Kitab Sahih Ibnu Khuzaimah

 


Membahas Kitab Sahih Ibnu Khuzaimah


  
A. BIOGRAFI IBN KHUZAIMAH (223-311 H./838-924 M.)

Penyusun kitab Sahih ini mempunyai nama lengkap Abû Bakr Muhammad ibn Ishâq ibn Khuzaymah al-Naysâbûrî yang dilahirkan pada bulan Shafar tahun 223 H, di Naysâbûr.

 Pada masanya, ia adalah seorang imam yang sangat ahli di Naisabur dan mujtahid sangat popular dalam bidang hadits,

 serta digelari “ al-imâm al-a’immah
” (imam dari segala imam).

 Al-Sabqî memberinya gelar pemuka besar bagi Imam Islam. Karangannya
berjumlah 140 buah dan yang paling bagus dan lengkap adalah kitab Sahihnya.

 Ia mempelajari fiqh dari al-Rabî‘ dan al-Muzânî serta pernah menjadi imam di Khurasan. Ia wafat pada malam Sabtu tanggal 2 Dzulqa’dah 311 H dan dikuburkan di Hajrah dekat rumahnya.

 Ibn Khuzaimah menjelajah ke berbagai kota untuk, terutama, memburu hadits dari berbagai ahli sejak berusia 17 tahun (240 H.). Di kota kelahirannya Naysâbûr, ia mendengar hadits dari Ibn Râhawayh, et al . A‘zhamî menyebutkan kota-kota yang pernah ia singgahi beserta ahli hadits yang didengar di sana. Di antaranya: Rayy untuk mendengar hadits di antaranya dari Muhammad ibn Mihrân; Marw dari ‘Alî Ibn Muhammad; Syam dari Mûsâ ibn Sahl al-Ramlî;
 
Jazirah dari ‘Abd al-Jabbâr ibn al-‘Alla’; Mesir dari Yûnus ibn ‘Abd al-A‘lâ; Wâsith dari Muhammad ibn Harb; Baghdad dari Muhammad ibn Ishâq al-Shâghânî; Bashrah dari Nashr ib ‘Alî al-Azdî; Kufah dari Abû Kurayb Muhammad ibn al-‘Alla’ al-Hamdânî.

 Beberapa periwayat hadits yang sempat Ibn Khuzaimah dengar namun tidak meriwayatkannya karena ia masih kecil adalah Ishâq Ibn Râhawayh (w. 238 H.), Muhammad ibn Humayd (w. 230 H.).

 Ia meriwayatkan hadits dari al-Bukhârî, Muhammad ibn Yahyâ al-Dzuhalî, Ahmad ibn Sayyar al-Marwazî, Mahmûd ibn Ghaylân, Muhammad ibn Iban al-Mustamlî, Ishâq ibn Mûsâ al-Khutamî, Abû Qudamah al-Syarkhasî, Ahmad ibn Mani‘, Muhammad ibn Rafî‘, Muhammad ibn Basyar,
etc
. Sementara yang meriwayatkan hadits darinya di antaranya al-Bukhârî, Muslim, Abû Hati Muhammad ibn Hibban al-Busytî, Sulayman ibn Ahmad ibn Ayyub al-Thabarânî, Abû Ahmad, ‘Abd Allâh ibn ‘Âdî al-Jurjânî, Muhammad ibn ‘Abd Allâh ibn ‘Abd al-Hakam, Yahyâ ibn Muhammad, Abû ‘Alî al-Ghassanî, Ishâq ibn Sa‘d,
etc
.

 Al-Rabî‘ pernah berkomentar bahwa, “Kami mendapat faedah dari Ibn
Khuzaimah lebih banyak dari faedah yang dia peroleh dari kami.” Abû ‘Alî
al-Naysâbûrî pernah berapresasiasi, “Saya belum pernah melihat orang
sepertinya dan Ibn Khuzaimah menghapal hukum-hukum fiqh
dari hadits-haditsnya…” Sementara al-Dâruquthnî juga sempat memujinya sebagai seorang imam hadits yang tiada bandingannya.

 Al-Hâkim menggolongkan Ibn Khuzaimah dalam golonga fuqahâ’ hadits.

 

 Abû ‘Abd Allâh al-Hâkim menyebutkan bahwa karya Ibn Khuzaimah mencapai 140 buah lebih yang bisa menjadi rujukan lengkap, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak sampai ke tangan kita meski hanya nama kitabnya sekalipun. Karyanya yang masih bisa dijumpai saat ini hanyalah kitabal-Tawhîd dan kitabShahîh -nya. Dari penelusuran al-A‘zhamî secara sepintas atas kedua kitab tersebut, ditemukan sebagian kitab-kitab yang terdapat di dalamnya dan menyebutkan ada 35 nama kitab. Dari sini, al-A‘zhamî menduga ada tiga kemungkinan.

Pertama , ke-35 kitab itu masing-masing merupakan kitab tersendiri dengan namanya masing-masing; kedua , 35 nama kitab itu hanyalah merupakan nama-nama kitab (semacam bab) yang terhimpun dalam satu kitab besar; atau ketiga , bahwa sebagian merupakan nama kitab tersendiri dan sebagian yang lain adalah nama kitab (bab) yang berasal dari suatu kitab. Rupanya kemungkinan terakhirlah yang lebih diyakini al-A‘zhamî. Hal itu didasarkan atas model yang biasa digunakan para ahli hadits dalam mengkompilasi suatu kitab koleksi, dan Ibn Khuzaimah mengikuti metode tersebut. Bahwasanya mereka biasa menyusun kitabnya atas beberapa kitâb (bab).

 
B. LATAR SEJARAH

Ibn Khuzaimah hidup pada kurun ketiga dan keempat Hijrah, masa keemasan dan puncak peradaban Islam.

 Dalam periode perkembangan hadits, yang terbagi dalam tujuh periode, Ibn Khuzaimah hidup pada masa periode kelima ( ‘Ashr al-tajrîd wa al-Tashhîh wa al-tanqîh : periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan) dan periode keenam ( ‘Ashr al-tahdzîb wa al-
 
 

tartîb wa al-istidrâk wa al-jam‘
: periode pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan).
Periode Kelima berkisar selama abad ke-3 Hijrah, dari awal sampai akhir. Ulama hadits yang hidup pada masa ini disebut mutaqaddimîn . Periode ini ditandai dengan munculnya Kutub al-Sittah . Kegiatan yang dilakukan adalah pelawatan ke berbagai kota untuk memburu hadits; pembuatan klasifikasi hadits untuk dibedakan menjadi marfû‘ ,mawqûf , dan maqthû‘ ; melakukan kritik terhadap sanad maupun matan.

 Puncak pengklasifikasian hadits pada abad ke-3 Hijrah ini, di antaranya adalah Ibn Khuzaimah.

 Sementara, Periode Keenam
 dimulai semenjak awal abad ke-4 Hijrah sampai jatuhnya kota Baghdad
(656 H./1258 M.). Ulama hadits yang hidup pada periode ini disebut ulama
muta’akhkhirîn . Pada umumnya, kegiatan mereka bersandar pada karya-karya ulama mutaqaddimîn . Hadits yang mereka kumpulkan merupakan nukilan dari kitab-kitab yang sudah ada. Tumbuh asumsi di kalangan ulama untuk mencukupkan hadits-hadits yang telah dihimpun. Kitab Sahih ibn Khuzaimah merupakan salah satu kitab masyhur yang muncul pada abad ke-4 Hijrah ini.

 Dalam latar sejarah kekuasaan Islam, Ibn Khuzaimah hidup pada periode
kekhalifahan tinggi dinasti ‘Abbasiyah. Akan tetapi, ia hidup pada saat terjadinya kemerosotan imperium (833-945 M.).

 Ia lahir (tahun 838 M.) pada saat khalifah ke-8 al-Mu‘tashim (833-842
M.) memerintah. Ketika Ibn Khuzaimah pergi menjelajah untuk memburu hadis (di usianya yang ke-17, sekitar tahun 854 M.),



 Khalifah ini terkenal sangat mendukung kalangan ahli hadits dan
menentang keras golongan Mu’tazilah. Ahmad ibn Hanbal (w. 855 M.) dan para ahli hadits, tampaknya, lebih merepresentasikan pandangan keagamaan masyarakat Islam secara keseluruhan, paling tidak di Irak sekitar Baghdad, ketimbang pandangan para mutakallimin.

 Gerakan hadis dengan ciri-ciri populismenya muncul dan berkembang sangat kuat. Selama hayatnya, Ibn Khuzaimah mengalami beberapa kali pergantian rezim. Terakhir, ketika Ibn Khuzaimah wafat tahun 924 M.,
waktu itu pemerintahan di bawah kendali khalifah al-Muqtadir (908-32).

 C.E. Bosworth (1980) pernah menyimpulkan bahwa tiga abad pertama (abad ke-8 sampai 11) dinasti ‘Abbasiyah mengalami kejayaan dan kemajuan dalam segala hal. Namun, pada abad ke-10, pemerintahan ‘Abbasiyah mengalami ketakmenentuan dan kegagalan politik, meski kemajuan terus berlangsung.
Rusaknya persatuan politik ‘Abbasiyah pada masa ini ditandai adanya pemisahan diri dengan kemerdekaan penuh di beberapa wilayah kekuasaannya, seperti Spanyol, Afrika Utara, Mesir, Turki, dll.
Kekuasaan politik ‘Abbasiyah yang masih efektif hanya di Irak, terutama
pada abad ke-10 ketika Syi'sme politis memperoleh kemenangan di sebagian besar dunia Islam ( e.g., mula-mula di Afrika Utara, kemudian Mesir dan Suriah).

 Orang-orang Syi’ah banyak memegang posisi penting. Marshall G.S.
Hodgson (1974) menggambarkan peran penting kalangan Syi’ah waktu itu. Di kota-kota, kebanyakan saudagar kaya dan bankir-bankir adalah Syi’ah;
al-Karkh

  sebagai tempat tinggal para saudagar Baghdad merupakan kubu Syi’ah yang kuat di sana. Banyak sekretaris ( katib ) dan administrator-administrator tinggi negara ditarik dari Syi’ah, meski harus mengabdi pada bani ‘Abbas. Sejumlah besar para penulis, filosof, dan para pemimpin lainnya dalam kebudayaan yang bercorak Islam dari kekhalifahan Tinggi adalah kaum Syi’ah.

 Sampai awal abad ke-10 M., kekuasaan khalifah betul-betul jatuh dengan ditandai adanya pengakuan terhadap gubernur Irak, Ibn Râ’iq, sebagai amîr al- umarâ’. Ini lebih mengukuhkan eksistensi kelompoknya dan menjadikan khalifah sebagai kepala negara formal belaka. Supremasi kekuasaannya semakin meningkat, hingga akhirnya tahun 946 M. Syi’ah Persia Bûyeh menginvasi dan mencaplok ibukota. Supremasi Islam Sunni dikontrol oleh Syi’ah. Penguasaan kelompok Buyiah di Baghdad membawa perubahan besar sejarah yang disebut sebagai ‘
Iranian Intermezzo,’ yang berlangsung sejak kemunduran kekuasaan Arab abad ke-9 hingga berdirinya kekuasaan Turki abad ke-11. Selama rentang waktu tersebut merupakan masa berdirinya dinasti-dinasti Iran. Dinasti independen Muslim Iran yang pertama adalah Tahiriyah di Iran bagian Timur (821-873), diikuti dinasti Saffariyah (867-903) dan Samaniyah ( 875-999) di timur dan Buyiah (932-1055), dan yang lain sebelah utara dan baratnya.

 Di antara dinasti-dinasti tersebut, dinasti Samaniyah lah yang paling aktif, dengan ibukota di Bukhara yang menjadi pusat kebangkitan kultur Persia. Di bawah beberapa penguasanya, bahasa Persia dijadikan sebagai bahasa resmi. Mereka mendorong tumbuh-kembangnya puisi-puisi dan kesarjanaan Persia, dan abad ke-10 dan 11 menunjukkan kelahiran literatur Persia, ditulis dengan naskah Arab dan sangat dipengaruhi tradisi dan keimanan Muslim, namun sangat khas dan esensial Persia.

 Di bawah kekuasaan dinasti Samaniyah ini, Ibn Khuzaimah dilahirkan dan hidup, yakni di Naysabur (Nishapur), sebelah barat daya ibukota Bukhara. Sekitar pertengahan abad ke-9 M., dua orientasi keagamaan, pendekatan kalangan ahli hukum ( legist ) dan pendekatan ahli hadits, nyaris berpadu, yakni dalam rangka mengelaborasi dan mensistematisasi sebuah kitab hukum yang berdasarkan al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas.

 Sampai abad ke-9 M., telah tumbuh dua kubu dalam teologi Islam, yakni kubu rationalist-oriented
 (yang meyakini kebebasan kehendak manusia dan pertangungjawaban pribadi) dan kubu lain yang menekankan kemutlakan kekuasaan dan misteri wujud Tuhan. Ketakpuasan terhadap ekses rasionalisme Mu’tazilah dan desakan literalisme hadits, menyebabkan teolog Muslim abad ke-9 dan 10 berusaha menemukan  jalan tengah. Dan representasi penting sepanjang sejarah teologi Islam adalah karya al-Asy‘arî (w. 935 M.).

 C. LATAR PENAMAAN DAN PENYUSUNAN KITAB

Kitab Sahih Ibn Khuzaimah adalah salah satu kitab yang memuat hadits-hadits sahih yang tidak terdapat dalam kitab-kitab sahih abad ke-3 Hijrah (Sahih al-Bukhârî dan Muslim dan Kita enam yang lain), di samping Sahih Ibn Hibbân dan Mustadrak al-Hâkim.

 Kitab Sahih Ibn Khuzaimah di-
tahqiq oleh M.M. A’zhamî dan di-
takhrij oleh al-Albânî. Kitab yang disusun dan diterbitkan berdasarkan manuskrip yang diketemukan ini, disinyalir baru sebagian.

 Dengan   kata lain, hadits-hadits yang disusun Ibn Khuzaimah dalam Sahihnya belum seluruhnya terhimpun dalam terbitan yang bisa kita jumpai saat ini. Ibn Khuzaimah tidak pernah menamai kitabnya dengan sebutan “
Shahîh ,” sebagaimana juga al-Bukhârî atau pun Ibn Hibbân, meskipun kitab kompilasinya dinilai paling unggul di masanya. Penamaan “
Shahîh Ibn Khuzaymah,
” tampaknya adalah atas inisiatif para ulama mutakhir ( muta’akhkhirîn ), seperti al-Mundzirî (w. 656 H.) dalam
al-Targhîb wa al-Tarhîb , al-Dimyâthî (w. 705 H.), al-Turkimânî (w. 745 H.),
etc., dan selanjutnya kitabnya lebih terkenal dengan sebutan demikian. Sementara, Ibn Khuzaimah sendiri menamai kitabnya dengan sebutan
“Mukhtashar al-Mukhtashar min al-Musnad al-Shahîh ‘an al-Nabî saw.”
 Informasi ini didapat dari beberapa ahli ketika menukil hadits yang berasal dari kitabnya yang memakai sebutan
Mukhtashar al Mukhtashar .., seperti al-Bayhaqî (w. 458 H.) dalam al-Sunan al-Kubrâ -nya, al-Dzahabî dalam Siyar al-A‘lâm -nya

Ibn Khuzaimah menyebut-nyebut nama kitab karyanya al-Musnad al- Kabîr
dalam bahasan kitab al-Tawhîd dan begitu juga dalam kitab Mukhtashar -nya. Oleh karenanya, A‘zhamî menduga ada beberapa kemungkinan. Kitab
al- Musnad al-Kabîr disusun terlebih dulu baru kemudian diringkas menjadi kitab Sahihnya atau setelah al-Musnad -nya jadi lalu disempurnakan dengan penambahan atau pengurangan dan diringkas menjadi al-Mukhtashar. Cara penuturan Ibn Khuzaimah dalam kitab al-Mukhtashar-nya ketika menyebut nama kitab al-Musnad (atau kitab
al-Imâmah ), adalah dengan memakai kata kerja bentuk lampau. Namun di tempat lain, terkadang memakai bentuk kata kerja yang akan datang. Dari sini, A‘zhami akhirnya menyimpulkan ada dua kemungkinan.
Pertama , kitab Mukhtasharnya adalah memang hasil ringkasan dari Musnad al-Kabîr ; atau kedua , Musnadnya belum selesai disusun, namun terkadang mencantumkan sesuatu yang belum ada dalam Musnadnya.

 Metode yang dipakai M.M. al-A’zhamî dalam men-tahqiq kitab ini adalah dengan men-takhrij hadits-hadits seperlunya saja. Ia merujukkannya terlebih dulu dengan kitab Shahîhayn sebelum Sunan dan Musnad. Dengan kata lain, ia mengadakan perbandingan dengan ketiga jenis kitab tersebut. Jika ditemukan hadits yang sama dalam
Shahîhayn atau salah satunya, maka biasanya ia memberi isyarat dengan menunjukkan keberadaan hadits bersangkutan dalam Shahîhayn atau salah satunya. Akan tetapi, jika tidak ada maka al-A’zhamî membandingkan dengan kitab Sunan atau Musnad, dan terkadang mencukupkan diri dengan menyebut salah satu sumber yang dipakai dalam men-takhrij. Ia juga berusaha seobjektif mungkin dalam menilai kualitas hadits-hadits yang ada dalam Shahîh Ibn Khuzaimah , yakni dengan tiga kualifikasi: shahîh, hasan, dan dha‘îf. Jika tidak ditemukan dalam kitab-kitab lain, ia menjustifikasi berdasarkan ijtihadnya secara hati-hati. Dalam hal ini, ia juga meminta pertimbangan dan informasi dari gurunya al-Syaykh Nâshir al-Dîn al-Albânî. Apabila ditemui perbedaan pendapat dengannya ketika menjatuhkan penilaian sahih atau lemah, maka al-A‘zhamî tetap mencantumkan pendapat gurunya, yakni dengan menyertakan nama “al-Nâshir” pada bagian akhir, sehingga pandapat gurunya bisa dibedakan dari pendapat dirinya.

 Nama yang diberikan Ibn Khuzaimah untuk kitab hadisnya adalah
Mukhtashar al-Mukhtashar min al-Musnad al-Shahîh ‘an al-Nabî saw.
 Maksud dari Musnad di sini, tampaknya bukanlah tipe koleksi kitab hadits yang bersifat teknis (yakni kitab yang hadis-hadisnya disusun berdasarkan nama sanad terakhir yang bersambung, tanpa memerhatikan
subject-matter). Akan tetapi, Ibn Khuzaimah memahami kitab Musnad dengan merujuk pada pengertian asal.

 yakni kitab yang hadis-hadisnya didukung oleh rantai transmisi (
isnâd ) yang tak terputus sampai Nabi saw.

 
D. APRESIASI, SISTEMATIKA, DAN KANDUNGAN KITAB

Meskipun M.M. al-A‘zhamî adalah seorang ahli yang men-tahqiq terbitan kitab Sahih Ibn Khuzaimah yang saat ini ada, namun ia sempat berkomentar secara tidak langsung dalam karyanya
Memahami Ilmu Hadits  (1977) tentang kitab sahih tersebut. Ada beberapa kitab koleksi hadits yang dinamakan kitab al-Sahîh, termasuk di antaranya Sahih Ibn Khuzaimah. Namun, menurut A‘zhamî, kitab yang terkenal dan yang pantas mendapat kajian rinci setelah al-Shahîh karya al-Bukhârî adalah al-Shahîh-nya Muslim.

 Meskipun demikian, Ahmad Syâkir menilai bahwa Shahîh Ibn Khuzaimah beserta Shahîh Ibn Hibbân dan Mustadrak al-Hâkim adalah kitab yang paling bermutu setelah Shahîhayn. Al-Suyûthî juga mengapresiasinya dengan memosisikan Shahîh Ibn Khuzaimah lebih tinggi dibanding Shahîh Ibn Hibbân disebabkan sangat hati-hatinya Ibn Khuzaimah.

 Menurut Ibn Hibbân sebagaimana dikutip al-‘Asqalânî, Ibn Khuzaimah adalah orang yang paling baik memelihara hadits dan memelihara kesahihan dengan lafazh-lafazhnya yang tepat, sehingga seolah-olah Sunnah Nabi saw. ada di hadapannya.

 Ibn Khuzaimah, oleh beberapa ahli hadits, termasuk salah seorang yang terkenal sangat longgar dalam menentukan kesahihan hadits. Bersama Ibn Khuzaimah, ada al-Hâkim (w. 405 H.) dengan Mustadrak-nya dan Ibn Hibbân (w. 354 H.) dengan Sahihnya. Namun, di antara ketiganya, al-Hâkimlah yang dianggap tidak konsisten dalam menerapkan kriteria yang disusunnya ketimbang dua yang lain. M. Abdurrahman (2000) mengajukan alasan mengapa ketiga ahli hadits tersebut dianggap tasâhul dalam menetapkan kriteria kesahihan hadits. Pada masa mereka, abad ke-4 Hijrah, terjadi pergeseran “paradigma” (kurang lebih didefinisikan sebagai tata nilai dalam menentukan status hadits). Klasifikasi hadits pada masa ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Pada masa sebelum al-Tirmidzî (w. 279 H.), klasifikasi kualitas hadits terdiri dari dua: sahih dan
dha‘îf. Masa al-Tirmidzî (yang ia buat sendiri), klasifikasinya menjadi tiga: sahih, hasan, dan dha‘îf. Dan pada masa Ibn Khuzaimah, klasifikasi kualitas hadits kembali menjadi dua: sahih dan
dha‘îf.
 Bedanya dengan masa sebelum al-Tirmidzî, hadits dha‘îf ada kalanya termasuk dalam hadits hasan-nya al-Tirmidzî. Sedangkan hadits sahih pada masa Ibn Khuzaimah (dan al-Hâkim) juga termasuk di dalamnya hadits hasan.

 Ada tiga madzhab dalam mengkritik rijâl hadits: (i) tasyaddud(ketat),
e.g ., Ibn Mayn, ‘Alî ibn Madînî, dan al-Bukhârî, etc.; (ii) mutawassith
(moderat), e.g  ., Imam Ahmad; dan (iii)
tasâhul  (longgar) dan tasâmuh  (toleran), e.g ., Ibn Khuzaimah, Ibn Hibbân, Ibn Abî Hâtim, al-Hâkim,
etc. Implikasinya, akan ada perbedaan dalam menentukan sahih atau tidaknya suatu hadits.

 Dalam kriteria penerimaan suatu hadits, Ibn Khuzaimah (dan Ibn Hibbân), menurut banyak ulama, mengikuti madzhab yang dikembangkan ‘Abd al-Rahmân ibn al-Mahdî dan Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H.). Madzhab ini akan toleran atau longgar (tasâmuh) dalam menilai
rijâl untuk hadits yang berkaitan dengan ganjaran, siksaan, dan
fadhîlah. Sedangkan jika hadits yang berkaitan dengan hukum dan masalah halal-haram, mereka ketat ( tasyaddud ).
 Sementara, hadits yang diriwayatkan dari ahli bid’ah juga diperselisihkan antara diterima atau

 tidaknya. Kebanyakan ahli hadits, riwayat mereka boleh diterima dengan syarat orangnya jujur. Ini dilakukan oleh antara lain al-Bukhârî, Muslim, Ibn Khuzaimah, etc .

 Apabila dilihat dari kandungan kitab Sahih hasil kompilasi Ibn Khuzaimah yang, tampaknya, sebagian besar berupa hadits-hadits hukum (jurisprudensi: fiqh), maka berarti Ibn Khuzaimah semestinya ketat (
tasyaddud ) dalam menyortir hadits. Namun, mengapa banyak ulama tetap saja menganggap bahwa Ibn Khuzaimah bersikap tasâhul atau tasâmuh ketika memilih hadits ke dalam Sahihnya? Kitab Shahîh Ibn Khuzaimah yang dianotasi dalam tulisan ini adalah terbitan al-Maktabah al-Islâmî, Beirut (1996) dan Syirkah al-Thab‘ah al-‘Arabîyah al-Su‘ûdîyah al-Mahdûdah, Riyad (1981). Tidak ada perbedaan esensial bagi kitab Shahîh ini dari kedua penerbit tersebut. Seperti telah disampaikan, pen-tahqîq dan pen-takhrîj serta yang memberi “Muqaddimah” sepanjang 27 halaman dalam kitab tersebut adalah Dr. Muhammad Mushthafâ al-A‘zhamî. Di dalamnya, ada banyak informasi penting dan penilaian terhadap Ibn Khuzaimah beserta kompilasinya. Informasi itu meliputi biografi Ibn Khuzaimah, karya-karyanya, latar penamaan kitab, metode penyusunan, kedudukan kitab, metode penyusunan al-A‘zhamî, etc . Disertakan pula tiga halaman copy -an sampel manuskrip Ibn Khuzaimah. Di akhir tiap juz, kitab sahih ini dilengkapi dengan daftar isi yang menunjukkan nama-nama
bâb, kitâb , dan jamâ‘ beserta halamannya yang bisa memudahkan orang dalam menelusuri hadits berdasarkan tema tertentu. Koleksi hadits Sahih Ibn Khuzaimah yang manuskripnya berhasil diketemukan dan diterbitkan berjumlah empat juz (jilid). Tiap juz dibagi dalam dua atau tiga kitâb (bab), dan tiap kitâb terdiri dari beberapa bâb (sub-bab). Terkadang, beberapa kumpulan
bâb yang setema dikumpulkan secara periskopis dalam jamâ‘, sehingga dalam satu kitâb terdiri dari beberapa jamâ‘. Penyusunan  kitab sahih ini berdasarkan bab-bab (atau topik-topik,
‘alâ al-abwâb) yang bertalian dengan masalah fiqh. Tipe penyusunan kitab koleksi hadits macam ini adalah khas tipe mushannaf. Metode penomoran dalam satu kitâb secara berurutan, dan dimulai lagi dari nomor awal untuk
kitâb yang baru, namun terkadang juga dilanjutkan. Sedangkan penomoran hadits selalu menerus dari awal juz 1 hingga akhir juz 4, yakni berjumlah 3.079 buah hadits. Sejumlah hadits tersebut dikelompokkan dalam tujuh
kitâb  , 65 jamâ‘ , dan 2.150 bâb. Untuk lebih detailnya, perhatikan tabel anatomi di bawah ini.

Tabel Anatomi Kitab Shahîh Ibn Khuzaimah
Juz  No.kitâb Nama kitâb      Jumlah jamâ‘   #Bâb      # Hadits    Jumlah hadits
I   
        1     Kitâb al-Wudhû’     12         1 - 225     1 - 300      300
        2     Kitâb al-Shalât     2          1 - 263   301 - 786      486
II                                23       264 - 708    787- 1.469    683
        3     Kitâb al-Imâmah     -          1 - 27  1.470 - 1.504     35
              fi al-Shalât        2         28 - 202 1.505 - 1.819    315
III     4    Kitâb al-Jum‘ah      6          1 - 128 1.820 - 1.878     59
        5    Kitâb al-Shiyâm     11          1 - 271 1.879 - 2.243    365
IV      6    Kitâb al-Zakât       8        272 - 455 2.244 - 2.503    260
        7    Kitâb al-Manâsik     1        456 - 887 2.504 - 3.079    576
Jumlah                            65         2.150                  3.079

Tidak semua hadits dikelompokkan dalam suatu
              
     
 jamâ‘ . Dengan pembagian hadits ke dalam sejumlah besar bâb , Ibn Khuzaimah tampak sangat teliti dan detail dalam pengklasifikasian. Dalam satu bâb tidak jarang hanya memuat satu atau dua buah hadits. Bahkan terkadang ada bâb tertentu yang tidak ada haditsnya sama sekali. Sebagai contoh, pada bâb terakhir # 887, yakni
bâb ibâhah al-‘umrah qabla al-hajj
.., dibiarkan kosong.

 Detailnya cara pembagian hadits ke dalam ribuan bâb fiqh menunjukkan kompetensi Ibn  Khuzaimah dalam bidang jurisprudensi. Bisa dikatakan bahwa ia tampaknya adalah seorang
mukharrij hadits yang spesialis di bidang fiqh . Apiknya pengeditan (
tahqîq dan takhrîj ) yang dilakukan al-A’zhamî berdasarkan metode penyusunan yang ia pakai, terpantul dari keterangan tambahan dan catatan kaki yang dijumpai di setiap lembar kitab tersebut. Setiap hadits selalu disertai satu keterangan tambahan dan penomorannya sama dengan nomor urut hadits. Posisinya di bawah catatan kaki, bilamana ada. Komposisi keterangan tambahan tersebut di antaranya meliputi: (i) Keterdapatan suatu hadits yang serupa di kitab
Shahîhayn atau kitab Musnad dan
Sunan   dengan menggunakan simbol seperti pada Mu‘jam Mufahras
. Sebagai contoh, al-Bukhârî disimbolkan dengan huruf kha’, Muslim dengan huruf mim, al-Dârimî dengan huruf dal, etc
. Cara pencantumannya dengan menyebutkan nama bab dan halaman keterdapatannya dalam ketiga tipe kitab tersebut. Disebutkan pula  jalur periwayatannya apabila berbeda dari Sahih Ibn Khuzaimah. (ii) Penilaian kualitas hadits: shahîh, hasan, atau
 dha‘îf   dari dirinya ataupun dari gurunya, al-Albânî. Sementara, komposisi catatan kaki biasanya berupa keterangan adanya perubahan kata atau kalimat dari redaksi asal.

E. DISKUSI

M.M. al-A‘zhamî menilai kualitas hadits-hadits dalam kitab Sahih yang disusun Ibn Khuzaimah dengan menggunakan tiga klasifikasi:
shahîh, hasan, dan dha‘îf . Model klasifikasi ini berlaku pada masanya al-Tirmidzî (yang sekaligus pencetusnya). Sementara, pada masanya Ibn Khuzaimah, telah terjadi pergeseran “paradigma” dalam penilaian kualifikasi hadits, seperti disimpulkan M. Abdurrahman (2000), yakni kembali menjadi dua: shahîh dan dha‘îf
. Kriteria yang agak ketat (masa al-Tirmidzî) dijadikan standar penilaian untuk kriteria yang longgar (masa Ibn Khuzaimah, al-Hâkim, dan Ibn Hibbân). Ini kurang fair . Terang

 saja, al-A‘zhamî (1977) pernah berkomentar secara tak langsung bahwa kitab Sahih yang layak dikaji lebih rinci setelah al-Bukhârî hanyalah kitab Sahihnya Muslim. Sahih Ibn Khuzaimah tidak. Selayaknya, kriteria penilaian suatu kitab koleksi hadits adalah masalah konsistensi. Tidak ada yang menilai bahwa Ibn Khuzaimah inkonsisten dalam menerapkan kriteria yang ia gunakan dalam mengkompilasi Sahihnya, sebagaimana al-Hâkim yang dinilai inkonsisten . Dilihat dari metode penyusunan hadits yang digunakan Ibn Khuzaimah, yakni berdasarkan kandungan hadits ( ‘alâ al-abwâb ) tepatnya subject-matter   fiqh, maka berdasarkan pengklasifikasian tipe koleksi kitab hadits oleh orientalis, kitab hadisnya Ibn Khuzaimah adalah tipe mushannaf , bukanmusnad . Oleh karenanya, penamaan oleh ulama hadits sesudahnya tetap tidak keliru, karena tipe kitab sahih termasuk dalam
mushannaf juga. Namun mengingat kandungan kitabnya hampir seluruhnya tentang fiqh, maka mengapa tidak memakai nama kitab “Sunan Ibn Khuzamah” saja? Kemudian, sebagian ulama ada yang mengatakan, bahwa Ibn Khuzaimah menyusun hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab Sahihayn (atau Kutub al-Sittah ), maka mengapa juga tidak dinamai dengan kitab “Mustadrak Ibn Khuzaimah?”

******************************
 

  Hadits Nomor 1887 Shahih Ibnu Khuzaimah

Bab Keutamaan-keutamaan Bulan Ramadhan, Jika Haditsnya Shahih

Ibnu Khuzaimah 1887

Telah berkata kepada kami ‘Ali bin Hujr as-Sa’di, bahwasanya dia berkata: Telah berkata kepada kami Yusuf bin Ziyad,
bahwasanya dia berkata: Telah berkata kepada kami Hammam bin Yahya, dari ‘Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’id bin Al Musayyab, dari Salman Radhiyallahu anhu, bahwasanya beliau berkata:

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berkhutbah kepada kami pada hari
terakhir bulan Sya’ban, lalu beliau bersabda:

‘Wahai manusia, sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang
menaungi kalian, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban pada bulan itu, maka sama dengan menunaikan tujuh puluh ibadah wajib pada bulan yang lain. Itulah bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga …. *Itulah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka*
…..”.

Pentahqiq Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah,  yakni Dr. Muhammad
Musthafa al A’zhami berkata:

tahqiq 1887 ibnu khuzaimah

1887. Sanadnya dha’if. Al Banna berkata dalam “al Fathu ar-Rabbani” (9/233): diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya, seraya berkomentar: إن صح الخبر(Jika Khabar (Hadits)nya shahih); diriwayatkan juga oleh Abu Asy-Syaikh Ibnu Hayyan dalam “Ats-Tsawab”, ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dha’if.

Wallahu a’lam


Ada penjelasan dari Syaikh Abdul
Aziz Ath-Tharifi:

السؤال الثامن والثلاثون: يقول ابن خزيمة أحياناً عند الحديث (إن صح الخبر)
ماذا يعني بها، هل هي تضعيف أو توقف؟
الجواب: الإمام ابن خزيمة من الأئمة الكبار، وقوله: (إن صح الخبر)، يريد
بهذه العبارة الضعف في الغالب، وقد قال ذلك في أخبار فيها ضعفاء كعبدالله
بن عمر العمري ضعفه ابن المديني والنسائي وابن معين. والحجاج بن أرطاة قال
النسائي ليس بالقوي وضعفه ابن معين وقال يعقوب بن شيبة واهي الحديث، وعدله
جماعة. وعبدالله بن عامر الأسلمي ضعفه أحمد وأبو زرعة وأبو حاتم والنسائي،
وقال البخاري ذاهب الحديث وجسرة بنت دجاج قال البخاري: عندها عجائب، وقال
الدارقطني: يعتبر بحديثاً إلا أن يحدث عنها من يترك، وإسحاق بن أبي فروة قال
البخاري: تركوه، ونهى أحمد عن حديثه وقال: لا تحل الرواية عنه، وعبدالرحمن
بن أبي الزناد وهو ضعيف معروف الضعف ضعفه أحمد وابن معين وعلي بن زيد بن
جدعان وأشعث بن سوار وهما ضعيفان وقال ابن خزيمة أيضاً ذلك في أخبار في
أسانيدها مجاهيل كقدامة بن وبرة وعبدالله بن النعمان وأبو فروة وأبو سويد
وإياس بن أبي رملة، وقال ابن خزيمة ذلك في أحاديث للانقطاع في إسانيدها
كرواية الحسن عن جابر، والأعمش عن ابن بريدة وأبي البختري عن ابي سعيد
وموسى بن الحارث عن جابر، وأبي قلابة عن النعمان وقد يريد ابن خزيمة بها في
القليل التوقف وعدم الجزم.

Pertanyaan ketiga puluh delapan:

Ibnu Khuzaimah kadang berkata tentang suatu hadits, إن صح الخبر, apa
maksudnya? Apakah merupakan pernyataan tadh’if (pendha’ifan) atau tawaqquf?

Jawab:

Imam Ibnu Khuzaimah termasuk Imam Besar, dan perkataannya, maksudnya
secara umum adalah dha’if. Beliau memberikan komentar demikian pada
hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi-perawi dha’if seperti:

–‘Abdullah bin Umar al ‘Umri yang didha’ifkan Ibnu al Madini, An-Nasai,
dan Ibnu Ma’in,

–Al Hajjaj bin Arthah yang dikomentari An-Nasai dengan “Laisa bil Qawiy”, didha’ifkan Ibnu Ma’in, dan menurut Ya’qub bin Syaibah “Wahi al
hadits”, dan dita’dil jama’ah,

–Abdullah bin ‘Amir al Aslami yang didha’ifkan Ahmad, Abu Zur’ah, Abu
Hatim, dan An-Nasai, Al Bukhari menyebutnya Dzahibul hadits,

–Jasrah bin Dajjaj yang menurut Al Bukhari: “indaha ‘ajaa-ib”, Ad-Daruquthni berkata: yu’tabaru bihadiitsan illa an yuhditsa ‘anha man
yatruk,

–Ishaq bin Abi Farwah yang dinilai Al Bukhari: “Tarakuuhu”, Ahmad
menolak haditsnya dan berkata: tidak halal meriwayatkan darinya.

–Abdurrahman bin Abi az-Zanad yang dh’if, terkenal akan kedhaifannya,
yang didhaifkan Ahmad dan Ibnu Ma’in.

–‘Ali bin Zaid bin Jud’an dan Asy’ats bin Siwar yang keduanya dhaif.

Ibnu Khuzaimah juga mengatakan demikian pada hadits-haduts yang dalam sanadnya terdapat perawi-perawi majhul seperti Qudamah bin Wabrah, Abdullah bin an-Nu’man, Abu Farwah, Abu Suwaid, dan Iyas bin Abi Ramlah.

Ibnu Khuzaimah juga berkata demikian pada hadits-hadits karena keterputusan sanadnya seperti riwayat al Hasan dari Jabir, Al A’masy dari Ibnu buraidah, Abi al bakhtari dari Abi Sa’id, Musa bin al harits dari Jabir, dan Abi Qilabah dari an-Nu’man…

Dan dimaksudkan Ibnu Khuzaimah dalam jumlah kecil untuk tawaqquf dan tidak memastikan.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kitab Lubabul Hadist dan Terjemahan

Manaqib jawahirul ma’ani atau MANAQIB ASY-SYEICH ABDUL QADIR AL-JILANI

Fiqih Puasa Mazhab Syafi’i