذَلِكَ
رِضَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menghendaki
safar, beliau mengundi di antara isterinya. Maka siapa dari mereka yang keluar bagiannya, dia pun keluar bersama beliau. Dan beliau membagi untuk tiap-tiap isterinya sehari semalam. Akan tetapi Saudah binti Zam’ah Radhiyallahu ‘anha, (beliau) menyerahkan harinya untuk ‘Aisyah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (karena) beliau mencari ridha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya. [HR Bukhari, no.
2688, Abu Dawud, no. 2138]
Demikian juga, seorang suami tidak boleh pergi pada waktu malam hari
dari rumah isterinya yang berhak mendapatkan giliran menuju ke rumah isteri yang lainnya, karena hal ini merupakan kezhaliman.
10. Suami Tidak Boleh Berjima’ Dengan Isteri Yang Bukan Pemilik Hak Giliran, Kecuali Dengan Izin Dan Ridha Pemilik Hak.
‘Urwah bin Zubair mengatakan, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata kepadanya:
يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي
الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ
امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ
بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا قَالَتْ نَقُولُ فِي
ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا
Wahai, anak saudara perempuanku. Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengutamakan sebagian kami (para isteri) atas yang lain
di dalam pembagian. Yaitu menetapnya beliau pada kami. Dan hampir setiap hari beliau mengelilingi kami semua. Yakni beliau mendatangi semua isterinya dengan tanpa menyentuh (jima’, Pen.), sehingga beliau sampai kepada isteri yang hari itu menjadi haknya, maka beliau bermalam padanya. Pada waktu Saudah (salah satu isteri beliau) sudah tua dan takut diceraikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia
mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Hariku untuk ‘Aisyah,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima itu darinya. ‘Aisyah mengatakan:
Kami berkata: Tentang itu –dan yang semacamnya- Allah menurunkan firmanNya:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya…” [HR Abu Dawud, no. 213]
Kelengkapan ayat di atas ialah:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا
صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan
isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” [An-Nisaa`/4:128]
Penulis kitab ‘Aunul Ma’bud berkata: “Di dalam hadits ini terdapat
dalil, bahwa laki-laki boleh menemui isterinya yang bukan pemilik hak
giliran hari itu, menyenangkan hatinya, menyentuhnya, dan menciumnya.
Hadits ini juga menunjukkan kebaikan akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan beliau adalah sebaik-baik manusia terhadap keluarganya
(isterinya). Di dalam hadits ini juga terdapat dalil, bolehnya seorang
isteri memberikan gilirannya kepada madunya. Dengan syarat, (mendapat)
ridha suami. Karena, suami juga mempunyai hak atas isterinya, sehingga
isteri tersebut tidak berhak menggugurkan hak suami kecuali dengan
ridhanya”. [Syarah hadits no. 2135]
Bahkan demikian juga jika para isteri mengizinkan suami boleh menggilir
mereka semua dalam satu malam. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ فِي اللَّيْلَةِ الْوَاحِدَةِ وَلَهُ
يَوْمَئِذٍ تِسْعُ نِسْوَةٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengelilingi semua isterinya dalam satu malam. Waktu itu beliau memiliki sembilan
isteri”. [HR Bukhari, no. 284]
Demikian sedikit penjelasan yang berkaitan dengan syarat dan adab
berpoligami, Dengan penjelasan ini, mudah-mudahan kita mengetahui
kesempurnaan agama Islam yang membolehkan poligami, dengan memberikan batasan hanya empat isteri. Dan diiringi dengan kewajiban-kewajiban yang
harus dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan poligam tersebut.
Syari’at Islam yang membolehkan poligami dengan syarat dan adab-adabnya, tentu lebih baik daripada poligami yang dilakukan oleh berbagai bangs di dunia, baik pada zaman dahulu maupun pada masa sekarang yang tanpa batasan. Demikian juga, poligami yang dibolehkan Islam, tentu lebih baik dari pada perselingkuhan dan perzinaan yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman dahulu maupun sekarang. Maka orang yang adil, dan menilai dengan jujur, pastilah mengakui keunggulan dan kesempurnaan Islam, dibandingkan dengan ajaran dan fikiran manusia, siapapun orangnya.
Wallahul-Musta’an.
Komentar
Posting Komentar